21 Mei, 2009

Gus Mus Membincang Nasib Bangsa

Oleh : Ach. Syaiful A'la

“Kompensasi”. Melihat judulnya saja buku ini menarik untuk dibaca. Apalagi ketika wacana tentang istilah “kompensasi” menjadi populer di tengah masyarakat kita – Indonesia ketika ada kebijakan pemerintah dengan menaikkan harga atau pencabutan subsidi bahan bakar minyak alias BBM.

Gus Mus – panggilan akrapnya KH. A. Mustofa Bisri – selain dikenal sebagai sosok ulama, juga dikenal sebagai seorang budayawan terkenal dan penulis yang produktif diantara banyak kiai-kiai pondok pesantren (NU). Banyak hasil karyanya yang berserakan di media cetak atau elektronik (online) kini telah menjadi sebuah buku. Bahkan tidak ketinggalan pula dalam percaturan perpolitikan nasional beliau juga merupakan salah satu (tokoh) pelaku sejarah (deklarator) dari berdirinya sebuah partai yang dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama yakni, partai kebangkitan bangsa yang kemudian disingkat menjadi PKB.

Buku ini hanyalah sekumpulan tulisan penulis (KH. A. Mustofa Bisri) yang pernah berserakan di berbagai media lokal maupun nasional tentunya merupakan keresahan penulis dan respon terhadap berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia atas situasi baik yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah tentang masalah politik, ekonomi dan sosial keagamaan atau sebuah kejadian intern di masyarakat sendiri akibat ketidaksepahaman meraka dalam berbagai macam karakter yang berbeda-beda diantara kelompok atau golongan. Sepertinya pembahasan isi buku ini antara pembahasan satu dengan pembahasan selanjutnya kurang memiliki (koherensi) hubungan.

Terlepas dari beberapa kekurangan diatas, buku ini tetap layak hadir diruang pembaca. Karena tulisan – ide-ide Gus Mus dalam buku ini masih segar dan murni tidak ada interpensi dari pihak manapun serta bersih dari sarat kepentingan sepihak dalam penulisannya. Bisa dikatakan, kalau ingin mengetahui dan menyelami pemikiran Gus Mus yang “khas” maka buku ini adalah jawabannya.

Isi kajian buku ini dibagi dalam lima tema besar pembahasan pokok. Pertama, mengenai fenomena aktual yang terjadi di masyarakat Indonesia dan internasional. Misalnya tulisan Gus Mus mengenai kompensasi yang dipilih menjadi judul buku ini. Kritikan Gus Mus kepada pemerintah – eksekutif maupun legeslatif – kenapa sampai terjadi pengambilan keputusan pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang katanya merupakan sarana alternatif untuk mengatasi masalah anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Tetapi kenyataannya berbicara lain, dari keputusan yang diambil tersebut malah menambah kelangkaan BBM, meningkatkan konsumsi BBM, tingginya harga minyak dunia, besarnya beban subsidi BBM dan lainnya (hal. 36-45).

Disini, Gus Mus juga memaparkan banyak tentang pelaksanaan pemilu di Indonesia, apa dan bagaimana Golkar dan PKB?, pesantren, jihad, terorisme, tidak ketinggalan pula pembahasan mengenai kekejaman bangsa Israel, semangat jihad, dipenghujung pembahasan ini seorang Gus Mus dengan tegas melontarkan kritikan-kritikannya yang “tajam” kepada pemerintahan Soeharto yang masih berkuasa pada waktu itu dalam judul tulisannya yang pernah dimuat dimedia terkenal yaitu “Pak Hartoku, Pak Hartomu, dan Pak Harto Kita” (hal. 140-144).

Kajian kedua, tentang dakwah dan amar makruf. Gus Mus dalam buku ini banyak menggambarkan bagaimana pola dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo zaman duhulu ketika menyebarluaskan ajaran Islam di Bumi Nusantara dengan tidak menyimpang dari ajaran agama (Al-Qur’an) – bil hikmah wa mauidzatul hasanah, tidak seperti yang dipertontonkan oleh beberapa kelompok Islam garis keras sekarang ini turun kejalanan sambil menteriakkan lafadz “Allahu Akbar” kemudian merusak fasilitas-fasilitas umum. Sehingga dari perbuatannya sendiri pada akhirnya berakibat pada penodaan terhadap agama (Islam) itu sendiri. Dibab ini juga menyinggung tentang proses lahirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan obrolan tentang fatwa-fatwa MUI yang sering menjadi controversial di mata publik.

Kajian ketiga, pembahasan mengenai prilaku kiai-kiai. Disini, cukup jelas sekali Gus Mus mendefiniskan tentang bagaimana proses gelar atau pangkat kiai dibentuk oleh masyarakat (seseorang bisa disebut sebagai kiai), pendefinisian antara kiai dan ulama (walaupun di masyarakat terkadang rancu pemaknaan antara kiai dan ulama), bagaimana ketika kiai terjun dalam politik praktis, hubungan antara pesantren dengan kiai, bahkan sampai kepada ketika kiai harus kembali lagi ke-pesantren-nya, ngurus pendidikan, memberdayakan masyarakat, ikut serta mencerdaskan masyarakat dan menjadi menyambung lidah umat. Sehingga – meminjam istilah Clifford Geertz – bahwa kiai adalah pialang budaya (cultural broker) benar-benar terwujud-nyata dan tidak perlu direvisi lagi. Tak kalah menariknya Gus Mus juga dalam bab ini menyuguhkan tulisan tentang Gus Dur, kiai dan politik.

Pembahasa yang keempat, bab ini berisi tentang kajian khusus bulan ramadhan (marhaban ya ramadhan). Misalnya Gus Mus menulis bahwa bulan ramadhan adalah bulan yang penuh hikmah, barokah, agung, serta bulan penuh ampunan (syahrul maghfiroh) untuk betul-betul dijadikan sebagai sarana memperbaiki diri dari segala perbuatan tercela yang pernah diperbuat sebelumnya, sehingga memasuki hari raya idul fitri, betul-betul keluar sebagai pemenang dan dalam kondisi suci (fitra). Dipembahasan terakhir bab ini juga menyajikan beberapa tulisan Gus Mus yang terkait dengan sesuatu di bulan ramadhan misalnya nudzulul quran, lailatul qadar dan lain sebagainya.

Pembahasan terakhir – kelima – dari tema besar buku ini adalah kajian tentang akhlak mulia. Dalam buku ini Gus Mus banyak menggambarkan tentang bagaimana akhlak yang baik dari seorang suri tauladan Rasulullah Muhammad Ibn Abdullah didalam melakukan dakwahnya, bergaul di masyarakat (muslim dan non muslim), keluarga, lingkungan, sahabat dan lain sebagainya. Dalam goresan penanya, Gus Mus menganjurkan (mengajak kepada kita semua tentunya) untuk berbuat adil walaupun itu sulit rasanya, tapi itu harus (tetap) dikerjakan oleh semua orang. Apalagi ketika seseorang dipercaya sebagai pemimpin Negara yang memegang otoritas kebijakan dalam segala hal yang menyangkut kepentingan orang banyak. Seperti presiden, gubernur, bupati, wali kota, camat, kades dan seterusnya.

Selamat menikmati sajian buku ini!


DATA BUKU
Judul Buku : Kompensasi
Penulis : A. Mustofa Bisri
Penerbit : Mataair Publishing, Surabaya
Cetakan : II, 2008
Tebal : x+312 Halaman

16 Mei, 2009

Ekonomi Syari’ah Alternatif Solusi Global

Oleh : Ach. Syaiful A'la

Sekarang ini, masalah kemiskinan – dan problematika ekonomi secara global – telah merusak akal dan jiwa manusia. Para perusak sengaja memanfaatkan dan menakut-nakuti serta mempengaruhi yang lain masalah ini agar supaya mengikuti pemikiran, ideologi dan sistem yang telah dibuat oleh mereka. Terkadang mereka masih ngotot bahwa kebijakan dan langkah-langkah yang ia berbuat masih mengklaim berpihak kepada masyarakat. Tetapi pada kenyataannya mereka justru berbuat yang sebaliknya, memeras dan mangambil hak-hak mereka ketika tidak berdaya dengan tipu daya yang ia henuskan. Seperti kasus saat ini mulai dibeberapa daerah yang sedang diperaktekkan oleh oknom yang memang sengaja ingin meraup keuntungan besar dengan mengorbankan orang lain.

Ketidaktahuan seseorang dan suatu bangsa dalam bernegara atau tidak mempunyai prinsip tentang sistem perekonomian (Islam) memang membuat mereka gampang terpengaruh oleh pihak lain serta seringkali terperdaya dan terpengaruh dengan propaganda yang dibuat oleh pihak luar. Artinya, hal semacam ini penting bagi kita semua untuk mengetahui suatu prinsip perekonomian Islam guna meminimalisir terjadi rayuan dan tipu daya yang dilakukan oleh orang luar, kalau kita tilik lebih mementingkan mementingan sepihak, alias kepentingan atas dirinya sendiri atau kelompoknya saja (status quo).

Islam dalam konsep perekonomian tidak menghendaki yang namanya sistem monopoli dan tidak dibenarkan oleh syara’. Seperti perekonomian yang terapkan oleh masyarakat Arab ketika itu. Dahulu, Arab telah terjadi hukum rimba, siapa yang kuat menjadi raja yang lemah menjadi mangsa. Akhirnya turunlah ayat Al-Qur’an sebagai kutukan terhadap sistem perekonomian yang tidak sehat, yakni ayat Allah menghalalkan baginya jual beli dan mengharamkan riba.

Akhir-akhir ini persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat adalah tentang permodalan dan pemasaran. Tetapi permodalan lebih utama ketimbang dengan pemasaran. Karena permodalan sebagai pintu utama untuk berusaha. Sehingga yang harus menjadi garapan utama untuk memajukan perekonomian masyarakat adalah dengan cara memberikan bantuan modal kepada masyarakat agar ia bisa mandiri dalam melakukan usaha oleh lembaga koperasi dan biasanya dikenal dengan istilah bank harian yang ada dengan prinsip pola syari’ah.

Kenapa harus dengan pola syari’ah? Suatu tinjauan kasus yang selama ini di Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep Madura. Kasusnya adalah terjadi dilingkungan masyarakat bahwa pinjaman modal yang diberikan oleh pemilik modal pajaknya mencapai sekitar 20 ada yang sampai 25% per bulan. Bahkan nasabah koperasi atau di kapupaten Sumenep lebih dikenal dengan sebutan bank harian jumlahnya sebanyak 3354 nasabah. Kasus yang terjadi misalnya orang meminjam modal sebasar Rp. 100.000, ia hanya menerima Rp. 94.000, karena Rp. 6.000 dipotong biaya administrasi. Sementara angsuran per minggu selama 1 bulan sebesar Rp. 5000, sehingga 1 bulan bunganya mencapai Rp. 150.000, dan bunganya mencapai Rp. 56.000, berarti bunganya mencapai lebih dari 50%.

Maka dari itu, perekonomian dan prinsip perbangkan syari’ah dipandang sebagai solusi mengantisipasi ketimpangan ekonomi di masyarakat dan bahkan internasional. Sistem ekonomi syari’ah telah mampu mewujudkan kesejahteraan dunia yang lebih adil. Perekonomian syari’ah memang menjadi solusi alternatif di tengah Negara ingin keluar dari krisis yang selama ini menyelimuti dunia. Sebab prinsip syari’ah melarang adanya transaksi-transaksi yang derivatif yang menjadi pangkal dari terbulensi global saat ini. Dalam prinsipnya, transaksi yang dilakukan berdasarkan syari’ah harus berdasarkan nilai dan aset yang tercatat secara jelas. Hal ini memang mulai diterapkan oleh beberapa di Negara, seperti Hongkong, Singapura, Ingris, dan Malaysia dengan penghapusan pajak ganda dan beralih ke transaksi perbangkan syari’ah.

Dari latar belakang itulah, NU Kecamatan Gapura merasa antipatif untuk ikut serta melakukan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan menerapkan sistem pola syari’ah. Walaupun langkah ini sebenarnya di NU pernah digarap oleh pendiri NU, yakni KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah. Awalnya bermula dari dari lokakarya yang akhirnya menemukan bahwa persoalan mendasar yang perlu pertaman kali diantaskan adalah penguatan modal yang selama ini kurang mendapatkan akses permodalan dan seringkali dikuasai oleh para pemodal atau praktek rentener yang cenderung mencekik usaha mereka.

Akhirnya apada tanggal 01 Juni 2004 pengurus MWC NU gapura menyepakati mendirikan sebuah usaha simpan pinjam pola syari’ah diberi nama BMT (Baitul Maal wa Tamwil). Yang perlu dibanggakan dari proses perjalannya, BMT NU Gapura telah mampu menyelamatkan kurang lebih 1716 pedang kecil (PKL) yang ada di pasar Gapura, Pintaro, Langit dan Batang-Batang dari praktik bank harian tadi (rentener/nyak-anyak).

tulisan ini, hanyalah gambaran singkat dari tulisan LKTI koperasi Jawa Timur

09 Mei, 2009

Waisak 2553; Berselancar di Ombak Perubahan

Oleh : Handaka Vijjananda *)

Waisak adalah peristiwa tahunan terpenting bagi penganut ajaran Buddha di muka bumi. Waisak memperingati kelahiran Bodhisattwa (Bakal-Buddha), pencerahan Bodhisattwa, dan kemangkatan Buddha. Tiga serangkai peristiwa itu jatuh pada tanggal yang sama, yaitu hari bulan purnama bulan kelima penanggalan wulan.

Peristiwa tersebut diperingati sekitar setengah miliar umat Buddha yang tersebar di lima benua. Waisak merupakan perayaan untuk bersukacita dan berbagi niat baik bagi semua. Waisak juga merupakan momen untuk merenungkan kembali perkembangan spiritual kita.

Di antara ketiga peristiwa Waisak tersebut, banyak sekali ulasan lisan maupun tulis yang mengupas dua peristiwa pertama, yakni kelahiran dan pencerahan Bodhisattwa. Janggalnya, pemaknaan peristiwa terakhir relatif paling jarang dibahas dalam berbagai wacana. Padahal, secara superlatif, kemangkatan Buddha (Parinibbana) merupakan kulminasi spiritual tertinggi yang dimungkinkan dicapai sesosok makhluk.

Keterbatasan ruang dalam artikel ini tidak memadai untuk menjabarluaskan pesan moral-spiritual dalam peristiwa puncak tersebut. Ulasan ringkas ini hanya membingkai momen-momen terakhir dalam penghujung hidup Buddha Gotama, dengan fokus pada pemaknaan pesan terakhir yang disampaikan Buddha.

Sebagai orang yang ''sadar setiap saat", Buddha pun mangkat dengan penuh kesadaran. Sekalipun secara jasmaniah Buddha mengalami kewajaran kerentaan, secara batiniah Buddha tetap bugar dan sadar penuh! Bahkan, kemangkatan-Nya pun ''terencana" dengan baik. Buddha meminta siswa-Nya untuk mengabarkan dan mengundang orang-orang yang sekiranya berminat mendengar khotbah klimaks-Nya.

Dua kalimat terakhir yang diucapkan Buddha merupakan saripati segenap ajaran-Nya, yakni Vaya Dhamma Sangkhara. Appamadena Sampadetha.

Arti kalimat pertama adalah apa pun yang tersusun pasti akan terurai. Dengan kata lain, semua selalu berubah (anicca), fana (viparinama), dan bagai aliran gelombang (nadisotoviya). Tiga aspek perubahan yang terkandung adalah apa pun yang lahir pasti akan mati, apa pun yang dihimpun pasti akan tercerai, ada pertemuan pasti ada perpisahan.

Ada suatu ''paradoks spiritual" yang termuat dalam fenomena kefanaan itu. Jika kita menggunakan anicca sebagai objek nafsu (tanha), ujungnya adalah ketidakpuasan (dukkha) karena nafsu kita pun selalu bergejolak, tak kunjung padam. Di sisi lain, jika kita menggunakan anicca sebagai objek meditasi kesadaran, ujung tertingginya pencerahan sempurna (bodhi). Dengan memahami keselaluberubahan, kita akan lebih memahami apa yang betul-betul bernilai dan relevan bagi hidup kita.

Dalam kalimat terdahulu, Buddha melukiskan keadaan semesta yang serbafana. Setelah kita diajak menyadari bahwa hidup ini selalu berubah, dengan piawai Buddha menutup pesan-Nya, menganjurkan kepada kita suatu cara menyikapi kefanaan hidup, Appamadena Sampadetha, dengan eling penuh, teruslah berjuang!

Dengan kata lain, Buddha mengatakan bahwa hidup adalah perjuangan. Dunia fana ini terus berubah; dengan berjuang keras pun kita belum tentu berhasil mengatasi penderitaan, apalagi jika kita tidak berjuang! Tanpa berjuang, pasti kita akan terseret ombak perubahan dan pasti akan menderita!

Nah, bagaimana cara kita berjuang mengatasi ombak perubahan atau pasang surut kehidupan ini? Appamadena, dengan eling penuh, anjur Buddha. Eling lan waspada adalah sumsum ajaran Buddha. Petapa Gotama sendiri menjadi Buddha dengan teknik temuan-Nya yang disebut pemusatan keelingan (satipatthana). Setelah menjadi eling sempurna, beliau dikenal sebagai Buddha, yang notabene arti kata ''Buddha" adalah ''Yang Eling"!

Dalam rentang waktu 45 tahun, setelah merealisasi kesadaran penuh pada usia 35 tahun, Buddha melangsungkan misionari energetik dengan hanya makan seadanya sekali sehari dan tidur sejam sehari untuk mengajarkan cara hidup eling sebagai jalan untuk mengakhiri derita. Dan, pada penghujung hidup-Nya, Buddha kembali menandaskan mahapentingnya keelingan sebagai way of life alias cara hidup dalam kalimat pemungkas di atas: "Dengan eling penuh, teruslah berjuang!"

Tidak berlebihan dikatakan bahwa kontribusi terbesar kemunculan para Buddha di alam semesta adalah ajaran tentang keelingan. Dengan eling, kita akan sadar untuk selalu menyelaraskan pikir dan laku dengan prinsip-prinsip hidup yang bebas dari trio ketamakan (lobha), kebencian (dosa), dan khayalan (moha).

Ada sebuah poster tentang meditasi yang sangat inspiratif. Di poster tersebut tampak seorang meditator yang tengah bermeditasi dengan tenangnya di atas papan selancar, menyusuri gulungan ombak besar. Teks yang tertulis di poster tersebut adalah ''You may not be able to stop the waves, but you can learn to surf".

Pesan poster tersebut, rasanya, sungguh mewakili pemaknaan pesan terakhir Buddha kepada kita semua: kita barangkali tidak mampu menghentikan ombak, namun kita bisa belajar berselancar, terus berjuang, mengendarai pasang-surutnya ombak kehidupan ini... dengan eling penuh!

Selamat Waisak 2553. Semoga kita semua makin baik, bahagia, dan berkesadaran. (*)

*) Handaka Vijjananda, pendiri Yayasan Ehipassiko, lembaga pendidikan, pelatihan, dan penerbitan Dharma Buddha

diambil dari Jawa Pos, Sabtu 9 Mei 2009

01 Mei, 2009

Pertamina & Pendidikan; Belum Tepat Sasaran

Oleh : Ach. Syaiful A'la

Pendidikan menjadi salah satu agenda terbesar di Indonesia. Prioritas pada agenda pendidikan ini didasarkan pada kesadaran minimnya sumberdaya manusia Indonesia. Pada saat yang sama, seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara niscaya dioptimalkan oleh indvidu-individu yang mempunyai kompetensi dan kualifikasi tinggi yang lahir dari dunia pendidikan. Hal ini sesuai dengan misi pendidikan secara umum, yaitu secara progresif membantu mewujudkan bentuk masyarakat yang dicita-citakan. Hampir tidak ada yang membantah bahwa pendidikan adalah pionir dalam pembangunan masa depan suatu bangsa.

Pendidikan adalah sebuah aset. Mengapa demikian? Karena meskipun terkadang harus mengeluarkan biaya banyak, orang tetap berbondong-bondong untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Dan bagi yang tidak mampu membayar biaya pendidikan sekalipun, mereka harus mencari lembaga-lembaga pemberi bantuan beasiswa.
Jika pendidikan suatu bangsa sudah amburadul, maka kehancuran bangsa sudah di depan pintu. Sebab, pendidikan menyangkut pembangunan karakter dan sekaligus mempertahankan jati diri manusia suatu bangsa. Karena itu, bangsa yang ingin maju, maka pembangunan pendidikan selalu menjadi prioritas utama.

Becermin pada Jepang, ketika negara itu luluh akibat meledaknya bom di Nagasaki dan Hirosima, ketika itu pula Jepang secara fisik telah hancur. Tetapi tak sebarapa lama, Jepang kemudian bangkit dan kini telah berdiri kokoh kembali sebagai salah satu negara maju di dunia. Dalam konteks inilah, salah satu kunci utama keberhasilan Jepang adalah pembangunan dunia pendidikan, yang pada gilirannya membangun kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) ditetapkan sebagai prioritas.

Satu tesis mengemukakan bahwa pendidikan memberi kontribusi secara signifikan terhadap pembangunan ekonomi telah menjadi kebenaran yang bersifat aksiomatik. Berbagai kajian akademis dan penelitian empiris telah membuktikan keabsahan tesis itu.

William Schweke dalam bukunya, Smart Money: Education and Economic Development (2004), memberi afirmasi atas tesis ilmiah para scholars. William menulis bahwa pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi pendidikan juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.

Dari itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan lain sebagainya.

Pendidikan dan Kemiskinan
Salah satu problem pendidikan paling mendasar adalah kemiskinan. Tingkat kemiskinan di negeri ini sungguh fantastis, sangat besar dan mengkhawatirkan. Kita sepakat bahwa kemiskinan kini merupakan simbol yang tentunya sangat memalukan. Besarnya angka kemiskinan di Indonesia saat ini setara dengan kondisi 15 tahun yang lalu. Berdasarkan data (BPS), jumlah penduduk miskin pada tahun 2004 mencapai 36,1 juta orang atau 16,6 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Tingkat kemiskinan dan pengangguran masih paling tinggi di antara negara-negara ASEAN. Demikian pula dalam indeks pembangunan manusia, Indonesia masih menempati peringkat 111 dari 175 negara di dunia. Posisi ini jauh di bawah negara tetangga, seperti Malaysia (76) dan Filipina (98).

Satu hal penting untuk mengatasi hal tersebut di atas adalah dengan menumbuhkan political will pemerintahan sekarang ini untuk lebih memperhatikan sektor pendidikan. Bagaimana pemerintah mau menempatkan persoalan pendidikan sebagai salah satu prioritas dalam pengambilan kebijakannya. Misalnya mempertegas anggaran pendidikan 20 % diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sesuai Undang-Undang Dasar 45 pasal 31 ayat (4).

Disinilah Pertamina sebenarnya juga (harus) merasa terpanggil ikut serta dan terlibat dalam membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi bangsa sebagai wujud aplikasi dari program Corporate Social Responsibility (CSR) bidang pendidikan. Sesuai dengan akte pendiriannya, pertamina sebagai perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia (National Oil Company) menyelenggarakan usaha dibidang minyak dan gas bumi, baik di dalam atau di luar negeri serta usaha kegiatan lain yang terkait menunjang kegiatan usaha dibidang minyak dan gas bumi tadi. Artinya, pertamina merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah mampu mengemban amanah UUD 1945 yaitu “…bumi, air, dan kekayaan yang ada didalamnya dikuasai oleh Negara demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat…”.

CRS Tepat Sasaran
Selama ini, Corporate Social Responsibility (CSR) PT Pertamina bidang pendidikan memang talah banyak memberikan bantuan pada pendidikan. Misalnya tahun 2008, CSR melakukan peningkatan mutu dan akses pendidikan seperti pembangunan dan rehabilitasi sarana pendidikan tingkat SD sampai SLTA. Bentuk peningkatan mutu yang dilakukan seperti pembangunan auditorium, sarana olah raga, renovasi perpustakaan, pembangunan green house dan lainnya. Bentuk kegiatan diatas sebagap strategic partner dengan institusi pendidikan yang ada. Salah satu strategic partner dari CSR adalah beasiswa pendidikan kepada anak putus sekolah, dan turut mendukung program Education Far All (EFA) untuk pendidikan kepada tuna netra.

Tahun 2009, anggaran CSR bidang pendidikan mencapai 120 miliar (Antara News, 3/3/09). Bagaimana dana sebesar itu bisa sampai kelapisan pendidikan level bawah yang memang membutuhkan kucuran atau bantuan dana untuk penyelenggaraan pendidikan? Selama ini, gerakan yang dilakukan CSR hanya bersifat aksidental, tidak berkelanjutan, terkesan proyek bukan program. Dan anggaran yang sebesar itu, sering kali tidak tepat sasaran alias hanya bisa dinikmati oleh lembaga pendidikan lapisan atas (baca:kegiatan csr). Sementara lembaga-lembaga pendidikan yang ada di plosok dan terpencil belum tersentuh oleh program CSR Pertamina bidang pendidikan.

Hemat penulis, salah satu penyebab belum tersentuhnya lembaga pendidikan level bawah disebabkan oleh adanya kebijakan yang sentralistik dari Perusahaan Pertamina. Akibatnya, bentuk kegiatan selalu cenderung seperti ceremonial belaka. Kebijakan sentalisttik memang dibutuhkan, tetapi yang demikian itu kalau menyangkut persoalan yang sangat prinsipil, kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk pengembangan perusahaan. Mungkin tindakan seperti inilah yang perlu diperbaharui dan menjadi garapa utama di internal Pertamina, sehingga CSR bidang pendidikan betul-betul tepat sasaran.

Ada dua strategi bagaimana Corporate Social Responsibility tepat sasaran. Pertama, untuk memajukan perusahaan PT Pertamina dan tetap berjalan berkelanjutan serta mendapat kepercayaan dari masyarakat, maka masyarakat yang selama ini posisinya sebagai konsumen harus diposisikan sebagai mitra corporate. Kedua, memberikan kebijakan kepada masing-masing cabang Pertamina untuk membuat anggaran (budget) dan beberapa program CSR bidang pendidikan sendiri juga cara merealisasikannya. Hal ini sebagai bentuk kebijakan partisipatorik dalam perusahaan antara top manager (pusat) dengan beberapa anak perusahaan dibawahnya (Hasibun, 2005).

Karena pertamina-pertamina dibeberapa cabang jauh lebih dekat dan mengetahui terhadap kebutuhan dan kondisi pendidikan di daerahnya, sehingga kebijakan anggaran dana untuk pendidikan sebasar anggaran itu, akhirnya benar-benar menyentuh terhadap persoalan dan kondisi pendidikan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Semoga tulisan ini bermamfaat.