22 April, 2009

Fatwa Kiai Jampes Vs MUI

Oleh : Ach. Syaiful A'la

Kurang lebih setengah tahun yang lalu, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur mengundang beberapa pondok pesantren yang ada di Jawa Timur. Kebetulan Saya menjadi peserta mewakili salah satu pesantren di Surabaya. Kegiatan itu bertujuan untuk memberikan penyuluhan bahanya merokok kepada para kiai sebagai pemimpin juga pada santri sebagai pelajar guna terciptanya lingkungan masyarakat pondok pesantren yang bebas rokok. Disamping kegiatan itu diperkuat dengan landasan hukum undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, peraturan pemerintah ri nomor 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara.

Acara yang memakan waktu hampir satu hari itu, isinya tiada lain ialah untuk memberikan pengertian kepada masyarakat pondok pesantren tentang bahaya rokok. Yang bertindak menjadi pembicara pada saat itu, langsung perwakilan dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Disana dijelaskan :

Pertama, tentang merokok dan kehamilan. Beberapa hal penting yang perlu diketahui tentang rokok dan kehamilan sebagian besar berhubungam dengan kerja nikotin dan hidrokarbon polisiklik (benzopiren) yang dapat mencapai janin. Bahwa merokok sigaret selama kehamilan dapat mengurangi bobot lahir bayi, mengurangi bobot lahir bayi, meningkatkan kemungkinan terjadinya keguguran spontan, nikotin dapat memasuki asi (air susu ibu) yang sedang menyusui walaupun pengaruhnya pada bayi yang menyusu belum jelas. Karena asap rokok mengandung lebih dari 4000 zat kimia 1200 diantaranya bahan kimia beracun dan 43 karsinogenik.

Kedua, akibat merokok bagi kesehatan akan menyebabkan penyakit jantung pada seseorang. Secara garis besar bahwa rokok tembakau berhubungan dengan penyakit jantung melalui: meningkatkan denyut jantung, meningkatkan vasokontriksi periferal yang menyebabkan naiknya tekanan darah, melepaskan asam lemak dari tempat penyimpanan adiposa, sehingga peredaran lemak bebas darah meningkat yang menyebabkan arteriosclerosis, mengurangi waktu pembekuan darah, mengurangi pengangkutan oksigen ke dalam jaringan melalui kompetisi dengan kandungan CO dalam darah.

Ketiga, kanker paru-paru. Karena tar sigaret/partikel yang ada dalam asap rokok secara reguler melewati saluran pernapasan, dengan pelahan menyebabkan kelainan pada sel-sel saluran pernapasan sehingga modifikasi sel menjadi sel kanker.

Keempat, emphysema. Penyakit ini ditandai dengan runtuhnya dinding alveoli (kantong udara) sehingga mengurangi luas permukaan tempat terjadinya pertukaran udara di paru-paru, kantong udara kehilangan elastisitasnya sehingga kesukaran menghirup udara dan mengalami kesulitas bernapas.

Kelima, bronkhitis khronik. Penyakit ini pula ditandai dengan produksi dahak yang berlebihan, peradangan dan sekresi berlebihan dari sel-sel bronkhi meningkatkan dahak disertai dengan batuk untuk mengeluarkan sekretnya.

Ada yang menarik dalam acara tersebut. Setelah pemateri selesai menjelaskan semua materi bahaya tentang bahaya rokok, dengan sedikit memaksa kepada peserta, akhirnya pemateri membuat suatu keputusan ditandai dengan mengetuk palu (layaknya hakim memutuskan masalah) “…bahwa mulai saat ini, kita menyatakan berhenti merokok”. Tiba-tiba muncul dari salah satu peserta delegasi pondok pesantren (ustadz) melakukan intrupsi dan memberi tanggapan. “Kenapa Saya dilarang merokok?” Sambil melanjutkan pembicaraannya, ia berkata “Justru dengan sebatang rokok, secangkir kopi, Saya jauh lebih produktif dan banyak menghasilkan karya tulis, seperti menulis buku (kitab), opini atau mengonsep rencana-rencana kegiatan pesantren”.

Kontroversi Fatwa MUI
Akhir Januari 2009, Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan kongres yang ditempatkan di Padang Panjang, Sumatera Barat. Salah satu hasil keputusannya adalah fatwa tentang hukum haramnya merokok bagi anak-anak, wanita hamil, dan pengurus MUI sendiri.

Tetapi akhirnya keputusan tersebut tidak berjalan mulus. Banyak terjadi kontroversi disana-sini, termasuk oleh kalangan kiai-kiai pondok pesantren sendiri. Bahkan Nahdlatul Ulama (NU), yang merupakan rumah besar para kiai juga tidak memberikan lampu hijau (green lamp) adanya fatwa MUI tentang rokok.

Kalau kita mengaca kepada sejarah (plash black), adanya kontroversi para ulama tentang hukum mengonsumsi kopi dan rokoh sudah sejak abad ke-10 H. Bahkan Syaikh Ihsan, kiai asal Jampes, Kediri, Jawa Timur, melalui kitabnya Irsyadu al-Ikhwan fi Bayani al-Hukm al-Qohwah wa al-Dhukhon, yang diterjemahkan menjadi Kitab Kopi dan Rokok ini telah banyak mengupas hukum mengonsumsi kopi dan rokok. Adanya kontroversi tentang kopi dan rokok selalu menjadi pertentangan dan tak menemukan titik temu (kalimatun sawa’). Kelompok satu berpendapat bahwa rokok itu menyegarkan, mendatangkan inspirasi, menumbuhkan semangat berjuang, bekerja dan lebih tahan beribadah. Satu kelompok yang lain (kontra) menjelaskan, bahwa rokok membuat penyakit, bau, polusi dan merupakan pekerjaan yang sia-sia (mubadzir alias isyraf).

Buku ini menarik dibaca ditengah orang masih kebingungan untuk memilih setelah fatwa MUI tentang hukum rokok. Buku yang ada ditangan pembaca ini, memberikan jawaban atas isu yang hingga kini masih memanas di tanah air. Buku ini hanyalah satu-satunya yang membahas tentang kopi dan rokok. Menariknya kiai Ihsan Jampes dalam menjawab persoalan ini tidak menggurui. Kiai Jempes lebih memberikan beberapa pertimbangan dan pilihan hukum mengonsumsinya. Terakhir didalam buku ini pula disajikan asal-usul rokok serta perkembangannya di Timur Tengah, Eropa, Amerika, bahkan sampai di Indonesia.


Data Buku
Judul buku : Kitab Kopi dan Rokok
Judul Asli : Irsyadu al-Ikhwan fi Bayani al-Hukm al-Qohwah wa al-Dhukhon
Penulis : Syaikh Ihsan Jampes
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : 1, Februari 2009
Tebal : xxv + 110 halaman
Peresensi : Ach. Syaiful A’la*

01 April, 2009

Belajar dari Bencana

Oleh : Ach. Syaiful A'la

“Tiada bencana yang tidak bisa menjadi sebuah keberkahan, dan tidak ada keberkahan yang tidak bisa berubah menjadi bencana.” (Rechard Bach, Penulis AS).

Ada bermacam bencana yang diturunkan kepada manusia (Baca:Hasyim Muzadi, 2007). Pertama, bencana sifatnya mengingatkan manusia yang lupa (tazkirah), agar mereka menghentikan kesalahan yang mereka lakukan. Kedua, bencana beruapa azab, yaitu akumulasi dari pelbagai kerusakan dimuka bumi, sehingga Allah membinasakan seperti yang menimpa kaum sebelum Nabi Muhammad. Ketiga, musibah sifatnya netral. Artinya, musibah datang kepada kita diakibatkan oleh perbuatan orang lain.

Tulisan diatas sebenarnya menjadi renungan bagi kita bersama, disaat negara dilanda pelbagai macam bencana. Dimulai, 1 Januari 2007, dimulai dengan kecelakaan pesawat domistik Adam Air. 29 Januari, kereta api anjlok di Bange dua Cirebon Jawa Barat, yang kemudian diikuti dengan anjloknya beberapa kereta api yang lain dibulan-bulan berikutnya. 7 Pebruari, kapal Lavina tenggelam di Selat Sunda. 11 Maret, tenggelamnya K.M. Sanopati di Perairan Mandalika Jawa Tengah.

Kejadian berikutnya silih berganti, seperti 6 Juni, sebuah Bus masuk jurang di desa Karang Kemiri, Banyumas, Jawa Tengah dan seterusnya sampai bencana banjir, longsor, kebakaran hutan, kebakaran pasar, pabrik, pertokoan dan lain-lain.
Termasuk kereta anjlok dari rel, kereta bertabrakan, rangkaian gerbong lepas, gerbong amrol karena atapnya dimuati sekian banyak penumpang. Sampai longsor di lereng Gunung Lawu, kawasan Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Banjir yang melanda Ngawi-Caruban, Kabupaten Madiun, bahkan bisa dikalkulasi sekitar 13 kabupaten di Jawa Timur dalam tempo dekat ini dikepung bencana. Ratusan nyawa melayang, ratusan rumah, tempat ibadah, beberapa sekolah, jembatan ambruk, jalan raya tak bisa lagi digunakan karena genangan air, fasilitas komunikasi dan aliran listrik tak lagi berfungsi (Dumas, 2008).

Al-Quran dalam surat Al-Maidah ayat 49 telah memberikan sinyal kepada kita, bahwa kerusakan yang terjadi di laut dan di darat diakibatkan oleh ulah-tangan manusia yang tak bertanggung jawab. Mahatma Gandi, pernah mengingatkan dalam kalimatnya “Alam memang telah menyediakan segalanya, akan tetapi semua itu tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keserakahan manusia.”

Ada Keberkahan
Seolah berbicara bencana seperti tidak ada berkahnya. Yang namanya bencana jelas sesuatu yang sulit dan sangat menyusahkan, apalagi sampai makan korban jiwa. Semuanya mempunyai makna yang berarti.

Pertama, peringatan terhadap diri kita sendiri sebagai makhluk (khalifah) di bumi, bahwa alam ini amanah dari Allah SWT. untuk dipelihara, dilestarikan dan dipergunakan sebaik-baiknya untuk mendekatkan kepada-Nya. Tapi, terkadang kita lupa, berapa lama kita menikmati indahnya panorama alam, hampir tidak – bahkan sama-sekali – berterima kasih kepada Allah SWT. Baru ketika bencana banjir, longsor melanda, semua berlomba-lomba untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Kedua, kebijakan pemerintah yang tidak memihak lingkungan. Seolah-olah pemerintah tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan. Hal ini bisa kita lihat munculnya beberapa bencana yang terjadi. Misalnya, kebijakan pemimpin yang tidak pro lingkungan, baik di level eksekutif, di lingkup legeslatif dan para penegak hukum.
Masyarakat sering disuguhi berita tentang lolos atau larinya pelaku illegal logging. Kalaupun ditangkap, vonis dan disanksi masih belum adil, karena tidak sepadan dengan perbuatannya berefek kerusakan lingkungan.

Berkaca Dari Bencana
Krisis moneter yang berkepanjangan berakibat tingginya angka kemiskinan. Manusia banyak kufur (nikmat) atas pemberian Allah SWT. Seperti Hadis Nabi : “kadal fakru ayyakuna kufran” (kefakiran bisa menjadi penyebab kekufuran). Terkadang kita buruk sangka (su’udzon) kepada Allah SWT. kenapa bencana banyak terjadi hanya di Indonesia, mulai Sabang sampai Merauke? Sementara negara tetangga lainnya, seperti Malaysia, Singapura, Australia tidak terkena bencana?

Kalau kita menyimak apa yang dipaparkan Hasyim Muzadi diatas, hal itu tidak perlu diperdebatkan. Bisa kita tilik, banjir dan longsor beberapa pekan ini terjadi disebabkan oleh penebangan hutan secara liar (manusia yang kufur nikmat). Hutan tidak lagi berfungsi sebagai gudang air. Air hujan dari langit, pada akhirnya air tidak bisa diserap akar pohon di hutan atau pegunungan. Sehingga tak lagi mampu menampung luapan air, akibatnya banjir.Lebih dalam lagi, penebangan hutan secara liar terjadi dianggap pekerjaan (profesi) oleh rakyat, karena kurangnya penyediaan lapangan kerja oleh pemerintah. Disamping pemerintah juga tidak pro lingkungan. Pada sebuah kesimpulan, penebangan hutan secara liarpun dianggap pekerjaan “halal” oleh rakyat. Padahal dampak negatifnya sangat besar.

Melalui tulisan ini, penulis berharap dengan adanya beberapa bencana, menjadi bahan evaluasi dan renungan bersama. Tidak hanya pemerintah yang dituntut sebagai pengambil kebijakan, begitu juga kita warga Indonesia bertanggung jawab menjaga kelestarian alam. Dengan mewujudkan sistem kepedualian terpadu antara pemerintah dengan rakyat, bencana tidak akan terulang lagi. Semoga!