Oleh : Ach. Syaiful A'la*
Setiap keputusan (fatwa) yang diambil oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga kini selalu menyulut kontroversial disana-sini. Yang tidak lama ini kembali terjadi, seperti yang dilakukan oleh MUI Kabupaten Sumenep tentang haramnya mengemis. Akibat fatwa tersebut, tidak sedikit pula orang yang maragukan kembali hingga ada yang menanyakan, apakah keputusan MUI sudah bijaksana. Apakah keputusan MUI berdasarkan rasional atau hanya emosional.
Hemat saya, bahwa keputusan yang dilakukan oleh MUI selama masih tetap pada pedoman yang tertuang dalam surat penetapan fatwa nomor : U-596/MUI/X/1997 tidak menjadi masalah. Artinya, apa yang dilakukan oleh MUI tentang haram bagi pengemis saat ini, tidak berdasar pada emosial. Melainkan sesuai dengan syarat dan ketentuan berlaku (baca: pedoman penetapan fatwa MUI).
Dari itu, saya dapat menyimpulkan bahwa persoalan mendasar dari terjadinya perilaku masyarakat yang “ngemis” disebabkan oleh kemiskinan. Kemiskinanlah yang mengakibatkan semuanya bisa terjadi. Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab dalam masalah ini? Jawabannya, yang pasti adalah pemerintah. Karena hal-hal semacam itu, sudah termaktub dalam UUD 1945 pasal 31 (pendidikan), pasal 33 (perekonomian), dan pasal 34 (kesejahteraan sosial).
Sebagai pemerintah yang mempunyai tanggung jawab terhadap pokok permasalahan tersebut diatas, minimal ada tiga action yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus pemberikan pelatihan dan bimbingan kepada mereka (pengemis), sehingga ia bisa memilih pekerjaan lain dan lebih mandiri. Kedua, memberikan bantuan modal untuk berusaha. Ketiga, membuka lebar lapangan kerja.
Kemiskinan Mental
Secara umum, kemiskinan dibagi menjadi tiga macam. Pertama, kemiskinan karena malas. Orang yang malas untuk bekerja memeras keringat memang layak disebut miskin. Dan inilah hemat saya yang disebut dengan kemiskinan mental. Kedua, kemiskinan karena nasib. Contohnya orang yang berbisnis, kemudian jatuh bangkrut. Ketiga, kemiskinan sistematis. Yang terakhir inilah yang saat ini terjadi di Indonesia. Sementara contoh pertama dan kedua, mungkin dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat episodic dan sporadic.
Padahal kalau dikaji lebih dalam, point pertamalah – kemiskinan mental – yang menyebabkan orang menjadi “pengemis”. Karena kalau ditilik lebih dekat, mereka bukan orang yang tak berpendidikan, bukan orang yang tak bermodal (miskin), bukan pula orang yang tidak mempunyai lapangan pekerjaan. Semuanya telah dipunyai dalam diri individu mereka masing-masing pengemis (baca: kehidupan pengemis).
Apa yang disebut dengan kemiskinan mental? Kemiskinan mental adalah sebuah kondisi mental kejiwaan atau orientasi hidup seseorang yang dipenuhi oleh kebiasaan-kebiasaan negatif, yang sifat dapat menghambat kemjauan. Seperti psimistik, malas, buruk sangka, sukan menyalahkan pihak lain, iri melihat keberhasilan orang lain. Miskin mental juga bisa ditunjukkan dengan prilaku yang tidak disiplin, tidak percaya diri, tidak bertanggung jawab, tidak jujur, tidak mau belajar, tidak mau memperbaiki diri, dan tidak punyak visi kedepan.
Perang untuk memberantas “pengemis” memang tidaklah semudah seperti orang yang makan cabe, begitu ditelan, saat itu pula terasa pedasnya. Tetapi membutuhkan waktu yang tepat (timing). Membutuhkan pembinaan. Memerlukan seperangkat dan stack holder dan harus melibatkan banyak orang (masyarakat secara umum) dalam menyelesaikan masalah ini. Kenapa? Tentunya kita mafhum, bahwa tipe pengemis saat ini ada dua. Ada pengemis profesional dan ada pengemis konvensional.
Pengemis profesional dimaksud, pada saat sedang meminta-minta, biasanya menggunakan proposal. Supaya kelihatan legal. Alasannya untuk keperluan pembangunan masjid, pembangunan madrasah, pembangunan musallah, pembangunan panti asuhan anak yatim piatu dan yang lainnya. Sedangkan pengemis konvensional, seperti yang sering kita jumpai di jalan-jalan, kendaraan umum, angkot, dan bus kota. Meraka meminta-minta langsung dengan cara menjulurkan tangannya.
Dari itulah, langkah MUI Sumenep yang mengharamkan “mengemis” adalah langkah tepat dan merupakan senjata awal disamping untuk mendukung pemerintah dalam ketertiban, meminimalisir jumlah pengemis di jalanan dan di rumah-rumah serta sebagai wujud untuk menghindarkan diri seseorang dari beberapa sifat keji diatas. Kemiskinan mental.
Melalui tulisan ini, hemat penulis (harapan kita semua tentunya), mulai saat ini, detik ini, satu demi satu melangkah untuk memiliki sifat “kekayaan mental”. Maka, kita akan lebih survive dalam menghadapi hidup, makin kompetetif, besar peluang untuk meraih cita-cita, dan memandang masa depan dengan penuh rasa optimistik.
*Direktur Komunitas Baca Surabaya (KombaS).