22 November, 2009

Serpih Keteladanan Kiai Sepuh

Oleh: Ach. Syaiful A'la, S.Pd.I

Kiai. Begitu kira-kira “gelar” yang diberikan masyarakat kepada sesosok pemimpin yang mempunyai keahlian khusus dalam bidang disiplin keilmuan tertentu di komunitas masyarakat. Misalnya mereka (kiai) yang mempunyai kemampuan dalam bidang intelektual (‘ilmiyah), spiritual (rohaniyah), sosial (ijtimaiyah), administratif (idariyah), politik (siyasah) lebih-lebih kalau mempunyai pondok pesantren (sebagai pengasuh), sudah tidak terbantah lagi, bahwa dirinya adalah kiai. Tetapi yang aneh terkadang, saat ini juga seorang dukun disebut sebagai kiai.


Keberadaan kiai pengasuh pondok pesantren di dalam lingkungan masyarakat (Indonesia pada umumnya) sudah bagaikan garam dalam sebuah menu masakan. Artinya, keberadaan dan keterlibatan kiai dalam berbagai agenda kegiatan sudah menjadi sebuah kaharusan. Tidak ada kiai, tidak ramai.


Dalam percaturan perpolitikan nasional, yang menjadi menarik dan meramaikan media massa setiap hari karena adanya keterlibatan kiai, mulai dari tingkat pemilihan anggota legeslatif (DPR), eksekutif, pemilihan presiden, gubernur, bupati, sampai kepada pemilihan kepala desa. Seandainya tidak ada keterlibatan kiai, sepertinya tidak menarik, kering dan membosankan, walaupun pada akhirnya muncul kontroversi disana-disini atas keterlibatan kiai pondok pesantren dalam ranah politik praktis. Yang demikian itu terjadi, karena dianggap keikutsertaan kiai dalam politik hampir melupakan tugas utama di pondok pesantren sebagai pendidik dan pentransfer ilmu pengetahuan (cultural broker) dalam bahasa Clifford Geertz.


Sehingga tak salah jika ada guyonan di kalangan warga nahdhiyyin (sebutan bagi warga NU), bahwa kiai-kiai pondok pesantren di Indonesia (dalam sejarahnya) mempunyai pengalaman yang sangat kompleks, mulai dari kiai yang mempunyai sebutan sebagai Qari’ (pelantunan al-Qur’an) sampai dengan Korak (seorang kiai yang pada proses awal kehidupannya penuh dengan kemaksiatan, melakukan perjudian, merampok, kemudian sadar dan kembali sebagai pembimbing dan pengayom umat. Tapi bukan mantai kiai).


Buku Cermin Bening dari Pesantren; Potret Keteladanan Para Kiai ini, mencoba memotret kehidupan para kiai pondok pesantren mulai sejak dalam usia pendidikan (belajar), merintis pondok (sebagai pendiri), memimpin, sebagai pendidik di pondok pesantren, keoptimistikan dalam menghadapi hidup, ulet, sampai kepada pemberian sebuah gelar (julukan) salah satu kiai karena sikap dan perbuatannya yang terkadang – kata sebagian orang – nyeleneh, irasional, sulit dijangkau oleh akal manusia (kiai-kiai sakti dan pendekar). Menariknya, untuk tidak membosankan dan bertambah akrap di ruang pembaca, buku ini juga banyak menyuguhkan anekdot-anekdot kocak para kiai pondok pesantren, seperti menjadi Kiai Sama Dengan Penjaga Toilet (WC) yang kalau tidak dibaca secara utuh tulisan tersebut akan membuat kita (pembaca) bisa marah (hlm. 215).


Walaupun buku semacam ini – yang menceritakan tentang kehidupan sosok kiai pondok pesantren – telah banyak beredar di pasaran, tetapi penulis buku ini berusaha mencari sisi lain yang belum terdokumentasikan oleh beberapa penulis sebelumnya.
Nah, buku cermin ini sebenarnya merupakan sebuah jendela baru bagi pembaca, khususnya para kiai untuk melihat action kiai tempo dulu. Cermin artinya kita bisa becermin bagaimana potret kehidupan kiai pondok pesantren dalam perjuangannya dan cermin sebagai tamparan – perbuatan yang memalukan – kalau kiai-kiai saat sudah tidak sepadan, apalagi menyimpang dari rel yang telah diperbuat oleh kiai-kiai terdahulu.


Misalnya, buku ini (bukan berarti menafikan yang lain) mengangkat sosok KH. Saifuddin Zuhri, Mantan Menteri Jualan Beras (hlm. 92). Hal ini menandakan bahwa semangat hidup yang ada dalam dirinya untuk tetap berusaha (mandiri) dengan tidak mentergantungkan dirinya kepada siapa saja. Mempunyai kekayaan mental. Tidak ambisi jabatan. Sosok kiai Saifuddin ini, adalah bisa dijadikan cermin oleh kiai-kiai kekinian, disaat politik dijadikan sebagai lahan empuk dan dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk mencari penghidupan, mengemis-ngemis jabatan, minta dukungan kesana-sini. Tidak kenyang mental, tetapi kiai yang miskin mental.


Apa yang disebut dengan kemiskinan mental? Kemiskinan mental adalah sebuah kondisi mental kejiwaan atau orientasi hidup seseorang yang dipenuhi oleh kebiasaan-kebiasaan negatif, yang sifat dapat menghambat kemjauan. Seperti psimistik, malas, buruk sangka, sukan menyalahkan pihak lain, iri melihat keberhasilan orang lain. Miskin mental juga bisa ditunjukkan dengan prilaku yang tidak disiplin, tidak percaya diri, tidak bertanggung jawab, tidak jujur, tidak mau belajar, tidak mau memperbaiki diri, dan tidak punyak visi kedepan.


Akhirul-al-Qalam, buku yang semacam tidak hanya cukup dibaca oleh khalayak, terpenting adalah bagaimana kemudian mampu meneladani kehidupan dari beberapa sosok kiai dalam buku ini. Disamping itu, penulisan buku ini, disajikan dalam bahasa yang sangat lewes, mengalir, jernih, padat sehingga mudah dibaca siapa saja, mulai dari orang awam hingga yang alim.


*) Alumnus PP Nasa Gapura & IAIN Sunan Ampel Surabaya


DATA BUKU:
Judul Buku: Cermin Bening dari Pesantren; Potret Keteladanan Para Kiai
Penulis: Rijal Mumazziq Zionis
Penerbit: Khalista, Surabaya
Cetakan : I, Agustus 2009
Tebal: xvi+248 Halaman

07 November, 2009

Mengamini Suara Hati

Oleh: Ach. Syaiful A'la, S.Pd.I


Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda : “…didalam tubuh kita (manusia) terdapat segumpal darah, apabila segumpal darah itu baik, maka baiklah seluruh anggota tubuhnya, dan begitu sebaliknya, apabila segumpal darah itu jelek, maka rusaknya semuanya, segumpah darah itu tiada lain adalah hati”.


Setiap hari, mungkin kita sering melihat sebuah tulisan yang dipasang oleh orang-orang atau pemerintah dijalan-jalan yang biasanya rawan seperti rawan kecelakaan, tikungan, tanjakan, turunan tajam, jalan bergelombang, keramain tempat bermainnya anak-anak, atau ada hewan (anjing) galak dan lain sebagainya, biasanya ditulislah dengan kata-kata “Hati-Hati!”. Hal ini menandakan bahwa segala gerak-gerik tubuh kita selalu dikendali oleh segumpal darah yang disebut dengan hati.


Kita tentunya semuanya sepakat dan menyadari bahwa suara hati dalam diri seseorang itu tidak pernah bohong. Hal ini terlihat ketika seseorang misalnya melakukan suatu perbuatan kejelekan seperti mencuri, intimidasi, merampok, mencopet atau bahasa ngetrennya disebut dengan istilah KKN (korupsi, kolusi dan niputisme) hampir dipastikan muncul perasaan dalam hatinya yang paling dalam (fuadi) bahwa yang ia perbuat adalah menyimpang dari ajaran Agama, tetapi mungkin karena terpaksa dan desakan hawa nafsu mereka tetap melakukan hal yang mungkar.


Kejadian-kejadian seperti diatas bisa kita lihat dalam beberapa kasus, ketika seorang pencuri kemudian tertangkap apa yang terjadi? Ia menangis dan menyesal. Para pelacur yang setiap hari melayani laki-laki, ketika dilakukan penelitian dan wawancarai, ia menjawab babhwa didalam hati mereka juga menangis dan menyesal, tetapi karena himpitan globalisasi, kondisi ekonomi yang semakin menyusahkan orang lemah dan sebagainya, sehingga pekerjaan tersebut walaupu perbuatan keji tersebut bertantangan dengan agama yang telah dilakukan. Begitu pula dengan orang kafir Quraisy yang tidak mau mengakui kenabian Nabi Muhammad, sebenarnya ia tahu bahwa Muhammad adalah seorang utusan (rasul). Tapi kerena gengsi dan status mereka tetap mengingkarinya. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa suara hati sebenarnya tidak pernah berbohong, selalu mengajarkan dan membimbing seseorang kepada jalan kejujuran dan kebenaran.


Kehidupan modern yang sangat rumit dan kompleks seperti sekarang ini penuh dengan problematikan dan tantangan yang sangat mudah memicu terjadi segala hal pada diri seseorang. Orang yang selalu menuruti apa yang menjadi kemauan otaknya kemudian tidak tercapai, biasa banyak yang cendrung stress. Karena hatinya telah bertentang dengan otaknua. Stress pada tindak lanjut akan menyebabkan seseorang kehilangan akal, arah, dan tujuan hidup. Untuk menyikapi dimaksud seseorang dituntut untuk memantapkan imannya kepada Allah. Iman kepada Allah bukan hanya mayakini bahwa Allah itu ada, tetapi meyakini juga bahwa Allah itu Maha Bijaksana, Maha Adil, tidak mungkin salah, dan tidak mendzalimi hambanya. Tanpa iman yang kuat kita tidak mungkin menghadapi kehidupan dengan tepat, wajar dan sukses.


Orang yang tenang, apabila hatinya tenang. Menghilangkan stress dan menjadikan hati tenang, damai, sejuk, sejahtera dan bahagia adalah tujuan hidup yang didambakan oleh semua orang di dunia ini. Tetapi untuk sampai kesana, mencapai ketenangan hati tidaklah gampang, mengingat tentang problematika kehidupan yang semakin kompleks, plik dan rumit. Namun bagi orang yang imannya sudah mantap kepada Allah, maka tidak dibenarkan jika berputus asa dalam berusaha untuk mencapai ketenangan. orang Orang yang gampang putus asa, dalam Islam adalah bagian dari duri dalam beragama, selain itu pula adalah tipu daya setan yang ditiupkan kepada manusia untuk mengikuti jejaknya menuju jurang ketidak pastian, tiada lain adalah tempat kesengsaraan.


Buku dengan judul Ketika Hati Bersimpuh yang ditulis Hery Sucipto, Sarjana dari Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir ini, mengajak kepada kita untuk selalu optimis dalam menghadapi hidup, tegar dalam menghadapi cobaan, serta penuh semangat dan energik dalam menggapai tujuan serta apa yang yang menjadi cita-cita dalam hidup ini. Didalamnya juga disajikan bagaimana kita (reader) dilatih untuk menyelesaikan suatu masalah, kiat meraih sukses dengan sabar, tulus dalam beramal dan beribadah, dan trik bagaimana untuk selalu menjadi orang yang bermamfaat kepada orang lain. Sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah: “Bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermamfaat bagi manusia” (khairun al-nass anfa’uhum li al-nass).


Didalam buku ini pula dipaparkan banyak kisah (sejarah) tentang orang-orang mulia yang tawadu’ dan selalu menuruti kemauan hatinya . Seperti Syeik Yusuf, ulama besar yang sampai mempunyai enam makam, kezuhudan Abu Dzar Al-Ghifari, Ummu Sulaim, seorang istri yang sangat bijaksana, Aisyah, yang menjadi Ibu Agung umat Islam, mengenalkan seorang sosok yang mempunyai cinta sejati kepada Allah, seperti Rabiah Al-Adawiyah, dan yang terakhir bagaimana belajar hidup cinta damai dari Rasulullah SAW.


*) Alumnus PP Nasa Gapura Timur, IAIN Sunan Ampel Surabaya


DATA BUKU:
Judul Buku: Ketika Hati Bersimpuh; Kisah Pensucian Hati, Tauladan dan
Perbaikan Diri
Penulis : Hery Sucipto
Penerbit: Himmah; Grafindo Groups, Jakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal: 306 Halaman

03 November, 2009

Kesaktian para Kiai Sepuh

Ach. Syaiful A'la, S.Pd.I

Karomah – atau dalam bahasa Indonesia disebutnya sebagai keramat; adalah suatu peristiwa yang sulit diterima oleh akal pikiran manusia pada umunya. Akan tetapi karomah banyak dijumpai dalam berbagai literatur agama termasuk di luar agama Islam sendiri.


Tetapi karomah tidak sama dengan kekuatan linuwih yang dimiliki oleh orang yang fasik. Sebab meskipun orang fasik bisa juga melakukan keajaiban-keajabian sebagaimana karomah, yaitu orang yang dekat dengan Allah (shaleh). Namun kejabaiban yang dilakukan oleh orang fasik itu bukanlah karomah. Kejadian itu kita kenal dalam Islam dengan istilah istidraj, ada yang menyebutnya dengan al-makr (tipu daya) dan al-ihlak (pembinasaan) – kejadian yang luar biasa yang diberikan Allah kepada hambanya yang fasik alias kufur agar mereka bertambah kekufurannya alias bertambah sombong. Pekerjaan mereka banyak dibantu oleh iblis dan anak buahnya.


Berbeda dengan karomah. Karomah merupakan tanda kewalian seorang hamba Allah, sebagaimana mukjizat yang diberikan Allah kepada para nabi dan rasul sebagai bukti tanda kenabian. (baca : perbedaan antara mukjizat, karomah, istijraj, sihir). Biasanya karomah tidak tampak – atau sengaja tidak ditampakkan oleh seorang hamba Allah – karena takut akan memutus perjalanan spiritual dirinya kepada Allah. Yang demikian itu banyak kita jumpai dibeberapa, terkadang diketahuinya bahwa seseorang mempunyai karomah kalau dia sudah tidak ada alias meninggal dunia. Ada juga yang langsung ditampak karena berkenaan dengan dakwah dimana mereka berhadapan sesuai dengan obyek dakwahnya.


Suatu contoh seorang kiai – sebut saja namanya kiai Hosa panggilan akrapnya KH Hosamuddin tinggal disebuah kampung namanya kampong Battangan terletak di Desa Gapura Timur Sumenep Madura, yang namanya tidak tersentuh dalam buku ini – dalam melakukan dakwah di Desa Candi (Dusun Gunung), beliau menampakkan ilmu kesaktian yang ada dirinya.


Konon, pernah suatu hari ada sebuah jam’iyah (kompolan, madura) di Desa Candi itu. Karena masyarakatnya masih minim akan ilmu-ilmu agama, ketika dalam acara jam’iyah yang selalu diperbincangkan tentang “carok” – adu ketangkasan dengan menggunakan alat yang namanya arek (madura : latting, sade’, caloret, busri, pengerrat dan lain-lain). Sehingga banyak jamaah tidak mendengarkan isi ceramah dari kiai Hosa. Alkisah, dari salah satu anggota jam’iyah yang dipimpin kiai Hosa di Desa setempat, suatu ketika usai acara, sang kiai – memang dengan sengaja – meletakkan koreknya (coret, madura) dibawah daun pisang (daun sisa bungkus makanan yang disajikan tuan rumah untuk jamaah, di madura makanan itu disebut dengan pes-paes atau leppet) kemudian kiai pamit dan pergi meninggalkan acara.


Tidak jauh dari tempat acara, sekitar + 100 m kiai Hosa pura-pura memanggil minta tolong kepada seseorang yang masih ada didalam tempat perkumpulan tadi bahwa koreknya ketinggalan di tempat dimana ia duduk. Setelah dicari-cari oleh jamaah ternyata korek itu berada dibawah daun pisang sisa bungkus suguhan yang disajikan ke pak kiai. Yang aneh pada waktu itu, semua orang (laki-laki) yang ada dalam perkumpulan, tidak satu pun yang bisa mengangkat korek pak kiai – terasa berat untuk mengangkatnya.. Dengan kejadian itu tadi, akhirnya masyarakat percaya dan taat bahwa kiai Hosamuddin mempunyai kemampuan (karomah) yang luar biasa. Sehingga dalam melakukan dakwah agama selanjutnya meresa gampang menyampaikan pesan-pesan moral agama kepada masyarakat berkah karomah yang ditampakkan secara terang-terang di khalayak umum.


Contoh lain misalnya karomah yang dimiliki kiai As’ad. Beberapa tahun silam Nahdlatul Ulama (NU) mengadakan muktamar ditempatkan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo. Muktamar itu akan dihadiri oleh Presiden Soeharto untuk membuka acara. Karena musim kemarau (panas), maka tempat landas (lapangan) helikopter presiden beserta rombongan dikhawatirkan berdebu akhirnya dinas terkait di kabupaten setempat menyiram lapangan agar tidak berdebu. Tidak lama setelah pekerjaan berlangsung, tiba-tiba kiai As’ad muncul dan minta untuk dihentikan penyiramannya karena hanya membuang-buang anggaran daerah. Kiai As’ad bilang bahwa hujan sebentar lagi akan turun – padahal musim kemarau. Tidak lama setelah kiai As’ad pulang dari lapangan ternyata benar mulai ada gerimis bahkan sampai hujan lebat membasahi area lapangan. Anehnya dari kejadian diatas, ditempat lain tidak ada yang hujan alias kering, yang ada hujan hanya di lapangan tadi (hlm. 19-25).


Itulah baru sekilas cerita dari kiai kampung pengasuh pesantren, dan masih banyak karomah-karomah kiai-kiai lainnya yang sengaja ditampakkan atau tidak ditampakkan di masyarakat. Misalnya di dunia pesantren (NU) ada yang namanya kiai Kholil Bangkalan, kiai Imam Nawawi, kiai Hasyim Asy’ari, kiai Usymuni Tarate, kiai Syarqawi Guluk-guluk, kiai Ali Brambang dengan karomahnya bisa ngajari kera ngaji Al-Qur’an hingga beberapa ayat dan masih banyak kiai-kiai NU dan pesantren lainnya yang tidak bisa disebutkan semua namanya disini yang telah mempunyai karomah luar biasa karena kedekatannya kepada Allah sehingga dengan karomahnya telah banyak memberikan pencerahan dan bimbingan pada masyarakat.


Dalam Al-Qur’an banyak sekali yang ayat mengisahkan kejadian yang sulit diterima oleh akal. Tetapi peristiwa itu memang telah terjadi. Lihathah seperti yang dikisahkan dalam Al-Qur’an : ashabul kahfi, sekompok pemuda sufi yang tertidur nyenyak dalam jangka waktu ratusan tahun dalam goa, Nabi Ibrahim yang dibakar oleh raja Namrud, kemudian keluar dari kobaran tanpa ada sedikit cacat dari anggota tubuhnya, Nabi Musa hanya dengan sepotong kayu (tongkat) bisa membelah laut, kemudian laut menjadi lorong hingga akhirnya dirinya selamat dari kejaran raja Fir’un, kemudian raja Fir’un berserta bala tentaranya ditenggelam di laut merah ketiga mengejar sang kekasih Allah (khalilullah) karena air kembali merapat setelah Nabi Musa dengan pengikutnya sampai di daratan, dan masih banyak peristiwa-peristiwa yang luar biasa (khawariqul adat) lainnya yang kita temukan dalam Al-Qur’an. Kelebihan-kelebihan (karomah) yang diberikan Allah kepada seorang wali (orang yang dekat dengan-Nya) tiada lain hanya untuk memantapkan keimanan dan ketakwaan mereka kepada Allah.


Buku ini hadir diruangan pembaca tiada lain untuk mengisahkan beberapa karomah yang dimiliki oleh para kiai yang ada di (lokal) Indonesia, khususnya didunia pesantren. Buku ini berisi sebanyak 77 kisah (nyata, sudah terjadi dan terbukti ada kebenarannya) karomah kiai asli indonesia. Dan kisah-kisah yang ada dalam buku ini telah terkuak dimasyarakat bahkan diluar pesantren; kisah-kisah yang belum bertuliskan dalam selembar buku dan hanya berkembang dari mulut kemulut.

Selamat membaca!


*) Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya


DATA BUKU:
Judul Buku : Karomah Para Kiai
Penulis : Samsul Munir Amir
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : xx+348 Halaman

30 Oktober, 2009

Humanisasi Pendidikan Islam

Ach. Syaiful A’la, S.Pd.I*

Di dalam ajaran Islam ada tiga aspek terpenting, yang terkait antara satu sama lain. Baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara tersurat maupun yang tersirat. Secara sadar mahupun tidak sadar. Yaitu pendidikan akidah, syariat dan tasawuf atau akhlak. Siapa yang ingin beragama Islam atau siapa saja yang ingin melaksanakan ajaran Islam di dalam kehidupan, wajib mempelajari ketiga aspek atau bagian yang ada di dalam ajaran Islam ini. Wajib dipelajari ilmunya, diyakini, dihayati dan juga diamalkan.


Kalau satu aspek saja kita terima tetapi meninggalkan aspek-aspek yang lain, ia timpang. Katakanlah kita pelajari akidahnya saja serta diyakini dengan meninggalkan aspek-aspek yang lain, seolah-olah Islam itu hanyalah agama ketuhanan. Kalau syariatnya saja yang kita terima dan menolak pula aspek-aspek yang lain, Islam itu sudah seolah-olah seperti ajaran ideologi. Manakala kalau akhlaknya saja diterima dengan meninggalkan kedua aspek diatas, seolah-olah Islam hanya ajaran etika di dalam pergaulan atau etika kerja. Agama Islam tidak dapat diterima atau dipelajari di satu-satu aspek saja, tetapi kesemua aspeknya. Jika ketiga aspek berjalan seimbang, barulah lengkap, sempurna, indah, berguna, dapat dilihat keagungan dan kebesaran Allah, berlaku keharmonisan, keamanan, kedamaian yang memang diidamkan oleh manusia.


Terjadinya berbagai macam persoalan yang sangat kompleks saat dihadapi bangsa ini, serta berbagai krisis yang berkepanjangan baik yang berkaitan dengan persoalan politik, ekonomi, pendidikan dan sosial, sebenarnya kalau mau jujur dan dengan jernih kita melihatnya semuanya adalah persoalan moral. Ketika para pemangku jabatan kita dilihat sudah tidak bermoral (amoral) maka yang akan timbul adalah persoalan disana-sini karena kebijakan yang diambil hanya merupakan kepentingan sesaat dan cenderung kepentingan pribadi alias mementingkan kelompoknya faqot (status quo).


Upaya untuk terlepas dari persoalan ini (amoral) sebenarnya yang harus menjadi garapan utama bagi kita bangsa Indonesia untuk menuju al ummah al badaniyah sebagaimana yang dicita-citakan oleh Nabi Muhammad SAW, salah satu cara yang bisa diambil adalah dengan memberikan pelajaran-pelajaran tentang akhlak (pendidikan moral) yang baik dalam dunia pendidikan.


Kenapa harus pendidikan yang ambil bagian dalam masalah ini? Dalam pendidikan adalah terjadi adanya proses transformasi nilai-nilai dari pendidik kepada peserta didik. Meminjam istilah Paulo Prairie, pendidikan adalah memanusiakan manusia. Artinya, apa yang diimpikan oleh Paulo semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kepedulian sosial seseorang kepada sesama, simpatik, dan merasa satu anggota tubuh yang lain merasakan sakit atau menderita (empatik).


Tetapi saat ini proses pendidikan belum mampu menjawab semua itu. Beberapa tahun terakhir ini, perbincangan pendidikan hanya menyangkut pada anggaran yang kurang memadai 20%. Keadaan itu mengakibatkan gaji guru rendah, sarana dan prasarana pendidikan kurang memadai, lingkungan tidak tertata, sehingga hasil pendidikan kurang memuaskan.


Belum lagi persoalan lainnya, hasil ujian (UN) dikaitkan dengan prestasi pemerintah daerah, sehingga berakibat melahirkan penyimpangan, pendidikan kemudian sebatas mengejar target yang ditetapkan. Maka jujur saja, sedikit sekali perbincangan pendidikan yang lebih menyentuh aspek substantif, yaitu membangun pendidikan hingga mengantarkan anak bangsa ini meraih keunggulan (insan kamil), yaitu unggul dalam ilmu pengetahuan, jiwa dan mentalnya, unggul cita-citanya, unggul watak dan perilakunya, unggul keberaniannya, unggul sifat kepemimpinannya, dan unggul akhlaqnya.


Buku Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat karya Dr. Moh. Roqib ini, berupaya menjawab segala persoalan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam perspektif Islam, disaat kita (bangsa Indonesia) lagi pusing dalam hal pencarian jati diri masing-masing. Didalam buku ini, pembaca pula akan diajak jalan-jalan mengarungi guna melihat kembali bagaimana pendidikan Islam membentuk insan kamil.


Salah satu tujuan pendidikan Islam adalah humanisasi serta menanamkan akhlak (tasawuf) pada peserta didik. Tasawuf adalah ilmu rasa (zauk). Ia adalah perasaan-perasaan yang timbul di dalam hati orang yang beriman atau orang yang bertaqwa, yang bersifat terpuji (mahmudah). Orang yang selalu menuruti kemauan (suara) hati dalam hidupnya, maka akan selamat. Karena suara hati tidak pernah berbohong. Misalnya, ketika seseorang melakukan sesuatu yang amoral, maka pasti terdetik dalam hatinya bahwa hal itu adalah perbuatan munkar (keji) yang dilarang oleh Agama (hal. 31).


Sifat terpuji (akhlaq mahmudah) yang menempel pada diri seseorang akan mencerminkan contoh sikap seperti rasa hamba, rasa merendah diri, rasa malu, rasa kasih, rasa bertimbang rasa, rasa simpati, rasa tawakal, rasa sabar, rasa redha, rasa pemurah, rasa kasihan, rasa pemaaf, rasa meminta maaf dan rasa cinta. Dari rasa-rasa tadi, ia mendorong manusia bertindak atau melahirkan rasa-rasa positif diatas. Maka lahirlah buahnya di dalam kehidupan, yang dapat dilihat oleh mata yaitu akhlaq mulia (akhlaq al-karimah). Dapat dilihat seseorang itu pemurah, merendah diri, tenang, menolong orang, mengasihi orang, memberi maaf, meminta maaf dan hal inilah yang menjadi cita-cita pendidikan Islam.


*) Direktur Komunitas Baca Suarabaya (KOMBAS)


DATA BUKU
Judul Buku : Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat
Penulis : Dr. Moh. Roqib, M.Ag
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Juni 2009
Tebal : xvi+256

23 Oktober, 2009

Pendidikan Sirkus

Oleh : A. Dardiri Zubairi*

Pak Midun senangnya bukan main melihat Syarkawi, anaknya, diterima di sebuah sekolah negeri di sebuah kecamatan, tak jauh dari tempat ia tinggal. Betapa tidak. Pak Midun hanyalah seorang petani biasa. Seorang yang membesarkan anak dalam keluarga dan masyarakat sederhana, lengkap dengan kultur guyub pedesaan yang melatarinya.

Sebelum diterima di sekolah negeri, Syarkawi belajar di sebuah madrasah swasta. Sorenya masih nambah di madrasah diniyah. Belum lagi malam hari, ia dikirim kepada seorang kyaji tua yang sudah lebih setengah abad istiqamah mengajarkan alif, bata, ta kepada anak-anak desa. Di sela-sela kesibukannya, syarkawi toh masih sempat membantu pak midun di sawahnya.

Hari pertama sekolah, pak Midun melihat sesuatu yang aneh. Anaknya pake’ dasi. Pak Midun sulit mengunyah ”realitas baru” yang menggantung di leher anaknya. Meski begitu ia berpikir positif saja. Senyum pun merekah, anaknya tampil gagah layaknya pemain senetron ABG yang kerap menghiasi layar kaca, lengkap dengan seragam sekolah dan dasinya. Ia pun bermimpi, anaknya kelak menjadi orang ”sukses”. Tidak perlu mereproduksi pekerjaan dia, yang selalu berkubang dengan tanah.

Tetapi toh dalam hatinya ia tetap sulit memahami, bahkan ketika anaknya sudah menginjak kelas XII. Apa hubungan sarung yang selalu dikenakannya dengan dasi anaknya(?)

Semakin lama, ”keganjilan” anaknya semakin memanjang. Ibarat ”gempa”, keganjilan itu telah meluluhlantakkan alam sadarnya. Bahkan menggoncang hingga bawah alam sadar.

Tiba-tiba anaknya enggan membantunya di sawah. Satu-persatu simbol masyarakat desa pun dilucuti, ya songkok, sarung, ngaji, kesenian hadrah, cangkul, dan seterusnya. Tak cukup simbol, nilai-nilai masyarakat desa seperti keikhlasan, kesederhanaan, sopan santun,kebersamaan juga dilepas.

Setiap kali pak Midun melihat anaknya, setiap kali itu pula ia melihat sosok ”alien”. Mahkluk dengan kepribadian asing. Cara pikir, berprilaku, berdandan, bahkan berselera asing. Ia semakin tak mengenalnya, meski setiap hari bersamanya.

Toh pak Midun tetap berpikir positif. Ia masih yakin, meski pendidikan telah mengasingkan anaknya dari lingkungannya sendiri, hal itu ia anggap proses yang niscaya. Proses yang mesti dilalui oleh seseorang untuk ”sukses”, persis seperti hotbah yang terus-menerus direproduksi oleh pendukung pendidikan modern. Dan pak Midun salah satu korbannya(?)

***
Pak midun dan anaknya adalah gambaran paradoksnya pendidikan modern saat ini. Satu sisi telah menyihir semua orang sehingga mempercayai ”pencerahan” yang dijanjikannya. Sisi lain, ”pencerahan” yang dijanjikan pendidikan modern ternyata tidak juga datang-datang.

Justru sebaliknya, anak didik bukan malah arif, tapi congkak (terutama terhadap lokalitas). Bukan kreatif, tapi passif. Bukan berjiwa enterprenuer, tapi tergantung. Bukan bebas, tapi terjajah. Bukan pencipta, tapi peniru. Bukan…

Dalam konteks kebangsaan, tiba-tiba nasionalisme (di)pudar(kan). Cinta kasih antar sesama lenyap. Gantinya, anak bangsa atas nama ”benda” bahkan ”identitas” (agama, etnis, ras, gender) rela saling berjibaku dan meradang.

Seperti pak Midun melihat anaknya, kita banyak jumpai alien di rumah (tangga), sekolah, jalan, masyarakat, negara, birokrasi, dan di mana-mana. Sosok yang dulu kita kenal, tapi sekarang sudah tidak menjejakkan kaki di kebudayaan sendiri. Sudah tercerabut dari akar budayanya dan sekarang sepenuhnya menjadi asing. Ah…jangan-jangan kita (saya) sendiri sudah menjadi makhluk alien juga?

Sampai di sini saya jadi geli sendiri. Bisakah air yang sudah keruh di hulu, mau dijernihkan di hilir?
Bisakah permasalahan yang demikian mendasar, diselesaikan secara tambal sulam? Misalnya, dengan menggagas pendidikan kewirausahaan?

Permasalahan pendidikan kita memang cukup kompleks. Sama carut-marutnya dengan situasi kebangsaan kita. Ada sesat pikir sejak level paradigmatiknya. Maka sejatinya diagnosa dan penyembuhannya harus dimulai sejak level paradigmatiknya juga.

Karena itu, mempertanyakan asumsi ideologis pendidikan kita menjadi penting.. Untuk apa dan siapa, ideologi pendidikan dirumuskan? Pasar, kapital, pabrik, kekuasaan,
atau memanusiakan manusia?

Sayang, pertanyaan seperti di atas tidak dimunculkan, terutama oleh pengambil kebijakan pendidikan. Mereka lebih suka ”ngurus” yang (maaf) remeh-remeh. Misalnya, UAN yang dipertahankan mati-matian. Pada hal banyak kritik, UAN tidak akan mampu menyelesaikan permasalah mendasar pendidikan.

Atau seperti sekarang, gembar-gembor otonomi pendidikan, meski realitasnya tetap sentralistik. Semua tahu, sentralisasi akan memasung kreativitas. Jika lembaga dan personalianya tidak kreatif, bagaimana mungkin akan menularkan kreativitas kepada anak didik?

Karena itu diskusi pendidikan kewirausahaan harus ditempatkan dalam kerangka (untuk terus-menerus)mempertanyakan asumsi ideologis pendidikan kita, dan menyuarakan otonomi pendidikan dipraktikkan secara penuh. Otonomi pendidikan secara penuh akan memungkinkan setiap lembaga pendidikan mendesain ideologi pendidikan, kurikulum, silabi, dan seterusnya sesuai dengan kebutuhan lingkungan dan komunitasnya.

Dengan demikian, pendidikan kewirausahaan akan terintegrasi secara kokoh dalam kerangka pendidikan secara utuh, karena ditopang oleh ideogi pendidikan yang memanusiakan dan sesuai dengan lingkungan, kebudayaan, dan kebutuhan masyarakat sebagai user-nya.

Kita tentu tidak mau bukan, jika pendidikan kewirausahaan menguatkan ketidakpekaan anak didik terhadap tanggung jawab sosial. Dengan kata lain, capek-capek pendidikan kewirausahaan di(bel)ajarkan, tapi out putnya anak didik tetap individualistik dan kapitalistik.

Mari kita pertanyakan asumsi ideologis pendidikan kita, sembari merancang pendidikan kewirausahaan, untuk menjawab kegelisahaan pak Midun melihat dasi dan makhluk alien.


*)Kepala MA Nasy'atul Muta'allimin Gapura Timur Sumenep


Dipetik dari: http://enewsletterdisdik.wordpress.com/24/10/09

15 Oktober, 2009

Kiai, Santrinya Buku

Oleh : Ach. Syaiful A'la*


Banyak tulisan sebelumnya yang menyoroti dunia kiai dan buku. Dari tulisan-tulisan itu, mereka melakukan kritikan, masukan, himbauan, atau sebagai bentuk kepedulian para penulis yang ditujukan kepada kiai, khususnya kiai-kiai yang mempunyai pondok pesantren dengan jumlah santri yang cukup besar dan/atau yang menjadi panutan masyarakat, diantaranya adalah tulisan Fahrudin Nasrulloh “Kiai dan Kitab Kuning” (JP, 17-12-2006), Kuswaidi Syafi’i “Kiai Tanpa Buku” (JP, 24-12-2006), M. Faizi “Tak Ada Kitab, Buku pun Jadi” (JP, 7-1-2007), dan tulisan Muhamad Ali Hisyam “Kami Rindu Padamu, Kiai Penulis” (JP, 14-1-2007).

Upaya tersebut merupakan bentuk keprihatinan orang-orang yang sangat merendukan wacana keilmuan dilingkungan kiai pesantren, yang kalau kita lihat dalam sejarahnya tidak sedikit kiai-kiai pesantren yang telah banyak ambil bagian peran dalam khazanah wacana keilmuan dan pemikiran melalui buku atau kitab yang ditulis. Misalnya, kiai Imam Nawawi al-Bantani, kiai Cholil Bangkalan, kiai Hasyim Asy’ari, kiai Wahab Hasbullah, kiai Ahmad Siddiq, kiai As’ad Syamsul Arifin dan lain sebagainya.

Kita sepakat bahwa salah satu tugas kiai adalah sebagai waratsatul anbiya (pewaris para Nabi), salah satu tugas dan fungsinya adalah berdakwah. Dakwah yang dimaksud bisa berbentuk lisan (ceramah di panggung atau podium), ada pula kiai yang melakukan dakwah dengan tulisan. Kenapa menulis juga dikatakan berdakwah? Menulis butuh kesungguhan tersendiri, memilih kata yang tepat untuk sebuah kalimat, mengurai kalimat untuk menjadi pragraf. Maka dapat dimaknai, menulis merupakan bagian dari jihad. “Jihad bahasa”.

Untuk menjadi juru dakwah yang baik, kiai tentunya tidak hanya berangkat bermodal dengan kepercayaan diri saja, melainkan pendakwah yang baik ketika sebelumnya melakukan studi alias membaca beberapa buku literatur, semisal buku, kitab dan beberapa referensi lainnya. Hal ini menandakan bahwa, betapa penting dunia pembaca (buku) untuk para kiai yang ada di pondok pesantren yang mempunyai status sebagai imam atau pialang budaya (cultural broker) dalam bahasanya Clifford Geertz dalam lingkup yang paling besar, yakni di masyarakat.

Saking pentingnya membaca dan perbukuan, sampai Allah menurunkan wahyu pertama kali kepada Nabi Muhammad adalah dengan perintah iqra’ (bacalah), kemudian Tuhan bersumpah demi qalam (pena) begitu pentingnya dunia perbukuan, beberapa sahabat waktu itu merespon mengumpulkan (wahyu) menjadi sebuah buku (Al-Quran). Dari dua aktivitas ini (membaca dan menulis), maka dunia akhirnya menjadi dinamis (mutahawwil) tidak statis (tsabit).

Khaled Abou Al Fadl (2001) menulis dalam bukunya “Musyawarah Buku; Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab”, melakukan kritikan kepada umat Islam yang banyak lupa (atau sengaja memang membuat lupa), betapa pesan Islam dimulai dengan sebuah buku (Al-Qur’an); sebuah buku yang mengandung visi moral dan kebaikan yang luar biasa. Dari cahaya Teks suci itu pula peradaban Islam pergulir, para kiai atau ulama dahulu berjuangan menegakkan kebenaran melalui jalan yang berliku dan penuh duri, dan tidak terpuruk dalam nalar dogmatis, sikap apologetis, atau solipsisme yang egois seperti sekarang.

Mulailah Menjadi Kiai
Selama ini, bahwa kiai selalu identik dengan orang yang mempunyai pesantren dengan jumlah santri yang cukup banyak, ngajar kitab kuning, berdakwah dengan melakukan ceramah (pidatu) kesana-sini, dan lain sebagainya. Begitu pula santri, selalu identik dengan pelajar yang mendalami ilmu agama Islam di pondok pesantren. Sepertinya memang dari sononya! Keduanya, antara santri dan kiai saling berdekatan dan menjali komunikasi setiap hari dalam komunitas pondok pesantren.

Kini zaman berbicara lain, kemajuan teknologi merubah semuanya dalam segala sektor membuat seseorang bisa melakukan apa saja dengan jarak jauh, misalnya, sekolah jarak jauh, kursus jarak jauh, diklat jarak jauh, dan sejenisnya. Artinya, antara pelajar dan pengajar, begitu pula kiai dengan santri tidak lagi harus berdekatan, tapi bisa dilakukan dengan cara yang sedemikian tersebut.

Maksud dari tulisan ini, penulis ingin mengajak kepada pembaca, bahwa untuk menjadi kiai itu tidak harus mempunyai pesantren (building), punya jumlah santri banyak, melakukan dakwah (ceramah) kesana-sini. Menjadi kiai itu bisa dengan cara menulis atau dengan cara membuat buku. Jadi, santrinya adalah orang-orang yang membaca tulisan Anda dan buku yang ditulisnya. Begitu pula menjadi santri cukup hanya dengan membaca buku-buku yang ditulis oleh kiai-kiai pondok pesantren.

Mungkin bagi Anda yang sering membaca koran pasti sudah akrab dengan nama-nama seperti, Zawawi Imron, Zuhairi Misrawi, Hasibullah Satrawi, Nur Syam, Abd A’la, Tasyriq Hifzillah, Muhammadun AS, Lukman Santoso Az, Zen Rahkmat Sugito, Gugun El-Guyani, M. Yunus. BS., Syaiful Bari, Mukhlis Amrin, Rusdi Anwar, meskipun Anda sendiri tidak pernah bertemu secara langsung dengan mereka. Belum lagi para penulis muda yang serius membuat buku utuh, seperti Muhidin M. Dahlan, Mohammad Al-Fayyadh, Reny Nuryanti, Chabib Mustafa, Azizah Hefni, Herlinatien. Mereka itu, saat menulis (jadi kiai) masih berstatus sebagai pelajar/mahasiswa.

Jadi, siapa saja sekarang bisa menjadi santri asal mau membaca. Dan sebaliknya, tidak menutup kemungkinan bahwa siapa saja juga bisa menjadi kiai, asalkan mau menulis dan berkarya membuat buku. Kenapa harus menulis? Bukannya Al-Qur’an juga mengajak kepada manusia setelah membaca lalu menulislah? Bahkan sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib telah berpesan: bahwa ilmu itu ibarat seekor binatang buas yang kalau tidak diikat akan lari jauh, cara mengikatnya adalah dengan tulisan.

Seorang penulis terkenal, Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya menulis “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah…! Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Al-Ghazali juga menambahkan “Kalau Anda bukan keturunan ulama, bukan pulan keturunan raja, maka jadilah penulis”.

Sekarang, marilah kita menjadi kiai-kiai pemula dengan jalan menulis di media atau yang konsen membuat buku, karena tulisan Anda akan dibaca oleh ribuan bahkan jutaan pembaca, dan itu (pembaca) adalah orang yang menjadi santri Anda di dunia.


*) Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS) Hp. 081703039343

03 Oktober, 2009

‘Ngemis’ dan Kemiskinan Mental

Oleh : Ach. Syaiful A'la*


Setiap keputusan (fatwa) yang diambil oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga kini selalu menyulut kontroversial disana-sini. Yang tidak lama ini kembali terjadi, seperti yang dilakukan oleh MUI Kabupaten Sumenep tentang haramnya mengemis. Akibat fatwa tersebut, tidak sedikit pula orang yang maragukan kembali hingga ada yang menanyakan, apakah keputusan MUI sudah bijaksana. Apakah keputusan MUI berdasarkan rasional atau hanya emosional.

Hemat saya, bahwa keputusan yang dilakukan oleh MUI selama masih tetap pada pedoman yang tertuang dalam surat penetapan fatwa nomor : U-596/MUI/X/1997 tidak menjadi masalah. Artinya, apa yang dilakukan oleh MUI tentang haram bagi pengemis saat ini, tidak berdasar pada emosial. Melainkan sesuai dengan syarat dan ketentuan berlaku (baca: pedoman penetapan fatwa MUI).

Dari itu, saya dapat menyimpulkan bahwa persoalan mendasar dari terjadinya perilaku masyarakat yang “ngemis” disebabkan oleh kemiskinan. Kemiskinanlah yang mengakibatkan semuanya bisa terjadi. Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab dalam masalah ini? Jawabannya, yang pasti adalah pemerintah. Karena hal-hal semacam itu, sudah termaktub dalam UUD 1945 pasal 31 (pendidikan), pasal 33 (perekonomian), dan pasal 34 (kesejahteraan sosial).

Sebagai pemerintah yang mempunyai tanggung jawab terhadap pokok permasalahan tersebut diatas, minimal ada tiga action yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus pemberikan pelatihan dan bimbingan kepada mereka (pengemis), sehingga ia bisa memilih pekerjaan lain dan lebih mandiri. Kedua, memberikan bantuan modal untuk berusaha. Ketiga, membuka lebar lapangan kerja.


Kemiskinan Mental
Secara umum, kemiskinan dibagi menjadi tiga macam. Pertama, kemiskinan karena malas. Orang yang malas untuk bekerja memeras keringat memang layak disebut miskin. Dan inilah hemat saya yang disebut dengan kemiskinan mental. Kedua, kemiskinan karena nasib. Contohnya orang yang berbisnis, kemudian jatuh bangkrut. Ketiga, kemiskinan sistematis. Yang terakhir inilah yang saat ini terjadi di Indonesia. Sementara contoh pertama dan kedua, mungkin dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat episodic dan sporadic.

Padahal kalau dikaji lebih dalam, point pertamalah – kemiskinan mental – yang menyebabkan orang menjadi “pengemis”. Karena kalau ditilik lebih dekat, mereka bukan orang yang tak berpendidikan, bukan orang yang tak bermodal (miskin), bukan pula orang yang tidak mempunyai lapangan pekerjaan. Semuanya telah dipunyai dalam diri individu mereka masing-masing pengemis (baca: kehidupan pengemis).

Apa yang disebut dengan kemiskinan mental? Kemiskinan mental adalah sebuah kondisi mental kejiwaan atau orientasi hidup seseorang yang dipenuhi oleh kebiasaan-kebiasaan negatif, yang sifat dapat menghambat kemjauan. Seperti psimistik, malas, buruk sangka, sukan menyalahkan pihak lain, iri melihat keberhasilan orang lain. Miskin mental juga bisa ditunjukkan dengan prilaku yang tidak disiplin, tidak percaya diri, tidak bertanggung jawab, tidak jujur, tidak mau belajar, tidak mau memperbaiki diri, dan tidak punyak visi kedepan.

Perang untuk memberantas “pengemis” memang tidaklah semudah seperti orang yang makan cabe, begitu ditelan, saat itu pula terasa pedasnya. Tetapi membutuhkan waktu yang tepat (timing). Membutuhkan pembinaan. Memerlukan seperangkat dan stack holder dan harus melibatkan banyak orang (masyarakat secara umum) dalam menyelesaikan masalah ini. Kenapa? Tentunya kita mafhum, bahwa tipe pengemis saat ini ada dua. Ada pengemis profesional dan ada pengemis konvensional.

Pengemis profesional dimaksud, pada saat sedang meminta-minta, biasanya menggunakan proposal. Supaya kelihatan legal. Alasannya untuk keperluan pembangunan masjid, pembangunan madrasah, pembangunan musallah, pembangunan panti asuhan anak yatim piatu dan yang lainnya. Sedangkan pengemis konvensional, seperti yang sering kita jumpai di jalan-jalan, kendaraan umum, angkot, dan bus kota. Meraka meminta-minta langsung dengan cara menjulurkan tangannya.

Dari itulah, langkah MUI Sumenep yang mengharamkan “mengemis” adalah langkah tepat dan merupakan senjata awal disamping untuk mendukung pemerintah dalam ketertiban, meminimalisir jumlah pengemis di jalanan dan di rumah-rumah serta sebagai wujud untuk menghindarkan diri seseorang dari beberapa sifat keji diatas. Kemiskinan mental.

Melalui tulisan ini, hemat penulis (harapan kita semua tentunya), mulai saat ini, detik ini, satu demi satu melangkah untuk memiliki sifat “kekayaan mental”. Maka, kita akan lebih survive dalam menghadapi hidup, makin kompetetif, besar peluang untuk meraih cita-cita, dan memandang masa depan dengan penuh rasa optimistik.


*Direktur Komunitas Baca Surabaya (KombaS).

30 September, 2009

Dicari; Puasa Mabrur

Oleh : Ach Syaiful A'la*

Secara umum, dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi. Ketiga potensi tersebut mempunyai kecendrungan yang berbeda-beda dan berusaha saling mempengaruhi di dalam jiwa manusia.

Pertama, potensi amarah (qawwat al-ghadhabiyah). Potensi ini cenderung untuk mengikuti sifat-sifat amarah dan emosional yang berlebihan. Jika potensi ini yang mengendalikan diri manusia, bisa dipastikan seseorang akan menjadi labil, pemarah, dan tidak bisa berkompromi.

Kedua, potensi kekuatan syahwat (quwwat al-syahwaniyah). Kekuatan ini cendrung memperturutkan hawa nafsu yang mengarah ke pemenuhan kebutuhan biologis secara berlebih-lebihan. Jika potensi yang dominan dan berkauasa, manusia akan terjerumus dalam kenikmatan (duniawi) sesaat.

Ketiga, potensi berpikir (quwwat al-natiqah). Jika potensi yang mengendalikan manusia, sebenarnya positif saja selama ini tidak berlebih-lebihan dalam mengembangkan potensi tersebut, baik dalam rangka memahami doktrin agama, maupun implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Substansi ibadah puasa ramadlan dalam konteks ini adalah mengembalikan ketiga potensi tersebut agar bisa terarah dengan benar. Jadi, dalam hal ini, tuntunan puasa ramadlan adalah membina, membimbing serta mengarahkan ketiga potensi agar bisa tersalurkan dengan baik dan benar.

Puasa Mabrur

Kata “mabrur” disini mungkin sangat asing di telinga pembaca ketika dikaitkan dengan ibadah puasa. Karena kata (mabrur) tersebut lazimnya melekat dan merupakan sebuah predikat bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah haji ke Mekkah.

Tentunya kita telah mafhum, bahwa tipe orang yang melaksanakan ibadah haji itu ada tiga. Jika seseorang yang menunaikan ibadah haji, kemudian kembali ketanah air, kelakuannya (sikap) lebih jelek dari sebelumnya, maka dimata Allah orang tersebut mendapat tiket, namanya haji mardud (ditolak). Apabila seseorang yang melaksanakan ibadah haji, setelah kepergiannya amal perbuatannya sama saja seperti sebelumnya (tidak ada perubahan), maka dinamai dengan haji makbul (keterima). Bila mana seseorang yang menunaikan ibadah haji kelakuannya lebih baik dari sebelum naik haji, maka ia menyandang predikat haji yang mabrur. Dan predikat mabrur inilah tentunya menjadi cita-cita setiap insan yang menunaikan ibadah haji.

Predikat mabrur disini ternyata tidak sesederhana seperti yang kita ucapkan setiap saat ini. Dalam sebuah hadits Nabi disebutkan, mabrur disini apabila memenuhi kriteria berikut. Pertama, orang yang baik perkataannya (thibul kalam). Misalnya orang tersebut bermoral, mempunyai kekayaan mental (optimistik), amanah dalam menjalankan tugas, sopan dalam bergaul dengan sesama, tawadau’ (tidak merasa dirinya lebih tinggi ketimbang yang lain). Kedua, mampu menyebarkan kedaimaian (ifsyaul as-salam). Ketiga, memberikan makan (ith'amul at-tha'am), seperti membantu orang yang kelaparan, menyantuni anak yatim piatu dan lain sebagainya.

Puasa sebagai Training

Bulan ramadlan atau disebut juga dengan bulan puasa sebagai bulan yang penuh berkah (syahrul mubarok). Berkah artinya terkumpulnya kebaikan Ilahiah pada suatu waktu, tempat, sesuatu atau seseorang. Dari satu sudut dapat disebut bahwa bulan ramadlan adalah bulan yang sangat produktip. Produktifitas ramadlan itu ditandai dengan peningkatan pahala sebagaimana dikatakaan oleh Nabi, bahwa amal sunnat diganjar senilai amal wajib, dan amal wajib diganjar dengan 10 sampai dengan 700 kali lipat, bergantung kualitasnya.

Puasa yang dilakukan seseorang secara benar, secara psikologis akan menekan keserakahan kepada harta dan menekan dorongan hawa nafsu (nafsul ammarah) yang pada gilirannya dapat meningkatkan tingkat kesucian jiwanya (nafsul muthmainnah).
Hadits tersebut diatas tidak cukup hanya dimaknai secara literal saja, melainkan harus didefinisikan kepada konteks sosial saat ini. Kerana puasa adalah sebuah latihan (training) kepada kita untuk menghindari hal-hal yang sifatnya buruk, bukan semata-semata ibadah ritual yang sifatnya transindental, yang sepertinya tidak mempunyai nilai-nilai kemanusiaan sama sekali. Puasa secara substantif mempunyai makna sosial dan menjadi keharusan untuk diterjemahkan dalam kehidupan bermasyarakat (a’malul yaumiyah).

Misalnya dalam sebuah hadits Nabi juga disebutkan, bahwa 10 hari pertama di dalam bulan ramadlam adalah rahmah (pemberian segala macam kenikmatan dari Allah). Rahmat disini dapat artikan bahwa kita juga harus bisa memberikan mamfaat kepada orang lain. Sepuluh hari kedua adalah maghfirah (ampunan). Orang yang melaksanakan ibadah puasa hendaklah bisa memberikan maaf kepada orang lain, karena memaafkan orang lain jauh lebih sulit ketimbang memberi ampunan. Sepuluh hari ketiga adalah dibebaskan dirinya dari siksaan api neraka. Bebas dari api neraka disini berarti keluar dari kesengsaraan. Sebagai muslim yang melaksanakan ibadah puasa, hendaknya turut serta membantu, menolong guna meringankan penderitaan saudaranya, misalnya supaya mereka cepat keluar dari himpitan persoalan ekonomi (kemiskinan) yang hingga kini tak kunjung usai.

Inilah yang dimaksud dengan “mabrur” dalam tulisan ini. Seseorang yang melaksanakan ibadah puasa akan mendapat predikat “mabrur” dan benar-benar keluar sebagai pemenang (fitrah) kalau mampu mengaplikasikan ketiga hal tersebut diatas. Karena apa yang diperbuat selama bulan puasa, seperti memperbanyak sedekah, mengeluarkan zakat fitrah, memberi bantuan makan seperti buka dan sahur kepada orang lian dan membantu sahabat sekitar yang memang membutuhkan, kemudian ia mampu menerjemahkannya pada 11 bulan diluar bulan ramadlan berikutnya. Wallahu – yang berpuasa – ‘a’lam.


*Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS)

07 September, 2009

Puasa Sosial

Oleh: Ach. Syaiful A'la*

Selama ini “ritual” puasa yang dilakukan umat Islam setiap bulan ramadhan, dalam keseharian cenderung hadir sebagai hal rutin dan tampak biasa-biasa saja. Karena sudah menjadi kebiasaan yang sudah sekian waktu mentradisi, puasa seakan diterima sebagai fenomena yang jamak dan sepertinya tak menimbulkan banyak persoalan.

Di hari pertama bulan ramadhan ini, saya coba membuka kembali klipingan koran yang pernah dibuat dua tahun yang lalu. Ketika saya membuka lembaran, akhirnya menjumpai klipingan tulisan Yonki Karman, judulnya “Robohnya Kesalehan Sosial” (kompas, 14 Juni 2007).

Ketika membaca tulisan itu, langsung muncul beberapa pertanyaan dalam pikiran saya. Adakah kaitannya puasa dengan sosial? Mulai dulu, seperti hanya sebuah ritual tahunan yang sifatnya transindental. Penghambaan kepada Allah. Sementara, orang yang melakukan ibadah puasa dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah : 183) dicap sebagai orang yang bertakwa. Lalu Apakah makna taqwa yang sebenarnya?

Tulisan Yonki Karman itu mencoba membuka cakrawala pikiran bagi kita, bahwa selama ini “takwa” selalu dan hanya diartikan sebatas hubungan manusia dengan Allah, Transindental. Tapi tidak pernah menyentuh makna takwa yang sebenarnya dalam kehidupan sosial.

Kita mungkin sadar, bahwa manusia hidup adalah sebagai makhluk hidup yang bermasyarakat. Tidak sendirian. Hidup dalam dua dimensi, hubungan kita dengan Tuhan (hablum minallah) dan hubungan dengan sesama (hablum minan nass).
Nabi Muhammad SAW., pernah bersabda : “Barangsiapa yang tidak bersyukur (mencintai) sesama, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah SWT”. Maksud dari hadits tersebut, Nabi hendak mengajak kepada kita, bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa seorang hamba selama ia masih belum membantu sesama (ekslusif). Artinya, kebersamaan itu penting guna terhindar dari gejala hipokrisi dan split personality yang sedang melanda lapisan masyarakat saat ini menuju civil society.

Bukan Hanya Ritual
Perdefinisian puasa tidak hanya berarti menahan diri bagi pemenuhan keinginan biologis semata, melainkan juga merupakan latihan terbaik dalam — meminjam istilah intelektual muslim Isma’il al-Faruqi — pengendalian diri (the art of self mastery), melatih kesabaran, berjujur pada diri sendiri, memupuk solidaritas kemanusiaan universal.

Ramadhan melatih seseorang untuk menjadi orang yang berdisiplin, tunduk pada hukum, empati, istiqamah, menerapkan pola hidup selektif, yang diharapkan terus berlanjut secara sinambung pada bulan-bulan berikutnya.

Dengan demikian, di samping sebagai ibadah, puasa pada saat yang sama, juga menekankan hubungan dengan manusia lain. Sehingga, tak pelak lagi, sepanjang bulan ramadhan kita dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah baik ibadah ritual wajib mahdhah) maupun ibadah sosial (ghairu mahdhah).

Ibadah sosial yang dimaksud, misalnya mengeluarkan zakat. Berinfak. Menyantuni fakir-miskin. Langkah itu seharusnya dilakukan pada sepanjang bulan puasa untuk membantu saudara-saudara kita yang sedang ekonominya terpuruk. Seperti pengungsi, orang-orang yang kehilangan pekerjaan akibat PHK, korban kekerasan, mereka yang terkena musibah banjir, dan yang lainnya.

Jika dicermati lebih dalam, pada sebagian ibadah ritual di bulan puasa juga terkandung dimensi sosial, seperti salat tarawih yang pelaksanaannya lebih utama jika dilakukan secara berjamaah dengan lingkungan masyarakat sekitar.

Dengan demikian, di samping sebagai aktivitas fisik, puasa juga secara sekaligus sebagai aktivitas psikis dan sosial. Secara fisik, puasa berarti menahan diri dari makan, minum, dan melakukan kontak seksual semenjak terbit fajar hingga terbenam matahari. Secara psikis, ini berarti penahanan diri dari upaya memanjakan gelora hawa nafsu yang dapat berimplikasi buruk pada dirinya.

Hasan Hanafi dalam kitabnya al-din wa al-tsawrah (1990: 63, VII), menuliskan, bahwa puasa adalah melatih kepekaan atas nasib sesama yang menderita kelaparan dan kehausan. Dalam konteks itulah kita bisa memahami adanya perintah untuk mengeluarkan zakat fitrah di penghujung bulan ramadhan.

Terang sekali, secara fungsional dan simbolis perintah zakat fitrah merupakan refleksi bagi adanya sasaran sosial yang hendak diraih dalam berpuasa, yaitu sebuah komitmen moral dan keprihatinan sosial untuk menimbun jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.

Di bulan ramadhan ini kita dituntut untuk mampu menunjukkan nilai kemanusiaan kita masing-masing, in optima forma, dalam bentuk yang setinggi-tingginya. Seperti disebutkan dalam Al-Quran (QS, 3:134) tentang kaum beriman.

Lebih dari itu, puasa juga merupakan aktivitas sekaligus problem keseharian yang fundamental bagi umat Islam dan dalam perkembangannya kerapkali menimbulkan aneka permasalahan kontemporer yang membutuhkan jawaban solutif. Seperti pembagian zakar fitrah yang menimbulkan banyak korban jiwa. Dalam kaitan ini, di samping keberadaannya sebagai jembatan komunikasi antara makhluk dan Sang Khaliq (hablun min Allah), ibadah puasa tak kalah pentingnya didudukkan sebagai wahana interaksi sosial kemasyarakatan (hablun min an-naas) yang senantiasa dinamis selaras masa.


*Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS)

14 Agustus, 2009

NKRI dalam Semangko’ “Soto”

Oleh : Ach. Syaiful A'la*

Soto. Siapa orang yang tidak kenal nama soto. Kalau tanya kepada siapa saja, mulai dari kanak-kanak, remaja hingga yang tua, jawabannya hampir serentak menjawab “tahu”. Bahkan, tidak hanya tahu, semuanya telah meresakan enaknya hidangan yang namanya soto.

Tetapi kalau pertanyaan diteruskan. Dari apa soto di racik. Jawabannya juga hampir dipastikan sedikit – untuk tidak mengatakan banyak – yang tahu untuk menjawabnya. Karena ia, mereka-mereka hanya bisa melihat jadinya, ketimbang harus mengetahui proses menjadinya.

Soto. Kalau dirinci, bahannya terdiri dari kunyit, jahe, garam, penyedap rasa, bawang daun, bawang merah, bawang putih, kencur, cabe, minyak goreng, sohun, air, kecap, dan bahan-bahan yang lain. Sesuai kebutuhan.

Apa sebenarnya yang menarik dari soto. Kalau kita perhatikan, dari sekian banyak bahan yang digunakan untuk membuat soto, salah satu dari sekian banyak itu, tidak ada yang merasa sombong, tidak ada yang angkuh, tidak merasa bahwa dirinya mempunyai peran lebih dari bahan-bahan yang lain.

Tidak ada dalam soto itu yang mengaku bahwa dirinya adalah “kunyit soto”, “jahe soto”, “garam soto”, “bawang daun soto”, “bawang merah soto”, “bawang putih soto”, “kencur soto”, “cabe soto”, “minyak goreng soto”, “sohun soto”, “air soto”, “kecap soto”. Semuanya menyatu dalam sebuah masakan yang banyak disukai orang, yakni “soto”.
Hanya saja, mungkin kita sering menemukan ada penyebutan berbeda tentang nama soto. Kalau soto itu terbuat dari daging, maka biasanya diberi nama “soto daging”. Kalau soto itu terbuat dari bahan daging ayam, maka disebut “soto ayam”. Dan masih banyak lagi nama-nama soto yang tak jarang kita jumpai.

Mungkin antum yang sering belusukan ke warung-warung, pernah melihat atau membaca tulisan “Soto Madura”, “Soto Lamongan” atau nama yang lain. Itu hanya merupakan ciri khas rasa yang ada pada dimasing-masing daerah. Tetapi bahan dan namanya tetap tidak berubah. Tetap “soto”.

Soto dan NKRI
Apa hubungannya “semangko’ soto” dengan Indonesia? Sejenak, memang tidak ada. Tapi ini adalah ciptaan, produk dan karya masakan anak negeri. Dan bangsa lain tidak boleh ada yang mengklaimnya. Dan kita sebagai warga Negara yang baik, harus taat menjaga dan mempertahankannya. Jangan sampai ada kejadian berulang seperti “Reyok Ponorogo” dan “Martabak” yang diklaim negera tetangga. Malaysia.

Nah, kembali kepada soto. Nama soto diambil oleh penulis hanya sebatas simbol (gambaran) untuk mengistilahkan saja, bahwa kita bangsa Indonesia, adalah diibaratkan dalam “semangko’ soto”. Negara ini dibangun atas dasar kebersamaan. Negera ini bukan pemberian dari Belanda dan Jepang. Negeri ini bukan pula datang dari langit dan bukan anugerah/pemberian secara cuma-cuma dari Tuhan. Melainkan hasil perjuangan para pahlawan kita, dengan keringat bercucuran yang membesi, mencari seteguk makan dalam kehausan, guna merebut jati diri bangsa dari cengkraman penjajah.

Dengan usaha yang maksimal, akhirnya berhasil menyelamatkan dan merebut kembali tanah belahan surga ini dari tangan-tangan penjajah. Keberhasilan dimaksud tidak dilakukan sendirian, melainkan melibatkan banyak orang, etnis, suku, agama, dan antar golongan. Mereka menyatu. Ibarat sapu. Mereka tidak melihat dari etnis apa. Suku mana. Apa agamanya. Dari kelompok mana. Semua diikat dengan visi yang sama, dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Yang demikian itu, juga pernah ditampilkan oleh Nabi Muhammad SAW, ketika akan membangun negara Madinah, dalam konsep ummatan wahidah (umat yang satu). Ketika Nabi merintis negara Madinah, disana, tidak ada lagi perbedaan suku, agama, perbedaan warna kulit, kaya dan miskin, kuat dan lemah. Artinya, bahwa sejak awalnya perkembangannya, Islam telah mengajarkan hidup kebersamaan dalam keberagamaan, seperti pluralisme, multikulturalisme dan inklusivisme.

Khittah NKRI
Tahun 2009 ini, ada dua moment besar di Indonesia, pemilihan umum anggota legeslatif dewan perwakilan rakyat dari tingkat kabupaten hingga DPR RI dan anggota dewan perwakilan daerah (DPD). Disusul kemudian dengan pemilihan presiden. Kita sebagai warga negara patut bersyukur. Kedua pesta demokrasi itu, berjalan mulus dan lancar sesuai rencana. Bahkan beberapa negara tetangga menilai, demokrasi di Indonesia telah membaik. Walaupun ada kekurangan disana-sini, seperti kacaunya daftar pemilih tetap (DPT), pengelembungan suara, menimbulkan pada sengketa, sehingga berujung gugatan ke mahkamah konstitusi (MK).

Sebuah demokrasi yang telah berjalan baik, ternyata masih timbul juga sentiment sebagian kelompok dan golongan tertentu untuk mencederai demokrasi di Indonesia. Misalnya dengan peledakan bom bunuh diri beberapa waktu di hotel J.W. Marriott dan Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta. Hal itu menunjukkan bahwa negara Indonesia masih belum aman, termasuk tanggapan balik dari luar negeri.

Kenapa hal itu masih terjadi. Memang ada yang tidak setuju kalau demokrasi di Indonesia berjalan baik. Penyebabnya macam-macam. Pemahaman terhadap agama yang terlalu ekstrim. Ada perasaan sentimin sepihak. Ingin merubah falsafah negara. Dipengaruhi kelompok dan golongan tertentu. Kepentingan status quo.

Momentum 17 Agustus saat ini, harus benar-benar disadari dan dijadikan sebagai sarana introsfeksi bersama untuk kembali kepada sebuah ganre, bahwa NKRI sudah final dan tidak bisa lagi digantikan dengan sesuatu yang lain. Artinya, apapun agama yang dianutnya, berasal etnis apa, dari suku mana, dan golongan atau kelompok mana saja, tetap menjadi satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibawah bendera merah putih, berasakan pancasila, berdasarkan pada UUD 1945.

Hal ini menunjukkan kepada dunia, bahwa sejak dulu, yang telah diwariskan nenek moyang bangsa Indonesia, bahwa konsep pluralisme dan multikulturalisme terjalin lama dalam sejarah perjalan bangsa Indonesia.

*) Direktur Komunitas Baca Surabaya (KombaS)

06 Agustus, 2009

Keistimewaan Shalat Hajat & Dhuha

Oleh : Ach. Syaiful A'la

Dalam arti yang cukup sederhana, definisi shalat bisa diartikan sebagai berikut: Shalat adalah ibadah yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Tak terkecuali apakah shalat wajib (duhur, asar, maghrib, isya’ dan subuh) atau shalat sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah seperti shalat sunnah istikharah, tahajjud, hajat, dhuha dan lain-lain.

Ketika seseorang akan melaksanakan shalat, maka diwajibkan terlebih dahulu untuk mengambil wudlu’. Dalam sebuah kitab disebutkan bahwa wudlu’ adalah nur – al wudlhuu nur – (cahaya). Orang yang selesai mengambil wudlu’ akan memiliki aura, wajah yang berseri-seri di hadapan Allah baik di dunia atau di akhirat begitu juga akan tampak di mata manusia.

Kenapa seseorang yang akan melaksanakan shalat diwajibkan untuk mengambil wudlu’ terlebih duhulu? Karena shalat merupakan terminal raga dan kebutuhan jiwa manusia untuk menuju Sang Khaliq. Shalat adalah merupakan cahaya yang berkilauan dalam hati orang yang beriman, yang memancarkan sinar pada wajahnya dan tercermin dalam tingkah dalam kehidupan sehari-hari. Shalat sebagai alat komunikasi langsung antara seorang hamba dengan Allah. Maka sangat tepat sekali jika seseorang akan minta sesuatu apa saja, lebih tepatnya dengan melakukan shalat. Shalat wajib atau sunnah.

Orang yang melakukan shalat sunnat, baik itu shalat hajat, shalat dhuha atau shalat tahajjud akan memetik buah dari beberapa keistimewaan yang ada. Misalnya orang yang melaksanakan shalat tahajud hasilnya bisa dibuktikan dengan janji dalam Al-Qur’an bahwa “Barangsiapa yang melaksanakan shalat sunnah (tahajjud) pada waktu sepertiga malam, maka Allah berjanji akan menempatkan orang – yang melakukan shalat tahajjud – itu pada tempat yang sangat mulai, maqamam mahmudah.

Dalam logika kita, kalau dalam pandangan Tuhan sudah ada pada tempat yang mulia (maqamam mahmudah), secara otomatis di mata manusia derajatnya akan lebih mulia. Bisa kita tilik beberapa prestasi yang telah dicapai oleh orang-orang yang mencoba untuk membuktikan janji Allah yang dalam Al-Qur’an. Yakni Prof Muhammad Saleh dengan bukunya Terapi Tahajjud atau bukunya penulis buku ini yang Berjudul Mukjizat Tahajjud dan Subuh dan masih banyak contoh-contoh lain yang sukses melalui terapi lewat shalat.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan, dan kebutuhan-kebutuhan itu tidak (pernah) ada habisnya. Bahkan setiap hari kebutuhan seseorang semakin bertambah dan tidak bisa dihentikan, kecuali oleh kematian. Oleh sebab itulah ketika kita membutuhkan sesutau, shalat di sini akan memainkan perannya. Maka laksanakanlah shalat-shalat sunnah (tanpa harus mengesampingkan kecintaannya pada shalat fardu yang lima waktu) sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Misalnya ketika seseorang bingung dalam memilih sesuatu untuk dilaksanakan –ada dua pilihan sama-sama menjadi pilihan– seperti mau lamar pekerjaan, memilih jodoh, atau yang lain-lainnya, maka dianjurkan untuk shalat istikhara; memohon kepada Allah untuk ditunjukkan mana yang terbaik. Kemudian merasa Anda banyak berbuat dosa, banyak melakukan hal yang dilarang oleh agama –selama kesalahan yang diperbuat tidak ada kaitannya dengan sesama manusia– maka shalatlah taubat; minta ampunan kepada Allah atas segala dosa yang diperbuatnya. Ada juga ketika mereka terkena musibah yang berupa kesulitan dalam memperoleh makanan disebabkan oleh kekeringan disebabkan oleh lamanya tidak ada hujan, maka laksanakanlah shalat istisqa’; minta kepada Allah cucuran air hujan dari langit untuk membasahi bumi.

Mukjizat Dhuha

Kalau kita amati disekitar kita, setiap pagi setiap orang di dunia disibukkan dengan usaha, aktivitas dan urusannya masing-masing. Entah itu bekerja di kantor yang jadi pegawai, ngajar disekolah yang berprofesi jadi guru, mencari penungpang yang jadi sopir atau becak, mencari berita bagi yang jadi wartawan, menaiki perahu bagi yang nelayan dan pergi kesawah sambil membawa cangkul bagi yang pekerjaannya hidupnya sebagai petani, ada yang ke pasar, ke took dan lain sebagainya. Semua itu adalah pekerjaan yang baik karena mau bekerja dan berkarya. Karena kalau kita baca sejarah, semua para Nabi bekerja keras. Tidak ada Nabi yang kerjanya hanya menunggu keajaiban rezeki yang datang dari langit. Tetapi ditengah kesibukannya – sebelum memulai usahanya – para utusan Allah itu melakukan permohonan kepada Allah untuk dilancarkan usahanya. Seperti melakukan shalat dhuha atau yang lainnya.

Waktu dhuha adalah waktu yang penuh dengan fadhilah, terutama untuk mengawali aktivitas, baik yang bersifat duniawi (bisnis) atau yang bersifat ukhrawi. Kenapa disebut waktu yang penuh fadilah? Karena saat itu manusia sibuk dengan usuhanya sendiri-sendiri dan terkadang lupa akan Tuhannya, sepertinya yang mereka lakukan adalah hasil jerih usuhanya sendiri. Mereka banyak yang lupa bahwa rezeki yang ia dapatkan adalah datang dan merupakan anugerah (memberian) dari Allah.

Sampai saat ini, shalat dhuha dikenal oleh banyak orang sebagai salah satu shalat untuk melancarkan rezeki dan bisa memperpanjang umur. Tidak sedikit orang yang sukses di dunia ini yang keluar dari (madrasah) shalat dhuha dan shalat sunnah lain seperti tahajjud. Karena Rasulullah menganjurkan bagi pengikutnya sebelum melakukan aktivitas seharus shalat dhuha terlebih dahulu. Shalat dhuha menjadi pintu awal untuk kesuksesan seseorang dalam aktivitasnya. Karena dhuha merupakan media untuk minta sesuatu kepada Sang Rahman dan Sang Rahim.

Buku ini penting dibaca karena akan banyak membantu para pembaca dalam melakukan revolusi mendasar pada setiap diri, keluarga dan masyarakat pada umumnya.
Selamat membaca!

DATA BUKU
Judul Buku : Mukjizat Shalat Hajat dan Dhuha
Penulis : Yusni Amru Ghazali
Penerbit : Grafindo, Jakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : 210 Halaman

26 Juli, 2009

Fatihah surat fundamen dalam Al-Qur’an

Oleh: Ach. Syaiful A'la

Khaled Abou Al Fadl (2001), mengemukakan dalam bukunya “Musyawarah Buku; Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab”, buku tersebut adalah salah-satu – lakon – kritikan kepada umat Islam yang banyak lupa (atau terkadang sengaja memang membuat lupa), betapa pesan Islam dimulai dengan sebuah buku (Al-Qur’an); sebuah buku yang mengandung visi moral dan kebaikan yang luar biasa. Dari cahaya “Teks” suci itu pula peradaban Islam pergulir, para kiai atau ulama dahulu berjuangan menegakkan kebenaran melalui jalan yang berliku dan penuh duri, dan tidak terpuruk dalam nalar dogmatis, sikap apologetis, atau solipsisme yang egois seperti sekarang.

Nasr Hamid Abu Zaid, juga menambahkan dalam bukunya “Tekstualitas Al-Qur’an”, bahwa Al-Qur’an adalah sebuah Teks (dengan “T” besar) yang dalam sejarahnya tidak pernah ada yang menandingi oleh teks-teks lain sebelum dan sesudahnya. Nasr menulis, bahwa Teks Al-Qur’an merupakan media bahasa (al-syifrah al-lughawiyah) untuk mengkomunikasikan ide atau gagasan Tuhan dengan manusia atau realitas pada waktu itu.
Karena Al-Qur’an adalah sebuah Teks, maka Al-Qur’an layak ditafsirkan dan akan berkomunikasi dengan lingkungannya. Sehingga pengkajian terhadap Teks-teks suci yang dilakukan oleh beberapa mufassir sebenarnya mereka tidaklah mau (apalagi perkeinginan) untuk merubah redaksi Al-Qur’an, apalagi sampai menolaknya, melainkan hanyalah untuk mengembangkan penafsiran untuk mengkontekstualisasikan pemahaman Al-Qur’an dengan menangkap sebuah ide atau gagasan Tuhan yang literal.

Tetapi tidak semua orang bisa menafsirkan Al-Qur’an (baca:syarat-syarat menjadi mufassir), sudah barang tentu penafsiran Al-Qur’an memerlukan sebuah metode serta analisis hermeneutik (fiqh al tafsir wa al-ta’wil). Melalui pengkajian fiqh al tafsir wa al-ta’wil, tak dapat dipungkiri lagi hingga kini banyak karya-karya tafsir yang dihasilkan oleh mufassir, bahkan ribuan tafsir telah tersebar dipenjuru dunia, termasuk diantaranya “Tafsir Al-Fatihah” yang kini berada di tangan pembaca dan beberapa tafsir kontemporer lainnya dalam kaca mata perempuan, seperti tafsir feminis. Kesemua itu, berangkat dari kegelisahan dan keinginan untuk menyingkap makna yang terkandung dari ide atau gagasan Tuhan yang tersimpan dalam sebuah Teks suci yang namanya Al-Qur’an.

Mukjizat Surat Al-Fatihah
Apa makna yang terkandung dalam surat Al-Fatihah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, baiknya kita menilik kepada sebuah kisah pada masa shababat Umar bin Khattab ra.

Suatu ketika, kaisar kerajaan Romawi, berkirim surat kepada Khalifah Umar bin Khattab ra. Isinya, menanyakan tentang nama surat dalam Al-Qur’an yang tidak mengandung tujuh huruf (Tsa, Jim, Kha, Za, Syiin, Zha dan Fa), baginya yang membaca surat itu akan masuk surga. Keterangan yang demikian itu, oleh kaisar dapatkan dalam kitab Injil.

Selesai membaca surat dari Kaisar, khalifah Umar bin Khattab ra. segera memberikan kabar kepada para sahabat tentang isi surat itu. Akhirnya, Ubay bin Ka’ab mengatakan bahwa surat yang tidak mengandung tujuh huruf dimaksud adalah “Al-Fatihah”.
Mendapat keterangan dari Ubay bin Ka’ab, khalifah Umar bin Khattab segera membalas surat Kaisar, bahwa surat itu, adalah Al-Fatihah dalam Al-Qur’an. Usai membaca surat balasan dari khalifa Umar, kaisar Romawi menyatakan diri memeluk Agama Islam dan ia meninggal dalam memeluk Islam.

Buku Tafsir Al-Asas; Kandungan dan Rahasia di Balik Firman-Nya, yang ditulis oleh KH. A. Busyro Karim, kiai muda NU asal Sumenep Madura ini, banyak mengulas tuntas tentang makna, fungsi, dan keistimewaan-keistimewaan yang dikandungnya. Penulis buku ini juga memaparkan tentang nama-nama lain dari surat Al-Fatihah.

Banyak orang yang kagum atau tertarik pada Al-Qur’an, karena Al-Qur’an mengandung kesusastraan yang sangat tinggi dibandingkan dengan sastra-sastra yang lain pada zamannya. Namun, jika seseorang itu kemudian ditanya, kenapa tertarik dan kagum pada Al-Qur’an? Mereka terkadang tidak dapat menjelaskan dengan kata-kata mengapa mereka kagum dan tertarik.

Pesona Al-Qur’an sebenarnya bukan karena faktor dogma teologis yang mengharuska orang beriman untuk mengangungkan dan mengimaninya, melainkan ada faktor inheren dalam teks Al-Quran itu sendiri. Teks Al-Qur’an memang mengandung sesuatu yang dapat memikat pembaca atau bagi para pendengarnya. Betapa banyak cerita di dalam Al-Qur’an atau yang tidak tersurat dalam Al-Qur’an yang menggambarkan kenyataan ini. Dari sinilah akhirnya, banyak studi yang dilakukan oleh beberapa peneliti dengan berbagai disiplin ilmu yang ingin mengetahui makna yang tersembunyi dibalik Teks.

Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi manusia (hudan li an-nass) seharusnya tidak hanya dijadikan bacaan ritual semata, tetapi juga harus dipahami, dihayati, dinikmati, serta diamalkan isinya. Akan tetapi untuk sampai kesana, memenuhi hal tersebut diatas tidaklah mudah, dibutuhkan perangkat keilmuan yang memadai.

Buku ini penting dibaca, difahami dan direnungkan isinya ditengah kita –manusia – sibuk dalam urusan dunia. Isi buku ini masih orisinil dan jauh dari kepentingan sepihak oleh penulisannya. Karena buku ini merupakan karya, disaat penulisnya masih jauh dari keramaian politik. Maka, kalau ingin mengetahui pemikiran KH. A. Busyro Karim yang “khas”, buku ini adalah jawabannya.


DATA BUKU
Judul Buku : Tafsir Al-Asas; Kandungan dan Rahasia di Balik Firman-Nya
Penulis : Drs. KH. A. Busyro Karim, M.Si
Penerbit : Muara Progresif, Surabaya
Cetakan : I, Juli 2009
Tebal : xi+202 Halaman

21 Mei, 2009

Gus Mus Membincang Nasib Bangsa

Oleh : Ach. Syaiful A'la

“Kompensasi”. Melihat judulnya saja buku ini menarik untuk dibaca. Apalagi ketika wacana tentang istilah “kompensasi” menjadi populer di tengah masyarakat kita – Indonesia ketika ada kebijakan pemerintah dengan menaikkan harga atau pencabutan subsidi bahan bakar minyak alias BBM.

Gus Mus – panggilan akrapnya KH. A. Mustofa Bisri – selain dikenal sebagai sosok ulama, juga dikenal sebagai seorang budayawan terkenal dan penulis yang produktif diantara banyak kiai-kiai pondok pesantren (NU). Banyak hasil karyanya yang berserakan di media cetak atau elektronik (online) kini telah menjadi sebuah buku. Bahkan tidak ketinggalan pula dalam percaturan perpolitikan nasional beliau juga merupakan salah satu (tokoh) pelaku sejarah (deklarator) dari berdirinya sebuah partai yang dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama yakni, partai kebangkitan bangsa yang kemudian disingkat menjadi PKB.

Buku ini hanyalah sekumpulan tulisan penulis (KH. A. Mustofa Bisri) yang pernah berserakan di berbagai media lokal maupun nasional tentunya merupakan keresahan penulis dan respon terhadap berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia atas situasi baik yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah tentang masalah politik, ekonomi dan sosial keagamaan atau sebuah kejadian intern di masyarakat sendiri akibat ketidaksepahaman meraka dalam berbagai macam karakter yang berbeda-beda diantara kelompok atau golongan. Sepertinya pembahasan isi buku ini antara pembahasan satu dengan pembahasan selanjutnya kurang memiliki (koherensi) hubungan.

Terlepas dari beberapa kekurangan diatas, buku ini tetap layak hadir diruang pembaca. Karena tulisan – ide-ide Gus Mus dalam buku ini masih segar dan murni tidak ada interpensi dari pihak manapun serta bersih dari sarat kepentingan sepihak dalam penulisannya. Bisa dikatakan, kalau ingin mengetahui dan menyelami pemikiran Gus Mus yang “khas” maka buku ini adalah jawabannya.

Isi kajian buku ini dibagi dalam lima tema besar pembahasan pokok. Pertama, mengenai fenomena aktual yang terjadi di masyarakat Indonesia dan internasional. Misalnya tulisan Gus Mus mengenai kompensasi yang dipilih menjadi judul buku ini. Kritikan Gus Mus kepada pemerintah – eksekutif maupun legeslatif – kenapa sampai terjadi pengambilan keputusan pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang katanya merupakan sarana alternatif untuk mengatasi masalah anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Tetapi kenyataannya berbicara lain, dari keputusan yang diambil tersebut malah menambah kelangkaan BBM, meningkatkan konsumsi BBM, tingginya harga minyak dunia, besarnya beban subsidi BBM dan lainnya (hal. 36-45).

Disini, Gus Mus juga memaparkan banyak tentang pelaksanaan pemilu di Indonesia, apa dan bagaimana Golkar dan PKB?, pesantren, jihad, terorisme, tidak ketinggalan pula pembahasan mengenai kekejaman bangsa Israel, semangat jihad, dipenghujung pembahasan ini seorang Gus Mus dengan tegas melontarkan kritikan-kritikannya yang “tajam” kepada pemerintahan Soeharto yang masih berkuasa pada waktu itu dalam judul tulisannya yang pernah dimuat dimedia terkenal yaitu “Pak Hartoku, Pak Hartomu, dan Pak Harto Kita” (hal. 140-144).

Kajian kedua, tentang dakwah dan amar makruf. Gus Mus dalam buku ini banyak menggambarkan bagaimana pola dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo zaman duhulu ketika menyebarluaskan ajaran Islam di Bumi Nusantara dengan tidak menyimpang dari ajaran agama (Al-Qur’an) – bil hikmah wa mauidzatul hasanah, tidak seperti yang dipertontonkan oleh beberapa kelompok Islam garis keras sekarang ini turun kejalanan sambil menteriakkan lafadz “Allahu Akbar” kemudian merusak fasilitas-fasilitas umum. Sehingga dari perbuatannya sendiri pada akhirnya berakibat pada penodaan terhadap agama (Islam) itu sendiri. Dibab ini juga menyinggung tentang proses lahirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan obrolan tentang fatwa-fatwa MUI yang sering menjadi controversial di mata publik.

Kajian ketiga, pembahasan mengenai prilaku kiai-kiai. Disini, cukup jelas sekali Gus Mus mendefiniskan tentang bagaimana proses gelar atau pangkat kiai dibentuk oleh masyarakat (seseorang bisa disebut sebagai kiai), pendefinisian antara kiai dan ulama (walaupun di masyarakat terkadang rancu pemaknaan antara kiai dan ulama), bagaimana ketika kiai terjun dalam politik praktis, hubungan antara pesantren dengan kiai, bahkan sampai kepada ketika kiai harus kembali lagi ke-pesantren-nya, ngurus pendidikan, memberdayakan masyarakat, ikut serta mencerdaskan masyarakat dan menjadi menyambung lidah umat. Sehingga – meminjam istilah Clifford Geertz – bahwa kiai adalah pialang budaya (cultural broker) benar-benar terwujud-nyata dan tidak perlu direvisi lagi. Tak kalah menariknya Gus Mus juga dalam bab ini menyuguhkan tulisan tentang Gus Dur, kiai dan politik.

Pembahasa yang keempat, bab ini berisi tentang kajian khusus bulan ramadhan (marhaban ya ramadhan). Misalnya Gus Mus menulis bahwa bulan ramadhan adalah bulan yang penuh hikmah, barokah, agung, serta bulan penuh ampunan (syahrul maghfiroh) untuk betul-betul dijadikan sebagai sarana memperbaiki diri dari segala perbuatan tercela yang pernah diperbuat sebelumnya, sehingga memasuki hari raya idul fitri, betul-betul keluar sebagai pemenang dan dalam kondisi suci (fitra). Dipembahasan terakhir bab ini juga menyajikan beberapa tulisan Gus Mus yang terkait dengan sesuatu di bulan ramadhan misalnya nudzulul quran, lailatul qadar dan lain sebagainya.

Pembahasan terakhir – kelima – dari tema besar buku ini adalah kajian tentang akhlak mulia. Dalam buku ini Gus Mus banyak menggambarkan tentang bagaimana akhlak yang baik dari seorang suri tauladan Rasulullah Muhammad Ibn Abdullah didalam melakukan dakwahnya, bergaul di masyarakat (muslim dan non muslim), keluarga, lingkungan, sahabat dan lain sebagainya. Dalam goresan penanya, Gus Mus menganjurkan (mengajak kepada kita semua tentunya) untuk berbuat adil walaupun itu sulit rasanya, tapi itu harus (tetap) dikerjakan oleh semua orang. Apalagi ketika seseorang dipercaya sebagai pemimpin Negara yang memegang otoritas kebijakan dalam segala hal yang menyangkut kepentingan orang banyak. Seperti presiden, gubernur, bupati, wali kota, camat, kades dan seterusnya.

Selamat menikmati sajian buku ini!


DATA BUKU
Judul Buku : Kompensasi
Penulis : A. Mustofa Bisri
Penerbit : Mataair Publishing, Surabaya
Cetakan : II, 2008
Tebal : x+312 Halaman

16 Mei, 2009

Ekonomi Syari’ah Alternatif Solusi Global

Oleh : Ach. Syaiful A'la

Sekarang ini, masalah kemiskinan – dan problematika ekonomi secara global – telah merusak akal dan jiwa manusia. Para perusak sengaja memanfaatkan dan menakut-nakuti serta mempengaruhi yang lain masalah ini agar supaya mengikuti pemikiran, ideologi dan sistem yang telah dibuat oleh mereka. Terkadang mereka masih ngotot bahwa kebijakan dan langkah-langkah yang ia berbuat masih mengklaim berpihak kepada masyarakat. Tetapi pada kenyataannya mereka justru berbuat yang sebaliknya, memeras dan mangambil hak-hak mereka ketika tidak berdaya dengan tipu daya yang ia henuskan. Seperti kasus saat ini mulai dibeberapa daerah yang sedang diperaktekkan oleh oknom yang memang sengaja ingin meraup keuntungan besar dengan mengorbankan orang lain.

Ketidaktahuan seseorang dan suatu bangsa dalam bernegara atau tidak mempunyai prinsip tentang sistem perekonomian (Islam) memang membuat mereka gampang terpengaruh oleh pihak lain serta seringkali terperdaya dan terpengaruh dengan propaganda yang dibuat oleh pihak luar. Artinya, hal semacam ini penting bagi kita semua untuk mengetahui suatu prinsip perekonomian Islam guna meminimalisir terjadi rayuan dan tipu daya yang dilakukan oleh orang luar, kalau kita tilik lebih mementingkan mementingan sepihak, alias kepentingan atas dirinya sendiri atau kelompoknya saja (status quo).

Islam dalam konsep perekonomian tidak menghendaki yang namanya sistem monopoli dan tidak dibenarkan oleh syara’. Seperti perekonomian yang terapkan oleh masyarakat Arab ketika itu. Dahulu, Arab telah terjadi hukum rimba, siapa yang kuat menjadi raja yang lemah menjadi mangsa. Akhirnya turunlah ayat Al-Qur’an sebagai kutukan terhadap sistem perekonomian yang tidak sehat, yakni ayat Allah menghalalkan baginya jual beli dan mengharamkan riba.

Akhir-akhir ini persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat adalah tentang permodalan dan pemasaran. Tetapi permodalan lebih utama ketimbang dengan pemasaran. Karena permodalan sebagai pintu utama untuk berusaha. Sehingga yang harus menjadi garapan utama untuk memajukan perekonomian masyarakat adalah dengan cara memberikan bantuan modal kepada masyarakat agar ia bisa mandiri dalam melakukan usaha oleh lembaga koperasi dan biasanya dikenal dengan istilah bank harian yang ada dengan prinsip pola syari’ah.

Kenapa harus dengan pola syari’ah? Suatu tinjauan kasus yang selama ini di Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep Madura. Kasusnya adalah terjadi dilingkungan masyarakat bahwa pinjaman modal yang diberikan oleh pemilik modal pajaknya mencapai sekitar 20 ada yang sampai 25% per bulan. Bahkan nasabah koperasi atau di kapupaten Sumenep lebih dikenal dengan sebutan bank harian jumlahnya sebanyak 3354 nasabah. Kasus yang terjadi misalnya orang meminjam modal sebasar Rp. 100.000, ia hanya menerima Rp. 94.000, karena Rp. 6.000 dipotong biaya administrasi. Sementara angsuran per minggu selama 1 bulan sebesar Rp. 5000, sehingga 1 bulan bunganya mencapai Rp. 150.000, dan bunganya mencapai Rp. 56.000, berarti bunganya mencapai lebih dari 50%.

Maka dari itu, perekonomian dan prinsip perbangkan syari’ah dipandang sebagai solusi mengantisipasi ketimpangan ekonomi di masyarakat dan bahkan internasional. Sistem ekonomi syari’ah telah mampu mewujudkan kesejahteraan dunia yang lebih adil. Perekonomian syari’ah memang menjadi solusi alternatif di tengah Negara ingin keluar dari krisis yang selama ini menyelimuti dunia. Sebab prinsip syari’ah melarang adanya transaksi-transaksi yang derivatif yang menjadi pangkal dari terbulensi global saat ini. Dalam prinsipnya, transaksi yang dilakukan berdasarkan syari’ah harus berdasarkan nilai dan aset yang tercatat secara jelas. Hal ini memang mulai diterapkan oleh beberapa di Negara, seperti Hongkong, Singapura, Ingris, dan Malaysia dengan penghapusan pajak ganda dan beralih ke transaksi perbangkan syari’ah.

Dari latar belakang itulah, NU Kecamatan Gapura merasa antipatif untuk ikut serta melakukan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan menerapkan sistem pola syari’ah. Walaupun langkah ini sebenarnya di NU pernah digarap oleh pendiri NU, yakni KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah. Awalnya bermula dari dari lokakarya yang akhirnya menemukan bahwa persoalan mendasar yang perlu pertaman kali diantaskan adalah penguatan modal yang selama ini kurang mendapatkan akses permodalan dan seringkali dikuasai oleh para pemodal atau praktek rentener yang cenderung mencekik usaha mereka.

Akhirnya apada tanggal 01 Juni 2004 pengurus MWC NU gapura menyepakati mendirikan sebuah usaha simpan pinjam pola syari’ah diberi nama BMT (Baitul Maal wa Tamwil). Yang perlu dibanggakan dari proses perjalannya, BMT NU Gapura telah mampu menyelamatkan kurang lebih 1716 pedang kecil (PKL) yang ada di pasar Gapura, Pintaro, Langit dan Batang-Batang dari praktik bank harian tadi (rentener/nyak-anyak).

tulisan ini, hanyalah gambaran singkat dari tulisan LKTI koperasi Jawa Timur

09 Mei, 2009

Waisak 2553; Berselancar di Ombak Perubahan

Oleh : Handaka Vijjananda *)

Waisak adalah peristiwa tahunan terpenting bagi penganut ajaran Buddha di muka bumi. Waisak memperingati kelahiran Bodhisattwa (Bakal-Buddha), pencerahan Bodhisattwa, dan kemangkatan Buddha. Tiga serangkai peristiwa itu jatuh pada tanggal yang sama, yaitu hari bulan purnama bulan kelima penanggalan wulan.

Peristiwa tersebut diperingati sekitar setengah miliar umat Buddha yang tersebar di lima benua. Waisak merupakan perayaan untuk bersukacita dan berbagi niat baik bagi semua. Waisak juga merupakan momen untuk merenungkan kembali perkembangan spiritual kita.

Di antara ketiga peristiwa Waisak tersebut, banyak sekali ulasan lisan maupun tulis yang mengupas dua peristiwa pertama, yakni kelahiran dan pencerahan Bodhisattwa. Janggalnya, pemaknaan peristiwa terakhir relatif paling jarang dibahas dalam berbagai wacana. Padahal, secara superlatif, kemangkatan Buddha (Parinibbana) merupakan kulminasi spiritual tertinggi yang dimungkinkan dicapai sesosok makhluk.

Keterbatasan ruang dalam artikel ini tidak memadai untuk menjabarluaskan pesan moral-spiritual dalam peristiwa puncak tersebut. Ulasan ringkas ini hanya membingkai momen-momen terakhir dalam penghujung hidup Buddha Gotama, dengan fokus pada pemaknaan pesan terakhir yang disampaikan Buddha.

Sebagai orang yang ''sadar setiap saat", Buddha pun mangkat dengan penuh kesadaran. Sekalipun secara jasmaniah Buddha mengalami kewajaran kerentaan, secara batiniah Buddha tetap bugar dan sadar penuh! Bahkan, kemangkatan-Nya pun ''terencana" dengan baik. Buddha meminta siswa-Nya untuk mengabarkan dan mengundang orang-orang yang sekiranya berminat mendengar khotbah klimaks-Nya.

Dua kalimat terakhir yang diucapkan Buddha merupakan saripati segenap ajaran-Nya, yakni Vaya Dhamma Sangkhara. Appamadena Sampadetha.

Arti kalimat pertama adalah apa pun yang tersusun pasti akan terurai. Dengan kata lain, semua selalu berubah (anicca), fana (viparinama), dan bagai aliran gelombang (nadisotoviya). Tiga aspek perubahan yang terkandung adalah apa pun yang lahir pasti akan mati, apa pun yang dihimpun pasti akan tercerai, ada pertemuan pasti ada perpisahan.

Ada suatu ''paradoks spiritual" yang termuat dalam fenomena kefanaan itu. Jika kita menggunakan anicca sebagai objek nafsu (tanha), ujungnya adalah ketidakpuasan (dukkha) karena nafsu kita pun selalu bergejolak, tak kunjung padam. Di sisi lain, jika kita menggunakan anicca sebagai objek meditasi kesadaran, ujung tertingginya pencerahan sempurna (bodhi). Dengan memahami keselaluberubahan, kita akan lebih memahami apa yang betul-betul bernilai dan relevan bagi hidup kita.

Dalam kalimat terdahulu, Buddha melukiskan keadaan semesta yang serbafana. Setelah kita diajak menyadari bahwa hidup ini selalu berubah, dengan piawai Buddha menutup pesan-Nya, menganjurkan kepada kita suatu cara menyikapi kefanaan hidup, Appamadena Sampadetha, dengan eling penuh, teruslah berjuang!

Dengan kata lain, Buddha mengatakan bahwa hidup adalah perjuangan. Dunia fana ini terus berubah; dengan berjuang keras pun kita belum tentu berhasil mengatasi penderitaan, apalagi jika kita tidak berjuang! Tanpa berjuang, pasti kita akan terseret ombak perubahan dan pasti akan menderita!

Nah, bagaimana cara kita berjuang mengatasi ombak perubahan atau pasang surut kehidupan ini? Appamadena, dengan eling penuh, anjur Buddha. Eling lan waspada adalah sumsum ajaran Buddha. Petapa Gotama sendiri menjadi Buddha dengan teknik temuan-Nya yang disebut pemusatan keelingan (satipatthana). Setelah menjadi eling sempurna, beliau dikenal sebagai Buddha, yang notabene arti kata ''Buddha" adalah ''Yang Eling"!

Dalam rentang waktu 45 tahun, setelah merealisasi kesadaran penuh pada usia 35 tahun, Buddha melangsungkan misionari energetik dengan hanya makan seadanya sekali sehari dan tidur sejam sehari untuk mengajarkan cara hidup eling sebagai jalan untuk mengakhiri derita. Dan, pada penghujung hidup-Nya, Buddha kembali menandaskan mahapentingnya keelingan sebagai way of life alias cara hidup dalam kalimat pemungkas di atas: "Dengan eling penuh, teruslah berjuang!"

Tidak berlebihan dikatakan bahwa kontribusi terbesar kemunculan para Buddha di alam semesta adalah ajaran tentang keelingan. Dengan eling, kita akan sadar untuk selalu menyelaraskan pikir dan laku dengan prinsip-prinsip hidup yang bebas dari trio ketamakan (lobha), kebencian (dosa), dan khayalan (moha).

Ada sebuah poster tentang meditasi yang sangat inspiratif. Di poster tersebut tampak seorang meditator yang tengah bermeditasi dengan tenangnya di atas papan selancar, menyusuri gulungan ombak besar. Teks yang tertulis di poster tersebut adalah ''You may not be able to stop the waves, but you can learn to surf".

Pesan poster tersebut, rasanya, sungguh mewakili pemaknaan pesan terakhir Buddha kepada kita semua: kita barangkali tidak mampu menghentikan ombak, namun kita bisa belajar berselancar, terus berjuang, mengendarai pasang-surutnya ombak kehidupan ini... dengan eling penuh!

Selamat Waisak 2553. Semoga kita semua makin baik, bahagia, dan berkesadaran. (*)

*) Handaka Vijjananda, pendiri Yayasan Ehipassiko, lembaga pendidikan, pelatihan, dan penerbitan Dharma Buddha

diambil dari Jawa Pos, Sabtu 9 Mei 2009

01 Mei, 2009

Pertamina & Pendidikan; Belum Tepat Sasaran

Oleh : Ach. Syaiful A'la

Pendidikan menjadi salah satu agenda terbesar di Indonesia. Prioritas pada agenda pendidikan ini didasarkan pada kesadaran minimnya sumberdaya manusia Indonesia. Pada saat yang sama, seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara niscaya dioptimalkan oleh indvidu-individu yang mempunyai kompetensi dan kualifikasi tinggi yang lahir dari dunia pendidikan. Hal ini sesuai dengan misi pendidikan secara umum, yaitu secara progresif membantu mewujudkan bentuk masyarakat yang dicita-citakan. Hampir tidak ada yang membantah bahwa pendidikan adalah pionir dalam pembangunan masa depan suatu bangsa.

Pendidikan adalah sebuah aset. Mengapa demikian? Karena meskipun terkadang harus mengeluarkan biaya banyak, orang tetap berbondong-bondong untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Dan bagi yang tidak mampu membayar biaya pendidikan sekalipun, mereka harus mencari lembaga-lembaga pemberi bantuan beasiswa.
Jika pendidikan suatu bangsa sudah amburadul, maka kehancuran bangsa sudah di depan pintu. Sebab, pendidikan menyangkut pembangunan karakter dan sekaligus mempertahankan jati diri manusia suatu bangsa. Karena itu, bangsa yang ingin maju, maka pembangunan pendidikan selalu menjadi prioritas utama.

Becermin pada Jepang, ketika negara itu luluh akibat meledaknya bom di Nagasaki dan Hirosima, ketika itu pula Jepang secara fisik telah hancur. Tetapi tak sebarapa lama, Jepang kemudian bangkit dan kini telah berdiri kokoh kembali sebagai salah satu negara maju di dunia. Dalam konteks inilah, salah satu kunci utama keberhasilan Jepang adalah pembangunan dunia pendidikan, yang pada gilirannya membangun kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) ditetapkan sebagai prioritas.

Satu tesis mengemukakan bahwa pendidikan memberi kontribusi secara signifikan terhadap pembangunan ekonomi telah menjadi kebenaran yang bersifat aksiomatik. Berbagai kajian akademis dan penelitian empiris telah membuktikan keabsahan tesis itu.

William Schweke dalam bukunya, Smart Money: Education and Economic Development (2004), memberi afirmasi atas tesis ilmiah para scholars. William menulis bahwa pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi pendidikan juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.

Dari itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan lain sebagainya.

Pendidikan dan Kemiskinan
Salah satu problem pendidikan paling mendasar adalah kemiskinan. Tingkat kemiskinan di negeri ini sungguh fantastis, sangat besar dan mengkhawatirkan. Kita sepakat bahwa kemiskinan kini merupakan simbol yang tentunya sangat memalukan. Besarnya angka kemiskinan di Indonesia saat ini setara dengan kondisi 15 tahun yang lalu. Berdasarkan data (BPS), jumlah penduduk miskin pada tahun 2004 mencapai 36,1 juta orang atau 16,6 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Tingkat kemiskinan dan pengangguran masih paling tinggi di antara negara-negara ASEAN. Demikian pula dalam indeks pembangunan manusia, Indonesia masih menempati peringkat 111 dari 175 negara di dunia. Posisi ini jauh di bawah negara tetangga, seperti Malaysia (76) dan Filipina (98).

Satu hal penting untuk mengatasi hal tersebut di atas adalah dengan menumbuhkan political will pemerintahan sekarang ini untuk lebih memperhatikan sektor pendidikan. Bagaimana pemerintah mau menempatkan persoalan pendidikan sebagai salah satu prioritas dalam pengambilan kebijakannya. Misalnya mempertegas anggaran pendidikan 20 % diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sesuai Undang-Undang Dasar 45 pasal 31 ayat (4).

Disinilah Pertamina sebenarnya juga (harus) merasa terpanggil ikut serta dan terlibat dalam membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi bangsa sebagai wujud aplikasi dari program Corporate Social Responsibility (CSR) bidang pendidikan. Sesuai dengan akte pendiriannya, pertamina sebagai perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia (National Oil Company) menyelenggarakan usaha dibidang minyak dan gas bumi, baik di dalam atau di luar negeri serta usaha kegiatan lain yang terkait menunjang kegiatan usaha dibidang minyak dan gas bumi tadi. Artinya, pertamina merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah mampu mengemban amanah UUD 1945 yaitu “…bumi, air, dan kekayaan yang ada didalamnya dikuasai oleh Negara demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat…”.

CRS Tepat Sasaran
Selama ini, Corporate Social Responsibility (CSR) PT Pertamina bidang pendidikan memang talah banyak memberikan bantuan pada pendidikan. Misalnya tahun 2008, CSR melakukan peningkatan mutu dan akses pendidikan seperti pembangunan dan rehabilitasi sarana pendidikan tingkat SD sampai SLTA. Bentuk peningkatan mutu yang dilakukan seperti pembangunan auditorium, sarana olah raga, renovasi perpustakaan, pembangunan green house dan lainnya. Bentuk kegiatan diatas sebagap strategic partner dengan institusi pendidikan yang ada. Salah satu strategic partner dari CSR adalah beasiswa pendidikan kepada anak putus sekolah, dan turut mendukung program Education Far All (EFA) untuk pendidikan kepada tuna netra.

Tahun 2009, anggaran CSR bidang pendidikan mencapai 120 miliar (Antara News, 3/3/09). Bagaimana dana sebesar itu bisa sampai kelapisan pendidikan level bawah yang memang membutuhkan kucuran atau bantuan dana untuk penyelenggaraan pendidikan? Selama ini, gerakan yang dilakukan CSR hanya bersifat aksidental, tidak berkelanjutan, terkesan proyek bukan program. Dan anggaran yang sebesar itu, sering kali tidak tepat sasaran alias hanya bisa dinikmati oleh lembaga pendidikan lapisan atas (baca:kegiatan csr). Sementara lembaga-lembaga pendidikan yang ada di plosok dan terpencil belum tersentuh oleh program CSR Pertamina bidang pendidikan.

Hemat penulis, salah satu penyebab belum tersentuhnya lembaga pendidikan level bawah disebabkan oleh adanya kebijakan yang sentralistik dari Perusahaan Pertamina. Akibatnya, bentuk kegiatan selalu cenderung seperti ceremonial belaka. Kebijakan sentalisttik memang dibutuhkan, tetapi yang demikian itu kalau menyangkut persoalan yang sangat prinsipil, kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk pengembangan perusahaan. Mungkin tindakan seperti inilah yang perlu diperbaharui dan menjadi garapa utama di internal Pertamina, sehingga CSR bidang pendidikan betul-betul tepat sasaran.

Ada dua strategi bagaimana Corporate Social Responsibility tepat sasaran. Pertama, untuk memajukan perusahaan PT Pertamina dan tetap berjalan berkelanjutan serta mendapat kepercayaan dari masyarakat, maka masyarakat yang selama ini posisinya sebagai konsumen harus diposisikan sebagai mitra corporate. Kedua, memberikan kebijakan kepada masing-masing cabang Pertamina untuk membuat anggaran (budget) dan beberapa program CSR bidang pendidikan sendiri juga cara merealisasikannya. Hal ini sebagai bentuk kebijakan partisipatorik dalam perusahaan antara top manager (pusat) dengan beberapa anak perusahaan dibawahnya (Hasibun, 2005).

Karena pertamina-pertamina dibeberapa cabang jauh lebih dekat dan mengetahui terhadap kebutuhan dan kondisi pendidikan di daerahnya, sehingga kebijakan anggaran dana untuk pendidikan sebasar anggaran itu, akhirnya benar-benar menyentuh terhadap persoalan dan kondisi pendidikan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Semoga tulisan ini bermamfaat.

22 April, 2009

Fatwa Kiai Jampes Vs MUI

Oleh : Ach. Syaiful A'la

Kurang lebih setengah tahun yang lalu, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur mengundang beberapa pondok pesantren yang ada di Jawa Timur. Kebetulan Saya menjadi peserta mewakili salah satu pesantren di Surabaya. Kegiatan itu bertujuan untuk memberikan penyuluhan bahanya merokok kepada para kiai sebagai pemimpin juga pada santri sebagai pelajar guna terciptanya lingkungan masyarakat pondok pesantren yang bebas rokok. Disamping kegiatan itu diperkuat dengan landasan hukum undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, peraturan pemerintah ri nomor 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara.

Acara yang memakan waktu hampir satu hari itu, isinya tiada lain ialah untuk memberikan pengertian kepada masyarakat pondok pesantren tentang bahaya rokok. Yang bertindak menjadi pembicara pada saat itu, langsung perwakilan dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Disana dijelaskan :

Pertama, tentang merokok dan kehamilan. Beberapa hal penting yang perlu diketahui tentang rokok dan kehamilan sebagian besar berhubungam dengan kerja nikotin dan hidrokarbon polisiklik (benzopiren) yang dapat mencapai janin. Bahwa merokok sigaret selama kehamilan dapat mengurangi bobot lahir bayi, mengurangi bobot lahir bayi, meningkatkan kemungkinan terjadinya keguguran spontan, nikotin dapat memasuki asi (air susu ibu) yang sedang menyusui walaupun pengaruhnya pada bayi yang menyusu belum jelas. Karena asap rokok mengandung lebih dari 4000 zat kimia 1200 diantaranya bahan kimia beracun dan 43 karsinogenik.

Kedua, akibat merokok bagi kesehatan akan menyebabkan penyakit jantung pada seseorang. Secara garis besar bahwa rokok tembakau berhubungan dengan penyakit jantung melalui: meningkatkan denyut jantung, meningkatkan vasokontriksi periferal yang menyebabkan naiknya tekanan darah, melepaskan asam lemak dari tempat penyimpanan adiposa, sehingga peredaran lemak bebas darah meningkat yang menyebabkan arteriosclerosis, mengurangi waktu pembekuan darah, mengurangi pengangkutan oksigen ke dalam jaringan melalui kompetisi dengan kandungan CO dalam darah.

Ketiga, kanker paru-paru. Karena tar sigaret/partikel yang ada dalam asap rokok secara reguler melewati saluran pernapasan, dengan pelahan menyebabkan kelainan pada sel-sel saluran pernapasan sehingga modifikasi sel menjadi sel kanker.

Keempat, emphysema. Penyakit ini ditandai dengan runtuhnya dinding alveoli (kantong udara) sehingga mengurangi luas permukaan tempat terjadinya pertukaran udara di paru-paru, kantong udara kehilangan elastisitasnya sehingga kesukaran menghirup udara dan mengalami kesulitas bernapas.

Kelima, bronkhitis khronik. Penyakit ini pula ditandai dengan produksi dahak yang berlebihan, peradangan dan sekresi berlebihan dari sel-sel bronkhi meningkatkan dahak disertai dengan batuk untuk mengeluarkan sekretnya.

Ada yang menarik dalam acara tersebut. Setelah pemateri selesai menjelaskan semua materi bahaya tentang bahaya rokok, dengan sedikit memaksa kepada peserta, akhirnya pemateri membuat suatu keputusan ditandai dengan mengetuk palu (layaknya hakim memutuskan masalah) “…bahwa mulai saat ini, kita menyatakan berhenti merokok”. Tiba-tiba muncul dari salah satu peserta delegasi pondok pesantren (ustadz) melakukan intrupsi dan memberi tanggapan. “Kenapa Saya dilarang merokok?” Sambil melanjutkan pembicaraannya, ia berkata “Justru dengan sebatang rokok, secangkir kopi, Saya jauh lebih produktif dan banyak menghasilkan karya tulis, seperti menulis buku (kitab), opini atau mengonsep rencana-rencana kegiatan pesantren”.

Kontroversi Fatwa MUI
Akhir Januari 2009, Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan kongres yang ditempatkan di Padang Panjang, Sumatera Barat. Salah satu hasil keputusannya adalah fatwa tentang hukum haramnya merokok bagi anak-anak, wanita hamil, dan pengurus MUI sendiri.

Tetapi akhirnya keputusan tersebut tidak berjalan mulus. Banyak terjadi kontroversi disana-sini, termasuk oleh kalangan kiai-kiai pondok pesantren sendiri. Bahkan Nahdlatul Ulama (NU), yang merupakan rumah besar para kiai juga tidak memberikan lampu hijau (green lamp) adanya fatwa MUI tentang rokok.

Kalau kita mengaca kepada sejarah (plash black), adanya kontroversi para ulama tentang hukum mengonsumsi kopi dan rokoh sudah sejak abad ke-10 H. Bahkan Syaikh Ihsan, kiai asal Jampes, Kediri, Jawa Timur, melalui kitabnya Irsyadu al-Ikhwan fi Bayani al-Hukm al-Qohwah wa al-Dhukhon, yang diterjemahkan menjadi Kitab Kopi dan Rokok ini telah banyak mengupas hukum mengonsumsi kopi dan rokok. Adanya kontroversi tentang kopi dan rokok selalu menjadi pertentangan dan tak menemukan titik temu (kalimatun sawa’). Kelompok satu berpendapat bahwa rokok itu menyegarkan, mendatangkan inspirasi, menumbuhkan semangat berjuang, bekerja dan lebih tahan beribadah. Satu kelompok yang lain (kontra) menjelaskan, bahwa rokok membuat penyakit, bau, polusi dan merupakan pekerjaan yang sia-sia (mubadzir alias isyraf).

Buku ini menarik dibaca ditengah orang masih kebingungan untuk memilih setelah fatwa MUI tentang hukum rokok. Buku yang ada ditangan pembaca ini, memberikan jawaban atas isu yang hingga kini masih memanas di tanah air. Buku ini hanyalah satu-satunya yang membahas tentang kopi dan rokok. Menariknya kiai Ihsan Jampes dalam menjawab persoalan ini tidak menggurui. Kiai Jempes lebih memberikan beberapa pertimbangan dan pilihan hukum mengonsumsinya. Terakhir didalam buku ini pula disajikan asal-usul rokok serta perkembangannya di Timur Tengah, Eropa, Amerika, bahkan sampai di Indonesia.


Data Buku
Judul buku : Kitab Kopi dan Rokok
Judul Asli : Irsyadu al-Ikhwan fi Bayani al-Hukm al-Qohwah wa al-Dhukhon
Penulis : Syaikh Ihsan Jampes
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : 1, Februari 2009
Tebal : xxv + 110 halaman
Peresensi : Ach. Syaiful A’la*