Oleh : A. Dardiri Zubairi*
Pak Midun senangnya bukan main melihat Syarkawi, anaknya, diterima di sebuah sekolah negeri di sebuah kecamatan, tak jauh dari tempat ia tinggal. Betapa tidak. Pak Midun hanyalah seorang petani biasa. Seorang yang membesarkan anak dalam keluarga dan masyarakat sederhana, lengkap dengan kultur guyub pedesaan yang melatarinya.
Sebelum diterima di sekolah negeri, Syarkawi belajar di sebuah madrasah swasta. Sorenya masih nambah di madrasah diniyah. Belum lagi malam hari, ia dikirim kepada seorang kyaji tua yang sudah lebih setengah abad istiqamah mengajarkan alif, bata, ta kepada anak-anak desa. Di sela-sela kesibukannya, syarkawi toh masih sempat membantu pak midun di sawahnya.
Hari pertama sekolah, pak Midun melihat sesuatu yang aneh. Anaknya pake’ dasi. Pak Midun sulit mengunyah ”realitas baru” yang menggantung di leher anaknya. Meski begitu ia berpikir positif saja. Senyum pun merekah, anaknya tampil gagah layaknya pemain senetron ABG yang kerap menghiasi layar kaca, lengkap dengan seragam sekolah dan dasinya. Ia pun bermimpi, anaknya kelak menjadi orang ”sukses”. Tidak perlu mereproduksi pekerjaan dia, yang selalu berkubang dengan tanah.
Tetapi toh dalam hatinya ia tetap sulit memahami, bahkan ketika anaknya sudah menginjak kelas XII. Apa hubungan sarung yang selalu dikenakannya dengan dasi anaknya(?)
Semakin lama, ”keganjilan” anaknya semakin memanjang. Ibarat ”gempa”, keganjilan itu telah meluluhlantakkan alam sadarnya. Bahkan menggoncang hingga bawah alam sadar.
Tiba-tiba anaknya enggan membantunya di sawah. Satu-persatu simbol masyarakat desa pun dilucuti, ya songkok, sarung, ngaji, kesenian hadrah, cangkul, dan seterusnya. Tak cukup simbol, nilai-nilai masyarakat desa seperti keikhlasan, kesederhanaan, sopan santun,kebersamaan juga dilepas.
Setiap kali pak Midun melihat anaknya, setiap kali itu pula ia melihat sosok ”alien”. Mahkluk dengan kepribadian asing. Cara pikir, berprilaku, berdandan, bahkan berselera asing. Ia semakin tak mengenalnya, meski setiap hari bersamanya.
Toh pak Midun tetap berpikir positif. Ia masih yakin, meski pendidikan telah mengasingkan anaknya dari lingkungannya sendiri, hal itu ia anggap proses yang niscaya. Proses yang mesti dilalui oleh seseorang untuk ”sukses”, persis seperti hotbah yang terus-menerus direproduksi oleh pendukung pendidikan modern. Dan pak Midun salah satu korbannya(?)
***
Pak midun dan anaknya adalah gambaran paradoksnya pendidikan modern saat ini. Satu sisi telah menyihir semua orang sehingga mempercayai ”pencerahan” yang dijanjikannya. Sisi lain, ”pencerahan” yang dijanjikan pendidikan modern ternyata tidak juga datang-datang.
Justru sebaliknya, anak didik bukan malah arif, tapi congkak (terutama terhadap lokalitas). Bukan kreatif, tapi passif. Bukan berjiwa enterprenuer, tapi tergantung. Bukan bebas, tapi terjajah. Bukan pencipta, tapi peniru. Bukan…
Dalam konteks kebangsaan, tiba-tiba nasionalisme (di)pudar(kan). Cinta kasih antar sesama lenyap. Gantinya, anak bangsa atas nama ”benda” bahkan ”identitas” (agama, etnis, ras, gender) rela saling berjibaku dan meradang.
Seperti pak Midun melihat anaknya, kita banyak jumpai alien di rumah (tangga), sekolah, jalan, masyarakat, negara, birokrasi, dan di mana-mana. Sosok yang dulu kita kenal, tapi sekarang sudah tidak menjejakkan kaki di kebudayaan sendiri. Sudah tercerabut dari akar budayanya dan sekarang sepenuhnya menjadi asing. Ah…jangan-jangan kita (saya) sendiri sudah menjadi makhluk alien juga?
Sampai di sini saya jadi geli sendiri. Bisakah air yang sudah keruh di hulu, mau dijernihkan di hilir?
Bisakah permasalahan yang demikian mendasar, diselesaikan secara tambal sulam? Misalnya, dengan menggagas pendidikan kewirausahaan?
Permasalahan pendidikan kita memang cukup kompleks. Sama carut-marutnya dengan situasi kebangsaan kita. Ada sesat pikir sejak level paradigmatiknya. Maka sejatinya diagnosa dan penyembuhannya harus dimulai sejak level paradigmatiknya juga.
Karena itu, mempertanyakan asumsi ideologis pendidikan kita menjadi penting.. Untuk apa dan siapa, ideologi pendidikan dirumuskan? Pasar, kapital, pabrik, kekuasaan,
atau memanusiakan manusia?
Sayang, pertanyaan seperti di atas tidak dimunculkan, terutama oleh pengambil kebijakan pendidikan. Mereka lebih suka ”ngurus” yang (maaf) remeh-remeh. Misalnya, UAN yang dipertahankan mati-matian. Pada hal banyak kritik, UAN tidak akan mampu menyelesaikan permasalah mendasar pendidikan.
Atau seperti sekarang, gembar-gembor otonomi pendidikan, meski realitasnya tetap sentralistik. Semua tahu, sentralisasi akan memasung kreativitas. Jika lembaga dan personalianya tidak kreatif, bagaimana mungkin akan menularkan kreativitas kepada anak didik?
Karena itu diskusi pendidikan kewirausahaan harus ditempatkan dalam kerangka (untuk terus-menerus)mempertanyakan asumsi ideologis pendidikan kita, dan menyuarakan otonomi pendidikan dipraktikkan secara penuh. Otonomi pendidikan secara penuh akan memungkinkan setiap lembaga pendidikan mendesain ideologi pendidikan, kurikulum, silabi, dan seterusnya sesuai dengan kebutuhan lingkungan dan komunitasnya.
Dengan demikian, pendidikan kewirausahaan akan terintegrasi secara kokoh dalam kerangka pendidikan secara utuh, karena ditopang oleh ideogi pendidikan yang memanusiakan dan sesuai dengan lingkungan, kebudayaan, dan kebutuhan masyarakat sebagai user-nya.
Kita tentu tidak mau bukan, jika pendidikan kewirausahaan menguatkan ketidakpekaan anak didik terhadap tanggung jawab sosial. Dengan kata lain, capek-capek pendidikan kewirausahaan di(bel)ajarkan, tapi out putnya anak didik tetap individualistik dan kapitalistik.
Mari kita pertanyakan asumsi ideologis pendidikan kita, sembari merancang pendidikan kewirausahaan, untuk menjawab kegelisahaan pak Midun melihat dasi dan makhluk alien.
*)Kepala MA Nasy'atul Muta'allimin Gapura Timur Sumenep
Dipetik dari: http://enewsletterdisdik.wordpress.com/24/10/09