Oleh: Ach. Syaiful A'la, S.Pd.I
Kiai. Begitu kira-kira “gelar” yang diberikan masyarakat kepada sesosok pemimpin yang mempunyai keahlian khusus dalam bidang disiplin keilmuan tertentu di komunitas masyarakat. Misalnya mereka (kiai) yang mempunyai kemampuan dalam bidang intelektual (‘ilmiyah), spiritual (rohaniyah), sosial (ijtimaiyah), administratif (idariyah), politik (siyasah) lebih-lebih kalau mempunyai pondok pesantren (sebagai pengasuh), sudah tidak terbantah lagi, bahwa dirinya adalah kiai. Tetapi yang aneh terkadang, saat ini juga seorang dukun disebut sebagai kiai.
Keberadaan kiai pengasuh pondok pesantren di dalam lingkungan masyarakat (Indonesia pada umumnya) sudah bagaikan garam dalam sebuah menu masakan. Artinya, keberadaan dan keterlibatan kiai dalam berbagai agenda kegiatan sudah menjadi sebuah kaharusan. Tidak ada kiai, tidak ramai.
Dalam percaturan perpolitikan nasional, yang menjadi menarik dan meramaikan media massa setiap hari karena adanya keterlibatan kiai, mulai dari tingkat pemilihan anggota legeslatif (DPR), eksekutif, pemilihan presiden, gubernur, bupati, sampai kepada pemilihan kepala desa. Seandainya tidak ada keterlibatan kiai, sepertinya tidak menarik, kering dan membosankan, walaupun pada akhirnya muncul kontroversi disana-disini atas keterlibatan kiai pondok pesantren dalam ranah politik praktis. Yang demikian itu terjadi, karena dianggap keikutsertaan kiai dalam politik hampir melupakan tugas utama di pondok pesantren sebagai pendidik dan pentransfer ilmu pengetahuan (cultural broker) dalam bahasa Clifford Geertz.
Sehingga tak salah jika ada guyonan di kalangan warga nahdhiyyin (sebutan bagi warga NU), bahwa kiai-kiai pondok pesantren di Indonesia (dalam sejarahnya) mempunyai pengalaman yang sangat kompleks, mulai dari kiai yang mempunyai sebutan sebagai Qari’ (pelantunan al-Qur’an) sampai dengan Korak (seorang kiai yang pada proses awal kehidupannya penuh dengan kemaksiatan, melakukan perjudian, merampok, kemudian sadar dan kembali sebagai pembimbing dan pengayom umat. Tapi bukan mantai kiai).
Buku Cermin Bening dari Pesantren; Potret Keteladanan Para Kiai ini, mencoba memotret kehidupan para kiai pondok pesantren mulai sejak dalam usia pendidikan (belajar), merintis pondok (sebagai pendiri), memimpin, sebagai pendidik di pondok pesantren, keoptimistikan dalam menghadapi hidup, ulet, sampai kepada pemberian sebuah gelar (julukan) salah satu kiai karena sikap dan perbuatannya yang terkadang – kata sebagian orang – nyeleneh, irasional, sulit dijangkau oleh akal manusia (kiai-kiai sakti dan pendekar). Menariknya, untuk tidak membosankan dan bertambah akrap di ruang pembaca, buku ini juga banyak menyuguhkan anekdot-anekdot kocak para kiai pondok pesantren, seperti menjadi Kiai Sama Dengan Penjaga Toilet (WC) yang kalau tidak dibaca secara utuh tulisan tersebut akan membuat kita (pembaca) bisa marah (hlm. 215).
Walaupun buku semacam ini – yang menceritakan tentang kehidupan sosok kiai pondok pesantren – telah banyak beredar di pasaran, tetapi penulis buku ini berusaha mencari sisi lain yang belum terdokumentasikan oleh beberapa penulis sebelumnya.
Nah, buku cermin ini sebenarnya merupakan sebuah jendela baru bagi pembaca, khususnya para kiai untuk melihat action kiai tempo dulu. Cermin artinya kita bisa becermin bagaimana potret kehidupan kiai pondok pesantren dalam perjuangannya dan cermin sebagai tamparan – perbuatan yang memalukan – kalau kiai-kiai saat sudah tidak sepadan, apalagi menyimpang dari rel yang telah diperbuat oleh kiai-kiai terdahulu.
Misalnya, buku ini (bukan berarti menafikan yang lain) mengangkat sosok KH. Saifuddin Zuhri, Mantan Menteri Jualan Beras (hlm. 92). Hal ini menandakan bahwa semangat hidup yang ada dalam dirinya untuk tetap berusaha (mandiri) dengan tidak mentergantungkan dirinya kepada siapa saja. Mempunyai kekayaan mental. Tidak ambisi jabatan. Sosok kiai Saifuddin ini, adalah bisa dijadikan cermin oleh kiai-kiai kekinian, disaat politik dijadikan sebagai lahan empuk dan dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk mencari penghidupan, mengemis-ngemis jabatan, minta dukungan kesana-sini. Tidak kenyang mental, tetapi kiai yang miskin mental.
Apa yang disebut dengan kemiskinan mental? Kemiskinan mental adalah sebuah kondisi mental kejiwaan atau orientasi hidup seseorang yang dipenuhi oleh kebiasaan-kebiasaan negatif, yang sifat dapat menghambat kemjauan. Seperti psimistik, malas, buruk sangka, sukan menyalahkan pihak lain, iri melihat keberhasilan orang lain. Miskin mental juga bisa ditunjukkan dengan prilaku yang tidak disiplin, tidak percaya diri, tidak bertanggung jawab, tidak jujur, tidak mau belajar, tidak mau memperbaiki diri, dan tidak punyak visi kedepan.
Akhirul-al-Qalam, buku yang semacam tidak hanya cukup dibaca oleh khalayak, terpenting adalah bagaimana kemudian mampu meneladani kehidupan dari beberapa sosok kiai dalam buku ini. Disamping itu, penulisan buku ini, disajikan dalam bahasa yang sangat lewes, mengalir, jernih, padat sehingga mudah dibaca siapa saja, mulai dari orang awam hingga yang alim.
*) Alumnus PP Nasa Gapura & IAIN Sunan Ampel Surabaya
DATA BUKU:
Judul Buku: Cermin Bening dari Pesantren; Potret Keteladanan Para Kiai
Penulis: Rijal Mumazziq Zionis
Penerbit: Khalista, Surabaya
Cetakan : I, Agustus 2009
Tebal: xvi+248 Halaman
22 November, 2009
Serpih Keteladanan Kiai Sepuh
Label:
cermin bening,
Clifford Geertz,
kehidupan kiai sepuh,
khalista,
kiai,
nu,
pesantren,
pondok