28 November, 2010

OBAMA & PERANG TAK BERUJUNG

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Obama. Begitulah nama yang paling sering disebut-sebut akhir-akhir ini. Nama Obama begitu santer terdengar apalagi setelah memenangkan pemilu Presiden Amerika Serikat (AS) pada 20 Februari 2009 lalu. Dari segi namanya, presiden Amerika Serikat pertama berkulit hitam ini sudah mewakili sejumlah Negara di dunia, seperti Arab, Afrika dan Asia. Sehingga ketika dirinya mencalonkan diri sebagai presiden AS, dukungan tidak hanya datang dari warga AS sendiri, tetapi banyak mendapat dukungan dari Negara luar. Termasuk beberapa negara muslim. Karena dapat dilihat, dalam diri Obama terdapat potensi, bisa mendudukan permasalahan, perselisihan konflik antar bangsa, negara, Barat dan Timur, Islam dan Non-Muslim. Sehingga tak heran tak heran jika Obama disebut sebagai “Change”.


Dari segi nama, Presiden Amerika Serikat yang ke-44 ini betul-betul memiliki perpaduan nama yang unik dan mudah didengar. Dikatakan unik karena berbeda dengan yang lainnya. Barack Hussein Obama. Kata pertama, Barack diambil dari Bahasa Arab yang berarti tampan. Dua kata diambil dari bahasa Arab karena ayah kandungnya Senator Illinois ini seorang muslim dari Kenya.


Sedangkan nama terakhir Obama berasal dari bahasa Lou, bahasa yang biasa digunakan orang Luo di Provinsi Nyanza, Barat Daya Kenya. Arti nama Obama menurut bahasa Luo adalah tidak tulus. Namun dalam bahasa Parsi nama Obama dibaca mirip Uw Ba Ma yang berarti dia bersama kita. Bahkan di Jepang ada sebuah kota yang namanya Obama, walaupun saat kecil ketika tinggal di Indonesia, Obama akrap dipanggil Barry.


Dibalik nama Obama, juga ada seorang tokoh yang tak kalah terkenalnya namanya Osama. Tapi mempunyai peran berbeda. Osama hampir sama penyebutannya. Hanya berbeda huruf “B” dan “S” pada huruf kedua dalam penulisan nama. Nama Osama ini juga tidak asing ditelinga masyarakat Internasional karena mendapat tuduhan dari Presiden Amerika sebelum Obama, George W Bush, bahwa Osama sebagai otak teroris di dunia. Osama mempunyai jaringan kuat ke beberapa negara tentang terorisme. Tentunya kemiripan nama ini bukan menjadi keuntungan bagi Obama, pimpinan jaringan Al-Qaedah ini adalah buronan Negara adikuasa yang dimpimpin Obama. Sementara Obama pun (tidak bisa menghindar) harus melanjutkan terhadap warisan pemburuan jaringan teroris, karena merupakan salah satu dari janji kampanye dahulu adalah memberantas terorisme. Terorisme marampas hak kemanusiaan. Terlepas misi itu menuduh salah-satu agama tertentu atau tidak.


Secara kebijakan politik, Obama harus melanjutkan perburuan terhadap teroris yang namanya Osama dalam jaringan Al-Qaedah harus ditundukkan. Maka dengan berbagai cara, Obama juga harus memburu Osama, kalau misi pemberantasan terorisme segara berakhir.


Dua tokoh ini, Obama dan Osama sepertinya tidak pernah ketemu. Obama adalah presiden Amerika Serikat yang jelas memusuhi dan memburu Osama sebagai terdakwah atas serangan WTC 11 September 2001. Sementara Amerika adalah negara yang berpenduduk mayoritas beragama non-muslim. Apapun bentuknya, Obama adalah simbol dari negaranya. Sementara Osama hingga kini masih tetap disimbolkan secara totalitas muslim. Tetapi yang menarik, Obama disini ketika sebagai presiden Amerika Serikat tidak menampilkan bahwa dirinya bagian dari kelompoknya, melainkan dirinya merefleksikan dari semua berbedaan yang ada dimuka bumi.


Buku Obama Memburu Osama; Terjerat Perang Tak Berujung Melawan Teroris berusaha menjelaskan secara objektif tentang sosok Obama yang sesungguhnya. Buku ini menampis semua tuduhan terhadap diri Obama adalah membeci Islam, melakukan ketimpangan dalam kebijakan luar negeri ketika ada perseteruan antara Islam dan Non-Muslim, dan Obama dianggap memihak dan membela Negara Non-Muslim saja. Ketika Obama terpilih sebagai orang nomor satu di Amerika Serikat, ia bukan hanya milik negaranya, tetapi dirinya dan negara adalah pengayum untuk semua sebagai Negara adikuasa. Termasuk membuang jauh statemen bahwa Amerika Serikat memusuhi Islam. Hal itu bisa diliat dari cuplikan pidatunya di Cairo University, Mesir, 4 juni 2009 “…Bahwa salah satu bagian tanggung jawab saya sebagai presiden Amerika Serikat untuk berjuang melawan streotip negatif terhadap Islam dimanapun”. (hlm.200).


Dalam melakukan misinya pemberantasan terorisme, Obama tidak dengan jalan memusuhi Islam sebagaimana tuduhan George W Bush bahwa terorisme datang dari kaum muslim, tanpa mempetakan terlebih dulu Islam corak Islam seperti apa yang melakukan teros. Tetapi Obama membuka lembaran baru, menjalin hubungan baik dengan negara-negara muslim. Sebab kerjasama dengan negara-negara Islam sangat penting untuk menghadapi serangkaian aksi kekerasan yang dilakukan secara ektrim diseluruh dunia. Obama lebih kepada bersama-sama dan duduk bareng mencari solusinya. Karena berperang bukanlah solusi. Itulah beberapa langkah Obama kepemimpinannya menjadi berbeda dengan pemimpin AS sebelumnya. Diplomatis, tanpa pertumpahan darah.


Manarik mengikuti kebijakan Obama beberapa tarakhir ini. Dalam buku ini juga dikupas bagaimana Obama menghadapi perang Afganistan dengan memadukan kebijakan Meliter dan politik yang realistis, termasuk memperbaiki hubungan dengan dunia Islam. Salah-satu bukti bahwa Obama welcome dengan Islam ketika Capital Hill, tempat pelantikan Obama dipersilahkan digunakan untuk kegiatan umat Islam, shalat jumat, pada tanggal 25 September 2009, waktu itu dihadiri oleh 3.500 umat muslim. Hubungan kemanusiaan menjadi misi utama bagi Obama, tanpa harus melirik latar belakang Agama, etnis, kulit, negara, ras, suku dan golongan. Sehingga tidak berlebihan sekiranya sosok Obama disebut sebagai tokoh “Change” abad kekinian. Selamat membaca!


*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya


DATA BUKU: (dimuat di Radar Surabaya)

Judul Buku : Obama Memburu Osama; Terjerat Perang Tak Berujung

Melawan Teroris

Penulis : Wasis Wibowo

Penerbit : Grafindo, Jakarta

Cetakan : I, 2009

Tebal : 260 Halaman

24 November, 2010

ANTISIPASI BANJIR LOKAL

Oleh : Ach. Syaiful A’la*


Banjir. Kata ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Surabaya. Sudah menjadi sego setiap saat. Banjir merupakan problem yang mendasar saat tengah dihadapi kota Metropolitan ini dan boleh tinggal diam tetapi harus dicarikan solusinya. Saking pentingnya penyelesaian persoalan banjir di kota Surabaya, terkadang sampai dijadikan ajang kampanye (janji-janji politik) oleh para kandidat calon wali kota dan calon wali kota saat musim kampanye, misalnya seperti pada pilkada 2010 untuk mencari simpatik masyarakat.


Persoalan banjir yang terjadi di kota Surabaya, mungkin tidak separah kabupaten lain di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, yang ketinggian airnya sampai beberapa meter. Dari akibat tingginya air itu, sehingga bisa merobohkan bangunan, menumbangkan pohon-pohon besar, menghanyutkan harta milik, jembatan menjadi putus, memakan korban jiwa, gagal panen, sehingga kalau dikalkulasi menunjukkan jumlah kerugian besar. Banjir yang menimpa kota Surabaya tentunya berbeda, rata-rata ketinggian airnya hanya berkisar 50 cm. Misalnya beberapa hari sebelumnya banjir lokal menimpa daerah Tandes, Margomulyo, Banyu Urip, Tenggilis dan lainnya.


Oleh sebab terjadinya banjir, maka berakibat pula pada terjadi kemacetan di beberapa arus jalan dimana-mana. Sangat “sepele” memang kedengarannya dampak dari banjir itu, hanya “macet”. Tetapi macet di Surabaya juga berbeda dengan macetnya di kota-kota yang terkena banjir besar. Akibatnya juga hampir sama dengan korban banjir besar yang terjadi dibeberapa daerah lain yang dengan ketinggian air – kadangkala – sampai diatas atap rumah. Karena “macet” juga adalah persoalan mendasar di Surabaya yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Terjadinya kemacetan bisa menyebabkan banyak waktu terbuang di jalan, sikap individualistik tumbuh semakin ketara, karena satu dengan lainnya sudah tidak memikirkan di pinggirannya, saling mendahului dan lain sebagainya yang penting dirinya sampai tujuan tanpa harus memperhatikan disekitarnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memperbincangkan persoalan terjadinya kemacetan di kota Surabaya, melainkan ingin mengetengahkan persoalan banjir.


Dalam rangka menyelesaikan dan mempercepat persoalan banjir yang terjadi di beberapa daerah (kecamatan) di kota Surabaya, dinas PU Binamarga segera membuat kebijakan yaitu dengan cara menguras, menggali dan memperlebar saluran-saluran air limbah. Lain dari itu, pemerintah kota (pemkot) juga menyediakan mesin Bor untuk memindahkan air yang mengenang pada saluran/penampuangan air yang lebih besar (sungai). Tidak hanya demikian, dinas PU Binamarga juga menghimbau kepada masyarakat untuk membuat biopori, tujuannya agar bisa menyerap sebagian air hujan yang turun dari langit ketika intensitas hujan tinggi dan masyarakat juga diminta untuk membuang air ke sumur pada saat hujan yang turun dari genting, tujuannya tidak lain agar supaya air hujan tidak semua menuju kearah saluran air.


Dibutuhkan Kesadaran Terpadu
Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya melalui dinas PU Binamarga merupakan langkah tepat dan patut diajungkan jempol dalam usanya mengatasi persoalan banjir di Surabaya. Walaupun tidak sepenuhnya berhasil, usaha tersebut telah meminimalisir terjadi banjir lokal-lokal di beberapah daerah di kota Surabaya. Tetapi usaha yang dilakukan oleh pemerintah akan nihil (tidak mempunyai makna apa-apa dan tidak bisa berlanjut) tanpa adanya kesadaran bersama (terpadu) dari masyarakat Surabaya dalam serta ikut membantu menyelesaikan permasalahan banjir di kota Surabaya.


Apalah artinya pemerintah menggali saluran-saluran kecil (air limbah) kalau masyarakatnya masih membuang sampah sembarangan, membuang sampah tidak pada tempatnya, dihanyutkan di selokan-selokan air, sehingga berakibat pada tersumbatnya aliran air menuju sungai. Akibatnya banjir. Padahal salah-satu penyebab terjadi banjir-banjir lokal di beberapa tertentu yaitu oleh tersumbatnya aliran air menuju sungai besar oleh sampah-sampah yang ada dalam saluran air kecil.


Karena tidak sedikit – untuk tidak mengatakan banyak – beberapa aliran air yang tersumbat oleh sampah-sampah, semisal plastik. Di beberapa jalan sering saya temui, baru selesai dilakukan perbaikan, penggalian, pelebaran, pembentonan saluran airnya telah tersumbat oleh sampah nakal masyarakat. Apa gunanya dan mamfaatnya pembangunan saluran air dengan anggaran (APBD) besar kemudian masyarakat sendiri tidak bisa menjaga dan merawatnya. Padahal salah-satu bentuk kecintaan kita terhadap bangsa (nation) adalah menjaga kekayaan (yang dimiliki) Negara dan melestarikannya.


Guna menciptakan lingkungan kota yang bersih dan terhindar dari bahaya banjir, maka ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh pemerintah kota Surabaya. Pertama, menggalakkan (terus) lomba kebersihan kampung. Sebenarnya ini saudah dilaksanakan, hemat penulis masih terkesan serimonial saja. Dengan berpacu menggalakkan kebersihan kampong masyarakat akan berlomba-lomba menjaga dan melestarikan kampungnya masing-masing. Bentuk penilaian bukan hanya pada sisi luarnya saja, seperti keindahan cat-cat, lukisan, penataan bunga-bunga dipinggiran jalan, kelengkapan info kampung, tetapi juga dilakukan penilaian terhadap kebersihan saluran air. Hal itu jangan sampai luput dari pantauan dewan juri dalam memberikan penilain pada saat mau menentukan siapa pemenangnya.


Kedua
, pemerintah kota Surabaya hendaknya memberikan sanksi tegas kepada bawahannya. Misalnya ada sebuah kecamatan yang dianggap kotor, maka camat dimaksud langsung dikenai sanksi. Camat juga memantau terhadap daerah (kelurahan) mana yang kotor dan memberikan sanksi. Kelurahan juga akan memnatau dan memberikan sanksi kepada ketua RW dimana RT-nya melakukan perbuatan yang membuat tidak nyaman terhadap keindahan kota. Kalau perlu paying hukumnya. Dengan kebijakan birokratik tersebut, diharapkan – dan harapan kita semua tentunya – kota Surabaya akan menjadi kota yang bersih dan banjir pun akan larih dari kota Surabaya ikut mengalir bersamaan dengan lancarnya air menuju sungai. Maka Surabaya kedepan akan menjadi kota impian banyak orang.


*Mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya &
Dosen Sekolah Tinggi Islam Al-Karimiyyah (STIA) Sumenep.

REKRUTMEN PNS HARUS OBJEKTIF

Oleh: Ach. Syaiful A'la*

Pengawai Negeri Sipil, disingkat PNS dalam pikiran masyarakat Indonesia masih dianggap sebagai sesuatu hal “final” dalam mengejar sebuah profesi. PNS adalah pekerjaan. Menjadi PNS semua kebutuhan hidupnya akan terpenuhi. Sama dengan orang yang mencalonkan anggota legeslatif. Menjadi PNS bukannya mau menjadi abdi Negara, tetapi mau meraup untung dari Negara. Sehingga PNS tetap menjadi incaran banyak orang.


Menjelang akhir tahun 2010, merupakan tahun panen untuk masyarakat Indonesia. CPNS kembali dibuka. Jutaan orang berlomba-lomba mendaftar guna memperebutkan jatah yang hanya secuil. Tidak imbang antara pendaftar dengan kuota yang tersedia. Tidak separuhnya, tetapi hanya salah-satu yang akan diambil lolos menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).


Banyaknya jumlah pendaftar itu, sementara kesediaan kouta tidak sebanding dengan jumlah pendaftar, maka akan melahirkan beberapa persoalan mendasar – yang seharusnya tidak harus terjadi – dalam rekrutmen PNS. Salah satunya adalah adanya calo (mafia) dengan melakukan pemerasan terhadap pendaftar yang ikut sayembara PNS. Suap-menyuap dan loby-loby pun dilakukan. Ada yang melakukan sendiri, ada pula yang menggunakan orang lain, karena orang dimaksud punyak jaringan kepada bosnya (penentu kebijakan).


Beberapa terakhir ini, ketika calon pendaftaran CPNS dibuka untuk umum, tidak sepi pula dalam beberapa media cetak dan elektronik pemberitaan tentang adanya pemerasan terhadap CPNS yang dilakukan oleh oknom tertentu. Sehingga berita-berita tersebut menghiasi halaman depan beberapa media seperti Koran setiap hari.


Tindakan yang dilakukan oknom seperti yang disebutkan diatas bukanlah lahir dari ruang kosong. Beberapa kasus pemerasan ketika dibuka CPNS bukannya pula lahir tanpa ibu. Ibunya adalah ketidak objektifan beberapa para pemegang kebijkan (pemberi vonis) bahwa orang itu bisa lulus atau tidak. Oleh karena tidak objektif, maka beberapa cara pun dilakukan oleh orang yang tertarik ikut CPNS. Ia bisa melakukan apa saja yang terpenting dirinya masuk menjadi PNS meskipun melalui jalur membayar dengan jumlah yang cukup besar. Walaupun pada sebuah kesimpulan dirinya tertipu. Ketika para CPNS mau melakukan hal-hal demikian (membayar) maka dimamfaatkan pula oleh oknum tak bertanggungjawab yang menjanjikan dirinya lolos.


Ketika cara-cara seperti dilakukan, berarti yang berhak masuk (lolos) menjadi PNS bukan berarti orang yang terbaik dalam Negeri ini. Karena cara yang dipakai adalah dengan cara kotor. Mareka hanya yang terkuat dari beberapa (banyak) calon yang lain. Hukum rimba (hutan) berlaku, siapa yang kuat (banyak uang) ia menjadi raja, yang lemah harus rela (terpaksa) menunggu antrian.

CPNS tanpa Uang
Ada perkataan mengelitik ditelinga saya ketika bebepa hari yang lalu, saya ngantar teman ke kantor pos mengirim berkas CPNS, bahwa rekrutmen CPNS cenderung tidak objektif yang dilakukan oleh para birokrasi penentu kebijakan. Tidak objektif yang maksud adalah calon yang lolos bukan peserta yang benar-benar sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan keputusan. Tetapi melalui jalur-jalur lain yang tidak bisa ditempuh oleh calon yang tidak lolos.


Sekilas, kalau melihat rekrutmen CPNS saat ini memang (sepertinya) bersih dari menipulasi dan praktek-praktek kotor lainnya. Pendaftarannya dilakukan via pos, tanpa harus ada yang membawa berkas dan juga tidak bisa dititipkan kepada siapa-siapa. Tetapi – maaf – walaupun dengan cara seperti itu, yang lolos tetap mereka yang punyak orang (jaringan). Artinya, cara pendaftaran seperti itu pada akhirnya hanya sebagai kegiatan serimonial (ritual tahunan) saja untuk membuang atau dengan bahasa sangat sederhanya untuk men-tidak loloskan orang-orang yang tidak punyak orang dan uang.


Sangatlah naïf kalau cara-cara seperti masih terus berlanjut di negeri ini. Mau menjadi abdi Negara masih melalui jalur-jalur kotor. Dan kalau mereka pada gilirannya nanti berkesempatan menjadi penentu kebijakan, maka akan perbuat hal yang sama pula. Lingkaran syetan namanya. Menerima pesanan, tidak segan-segan meminta uang (uang administrasi kalau mau diperhalus bahasanya) kepada calon kalau ingin lolos, serta tega men-delete nama-nama yang seharusnya memang benar layak menjadi PNS berdasar kriteria yang ditetapkan. Sehingga orang yang memang punyak niatan ikhlas mengabdi membangun negeri rela terdampar, sementara mereka yang ingin meraup keuntungan dari Negara diberi jalan mulus dan lampu penerang.


Dengan tulisan ini – bukan bermaksud menggurui – setidaknya bisa meminimalisir perbuatan keji diatas. Kalau rekrutmen dilakukan dengan cara objektif, diloloskan karena kualitas dirinya bukan karena membayar dan bukan pula karena sungkan kepada siapa-siapa, karena kerabat, teman dekat, tetangga, anaknya atasan, maka tidak akan terjadi (secara otomatis) mafia PNS dimana-mana. Ada kompetisi penuh. Terjadinya tindak pemerasan CPNS belakangan ini karena masyarakat sudah tidak percaya dengan panitia seleksi, sehingga CPNS mau melakukan apa saja, yang penting tercapai tujuannya, tanpa harus menoleh bahwa apa yang diperbuat sesuai dengan karakter bangsa (adat ketimuran). Rekrutmen PNS yang dilakukan dengan cara objektif, akan menghasilkan orang-orang yang berkualitas, siap mengabdi, tanpa memperimbangkan materi dalam bekerja. Semoga!


*Mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Dimuat di Duta Masyarakat, 22 Nopember 2010

21 November, 2010

PELACUR JUGA BERAGAMA

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Agama Pelacur”. Dari judulnya saja menarik untuk dibaca. Buku ini layak dimiliki oleh akademisi, peneliti, pemerhati, dosen dan mahasiswa. Bagaimana seorang yang beragama bisa dikatakan dan berstatus menjadi pelacur? Lalu dimana Agama yang ia yakini ditaruh?


Nilai-nilai sosial, baik yang bersumber dari ajaran Agama maupun tradisi dapat menjadi faktor yang meminggirkan perempuan. Perempuan dapat terkonstruksi secara sosial sebagai mahkluk yang “tunduk”, “loyal”, “lembut”, “pasrah”, dan “mengabdi”, serta tempat yang dianggap sesuai dengan perempuan adalah rumah, peran yang harus diemban dan tidak boleh ditinggalkan adalah mengurus urusan-urusan rumah tangga. Pengingkaran terhadap watak dan posisi seperti itu dianggap melawan takdir.


Posisi perempuan dalam Agama sebagai pihak yang harus tunduk pada laki-laki banyak ditemukan dalam kitab-kitab klasik. Subordinasi perempaun dalam Islam misalnya, terdapat dalam kitab ‘Uqud al-Lujjayn tulisan ulama Nawawi al-Bantani, kitab kuning yang sering menjadi rujukan dalam pendidikan Agama di pesantren.


Pemosisian perempaun di masyarakat juga bisa dilihat dari simbol-simbol yang terbangun. Namun sistem simbol yang terkait dengan perempuan ternyata sangat rumit sehingga tidak dapat ditarik dengan segera ke dalam suatu keputusan tunggal. Ada kontradiski simbolik atau dinamika simbolisasi yang penting untuk dicermati.


Secara simbolik, perempuan mendapat tempat yang sangat terhormat di dalam imajinasi orang Indonesia. Misalnya, bumi Nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke selain disebut tanah air, sering pula dijuli “Ibu Pertiwi”, seperti pada ungkapan: “Pahlawan kita telah gugur dan kembali kepada pangkuan Ibu pertiwi. Itu artinya bahwa nama perempuan sangat terhormat. Begitu juga dengan sebutan ibu kota, dan banyak hal lainnya yang menyebut nama ibu. Ada puisi dahsyat judulnya juga diberi nama Ibu.


Pada ranah dimistik juga terbangun image publik tentang perempuan sebagai sosok manusia yang harus dihormati, misalnya pada ungkapan yang bersumber dari ucapan Nabi Muhammad SAW: “Surga berada di telapak kaki Ibu”. Disini begitu besar keududukan seorang perempuan (Ibu) harus dihormati dibandingkan dengan seorang laki-laki (Ayah).


Hanya saja, seringkali simbolisasi (image) perempuan sering dimamfaatkan oleh seorang laki-laki untuk menena-bobokkan seorang perempuan untuk tidak berdaya. Image diatas dijadikan sebagai senjata untuk menenangkan perempuan agar supaya tidak membuat perlawanan terhadap tindakan yang dilakukan perempuan. Sehingga laki-laki merasa puas dengan segala tindakannya, termasuk mau poligami tidak menjadi halangan. Pada sisi yang lain, perempuan banyak (hanya) dijadikan sebagai objek pemuas nafsu hedonisme seks laki-laki. Dalam sejumlah penelitian (yang dilakukan peneliti) banyak ditemukan data sebagai sumber kajian atau penelitian tentang perempuan tentang suatu kondisi marjinalisasi terhadap perempuan.


Buku Agama Pelacur (Dramaturgi Transendental) karya Nur Syam ini, hendak menggambarkan suatu keadaan (fenomena) perempaun dalam suatu kondisi tertentu. Bagaimana Agama memandang, menyikapi dan memposisikan perempuan yang seringkali dijadikan sebagai subjek (tertuduh) sebagai sosok yang a moral karena perbuatannya – yang kata sebagian orang – telah keluar dari garis yang ditentukan oleh Agama, misalnya perempuan yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial (PSK) dalam suatu lokalisasi.


Dalam penulisan buku ini, penulisnya menggunakan studi atau metode Dramaturgi. Studi ini dipakai untuk menjelaskan suatu identitas manusia, bahwa manusia tidak stabil dan merupakan setiap identitas manusia adalah bagian dari kejiwaan psikologi kemandirian individu. Studi ini menjelaskan bahwa identitas manusia bisa saja berubah-rubah sesuai dengan kondisi dan tergantung pada bagaimana ia melakukan interaksi dengan orang lain.


Kajian tentang Dramaturgi dikembangkan oleh seorang filosof dan literalis, Kenneth Duva Burkey. Dramaturgi dikenalkan untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan kehidupan sosial. Tujuan digunakan metode Dramaturgi oleh Nur Syam (penulis buku ini) adalah untuk menjelaskan bahwa hidup ini bukan seperti drama, tetapi hidup ini memang sebuah drama. Dengan demikian, untuk melihat kondisi sosial di masyarakat dibutuhkan pemahaman yang objektif. Tidak asal memberikan vonis itu salah dan yang ini benar, tetapi juga bisa memberikan solusi agar orang yang kita anggap keluar dari rel yang ditentukan bisa menemukan jalan dan tempat yang layak.


Melalui Dramaturgi, sehingga buku ini bisa menampilkan pentas (pertunjukan) tentang suatu kondisi prilaku perempuan dalam disebuah lokalisasi di Surabaya, misalnya di lokalisasi Jagir Wonokromo (hlm. 102), lokalisasi di Morseneng (hlm. 107), lokalisasi di Dolly (hlm. 113). Bagaimana seorang perempuan – yang oleh Agama diposisikan sebagai manusia terhormat bisa masuk dalam lokalisasi. Apa yang melatar belakanginya, bagaimana pengakuan (sesuai dengan hati nurani)-nya sebenarnya, serta bagaimana Agama menyikapi hal demikian? Untuk mengetahui lebih jauh, buku ini adalah jawabannya. Selamat membaca!



*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya


DATA BUKU:

Judul Buku : Agama Pelacur (Dramaturgi Transendental)

Penulis : Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

Penerbit : LKiS, Yogyakarta

Cetakan : I, Oktober 2010

Tebal : xviii+200 Halaman

29 September, 2010

Mekkah Pusat Peradaban Dunia

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Prof. Hussain Kamel (1978) menemukan suatu fakta mengejutkan bahwa Mekkah adalah pusat bumi. Pada mulanya Kamel hanya meneliti suatu cara untuk menentukan arah kiblat di kota-kota besar di dunia. Studi ilmiah ini dilaksanakan untuk tujuan yang berbeda, bukan dimaksud untuk membuktikan bahwa Mekkah adalah pusat dari bumi. Sehingga maka tak hayal, dari hasil studi banyak diterbitkan di dalam banyak majalah sain di Barat, termasuk dalam majalah al-Arabiyyah.


Perkembangan kota Mekkah tidak terlepas dari keberadaan Nabi Ismail dan Hajar sebagai penduduk pertama kota ini yang ditempatkan oleh Nabi Ibrahim atas perintah Allah. Pada perkembangannya muncul orang orang Jurhum yang akhirnya memilih tinggal menjadi penduduk di sana. Pada masa berikutnya kota ini dipimpin oleh Quraisy yang merupakan kabilah atau suku yang utama di Jazirah Arab karena memiliki hak pemeliharaan terhadap Ka'bah. Suku ini terkenal dalam bidang perdagangan bahkan pada masa itu aktivitas dagang mereka dikenal hingga Damaskus, Palestina dan Afrika. Tokoh sebagai kepala kabilah Quraisy waktu adalah Qussai yang dilanjutkan oleh Abdul Muthalib.


Pada tahun 571, Nabi Muhammad keturunan langsung dari Nabi Ismail serta Qussai, lahir di kota ini dan tumbuh dewasa. Pertama kali menerima wahyu dari Allah namun ajarannya ditolak kaumnya yang saat itu masih berada dalam kegelapan pemikiran (jahilliyah) sehingga berpindah ke Madinah. Setelah Madinah berkembang, akhirnya Nabi Muhammad kembali lagi ke Mekkah dalam misi membebaskan kota Mekkah tanpa pertumpahan darah yang dikenal dengan (Fathul Makkah).


Pada masa selanjutnya Mekkah berada di bawah administrasi Khulafaur Rasyidin yang berpusat di Madinah, serta para Khalifah yang saat itu berkuasa di Damaskus (Dinasti Ummayyah), Bagdad (Dinasti Abbasiyah) dan Turki (Usmaniyah). Kemudian setelah hancurnya sistem kekhalifahan, kota ini disatukan di bawah pemerintahan Arab Saudi oleh Abdul Aziz bin Saud yang kemudian menjadi pelayan bagi kedua kota suci Islam, Mekkah dan Madinah.


Keistimewaan Mekkah

Kota Mekkah yang merupakan kota paling dicintai Allah dan Rasul-Nya, memiliki keutamaan dan keistimewaan tersendiri. Di dalamnya juga terdapat tempat-tempat bersejarah yang dimuliakan Allah, semisal; Ka’bah, Masjidil Haram, Air Zam zam, Hajar Aswad, Multazam, dan lainnya. Mekkah juga memiliki beberapa peninggalan yang menjadi saksi sejarah kejayaan Islam dan kaum muslimin.


Selain keistimewaan tersebut diatas, Mekkah banyak menyimpan beberapa rahasia lainnya. Misalnya: Mekkah sebagai bumi terbaik (Ummul Qura). Menguatkan pendapat ini Allah telah menetapkan bahwa kota Makkah adalah bumi terbaik dan tempat yang sangat dicintai Rasulullah. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad (hal. 67).


Kedua, Allah menjadikan makkah sebagai tanah haram (kota suci), Ketiga, Mekkah digelari Allah sebagai Ummul Qura (Ibu Kota), Keempat, aman dari Dajjal. Sebagaimana diketahui bersama bahwa pada hari akhir nanti, Dajjal akan muncul dan membuat kerusakan di tengah masyarakat. Namun—atas kehendak Allah—Dajjal tidak akan mampu memasuki Kota Makkah dan Madinah yang merupakan kota yang dimuliakan Allah.


Kelima, dilarang berniat buruk di tanah haram. Sebagaimana seseorang yang berbuat kebaikan di tanah haram akan dilipatgandakan oleh Allah pahalanya, maka perbuatan buruk tanah haram akan dilipatgandakan juga siksanya, Keenam, tempat yang mustajab. Semisal Allah sendiri menjadikan waktu-waktu tertentu, dimana pada waktu tersebut doa akan dikabulkan, misalnya waktu sepertiga malam terakhir, hari Jum’at, hari Arafah, dan sebagainya. Begitu pula Allah menjadikan tempat-tempat tertentu (seperti Mekkah), dimana tempat tersebut, doa yang dipanjatkan disana akan dikabulkan.


Ketujuh, tempat yang dirindukan setiap orang. Ketika seseorang pergi ke tempat tertentu berkali-kali, tentunya dia akan merasa bosan. Namun, berbeda dengan yang yang datang ke kota Mekkah, setiap kali orang pergi ke sana, semakin bertambah keinginannya untuk kembali lagi ke tempat itu.


Buku yang memperbincangkan tentang kondisi geografi, kondisi social, sejarah, arti dan makna Mekkah memang telah banyak beredar di pasaran. Tetapi buku Mekkah Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim, yang ditulis oleh Zuhairi Misrawi (intelektual muda NU) ini layak juga disambut kedatangannya di ruang pembaca. Dalam perspektif sejarah dan ajaran tentang Kota Mekkah mungkin buku ini ada kesamaan dengan buku-buku terbitan sebelumnya. Tetapi tidak hanya itu, penulis buku ini mampu mencari celah-celah tentang Mekkah yang belum tersentuh oleh beberapa penulis sebelumnya. Seperti kota Mekkah merupakan sebuah kota yang bisa menghembuskan roh perdamaian dan toleransi.


Selain gaya bahasa yang analitis dari penulis, gaya penulisan buku ini cukup sederhana, sehingga pembaca merasa nyaman untuk memahami Mekkah, dan sepertinya pembaca sudah bisa membayangkan bagaimana gambaran obyektif tentang kota Mekkah. Buku ini juga dilengkapi dengan panduan manasik, umrah dan haji sehingga pembaca bisa mendapat panduan yang mempunyai keinginan untuk melakukan ziarah ritual ke Mekkah dan Madinah. Selamat membaca!


*Peserta Program Pascasarjana IAIN Surabaya


DATA BUKU;
Judul Buku: Mekkah Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim
Penulis : Zuhairi Misrawi
Pengantar: Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
Penerbit: Kompas, Jakarta
Cetakan : I, Agustus 2009
Tebal : xviii + 374 Halaman

21 Agustus, 2010

Mengenal Identitas Khas Bangsa

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Mengenal identitas diri sangatlah penting untuk menerangkan dan meneguhkan siapa diri kita yang sebenarnya. Identitas diri tersebut mencakup: dari mana kita berasal, siapa orang tua dan nenek moyang kita, apa prestasi mereka yang membanggakan, bagaimana semboyan dan falsafah hidupnya yang menguatkan dan memberi inspirasi, termasuk budaya dan adapt-istiadat yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan hidup dalam berbangsa.

Pada setiap individu sebenarnya yang paling penting mengetahui tentang identitas, potensi dan keberanian, kekuatan, bukanlah orang lain. Identitas diri perlu dicari, dibangunkan dengan pendidikan dan pergaulan, diberikan energi dan semangat, dilatih dan ditempa serta ditemukan secepatnya supaya bisa dikembangkan segala potensinya agar berguna bagi diri sendiri dan orang lain.

Orang yang telah mengetahui identitas dirinya adalah orang yang mengalami pencerahan dan kesadaran tentang potensi dan peluang dirinya untuk berkembang. Identitas diri dicari ke dalam diri melalui proses perenungan dan pemahaman dari sejarah hidup. Dengan identitas diri kita bisa berprestasi yang lebih tinggi dalam bekerja karena fondasi yang kuat sebagai penyangga pengalaman yang akan mematangkan sikap dalam menghadapi hidup.

Merebahnya arus globalisasi saat ini banyak generasi muda tercerabut identitasnya. Mereka tidak tahu sejarah dan asal-usul keluarga, apalagi tentang prestasi nenek moyangnya yang membanggakan. Dalam lingkup yang lebih luas, cerita-cerita etnik, nyanyian, kidung dan petuah kuno sudah dilupakan. Kehidupan seni dan sastra yang mengandung makna spirit yang menggerakkan semangat juga telah banyak dilupakan. Generasi muda mulai merasa bingung dan malu mencari identitas dirinya sendiri.

Banyak orang (pemuda) saat ini yang mencari identitas palsu merek bangsa lain, menjadi generasi shabu-shabu, generasi Mc Donald, Kentucky Fried Chicken, Levis, Billabong, Donna Karan, Marlboro dan generasi merek produk terkenal lainnya yang tentunya berbau barat, tanpa dilandasi dengan semangat dan filosofi yang kuat. Banyak orang yang tidak bisa menghadapi dan memaknai hidup menjadi kehidupan yang lebih baik, kecuali semangat konsumtif, pamer dan biar dikira kaya. Apakah budaya konsumtif ini yang disebut identitas kita? Kenyataannya generasi muda kita sudah terlanjur bangga dengan identitas dirinya yang palsu.

Sebenarnya banyak orang yang ingin mengenal dirinya sendiri, terutama waktu masih remaja. Hanya saja tidak tahu bagaimana caranya. Kita bangsa Indonesia memang menghadapi banyak masalah yang membuat seseorang menjadi bingung. Kebingungan itu sebenarnya ada sangkut pautnya dengan krisis identitas dan krisis mengenal diri sendiri. Bagi orang Indonesia, identitas merupakan pernyataan yang khas, yang sukar dijawab dengan merode-metode analisis dari Barat. Jadi, saat ini kita mencari suatu metode yang bertitik pangkal dari kebudayaan Indonesia.

Buku setebal 252 halaman berjudul Mengenal Diri Sebagai Orang Indoensia; Menganalisis Orang Berbudaya Indonesia dengan Analisis Transaksional karya Paul de Blot, SJ ini, adalah sebuah buku baru yang menyajikan metode psikologi analisis transaksional atau TA, Transactional Analysis untuk memecahkan problem serius yang tengah dihadapi bangsa saat ini yang sedang kebingungan mencari identitas dirinya.

Kenapa harus dengan Analisis Transaksional (TA)? Metode ini mempunyai kekuatan dan paling tepat untuk bangsa Indonesia karena bertitik pangkal dari budaya setempat dan corak pergaulan lokal. Sehingga metode-metode dalam buku ini merupakan jalan bagi orang Indonesia untuk lebih mengenal diri sendiri dan orang lain; bukan untuk disalahgunakan, melainkan memperbaiki pergaulan dan menghargai orang lain. Analisis Transaksional adalah kajian yang menekankan pada tindakan-tindakan seseorang. Dengan mengamati tindakan orang, kita pun akan mampu mengenal dirinya sendiri.

Masyarakat Indonesia yang terdiri dari lebih 500 suku dengan 250 lebih macam bahasa daerah, yang mana semua dipersatukan dengan ikrar yang telah menjadi dasar persatuan bangsa ini, yaitu sumpah permuda yang berisi; satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Ikrar tersebut telah diucapkan oleh seluruh bangsa Indonesia dengan perwakilan para pemuda dari berbagai suku dan golongan pada tanggal 28 Oktober 1928, saat Indonesia masih berada dibawah penjajahan Belanda. Hingga pada saat proklamasi dibacakan maka ditetapkanlah Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar Negara.

Dengan mengakui perbedaan dan menghormati perbedaan itu sendiri ditambah kuatnya mempertahankan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa merupakan suatu model identitas sosial yang sangat baik dalam bangsa ini. Sehingga terjalin kerjasama antar semua golongan tanpa pernah menyinggung perbedaan karena memiliki suatu tujuan utama dan kebanggaan bersama atas persatuan bangsa.

Perbedaan adalah anugerah, dimana darinya maka kita dapat mengenal satu sama lain, saling mengisi dan hidup penuh warna dalam melakukan komunikasi, interaksi dan juga relasi, sehingga dapat mewujudkan civil society sesuai dengan apa yang telah dicita-citakan bersama. Tidak ada yang instan dalam mewujudkan cita-cita, semua membutuhkan proses, kerja keras dan pengorbanan.

Kehadiran buku ini di ruang pembaca hendaknya menjadi manajemen diri sendiri yang efektif, yang berakar pada kebuadayaan Indonesia. Baik dalam dunia bisnis, maupun dalam pergaulan keseharian di bidang pendidikan, politik atau bidang-bidang yang lain.



*Direktur Kumunitas Baca Surabaya (KOMBAS) &
Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya


DATA BUKU (dimuar di Radar Surabaya, 22/8/2010)

Judul Buku : Mengenal Diri Sebagai Orang Indoensia; Menganalisis Orang

Berbudaya Indonesia dengan Analisis Transaksional

Penulis : Paul de Blot, SJ

Penerbit : Kanisius, Yogyakarta

Cetakan : I, 2010

Tebal : 252 Halaman

20 Agustus, 2010

Berharap Puasa Mabrur

Oleh: Ach. Syaiful A'la*

Secara umum, dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi. Ketiga potensi tersebut mempunyai kecendrungan yang berbeda-beda dan berusaha saling mempengaruhi di dalam jiwa manusia.

Pertama, potensi amarah (qawwat al-ghadhabiyah). Potensi ini cenderung untuk mengikuti sifat-sifat amarah dan emosional yang berlebihan. Jika potensi ini yang mengendalikan diri manusia, bisa dipastikan seseorang akan menjadi labil, pemarah, dan tidak bisa berkompromi.

Kedua, potensi kekuatan syahwat (quwwat al-syahwaniyah). Kekuatan ini cendrung memperturutkan hawa nafsu yang mengarah ke pemenuhan kebutuhan biologis secara berlebih-lebihan. Jika potensi yang dominan dan berkauasa, manusia akan terjerumus dalam kenikmatan (duniawi) sesaat.

Ketiga, potensi berpikir (quwwat al-natiqah). Jika potensi yang mengendalikan manusia, sebenarnya positif saja selama ini tidak berlebih-lebihan dalam mengembangkan potensi tersebut, baik dalam rangka memahami doktrin agama, maupun implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Substansi ibadah puasa ramadlan dalam konteks ini adalah mengembalikan ketiga potensi tersebut agar bisa terarah dengan benar. Jadi, dalam hal ini, tuntunan puasa ramadlan adalah membina, membimbing serta mengarahkan ketiga potensi agar bisa tersalurkan dengan baik dan benar.

Puasa Mabrur
Kata “mabrur” disini mungkin sangat asing di telinga pembaca ketika dikaitkan dengan ibadah puasa. Karena kata (mabrur) tersebut lazimnya melekat dan merupakan sebuah predikat bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah haji ke Mekkah.

Tentunya kita telah mafhum, bahwa tipe orang yang melaksanakan ibadah haji itu ada tiga. Jika seseorang yang menunaikan ibadah haji, kemudian kembali ketanah air, kelakuannya (sikap) lebih jelek dari sebelumnya, maka dimata Allah orang tersebut mendapat tiket, namanya haji mardud (ditolak). Apabila seseorang yang melaksanakan ibadah haji, setelah kepergiannya amal perbuatannya sama saja seperti sebelumnya (tidak ada perubahan), maka dinamai dengan haji makbul (keterima). Bila mana seseorang yang menunaikan ibadah haji kelakuannya lebih baik dari sebelum naik haji, maka ia menyandang predikat haji yang mabrur. Dan predikat mabrur inilah tentunya menjadi cita-cita setiap insan yang menunaikan ibadah haji.

Predikat mabrur disini ternyata tidak sesederhana seperti yang kita ucapkan setiap saat ini. Dalam sebuah hadits Nabi disebutkan, mabrur disini apabila memenuhi kriteria berikut. Pertama, orang yang baik perkataannya (thibul kalam). Misalnya orang tersebut bermoral, mempunyai kekayaan mental (optimistik), amanah dalam menjalankan tugas, sopan dalam bergaul dengan sesama, tawadau’ (tidak merasa dirinya lebih tinggi ketimbang yang lain). Kedua, mampu menyebarkan kedaimaian (ifsyaul as-salam). Ketiga, memberikan makan (ith'amul at-tha'am), seperti membantu orang yang kelaparan, menyantuni anak yatim piatu dan lain sebagainya.

Puasa sebagai Training
Bulan ramadlan atau disebut juga dengan bulan puasa sebagai bulan yang penuh berkah (syahrul mubarok). Berkah artinya terkumpulnya kebaikan Ilahiah pada suatu waktu, tempat, sesuatu atau seseorang. Dari satu sudut dapat disebut bahwa bulan ramadlan adalah bulan yang sangat produktip. Produktifitas ramadlan itu ditandai dengan peningkatan pahala sebagaimana dikatakaan oleh Nabi, bahwa amal sunnat diganjar senilai amal wajib, dan amal wajib diganjar dengan 10 sampai dengan 700 kali lipat, bergantung kualitasnya.

Puasa yang dilakukan seseorang secara benar, secara psikologis akan menekan keserakahan kepada harta dan menekan dorongan hawa nafsu (nafsul ammarah) yang pada gilirannya dapat meningkatkan tingkat kesucian jiwanya (nafsul muthmainnah). Hadits tersebut diatas tidak cukup hanya dimaknai secara literal saja, melainkan harus didefinisikan kepada konteks sosial saat ini. Kerana puasa adalah sebuah latihan (training) kepada kita untuk menghindari hal-hal yang sifatnya buruk, bukan semata-semata ibadah ritual yang sifatnya transindental, yang sepertinya tidak mempunyai nilai-nilai kemanusiaan sama sekali. Puasa secara substantif mempunyai makna sosial dan menjadi keharusan untuk diterjemahkan dalam kehidupan bermasyarakat (a’malul yaumiyah).

Misalnya dalam sebuah hadits Nabi juga disebutkan, bahwa 10 hari pertama di dalam bulan ramadlam adalah rahmah (pemberian segala macam kenikmatan dari Allah). Rahmat disini dapat artikan bahwa kita juga harus bisa memberikan mamfaat kepada orang lain. Sepuluh hari kedua adalah maghfirah (ampunan). Orang yang melaksanakan ibadah puasa hendaklah bisa memberikan maaf kepada orang lain, karena memaafkan orang lain jauh lebih sulit ketimbang memberi ampunan. Sepuluh hari ketiga adalah dibebaskan dirinya dari siksaan api neraka.

Bebas dari api neraka disini berarti keluar dari kesengsaraan. Sebagai muslim yang melaksanakan ibadah puasa, hendaknya turut serta membantu, menolong guna meringankan penderitaan saudaranya, misalnya supaya mereka cepat keluar dari himpitan persoalan ekonomi (kemiskinan) yang hingga kini tak kunjung usai.

Inilah yang dimaksud dengan “mabrur” dalam tulisan ini. Seseorang yang melaksanakan ibadah puasa akan mendapat predikat “mabrur” dan benar-benar keluar sebagai pemenang (fitrah) kalau mampu mengaplikasikan ketiga hal tersebut diatas. Karena apa yang diperbuat selama bulan puasa, seperti memperbanyak sedekah, mengeluarkan zakat fitrah, memberi bantuan makan seperti buka dan sahur kepada orang lian dan membantu sahabat sekitar yang memang membutuhkan, kemudian ia mampu menerjemahkannya pada 11 bulan diluar bulan ramadlan berikutnya.


*Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya' 2009.

06 Juni, 2010

Berharap Pilkada “Zero” Money Politic

Oleh: Ach. Syaiful A’la*


Beberapa daerah di Jawa Timur, pada tahun 2010 ini banyak kota dan kabupaten yang akan menggelar pemilihan wali kota dan wakilnya atau bupati dan wakilnya, termasuk salah satunya adalah kabupaten Sumenep-Madura.


Politik uang atau money politic hingga kini telah menjadi sebuah budaya pada setiap menjelang pemilu. Bahkan akhir-akhir ini bisa dikatakan telah menggurita di negeri ini. Karena pada setiap menjelang pemilihan, mulai dari pemilihan presiden, pemilihan anggota legeslatif, guberbur, wali kota/bupati hingga pemilihan kepala desa tidak sepi dari yang namanya isu money politic. Ironisnya, hal seperti ini juga terkadang terjadi di dalam sebuah organisasi, baik organisasi politik, maupun organisasi sosial dan keagamaan.


Cara-cara seperti itu – menggunakan kekuatan uang – oleh sebagian calon yang mampu secara finansial telah dianggap sebuah solusi alternatif dan senjata paling ampuh untuk mengantarkan ambisi dirinya ke pucuk pimpinan yang telah cita-citakan sejak awal.


Bersih (tanpa) Uang
Proses demokrasi yang dilakukan dengan cara main uang (money politic) adalah bentuk kecurangan dan ketidakdewasaan para calon dalam perhelatan pesta demokrasi. Di era demokrasi yang semuanya telah menjadi bebas menentukan pilihan, bebas bersuara, berpendapat, mencalonkan dan dicalonkan semestinya digunakan sebaik mungkin. Politik uang tidak boleh terjadi dan harus di tolak, karena merusak moral bangsa.


Didalam pemilihan kepada daerah, seperti pilkada, para calon hendaknya bisa menjual dirinya dengan visi dan misi yang menurut masyarakat Sumenep layak memimpin kota Sumenep. Karena langkah untuk menang dengan cara menggunakan money politic akan menambah konflik di masyarakat. Munculnya konflik dikarenakan karena munculnya semtimin sepihak, baik antara para tim sukses calon juga antar masyarakat.


Lalu, mungkinkah menuju “zero” money politic ditengah banyaknya isu bahwa politik uang telah menjadi budaya pada setiap menjelang pemilihan kepala daerah seperti sekarang? Tentunya untuk menjawab “bisa” perlu beberapa tahapan dan pertimbangan. Karena proses pemilihan kepala daerah atau pemlihan apa saja sudah tidak sepi dari yang namanya pilitik uang. Sementara untuk mengatakan sulit menuju “zero” juga bukanlah hal yang tidak mungkin. Politik “tanpa uang” sebenarnya sebagai pertanda kepada dunia bahwa proses demokrasi di negeri ini telah berjalan maksimal dan menunjukkan kedewaan warga Indonesia di dalam berpolitik.


Artinya, zero money politic bakal terwujud asal ada dua kesepahaman terpadu antara para politisi dan pemilih. Pertama, pendidikan politik dari politisi (calon). Hal ini penting diperhatikan oleh pemain politisi, karena sebagai proses pendewasaan dan pembelajaran demokrasi secara baik. Pendidikan politik (bukan politik pendidikan) merupakan satu cara untuk meniadakan bentuk money politic di negeri ini.


Karena kalau kita tilik belakangan ini, banyak para politisi tidak bisa memberikan pendidikan politik terhadap rakyatnya (pemilih). Ia seenaknya bermain uang, padahal perbuatan yang dilakukan adalah justru proses pembodohan, merampas kreativitas dan kebebasan. Politisi yang seharusnya mengawal dan mempercepat proses demokrasi di Indonesia, kini justru menyandera proses demokrasi sendiri. Sehingga dianggap salah satu cara yang kita paling mujarab untuk meniadakan (setidaknya bisa diminimalisir) adalah action elit-elit politisi itu sendiri.


Kedua, kesadaran dan ketepatan dalam menentukan pilihan bagi pemilih. Dalam konteks ini, pemilih harus menentukan pilihan pada yang tepat. Tepat dalam arti mereka (calon) mempunyai visi dan misi kerja. Sebagai pemilih juga harus “tegas” menolak adanya money politic dari para calon. Kalau langkah itu bisa dilakukan oleh masyarakat, dengan sendirinya para calon akan terkena sanksi sosial, bahwa kalau ada calon yang main politik uang tidak layak dipilih.


Langkah diatas perlu digalakkan dan harus dimulai dari grass root secara terang-terangan menolak adanya money politic, Kegiatan-kegiatan masyarakat seperti itu akan mempersempit langkah para politisi yang akan bermain politik uang.


Salah memilih pemimpin akan menambah jumlah pemimpin yang hanya mau marusak negeri ini. Karena tidak sedikit para pemimpin, seperti mantan Gubernur, Wali Kota, Bupati dan pejabat negara lainnya kini masuk rumah tanahanan lantaran terlibat kasus korupsi. Kenapa ini terjadi? Bisa salah satunya adalah akibat dari money politic ketika pencalon dirinya. Sehingga ketika dirinya memimpin, maka yang dipikirkan pertama kali bukan bagaimana membuat perubahan untuk rakyatnya, justru memperkaya diri dan mengembalikan modal sebanyak-banyaknya.


*Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya

10 Mei, 2010

Kyai dan Pohon

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Kyai. Begitu kira-kira “gelar” yang diberikan masyarakat kepada sesosok pemimpin yang mempunyai keahlian khusus dalam bidang disiplin keilmuan tertentu di komunitas masyarakat. Misalnya mereka (kyai) yang mempunyai kemampuan dalam bidang intelektual (‘ilmiyah), spiritual (rohaniyah), sosial (ijtimaiyah), administratif (idariyah), politik (siyasah) lebih-lebih kalau mempunyai pondok pesantren (sebagai pengasuh), sudah tidak terbantah lagi, bahwa dirinya disebut sebagai kyai. Tetapi yang aneh terkadang, saat ini juga seorang dukun disebut sebagai kyai.


Secara epistemologis, perkataan kyai berasal dari bahasa Jawa. Pertama, kyai merupakan sebutan untuk benda-benda terhormat atau benda pusaka, seperti kyai Pleret, kyai Garuda Kencana dan lainnya. Kedua, gelar kyai diberikan kepada salah seorang tokoh atau sebagai public figure di tengah masyarakat. Biasanya disingkat Ki, seperti Ki Ageng, Ki Temenggung, Ki gede, Ki Buyut dan seterusnya. Ketiga, seseorang disebut kyai karena ilmunya (alim), faham ilmu-ilmu keagamaan, mempunyai kharisma di masyarakat, mengajar kitab kuning dan mempunyai pesantren dengan jumlah santri yang cukup banyak.


Keberadaan kyai pengasuh pondok pesantren di dalam lingkungan masyarakat (Indonesia pada umumnya) sudah bagaikan garam dalam sebuah menu masakan. Artinya, keberadaan dan keterlibatan kyai dalam berbagai agenda kegiatan sudah menjadi sebuah kaharusan. Tidak ada kyai, tidak ramai.


Dalam percaturan perpolitikan lokal dan nasional, yang menjadi menarik dan meramaikan media massa setiap hari karena adanya keterlibatan kyai pondok pesantren, mulai dari tingkat pemilihan anggota legeslatif (DPR), eksekutif, pemilihan presiden, gubernur, bupati, sampai kepada pemilihan kepala desa. Seandainya tidak ada keterlibatan kyai, sepertinya tidak menarik, kering dan membosankan, walaupun pada akhirnya muncul kontroversi disana-disini atas keterlibatan kyai pondok pesantren dalam ranah politik praktis. Yang demikian itu terjadi, karena dianggap keikutsertaan kyai dalam politik hampir melupakan tugas utama di pondok pesantren sebagai pendidik dan pentransfer ilmu pengetahuan (cultural broker) dalam bahasa Clifford Geertz.


Dari Pesantren ke Pohon
Masa Orde Baru, istilah pohon oleh kyai dan masyarakat khususnya di lingkungan pondok pesantren selalu identik dengan Partai Golongan Karya (Golkar), karena lambangnya memang memakai pohon beringin. Oleh kyai pondok pesantren, pohon beringin identik pula dengan pohon yang mengerikan (berit, Madura), dihuni makhlus halus sebangsa jin, sehingga kelihatannya saja angker tidak mengenakkan mata. Maka tak hayal jika para kyai memberikan fatwa jangan dekat-dekat dengan pohon. Artinya, tidak boleh ikut bergabung dengan partai politik namanya Golkar.


Untuk menguatkan fatwa diatas, para kyai akhirnya mencari dalil sebagai landasan. Misalnya ayat wala taqroba hadzihisy syajarota diartikan dilarang mendekati partai Golkar, karena gambarnya pohon. Padahal konteks aslinya pada kisah Nabi Adam As, dan pohon juga bukan pohon beringin.


Lain lagi dengan kyai yang sudah terjun dalam politik alias menjadi bagian dari pohon tadi, mereka mencari dalil untuk melakukan perlawanan terhadap pernyataan diatas. Misalnya, sesungguhnya orang Islam harus berbaiat dibawah pohon, juga diartikan dengan bahwa kita harus setia kepada Golkar, sementara partai yang gambarnya pohon 'kan hanya Golkar! Padahal konteks itu adalah kisah baiah aqabah antara Nabi dengan sahabatnya. Ada pula ayat yang sering digunakan: berkarkayalah kamu, sehingga menjadi golongan karya.


Juga masih banyak kalimat lain yang biasa digembar-gemborkan oleh kyai pada saat kampanye. Misalnya saja janji pertama dalam kampanye kalau terpilih akan memberantas Korupsi, Kolusi dan Neputisme (KKN) karena merugikan negara dan hukumnya haram. Realitasnya setelah masuk menjabat dalam legeslatif maupun eksekutif kata “haram” berubah menjadi “harum”. Yang dulunya berfatwa tidak boleh pemimpin wanita, maka justru berfatwa tidak ada masalah pemimpin wanita karena sudah mendapat restu dari Tuhan (hasil istikharoh). Tuhan pun dijual untuk kepentingan politik.


Kini kyai jauh mengalami pergeseran fungsi. Kalau dulu berfatwa dilarang seseorang (umatnya) untuk mendekati, apalagi ikut bergabung ke dalam pohon beringin (politik), malah saat ini diambil fungsi sendiri oleh kyai. Kyai hingga kini sering menjadi penentu (tim sukses calon) untuk mengarahkan suara rakyat dalam berbagai pemilihan, maka calon yang direstui kiai sudah dianggap baik oleh masyarakat karena sudah pilihan kyai. Belum tentu.


Pohon yang dulunya juga identik dengan pohon beringin, dihuni oleh makhluk halus seperti jin, malah kyai sendiri sekarang juga banyak yang menjadi penjaga pohon. Betapa banyak setiap hari kita lihat di sepanjang jalan kota maupun jalan kecataman dan desa pada tiap-tiap pohon ada fhoto kyai mampang bersama-sama dengan calon. Duhulu kyai menjadi penjaga pesantren dan masyarakat, sekarang menjadi penjaga pohon.


Berpolitik bagi kyai bukan berarti selamanya distempel jelek. Tidak. Dalam Islam juga diajarkan tentang bagaiamana berpolitik untuk mengatur Negara dengan baik, misalnya tujuan demokrasi adalah memilih pemimpin. Tapi ketika kyai terlibat dan terlalu masuk pada percaturan politik secara langsung, maka akan berdampak negatif terhadap diri kyai sendiri dan kepercayaan masyarakat juga mulai luntur. Contoh kecil, masyarakat mulai sungkan untuk sowan (silaturrahim) pada kyainya. Karena kedatangannya takut dicurigai mau mengajukan proposal atau minta bantuan untuk membangunan. Dengan demikian, berarti sudah putus tugas kyai sebagai pengayom dan penyambung lidah untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemimpinnya.


Oleh karena itu, kyai pondok pesantren idealnya mempunyai empat garapan besar (tidak hanya di politik), yakni penyebaran dakwah, peningkatan pendidikan, sosial, dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan.


*Alumnus PP. Nasa Gapura Timur

25 April, 2010

Ketika NU Jadi Parpol Lokal

Oleh: Ach. Syaiful A’la


Diawal tulisan ini, penulis mencoba mengalisis persoalan mendasar yang tengah dihadapi oleh NU secara nasional, kemudian pada bagian diakhir seratan ini juga akan menampilkan beberapa perjalanan NU yang tengah terjadi di beberapa daerah (kabupaten) yang mayoritas penduduknya adalah nahdliyyin (sebutan bagi warga NU).
Dalam usianya yang cukup panjang, Nahdlatul Ulama sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyah ijtimaiyyah), tengah mengalami aneka krisis yang mengancam terhadap eksistensi organisasi NU sendiri dan merugikan bangsa. Perkembangan sosial, politik, dan ekonomi semakin menekan warga nahdliyyin, termasuk sesepuh yang kini tengah asyik berpolitik dan hampir melupakan kepentingan umat yang merupakan ikon kekuatan tersebar NU.


Selain persoalan diatas, ada empat permasalahan yang tidak kalah menariknya yang sedang dihadapi oleh organisasi bintang sembilan (sebutan lain dari NU) dan segera harus dicarikan solusinya. Diantaranya, pertama, tantangan yang datang dari jurus kanan, yaitu merebahnya paham fundamentalisme dan radikalisme yang tidak bisa dipahami secara utuh oleh warga NU sendiri. Kedua, tantangan datang dari sebelah kiri yang merupakan pemahaman keagamaan secara liberal yang hingga kini justru semakin banyak diminati oleh kalangan muda anak-anak NU. Ketiga, tantangan datangnya dari atas, dalam hal ini kuatnya refresi penguasa dalam politik praktis. Keempat, adalah tantangan yang datang dari arus bawah, dalam hal ini adalah merupakan rendahnya loyalitas warga NU terhadap kiainya yang terkadang kalau kita lihat di internal pun tejadi pertarungan para elit-elitnya. Ketika para elit mulai berkonflik dan kemudian akan diikuti oleh pengikutnya, maka tidak mustahil akan terjadi split personality yang tidak lama kemudian akan mengancam terhadap eksistensi jam’iyyah dan atau bahkan jama’ah yang ada.


NU dan Pilkada Sumenep
Tahun 2010, beberapa kota dan kabupaten di Jawa Timur, bakal menyelenggarakan pemilihan kepada daerah (wali kota atau bupati), salah satu yang bakal menyelenggarakan perhelatan lima tahunan adalah kabupaten Sumenep.


Posisi NU pada setiap menjelang pelaksanaan pemilihan kepada daerah bisa dikatakan memiliki daya ikat yang luar biasa. Hal itu dapat dipahami karena karena NU memiliki sumber daya berupa tokoh-tokoh berpengaruh dan struktur oganisasi hingga pelosok desa/kelurahan (ranting). Lebih dari itu, NU memiliki anggota yang sangat mayoritas di provinsi Jawa Timur. Itu berarti sangat potensial para calon untuk mendulang suara dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), khususnya di Sumenep. Maka karena alasan itulah, hampir semua calon yang akan berlaga berupaya sekuat tenaga untuk meraih dukungan dari NU.


Mengingat pentingnya posisi politik warga NU dalam pilkada Sumenep, banyak para calon telah menjalin komunikasi dan merajut sinergi dengan berbagai tokoh NU, baik jalur kultural maupun struktural.


Khittah Lokal
Khittah merupakan istilah dan keputusan yang dipakai oleh jam’iyyah Nahdlatul Ulama setelah dicetuskan pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo. Keputusan (Khittah) diambil sebagai bentuk pernyataan sikap bahwa NU tidak akan terlibat dalam ranah politik praktis dan tidak mendukung salah satu bendera partai politik tertentu. Walaupun hingga kini banyak orang (termasuk elit-elit NU) yang memberikan tafsir berbeda tentang diambilnya keputusan Khittah untuk kepentingan dirinya.


Persoalan Khittah dalam Muktamar NU ke-32 di Makassar, memang kurang begitu banyak mendapat perhatian dari peserta Muktamar. Muktamirin lebih asyik memperbincangkan siapa yang bakal maju untuk memperebutkan ketua umum (PB) dari pada mendiskusikan tentang persoalan yang tengah dihadapi oleh jam’iyyah NU sendiri. Misalanya meluruskan kembali konsep Khittah dan beberapa persoalan besar diatas. Sehingga terasa sekali dalam suasana Muktamar kala itu ada loby-loby dan persaingan memanas akibat saling menjagokan calon tertentu.


Tujuan diambilnya keputusan Khittah pada tahun 1984, NU diharapkan lebih konsentrasi dan dapat terfokus pada empat garapan besar, yakni dakwah, pendidikan, sosial dan ekonomi. Guna garapan tersebur bisa tercapai, salah satu cara adalah – harapan kita semua tentunya – NU, termasuk juga di kabupaten Sumenep beserta struktur kepengurusan dibawahnya (MWC dan pengurus Ranting) untuk melakukan “Khittah Lokal” agar NU tidak terkesan sebagai partai politik lokal yang sekali-kali dilahirkan untuk mengusung salah satu calon tertentu (baik jalur parpol juga independen) hanya untuk kepentingan dan ambisi syahwat politik para elit-elitnya. Kalau yang demikian terus dilakukan, dalam artian NU tidak bisa menjaga jarak pada setiap pesta lima tahunan, maka taruhannya bukan kredibilitas elit-elit NU saja, tetapi NU secara jam’iyyah (organisasi) pun nanti akan ditolak oleh masyarakat


*Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya, PP Nasa Gapura Timur

02 April, 2010

Penulis Bertepuk Sebelah Tangan

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


“Menulis Tidak Jadi Seketika” (Jawa Pos, 31/1/2010). Begitu yang saya tangkap dari acara temu penulis Jawa Pos, minggu lalu. Bahwa menjadi seorang penulis akan menemukan jalan terjal, dibutuhkan kesabaran, keuletan, istiqamah, ketelatenan memilih kata untuk sebuah kalimat, membuat kalimat menjadi paragraf, dari paragrap kemudian dijadikan beberapa gugus kalimat lain sehingga menjadi sebuah tulisan utuh.


Judul tersebut diatas saya pilih pada dasarnya bermula dari pertanyaan peserta ketika penulis melakukan road show ke beberapa pondok pesantren di Jawa Timur, tentang menumbuhkan minat dan bakat menulis di kalangan santri pondok pesantren sekaligus bedah buku “Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis”. Kegiatan tersebut dimulai dari tanggal 10/12/2009 di pondok pesantren Semblak-Putri, Jombang, dilanjutkan pada tanggal 21/1/2010 di Pondok Pesantren Bata-Bata, Pamekasan, tanggal 22/1/2010 di Pondok Pesantren Nurul Islam, Karang Cempaka, tanggal 23/1/2010 di Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin (NASA) Gapura Timur, tanggal 25/1/2010 siang harinya di Pondok Pesantren An-Nuqayah, Guluk-Guluk dan malamnya di Pondok Pesantren At-Taufiqiyyah, Bluto Sumenep-Madura.


Dari enam pondok pesantren yang saya datangi, pada setiap sesi tanya-jawab, dipastikan muncul pertanyaan dari peserta bahwa dirinya merasa sebagai seorang “penulis bertepuk sebelah tangan”. Tentunya kita sudah mafhum ketika orang berkata demikian, sebetulnya orang itu sudah menulis (punyak tulisan), banyak menghasilkan karya, telah ngirim kebeberapa media, dimulai dari media yang bersifat lokal hingga yang berskala nasional tetapi tidak kunjung dimuat. Kalau awak mengibaratkan sama dengan orang yang sedang jatuh cinta pada seseorang, kemudian meluapkan semua perasaan yang tersimpan dalam hatinya, tapi belum juga ada kepastian dari yang ia maksud. Menunggu dalam kehampaan, penuh teka-teki dan penasaran.


Begitu juga dengan menulis. Jujur saja, sungguh tidak sedikit orang yang telah menuangkan ide pikiran dan isi otaknya dalam bentuk tulisan. Bahkan ketika tulisan itu telah jadi, melalui proses editing (tambal-sulam) yang cukup lama, saat mencoba untuk ngirim ke media, sementara dari media belum ada tanggapan sama-sekali, tidak ada berita bagaimana nasib tulisannya, apakah tulisan yang dikirim layak dimuat, masih antri atau sama sekali tidak akan dimuat.


Apa yang bisa kita ambil dari paparan diatas? Ketika saya hendak menjawab pertanyaan tersebut diatas, kemudian saya menjawab pertanyaan yang tidak kalah menariknya juga dari peserta, yakni “apakah seseorang yang dikatakan penulis apabila tulisannya telah pernah dimuat di media?” Seketika itu pula saya tegaskan kepada peserta, bahwa menjadi penulis itu tidak harus dimuat di media, seperti surat kabar (koran), majalah, buletin, jurnal, ataupun media online (internet).


Menariknya, ketika jawaban seperti itu saya berikan kepada penanya malah mendapat tanggapan (agak) serius dari peserta yang lain pada sesi pertanyaan berikutnya. Dengan suara tegas dan lantang, seseorang itu mengemukakan “bahwa menjadi penulis itu berkenaan dengan popularitas di media (No Name No News), dan sudah barang tentu, seseorang yang banyak menulis, sementara tulisannya hanya menjadi arsip (dokumen) pribadi, maka orang yang seperti itu belum disebut sebagai penulis”.


Lebih lanjut, ada pernyataan dari peserta bahwa kesemua narasumber (termasuk saya sendiri) hanya sebagai orang yang pinter menyuruh seperti buang air besar, tetapi tidak menyediakan jambannya. Artinya, kami yang ada di depan sering memutivasi orang untuk terus menulis, sementara tidak menyediakan media – kalau perlu mengawalnya supaya dimuat di media – dalam rangka menampung karya-karya mereka. Maka untuk menenangkan suasana, saya ketengahkan sebuah penjelasan tentang definisi dari seorang yang profesi sebagai penyusun, penulis dan pengaranag. Tiga kata ini ada sedikit berda (untuk tidak mengatakan sama), tapi juga memiliki kemiripan, sama halnya dengan dua sisi mata uang.



Menulis dengan Cinta
Bagaimana perasaan seseorang jika mencintai sesuatu? Semuanya akan terasa menjadi indah. Yang lemas akan menjadi berani, yang jauh terasa menjadi dekat, yang takut bisa menjadi berani, semula takut berkorban bisa bertani berkorban untuk segalanya yang ia cintai. Karena dasarnya sudah cinta.


Kembali kepada konteks menulis, bahwa menulis pun harus dengan cinta (indah). Tidak karena kebutuhan, seperti tuntutan ekonomi (penulis lapar), mencari honur, merebut popularitas, mengangkat dan menjatuhkan lawan dalam tulisannya dan lain sebagainya. Kalau hanya itu yang menjadi tujuan seorang penulis, maka setelah tujuan tersebut tercapai, akan berhenti menulis, karena dasarnya bukan cinta.


Hemat penulis, tulisan ini menjadi penting untuk pembaca (penulis), baik yang telah banyak menulis (belum dipublikasikan/dimuat) dan yang baru akan menulis, sesungguhnya menjadi seorang penulis tidak harus dikirim dan dimuat dimedia. Karena berbicara media, juga akan berbicara aturan main yang ada pada media itu. Misalnya kita sering menuangkan ide-ide (gagasan) dalam bentuk tulisan dalam jumlah banyak (tidak bisa nulis singkat), sementara media hanya menyedaiakan space (ruang) sangat sempit, sehingga memerlukan editing yang cukup intensif dan terkadang pula harus menguji kesabaran seorang editor redaksi saat membaca dan mengeditnya. Maka tak salah jika seorang penulis esai terkenal, Dhimam Abror Djuraid mengatakan bahwa menulis di media itu gampang (terkadang) juga susah.


Untuk para penulis dan akan memulai untuk menulis tidak perlu berkecil hati, sekarang media sudah bertaburan dimana-mana, bagi anda yang sering belusukan, warnet sudah menjamur disetiap gang jalan. Anda bisa membuat media sendiri seperti blog atau cari layanan gratis lain di internet supaya tulisan anda bisa dibaca orang.


Mungkin anda masih berfikir, bahwa tulisan yang dimasukkan di blog tidak dibaca orang, justru sebaliknya. Setelah tulisan diposting di blog anda, maka seluruh sudut dunia akan membaca tulisan anda. Atau bisa memulainya dengan cara menulis di Mabok (majalah tembok), news letter yang dibuat sendiri, tulis sendiri, lay-out sendiri, dibiayai sendiri, distribusikan sendiri, seperti yang telah banyak dilakoni oleh beberapa penulis terkenal sebelumnya ketika memulai dirinya untuk menjadi seorang penulis terkenal.


Selamat menulis kawan! “Tinta para ulama lebih berharga dari darah para syuhada”.


*Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya, Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS)

30 Maret, 2010

Benarkah Label Kiai Haram?

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Secara epistemologis, perkataan kiai berasal dari bahasa Jawa. Pertama, kiai merupakan sebutan untuk benda-benda terhormat atau benda pusaka, seperti kiai Pleret, kiai Garuda Kencana dan lainnya. Kedua, gelar kiai diberikan kepada salah seorang tokoh atau sebagai public figure di tengah masyarakat. Biasanya disingkat Ki, seperti Ki Ageng, Ki Temenggung, Ki gede, Ki Buyut dan seterusnya. Ketiga, seseorang disebut kiai karena ilmunya (alim), faham ilmu-ilmu keagamaan, mempunyai kharisma di masyarakat, mengajar kitab kuning dan mempunyai pesantren.


Pertanyaannya, bagaimana seorang yang mempunyai ilmu cukup (alim dalam ilmu agama), mengajar kitab kuning, banyak melakukan berubahan dan pemberdayaan di masyarakat, sementara tidak memiliki pondok pesantren apakah tetap disebut sebagai kiai? Dan bagaimana hukumnya?


Pertanyaan inilah yang sedang terjadi saat ini ketika Forum Kiai Pondok Pesantren (FKP) mengadakan pertemuan (bahtsul masail) di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Pertemuan tersebut meyepakati bahwa seseorang yang tidak mempunyai pondok pesantren (building) “haram” hukumnya menggunakan label kiai.

***
Menjadi seorang kiai atau ulama memang tidaklah gampang, karena membutuhkan suatu proses yang cukup panjang. Berbeda dengan seorang yang mau menjadi politisi, akademisi, pegawai dan pejabat Negara lainnya. Hanya bermodal dana dan pencitraan yang bagus, maka akan diraihlah semuanya. Berbeda dengan menjadi kiai, ia harus melampaui tahapan seperti patapan (mengasingkan diri, mencari ilmu pengetahuan agama sebanyak-banyaknya). Tidak cukup itu, tetapi juga harus dibuktikan, apakah ilmu yang didapat benar-benar bermamfaat kepada masyarakat atau tidak (uji kelayakan). Jadi label kiai adalah bentukan (julukan) yang diberikan oleh masyarakat berdasar ilmunya, bukan berdasar pada seberapa besar bangunan pondok pesantrennya.


Ketika memperhatikan hasil pertemuan Forum Kiai Pesantren di Lirboyo, Kediri, tanggal 14 Pebruari 2010, yang memfatwakan “haram” seseorang menggunakan label kiai sementara tidak punyak pondok pesantren (banyak santri) Untuk melehat kesana dibutuhkan pembacaan secara intensif, diperlukan sebuah pijakan dan kerangka pikir (manhaj). Kalau dahulu kita di pesantren dikenalkan dengan maqal (perkataan ulama) “lihat apa yang ia katakan, jangan melihat siapa yang mengatakan” (undzur maa kaala wala tandzur man kaala) adalah tidak berlaku lagi disaat sekarang ini. Lebih baik “lihatlah siapa yang berbicara (dulu), jangan melihat apa yang ia katakana” (undzur man kaala wala tandzur maa kaala).


Artinya, saat ini, melihat realitas hidup dibutuhkan sebuah pola pikir yang kritis. Kenapa harus “siapa” yang diletakkan di depan? Karena berbicara siapa juga berbicara subyek. Ketika ngomong subyek ada kaitannya dengan tempat dan waktu (konteks) yang melatar belakangi lahirnya sebuah pendapat, pernyataan dan fatwa.


Tulisan ini merupakan tanggapan – untuk tidak mengatakan kritik dan perlawanan – terhadap Forum Kiai Pesantren yang mengharamkan seseorang yang tidak mempunyai pondok pesantren berlabel kiai. Karena tidak sedikit pula orang banyak melakukan dakwah di masyarakat, sementara dia terkadang tidak mempunyai pondok pesantren. Walaupun mereka tidak peduli apakah di bilang kiai atau tidak. Karena bermodal ikhlash dalam berjuang, identitas tidaklah penting.


Apa yang penulis tangkap dari fatwa kiai-kiai di Lirboyo, Kediri itu, mempunyai tendensi dan beberapa kepentingan sebagai berikut. Pertama, pada bulan Maret depan, Nahdlatul Ulama (NU) akan mengadakan muktamar yang akan ditempatkan di Sulawesi (kalau tidak ada perubahan). Dengan adanya fatwa tersebut diatas, adalah merupakan bentuk perlawanan dan upaya untuk menjegal salah-satu calon tertentu yang akan memperebutkan ketua umum PBNU.


Kedua, tahun 2010, di Jawa Timur, beberapa daerah (kabupaten) akan mengadakan pemilihan kepala daerah (pilkada). Sementara – mohon maaf – masyarakat Jawa Timur hingga kini masih panatik terhadap kiai. Artinya, rekom (restu) kiai untuk mendukung salah-satu calon tertentu dalam mengais suara tetap menjadi pertimbangan banyak politisi. Fatwa dilakukan – meminjam bahasanya KH. Abdurrahman Wahid – sebagai bentuk perlawanan untuk tidak kalah saing antara kiai kampung (yang tidak punyak pesantren) dan kiai khos (yang mempunyai pesantren besar).


Ketiga, langkah tersebut merupakan pembunuhan karakter dan pemutusan mata rantai kader-kader potensial di lingkungan NU dan pesantren. Sementara harus disadari, bahwa munculnya kiai khos (bukan kiai kaos) adalah lahir dan dibesarkan melalui proses kiai kampung yang hanya melayani dua sampai tiga santri dalam bentuk surau, bukan pesantren besar.


Ditengah hiruk-pikuk persoalan bangsa yang begitu kompleks, mulai dari persoalan keagamaan, sosial, ekonomi, budaya, dan politik, diharapkan fatwa para kiai benar-benar dilakukan untuk kebaikan, tidak mendiskreditkan salah satu pihak tertentu.


*Kader Muda NU Sumenep, Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS).

Kebangkitan (para) Hewan

Oleh: Ach. Syaiful A'la*

Beralihnya kekuasan orde baru pasca jatuhnya presiden Soeharto (1997) dari puncak kekuasaan tertinggi di Indonesia menjadi masa reformasi cukup memberikan angin segar bagi kebebasan individu dan perpolitikan di Indonesia sehingga orang bisa bebas menuntut segala hak serta tidak ada larangan untuk melakukan apa saja, termasuk aksi demo (turun) ke jalanan.


Masa Orde Baru (plash back), kebebasan begitu dibumkan. Jangan sekali-kali orang mencoba melakukan aksi demo, bersuara sedikit saja (berupa kritik) jikalau membuat pemerintah tersinggung, maka harus rela berdiam diri dibalik tembok tebal dan pagar besi atau hilang (diculik). Kebebasan menuntut hak dan pembelaan terhadap hak asasi manusia tidak berlaku saat itu.


Kini, zamannya telah berubah. Masa reformasi – kalau meminjam istilahnya Nurcholis Madjid bagaikan kran air. Jika dibuka, airnya akan berhamburan kesana-sini. Bebas memilih tempat, seenaknya menentukan pilihan, termasuk melakukan aksi demo dengan melakukan protes – sebagai kontrol – terhadap pengambilan kebijakan yang dilakukan pemerintah. Ketika melakukan aksi, para demonstran pun bebas melakukan aksi apa saja. Mulai dari treatrikal, membawa simbol-simbol sampai kepada yang paling terkini yakni maraknya membawa hewan disaat melakukan aksi sebagai simbol ketidakpuasan atas sikap para pengambil kebijakan sehingga pemerintah diibaratkan dengan hewan.


Belakangan ini mungkin kita sudah akrap dengan para demonstran yang menggunakan simbol hewan. Dahulu, hewan tempatnya di kebun binatang, kini berubah mulai (bangkit) turun dijalanan. Dimata kita sudah tak asing lagi dengan nama ayam, tikus, cecak, buaya, terakhir adalah kerbau. Ayam digunakan sebagai simbol disaat demonstran melakukan aski di depan gedung KPK, tikus selalu disimbolkan dengan koruptor, cecak-buaya merupakan istilah perseturuan antara KPK dan Polri, sementara kerbau digunakan sebagai simbol kritikan terhadap 100 kinerja pemerintahan SBY-Boediono.


Josef dan Raja Hutan
Aksi demo dengan menggunakan simbol hewan kalau membaca sejarah bukanlah sesuatu yang baru terjadi saat ini. Dalam sejarah perkembangan manusia, pada masa kehidupan Nabi Ya’quf dan Yusuf telah ada aksi demo dengan membawa si raja hutan (macan). Tetapi macan yang dibawah oleh saudara-saudara Josef ketika menghadap Nabi Ya’quf bukan sebagai simbol, melainkan sebagai terdakwah, bahwa ia (macan) itu yang menikam (makan) Josef hingga tewas. Kemudian dengan mukjizat Allah SWT, macan tersebut bisa bersaksi dan menyatakan tidak bersalah di depan raja Ya’quf.


Cerita diatas memberikan pelajaran kepada kita, bahwa sifat hawaniyah (kehewanan) tetap selalu bersemayam dalam setiap diri seseorang. Aksi yang dilakukan oleh saudara-saudara Josef sebenarnya – secara tidak sengaja mensimbolkan sifat keganasan dalam dirinya. Sehingga mereka berani berbohong, tega menganiaya saudaranya sendiri hanya untuk merebut kekuasaan dan lain sebagainya.


Dalam agama Islam, sejak dini, ketika masih duduk di level pendidikan dasar, kita sudah dikenalkan dengan pelajaran suatu keadaan seseorang setelah ajal kematian menuju alam mahsyar (yaumul al-ba’tsi). Dalam kitab ajaran dijelaskan, barangsiapa yang hidupnya selalu mengambil dan mengkrukuti hak milik orang lain, maka setelah bangkit nanti dari alam kuburnya, mukanya seperti tikus. Bagi siapa semasa hidupnya kelakuannya selalu kolusi dan nepotisme, mukanya akan seperti anjing. Orang yang hidupnya bersikap sombong, merasa dirinya lebih kuat dari yang lain, muka kelak akan seperti macan. Jadi, semuanya merupakan cerminan (tamtsil) tergantung perbuatannya ketika hidup di dunia.


Belajar dari Kesalahan
“Semut di seberang lautan kelihatan, gajah dikelopak mata tidak kelihatan”. Artinya, kita terkadang tidak bisa melihat kesalahan atau potensi yang ada pada dirinya, sehingga membutuhkan bantuan orang lain orang untuk menilainya. Melihat aksi demo yang dilakukan masyarakat sebagai bentuk protes (kontrol) terhadap kinerja 100 hari kepemimpinan SBY-Boediono yang membawa kerbau ke halaman istina tentunya berbeda dengan yang dialami oleh saudara-saudara Josef. Kalau saudara Josef mengakui kesalahannya, SBY-Boediono justru menyesalkan adanya aksi semacam itu.


Dengan kejadian semacam itu (rakyatnya berani menyimbolkan kurbau), hendaknya menjadi cambuk bagi kepemimpinan SBY-Boediono beserta kabinet Indonesia Bersatu Jilid II kedepan untuk introsfeksi diri (muhasabah), dan simbol yang semacam itu dijadikan sebagai cerminan guna membaiki kebijakan-kebijakannya – yang kata banyak orang – cenderung lambat dalam bertindak, didekti suatu golongan dan dipengaruhi oleh kebijakan kebijakan luar yang hanya terkadang berorientasi pada kepentingan kelompok dan status quo. Karena – jujur saja – masyarakat tidak mungkin melakukan suatu tindakan (berani menyamakan dengan kerbau), kalau tidak ada hal yang menyebabkan sesuatu terjadi sebelumnya. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Rakyat bukanlah musuh pemerintah, tapi jadikan rakyat sebagai metra dalam setiap pengambilan keputusan yang berpihak pada kepentingan bersama.


Proses komunikasi sangat penting antara pemerintah dengan rakyatnya. Komunikasi disini diibaratkan sebagai organ dalam tubuh manusia. Tindakan (untuk memperbaiki kinerja) semacam itu merupakan langkah pasti yang paling ditunggu-tunggu rakyat Indonesia disaat Negara dalam berbagai krisis. Kalau demikian yang dilakukan oleh SBY-Boediono, masyarakat akan antipatif, empatik pada pemerintah, sehingga akan terjalin sebuah komunikasi erat antara pemimpin dengan rakyatnya. Walhasil, demokrasi – dari, oleh dan untuk rakyat – bakal terwujud. Kalau tidak taruhannya bukan hanya popularitas SBY-Boediono dan kabinetnya, tetapi proses demokrasi pun di Indonesia akan ditolak oleh masyarakat.


*Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS), Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya.

08 Maret, 2010

Dongeng Yogyakarta tempo dulu

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Yogyakarta. Apa yang terlintas dibenak seseorang ketika mendengar kata Yogyakarta? Sebuah daerah yang telah berperadaban, masyarakatnya beretika, bermoral, sopan, halus dalam berbicara, budaya keraton, mempunyai kesenian dan kebudayaan yang tinggi, bahkan tak salah jika kini ada banyak orang menyebutnya sebagai daerah pendidikan (kota pelajar).


Ya kita pun mengamini dengan gelar tersebut, karena disana memang banyak perguruan tinggi berskala nasional hingga internasional, telah banyak mencetak sarjana, gudangnya ilmu pengetahuan, hampir disetiap kost/kontrakan ada penerbit dan percetakan buku, tempat seminar, diskusi, kajian keilmuan, peneliti, penulis dan lain sebagainya. Yogyakarta – biasa disebut Yogya – adalah tempat nyaman dan aman sebagai tempat pengembangan bakat diri (belajar).


Apa yang saya utarakan diatas, kalau pembaca hanya melihat Yogya pada saat sekarang ini. Bagaimana Yogyakarta masa silam? Terkadang kita lupa atau memang tidak tahu dengan beberapa peristiwa yang telah terjadi disana. Padahal sebuah peristiwa yang telah mendahuluinya akan membentuk suatu kondisi seperti saat sekarang. Misalnya disana ada sebuah peristiwa besar, Agresi Belanda pada tahun 1948-1949 ketika menggoncang kota Yogyakarta.


Buku Ditepi Takdir: Sebuah Novel Sejarah, Perjuangan dan Pendidikan setebal 255 halaman yang ditulis oleh Hj. Samsikin Abu Daldiri ini merupakan bukti sejarah (kisah nyata) dari peristiwa diatas. Isinya banyak mengupas tuntas tentang pengalaman dirinya pada sebuah kejadian yang sangat heroik tentang Agresi Belanda ketika menyerang kota Yogya. Buku ini ditulis dengan gaya kepenulisan bentuk cerita (novel), sehingga kehadirannya diruang pembaca akan menumbuhkan rasa simpati dan empati, seakan kita mengalami sendiri pada sebuah peristiwa seperti yang dirasakan oleh seorang diri Samsikin AD sebagai penulis.


Peristiwa Agresi Belanda di Yogyakarta – termasuk juga di daerah lainnya – merupakan rangkaian detik-detik yang amat mendebarkan dan sekaligus menghantui hidup orang banyak, termasuk penulis buku ini. Hj. Samsikin Abu Daldiri atau biasa disingkat dengan Samsikin AD, adalah seorang perempuan kelahiran desa Srandakan Kabupaten Bantul. Dalam usia tuanya, ia menyempatkan diri untuk menulis kisahnya pada masa silam disaat kota Yogya di goncang penjajah, sehingga menjadi sebuah karya yang menakjubkan dan gemilang di hadapan pembaca.


Dalam kisahnya, Samsikin menceritakan dalam buku ini – bahwa ini benar-benar terjadi yang dialaminya selama hampir tujuh bulan ketika tentara Belanda menduduki kota Yogya. Dia memulai menulis cerita dirinya ketika dalam pengungsian. Disaat tentara Belanda datang untuk menduduki kota Yogya, Samsikin yang masih berumur 13 tahun 4 bulan juga ikut diungsikan demi menjaga keselamatan warga sipil dari kekejaman serangkaian serangan tentara Belanda. Tempat yang dijadikan sebagai pengungsian bukan sebuah gedung atau tembok, tetapi adalah lubang, gelap, dan panas. Selama delapan jam dalam lubang pengungsian itu, ia hanya disuguhkan makan singkong. Sementara tiap orang hanya mendapat dua kerat singkong. Namun walaupun hanya dengan dua kerat singkon, ia pun tetap merasa kenyang (hlm. 37).


Suasana terus semakin menegangkan. Pesawat pengintai tentata Belanda terus mengitari area kota Yogya. Sehingga semua yang ada dalam pengungsian hanya bisa berdoa, memohon kepada Tuhan untuk selalu diberi kekuatan bagi orang-orang yang akan membela, memperjuangkan dan mempertahakan Negara Republik Indonesia dari cengkaraman tangan penjajah. Semua dalam kecemasan, serba ketakutan, hidup sudah tidak bisa menikmati kebebasan, hidup dalam kepenjarahan, hidup dalam sebuah penderitaan, penuh siksaan dan dipekerja paksakan.


Siang, sekitar jam 11.00 hari Jumat legi tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Negara diproklamirkan oleh Ir. Soekarno dan Dr. Muhammad Hatta di Jakarta. Semua orang berteriak “Merdeka… merdeka… kita sudah merdeka…! Hidup Bung Karno… Hidup Bung Hatta!”. Dari berbagai sudut kota di Yogya pun juga terdengar teriakan demkian dari orang banyak “merdeka”. Dihari yang bersejarah itu, semua orang, laki-laki dan perempuan, bapak-bapak dan ibu-ibu kesemuanya dikala berjumpa harus memekikan kata “merdeka” kalau tidak mau dicap sebagai mata-mata tentara Belanda (hlm. 122-123).


Samsikin sebagai bukti sejarah dalam cerita ini kini bisa tersenyum. Penjajah di bumi Indonesia khususnya di Yogyakarta telah tiada, kembali ke negaranya. Berubahlah semuanya. Langit Yogya mulai cerah, berbinar, sinar matahari mulai menembus dinding-dinding tebal untuk menerangi jagat raya, udara yang dingin dan sejuk menusuk badan untuk memberikan harapan besar bagi kehidupan masyarakat Yogyakarta. Sebagai warga Negara, Samsikin kini menikmati betapa bahagianya hidup tanpa penjajah. Bebas memilih pendidikan (sekolah), berpendapat, berekpresi, melakukan kreasi (menciptakan sebuah karya) kesemuanya adalah babakan yang amat menentukan nasib masa depannya.


Hanya saja, karena keterbatasan kemampuan diusia tuanya, masih banyak peristiwa penting di Yogyakarta pada saat kebiadaban tentara Belanda menduduki kota pelajar ini belum tercover dalam buku ini. Tetapi – minimal – buku ini cukup menjadi bacaan bagi angkatan penerus astafet perjuangan untuk negeri tercinta ini. Misalnya pembaca bisa meneladani penulis dikala ia dalam pengungsian, takut kepergok tentara Belanda, rintangan yang dihadapi, mengungsi lagi, hingga semangatnya yang tak pernah padam untuk terus menimba pendidikan.
Selamat membaca!


*Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS)


DATA BUKU: (dimuat di Duta Masyarakat, 7/3/2010)
Judul Buku: Ditepi Takdir; Sebuah Novel Sejarah, Perjuangan dan Pendidikan
Penulis : Samsikin AD
Penerbit: Grafindo, Jakarta
Cetakan: I, 2009
Tebal: 225 Halaman