15 Oktober, 2009

Kiai, Santrinya Buku

Oleh : Ach. Syaiful A'la*


Banyak tulisan sebelumnya yang menyoroti dunia kiai dan buku. Dari tulisan-tulisan itu, mereka melakukan kritikan, masukan, himbauan, atau sebagai bentuk kepedulian para penulis yang ditujukan kepada kiai, khususnya kiai-kiai yang mempunyai pondok pesantren dengan jumlah santri yang cukup besar dan/atau yang menjadi panutan masyarakat, diantaranya adalah tulisan Fahrudin Nasrulloh “Kiai dan Kitab Kuning” (JP, 17-12-2006), Kuswaidi Syafi’i “Kiai Tanpa Buku” (JP, 24-12-2006), M. Faizi “Tak Ada Kitab, Buku pun Jadi” (JP, 7-1-2007), dan tulisan Muhamad Ali Hisyam “Kami Rindu Padamu, Kiai Penulis” (JP, 14-1-2007).

Upaya tersebut merupakan bentuk keprihatinan orang-orang yang sangat merendukan wacana keilmuan dilingkungan kiai pesantren, yang kalau kita lihat dalam sejarahnya tidak sedikit kiai-kiai pesantren yang telah banyak ambil bagian peran dalam khazanah wacana keilmuan dan pemikiran melalui buku atau kitab yang ditulis. Misalnya, kiai Imam Nawawi al-Bantani, kiai Cholil Bangkalan, kiai Hasyim Asy’ari, kiai Wahab Hasbullah, kiai Ahmad Siddiq, kiai As’ad Syamsul Arifin dan lain sebagainya.

Kita sepakat bahwa salah satu tugas kiai adalah sebagai waratsatul anbiya (pewaris para Nabi), salah satu tugas dan fungsinya adalah berdakwah. Dakwah yang dimaksud bisa berbentuk lisan (ceramah di panggung atau podium), ada pula kiai yang melakukan dakwah dengan tulisan. Kenapa menulis juga dikatakan berdakwah? Menulis butuh kesungguhan tersendiri, memilih kata yang tepat untuk sebuah kalimat, mengurai kalimat untuk menjadi pragraf. Maka dapat dimaknai, menulis merupakan bagian dari jihad. “Jihad bahasa”.

Untuk menjadi juru dakwah yang baik, kiai tentunya tidak hanya berangkat bermodal dengan kepercayaan diri saja, melainkan pendakwah yang baik ketika sebelumnya melakukan studi alias membaca beberapa buku literatur, semisal buku, kitab dan beberapa referensi lainnya. Hal ini menandakan bahwa, betapa penting dunia pembaca (buku) untuk para kiai yang ada di pondok pesantren yang mempunyai status sebagai imam atau pialang budaya (cultural broker) dalam bahasanya Clifford Geertz dalam lingkup yang paling besar, yakni di masyarakat.

Saking pentingnya membaca dan perbukuan, sampai Allah menurunkan wahyu pertama kali kepada Nabi Muhammad adalah dengan perintah iqra’ (bacalah), kemudian Tuhan bersumpah demi qalam (pena) begitu pentingnya dunia perbukuan, beberapa sahabat waktu itu merespon mengumpulkan (wahyu) menjadi sebuah buku (Al-Quran). Dari dua aktivitas ini (membaca dan menulis), maka dunia akhirnya menjadi dinamis (mutahawwil) tidak statis (tsabit).

Khaled Abou Al Fadl (2001) menulis dalam bukunya “Musyawarah Buku; Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab”, melakukan kritikan kepada umat Islam yang banyak lupa (atau sengaja memang membuat lupa), betapa pesan Islam dimulai dengan sebuah buku (Al-Qur’an); sebuah buku yang mengandung visi moral dan kebaikan yang luar biasa. Dari cahaya Teks suci itu pula peradaban Islam pergulir, para kiai atau ulama dahulu berjuangan menegakkan kebenaran melalui jalan yang berliku dan penuh duri, dan tidak terpuruk dalam nalar dogmatis, sikap apologetis, atau solipsisme yang egois seperti sekarang.

Mulailah Menjadi Kiai
Selama ini, bahwa kiai selalu identik dengan orang yang mempunyai pesantren dengan jumlah santri yang cukup banyak, ngajar kitab kuning, berdakwah dengan melakukan ceramah (pidatu) kesana-sini, dan lain sebagainya. Begitu pula santri, selalu identik dengan pelajar yang mendalami ilmu agama Islam di pondok pesantren. Sepertinya memang dari sononya! Keduanya, antara santri dan kiai saling berdekatan dan menjali komunikasi setiap hari dalam komunitas pondok pesantren.

Kini zaman berbicara lain, kemajuan teknologi merubah semuanya dalam segala sektor membuat seseorang bisa melakukan apa saja dengan jarak jauh, misalnya, sekolah jarak jauh, kursus jarak jauh, diklat jarak jauh, dan sejenisnya. Artinya, antara pelajar dan pengajar, begitu pula kiai dengan santri tidak lagi harus berdekatan, tapi bisa dilakukan dengan cara yang sedemikian tersebut.

Maksud dari tulisan ini, penulis ingin mengajak kepada pembaca, bahwa untuk menjadi kiai itu tidak harus mempunyai pesantren (building), punya jumlah santri banyak, melakukan dakwah (ceramah) kesana-sini. Menjadi kiai itu bisa dengan cara menulis atau dengan cara membuat buku. Jadi, santrinya adalah orang-orang yang membaca tulisan Anda dan buku yang ditulisnya. Begitu pula menjadi santri cukup hanya dengan membaca buku-buku yang ditulis oleh kiai-kiai pondok pesantren.

Mungkin bagi Anda yang sering membaca koran pasti sudah akrab dengan nama-nama seperti, Zawawi Imron, Zuhairi Misrawi, Hasibullah Satrawi, Nur Syam, Abd A’la, Tasyriq Hifzillah, Muhammadun AS, Lukman Santoso Az, Zen Rahkmat Sugito, Gugun El-Guyani, M. Yunus. BS., Syaiful Bari, Mukhlis Amrin, Rusdi Anwar, meskipun Anda sendiri tidak pernah bertemu secara langsung dengan mereka. Belum lagi para penulis muda yang serius membuat buku utuh, seperti Muhidin M. Dahlan, Mohammad Al-Fayyadh, Reny Nuryanti, Chabib Mustafa, Azizah Hefni, Herlinatien. Mereka itu, saat menulis (jadi kiai) masih berstatus sebagai pelajar/mahasiswa.

Jadi, siapa saja sekarang bisa menjadi santri asal mau membaca. Dan sebaliknya, tidak menutup kemungkinan bahwa siapa saja juga bisa menjadi kiai, asalkan mau menulis dan berkarya membuat buku. Kenapa harus menulis? Bukannya Al-Qur’an juga mengajak kepada manusia setelah membaca lalu menulislah? Bahkan sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib telah berpesan: bahwa ilmu itu ibarat seekor binatang buas yang kalau tidak diikat akan lari jauh, cara mengikatnya adalah dengan tulisan.

Seorang penulis terkenal, Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya menulis “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah…! Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Al-Ghazali juga menambahkan “Kalau Anda bukan keturunan ulama, bukan pulan keturunan raja, maka jadilah penulis”.

Sekarang, marilah kita menjadi kiai-kiai pemula dengan jalan menulis di media atau yang konsen membuat buku, karena tulisan Anda akan dibaca oleh ribuan bahkan jutaan pembaca, dan itu (pembaca) adalah orang yang menjadi santri Anda di dunia.


*) Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS) Hp. 081703039343