07 September, 2009

Puasa Sosial

Oleh: Ach. Syaiful A'la*

Selama ini “ritual” puasa yang dilakukan umat Islam setiap bulan ramadhan, dalam keseharian cenderung hadir sebagai hal rutin dan tampak biasa-biasa saja. Karena sudah menjadi kebiasaan yang sudah sekian waktu mentradisi, puasa seakan diterima sebagai fenomena yang jamak dan sepertinya tak menimbulkan banyak persoalan.

Di hari pertama bulan ramadhan ini, saya coba membuka kembali klipingan koran yang pernah dibuat dua tahun yang lalu. Ketika saya membuka lembaran, akhirnya menjumpai klipingan tulisan Yonki Karman, judulnya “Robohnya Kesalehan Sosial” (kompas, 14 Juni 2007).

Ketika membaca tulisan itu, langsung muncul beberapa pertanyaan dalam pikiran saya. Adakah kaitannya puasa dengan sosial? Mulai dulu, seperti hanya sebuah ritual tahunan yang sifatnya transindental. Penghambaan kepada Allah. Sementara, orang yang melakukan ibadah puasa dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah : 183) dicap sebagai orang yang bertakwa. Lalu Apakah makna taqwa yang sebenarnya?

Tulisan Yonki Karman itu mencoba membuka cakrawala pikiran bagi kita, bahwa selama ini “takwa” selalu dan hanya diartikan sebatas hubungan manusia dengan Allah, Transindental. Tapi tidak pernah menyentuh makna takwa yang sebenarnya dalam kehidupan sosial.

Kita mungkin sadar, bahwa manusia hidup adalah sebagai makhluk hidup yang bermasyarakat. Tidak sendirian. Hidup dalam dua dimensi, hubungan kita dengan Tuhan (hablum minallah) dan hubungan dengan sesama (hablum minan nass).
Nabi Muhammad SAW., pernah bersabda : “Barangsiapa yang tidak bersyukur (mencintai) sesama, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah SWT”. Maksud dari hadits tersebut, Nabi hendak mengajak kepada kita, bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa seorang hamba selama ia masih belum membantu sesama (ekslusif). Artinya, kebersamaan itu penting guna terhindar dari gejala hipokrisi dan split personality yang sedang melanda lapisan masyarakat saat ini menuju civil society.

Bukan Hanya Ritual
Perdefinisian puasa tidak hanya berarti menahan diri bagi pemenuhan keinginan biologis semata, melainkan juga merupakan latihan terbaik dalam — meminjam istilah intelektual muslim Isma’il al-Faruqi — pengendalian diri (the art of self mastery), melatih kesabaran, berjujur pada diri sendiri, memupuk solidaritas kemanusiaan universal.

Ramadhan melatih seseorang untuk menjadi orang yang berdisiplin, tunduk pada hukum, empati, istiqamah, menerapkan pola hidup selektif, yang diharapkan terus berlanjut secara sinambung pada bulan-bulan berikutnya.

Dengan demikian, di samping sebagai ibadah, puasa pada saat yang sama, juga menekankan hubungan dengan manusia lain. Sehingga, tak pelak lagi, sepanjang bulan ramadhan kita dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah baik ibadah ritual wajib mahdhah) maupun ibadah sosial (ghairu mahdhah).

Ibadah sosial yang dimaksud, misalnya mengeluarkan zakat. Berinfak. Menyantuni fakir-miskin. Langkah itu seharusnya dilakukan pada sepanjang bulan puasa untuk membantu saudara-saudara kita yang sedang ekonominya terpuruk. Seperti pengungsi, orang-orang yang kehilangan pekerjaan akibat PHK, korban kekerasan, mereka yang terkena musibah banjir, dan yang lainnya.

Jika dicermati lebih dalam, pada sebagian ibadah ritual di bulan puasa juga terkandung dimensi sosial, seperti salat tarawih yang pelaksanaannya lebih utama jika dilakukan secara berjamaah dengan lingkungan masyarakat sekitar.

Dengan demikian, di samping sebagai aktivitas fisik, puasa juga secara sekaligus sebagai aktivitas psikis dan sosial. Secara fisik, puasa berarti menahan diri dari makan, minum, dan melakukan kontak seksual semenjak terbit fajar hingga terbenam matahari. Secara psikis, ini berarti penahanan diri dari upaya memanjakan gelora hawa nafsu yang dapat berimplikasi buruk pada dirinya.

Hasan Hanafi dalam kitabnya al-din wa al-tsawrah (1990: 63, VII), menuliskan, bahwa puasa adalah melatih kepekaan atas nasib sesama yang menderita kelaparan dan kehausan. Dalam konteks itulah kita bisa memahami adanya perintah untuk mengeluarkan zakat fitrah di penghujung bulan ramadhan.

Terang sekali, secara fungsional dan simbolis perintah zakat fitrah merupakan refleksi bagi adanya sasaran sosial yang hendak diraih dalam berpuasa, yaitu sebuah komitmen moral dan keprihatinan sosial untuk menimbun jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.

Di bulan ramadhan ini kita dituntut untuk mampu menunjukkan nilai kemanusiaan kita masing-masing, in optima forma, dalam bentuk yang setinggi-tingginya. Seperti disebutkan dalam Al-Quran (QS, 3:134) tentang kaum beriman.

Lebih dari itu, puasa juga merupakan aktivitas sekaligus problem keseharian yang fundamental bagi umat Islam dan dalam perkembangannya kerapkali menimbulkan aneka permasalahan kontemporer yang membutuhkan jawaban solutif. Seperti pembagian zakar fitrah yang menimbulkan banyak korban jiwa. Dalam kaitan ini, di samping keberadaannya sebagai jembatan komunikasi antara makhluk dan Sang Khaliq (hablun min Allah), ibadah puasa tak kalah pentingnya didudukkan sebagai wahana interaksi sosial kemasyarakatan (hablun min an-naas) yang senantiasa dinamis selaras masa.


*Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS)