Oleh : Ach. Syaiful A'la*
Soto. Siapa orang yang tidak kenal nama soto. Kalau tanya kepada siapa saja, mulai dari kanak-kanak, remaja hingga yang tua, jawabannya hampir serentak menjawab “tahu”. Bahkan, tidak hanya tahu, semuanya telah meresakan enaknya hidangan yang namanya soto.
Tetapi kalau pertanyaan diteruskan. Dari apa soto di racik. Jawabannya juga hampir dipastikan sedikit – untuk tidak mengatakan banyak – yang tahu untuk menjawabnya. Karena ia, mereka-mereka hanya bisa melihat jadinya, ketimbang harus mengetahui proses menjadinya.
Soto. Kalau dirinci, bahannya terdiri dari kunyit, jahe, garam, penyedap rasa, bawang daun, bawang merah, bawang putih, kencur, cabe, minyak goreng, sohun, air, kecap, dan bahan-bahan yang lain. Sesuai kebutuhan.
Apa sebenarnya yang menarik dari soto. Kalau kita perhatikan, dari sekian banyak bahan yang digunakan untuk membuat soto, salah satu dari sekian banyak itu, tidak ada yang merasa sombong, tidak ada yang angkuh, tidak merasa bahwa dirinya mempunyai peran lebih dari bahan-bahan yang lain.
Tidak ada dalam soto itu yang mengaku bahwa dirinya adalah “kunyit soto”, “jahe soto”, “garam soto”, “bawang daun soto”, “bawang merah soto”, “bawang putih soto”, “kencur soto”, “cabe soto”, “minyak goreng soto”, “sohun soto”, “air soto”, “kecap soto”. Semuanya menyatu dalam sebuah masakan yang banyak disukai orang, yakni “soto”.
Hanya saja, mungkin kita sering menemukan ada penyebutan berbeda tentang nama soto. Kalau soto itu terbuat dari daging, maka biasanya diberi nama “soto daging”. Kalau soto itu terbuat dari bahan daging ayam, maka disebut “soto ayam”. Dan masih banyak lagi nama-nama soto yang tak jarang kita jumpai.
Mungkin antum yang sering belusukan ke warung-warung, pernah melihat atau membaca tulisan “Soto Madura”, “Soto Lamongan” atau nama yang lain. Itu hanya merupakan ciri khas rasa yang ada pada dimasing-masing daerah. Tetapi bahan dan namanya tetap tidak berubah. Tetap “soto”.
Soto dan NKRI
Apa hubungannya “semangko’ soto” dengan Indonesia? Sejenak, memang tidak ada. Tapi ini adalah ciptaan, produk dan karya masakan anak negeri. Dan bangsa lain tidak boleh ada yang mengklaimnya. Dan kita sebagai warga Negara yang baik, harus taat menjaga dan mempertahankannya. Jangan sampai ada kejadian berulang seperti “Reyok Ponorogo” dan “Martabak” yang diklaim negera tetangga. Malaysia.
Nah, kembali kepada soto. Nama soto diambil oleh penulis hanya sebatas simbol (gambaran) untuk mengistilahkan saja, bahwa kita bangsa Indonesia, adalah diibaratkan dalam “semangko’ soto”. Negara ini dibangun atas dasar kebersamaan. Negera ini bukan pemberian dari Belanda dan Jepang. Negeri ini bukan pula datang dari langit dan bukan anugerah/pemberian secara cuma-cuma dari Tuhan. Melainkan hasil perjuangan para pahlawan kita, dengan keringat bercucuran yang membesi, mencari seteguk makan dalam kehausan, guna merebut jati diri bangsa dari cengkraman penjajah.
Dengan usaha yang maksimal, akhirnya berhasil menyelamatkan dan merebut kembali tanah belahan surga ini dari tangan-tangan penjajah. Keberhasilan dimaksud tidak dilakukan sendirian, melainkan melibatkan banyak orang, etnis, suku, agama, dan antar golongan. Mereka menyatu. Ibarat sapu. Mereka tidak melihat dari etnis apa. Suku mana. Apa agamanya. Dari kelompok mana. Semua diikat dengan visi yang sama, dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Yang demikian itu, juga pernah ditampilkan oleh Nabi Muhammad SAW, ketika akan membangun negara Madinah, dalam konsep ummatan wahidah (umat yang satu). Ketika Nabi merintis negara Madinah, disana, tidak ada lagi perbedaan suku, agama, perbedaan warna kulit, kaya dan miskin, kuat dan lemah. Artinya, bahwa sejak awalnya perkembangannya, Islam telah mengajarkan hidup kebersamaan dalam keberagamaan, seperti pluralisme, multikulturalisme dan inklusivisme.
Khittah NKRI
Tahun 2009 ini, ada dua moment besar di Indonesia, pemilihan umum anggota legeslatif dewan perwakilan rakyat dari tingkat kabupaten hingga DPR RI dan anggota dewan perwakilan daerah (DPD). Disusul kemudian dengan pemilihan presiden. Kita sebagai warga negara patut bersyukur. Kedua pesta demokrasi itu, berjalan mulus dan lancar sesuai rencana. Bahkan beberapa negara tetangga menilai, demokrasi di Indonesia telah membaik. Walaupun ada kekurangan disana-sini, seperti kacaunya daftar pemilih tetap (DPT), pengelembungan suara, menimbulkan pada sengketa, sehingga berujung gugatan ke mahkamah konstitusi (MK).
Sebuah demokrasi yang telah berjalan baik, ternyata masih timbul juga sentiment sebagian kelompok dan golongan tertentu untuk mencederai demokrasi di Indonesia. Misalnya dengan peledakan bom bunuh diri beberapa waktu di hotel J.W. Marriott dan Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta. Hal itu menunjukkan bahwa negara Indonesia masih belum aman, termasuk tanggapan balik dari luar negeri.
Kenapa hal itu masih terjadi. Memang ada yang tidak setuju kalau demokrasi di Indonesia berjalan baik. Penyebabnya macam-macam. Pemahaman terhadap agama yang terlalu ekstrim. Ada perasaan sentimin sepihak. Ingin merubah falsafah negara. Dipengaruhi kelompok dan golongan tertentu. Kepentingan status quo.
Momentum 17 Agustus saat ini, harus benar-benar disadari dan dijadikan sebagai sarana introsfeksi bersama untuk kembali kepada sebuah ganre, bahwa NKRI sudah final dan tidak bisa lagi digantikan dengan sesuatu yang lain. Artinya, apapun agama yang dianutnya, berasal etnis apa, dari suku mana, dan golongan atau kelompok mana saja, tetap menjadi satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibawah bendera merah putih, berasakan pancasila, berdasarkan pada UUD 1945.
Hal ini menunjukkan kepada dunia, bahwa sejak dulu, yang telah diwariskan nenek moyang bangsa Indonesia, bahwa konsep pluralisme dan multikulturalisme terjalin lama dalam sejarah perjalan bangsa Indonesia.
*) Direktur Komunitas Baca Surabaya (KombaS)
14 Agustus, 2009
NKRI dalam Semangko’ “Soto”
Label:
17 agustus 1945,
demokrasi,
falsafah soto,
J.W. Marriott,
mk,
nkri,
pancasila,
Ritz-Carlton