Oleh : Handaka Vijjananda *)
Waisak adalah peristiwa tahunan terpenting bagi penganut ajaran Buddha di muka bumi. Waisak memperingati kelahiran Bodhisattwa (Bakal-Buddha), pencerahan Bodhisattwa, dan kemangkatan Buddha. Tiga serangkai peristiwa itu jatuh pada tanggal yang sama, yaitu hari bulan purnama bulan kelima penanggalan wulan.
Peristiwa tersebut diperingati sekitar setengah miliar umat Buddha yang tersebar di lima benua. Waisak merupakan perayaan untuk bersukacita dan berbagi niat baik bagi semua. Waisak juga merupakan momen untuk merenungkan kembali perkembangan spiritual kita.
Di antara ketiga peristiwa Waisak tersebut, banyak sekali ulasan lisan maupun tulis yang mengupas dua peristiwa pertama, yakni kelahiran dan pencerahan Bodhisattwa. Janggalnya, pemaknaan peristiwa terakhir relatif paling jarang dibahas dalam berbagai wacana. Padahal, secara superlatif, kemangkatan Buddha (Parinibbana) merupakan kulminasi spiritual tertinggi yang dimungkinkan dicapai sesosok makhluk.
Keterbatasan ruang dalam artikel ini tidak memadai untuk menjabarluaskan pesan moral-spiritual dalam peristiwa puncak tersebut. Ulasan ringkas ini hanya membingkai momen-momen terakhir dalam penghujung hidup Buddha Gotama, dengan fokus pada pemaknaan pesan terakhir yang disampaikan Buddha.
Sebagai orang yang ''sadar setiap saat", Buddha pun mangkat dengan penuh kesadaran. Sekalipun secara jasmaniah Buddha mengalami kewajaran kerentaan, secara batiniah Buddha tetap bugar dan sadar penuh! Bahkan, kemangkatan-Nya pun ''terencana" dengan baik. Buddha meminta siswa-Nya untuk mengabarkan dan mengundang orang-orang yang sekiranya berminat mendengar khotbah klimaks-Nya.
Dua kalimat terakhir yang diucapkan Buddha merupakan saripati segenap ajaran-Nya, yakni Vaya Dhamma Sangkhara. Appamadena Sampadetha.
Arti kalimat pertama adalah apa pun yang tersusun pasti akan terurai. Dengan kata lain, semua selalu berubah (anicca), fana (viparinama), dan bagai aliran gelombang (nadisotoviya). Tiga aspek perubahan yang terkandung adalah apa pun yang lahir pasti akan mati, apa pun yang dihimpun pasti akan tercerai, ada pertemuan pasti ada perpisahan.
Ada suatu ''paradoks spiritual" yang termuat dalam fenomena kefanaan itu. Jika kita menggunakan anicca sebagai objek nafsu (tanha), ujungnya adalah ketidakpuasan (dukkha) karena nafsu kita pun selalu bergejolak, tak kunjung padam. Di sisi lain, jika kita menggunakan anicca sebagai objek meditasi kesadaran, ujung tertingginya pencerahan sempurna (bodhi). Dengan memahami keselaluberubahan, kita akan lebih memahami apa yang betul-betul bernilai dan relevan bagi hidup kita.
Dalam kalimat terdahulu, Buddha melukiskan keadaan semesta yang serbafana. Setelah kita diajak menyadari bahwa hidup ini selalu berubah, dengan piawai Buddha menutup pesan-Nya, menganjurkan kepada kita suatu cara menyikapi kefanaan hidup, Appamadena Sampadetha, dengan eling penuh, teruslah berjuang!
Dengan kata lain, Buddha mengatakan bahwa hidup adalah perjuangan. Dunia fana ini terus berubah; dengan berjuang keras pun kita belum tentu berhasil mengatasi penderitaan, apalagi jika kita tidak berjuang! Tanpa berjuang, pasti kita akan terseret ombak perubahan dan pasti akan menderita!
Nah, bagaimana cara kita berjuang mengatasi ombak perubahan atau pasang surut kehidupan ini? Appamadena, dengan eling penuh, anjur Buddha. Eling lan waspada adalah sumsum ajaran Buddha. Petapa Gotama sendiri menjadi Buddha dengan teknik temuan-Nya yang disebut pemusatan keelingan (satipatthana). Setelah menjadi eling sempurna, beliau dikenal sebagai Buddha, yang notabene arti kata ''Buddha" adalah ''Yang Eling"!
Dalam rentang waktu 45 tahun, setelah merealisasi kesadaran penuh pada usia 35 tahun, Buddha melangsungkan misionari energetik dengan hanya makan seadanya sekali sehari dan tidur sejam sehari untuk mengajarkan cara hidup eling sebagai jalan untuk mengakhiri derita. Dan, pada penghujung hidup-Nya, Buddha kembali menandaskan mahapentingnya keelingan sebagai way of life alias cara hidup dalam kalimat pemungkas di atas: "Dengan eling penuh, teruslah berjuang!"
Tidak berlebihan dikatakan bahwa kontribusi terbesar kemunculan para Buddha di alam semesta adalah ajaran tentang keelingan. Dengan eling, kita akan sadar untuk selalu menyelaraskan pikir dan laku dengan prinsip-prinsip hidup yang bebas dari trio ketamakan (lobha), kebencian (dosa), dan khayalan (moha).
Ada sebuah poster tentang meditasi yang sangat inspiratif. Di poster tersebut tampak seorang meditator yang tengah bermeditasi dengan tenangnya di atas papan selancar, menyusuri gulungan ombak besar. Teks yang tertulis di poster tersebut adalah ''You may not be able to stop the waves, but you can learn to surf".
Pesan poster tersebut, rasanya, sungguh mewakili pemaknaan pesan terakhir Buddha kepada kita semua: kita barangkali tidak mampu menghentikan ombak, namun kita bisa belajar berselancar, terus berjuang, mengendarai pasang-surutnya ombak kehidupan ini... dengan eling penuh!
Selamat Waisak 2553. Semoga kita semua makin baik, bahagia, dan berkesadaran. (*)
*) Handaka Vijjananda, pendiri Yayasan Ehipassiko, lembaga pendidikan, pelatihan, dan penerbitan Dharma Buddha
diambil dari Jawa Pos, Sabtu 9 Mei 2009