30 Mei, 2011

Buku untuk Kenaikan Pangkat?

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Ada fenomena menarik saat ini di kalangan tenaga pendidik kita, khususnya di lingkup para dosen atau pengajar perguruan tinggi. Di antara mereka berlomba menulis buku demi tujuan tertentu.


Kalau dulu, apalagi zaman Orde Baru, orang takut menyuarakan pikiran-pikirannya lewat tulisan, apalagi sampai melakukan kritikan terhadap pemerintah. Tapi, kini zamannya berbeda. Semua orang bisa berekspresi, membuat tulisan atau karangan berupa buku, opini, menulis di blog, jejaring facebook dan lain sebagainya.


Sepuluh tahun lalu mungkin jarang kita temukan (untuk tidak mengatakan tidak ada) karangan-karangan yang ditulis dosen di kampus-kampus. Tetapi, kini jangan ditanyakan, hampir setiap dosen di perguruan tinggi aktif membuat karangan berupa buku, di samping juga sering menulis jurnal. Ada di antara dosen lainnya sengaja mengirimkan tulisan-tulisan mereka di media massa.


Pertanyaannya, kenapa mereka berlomba menulis buku? Banyak dosen enggan menulis di media massa karena untuk bisa menembusnya agar tulisannya dimuat, harus melalui seleksi dan persaingan yang ketat.


Beberapa waktu lalu, saya berjalan-jalan, sampai di sebuah tempat foto kopi, yang terletak berdekatan dengan salah satu kampus. Saya menjumpai ada beragam judul buku baru yang dicetak oleh pihak rental (bukan penerbit). Tetapi, jumlahnya tidak banyak, per judul buku itu maksimal hanya berjumlah lima eksemplar. Kala itu saya berfikir, mungkinkan buku-buku itu merupakan hasil dari penggandaan buku (fotokopi) hasil tulisan orang lain yang diterbitkan oleh salah satu penerbit?


Tetapi, ternyata tidak demikian. Buku-buku itu adalah buku baru, ditandai dengan bulan, tahun dan tercantum pula penulisnya. Mereka tergolong orang-orang baru yang belum dikenal luas di media-media seperti koran.


Memang, membuat karangan seperti buku - kata banyak orang - lebih gampang daripada menulis opini di media massa. Karena, membuat tulisan dengan jumlah karakter tertentu di media massa memang tidak mudah. Bagaimana pun menulis opini adalah menulis ide dengan jumlah kolom yang begitu sempit. Sementara menulis opini melalui buku dirasa itu bebas, tidak terbatas oleh space.


Kehadiran buku-buku itu memang bisa membuat penasaran. Apalagi, disain sampulnya begitu indah dengan judul yang tidak kalah menariknya dengan buku-buku karya orang-orang yang sudah punya nama di dunia tulis-menulis, Namun, isinya tampaknya memang masih mendatangkan tanda tanya, kendati ber-ISBN (International Standard Book Number) pula.


Karena penasaran, saya memberanikan bertanya kepada pemilik tempat foto kopi tersebut ihwal buku-buku yang dipajang di etalase. Pemilik foto kopi itu dengan lancar menjawab, "Buku-buku ini mas, hanya untuk kenaikan pangkat/golongan oleh penulisnya. Makanya, tidak dicetak banyak karena memang tidak untuk dijual-belikan."


Dari pembicaraan tadi jelas, kita tidak bisa menyalahkan pemilik foto kopi tadi, karena dia hanya melakukan bisnis. Pikirannya juga tiada lain untuk mencari untung dari pekerjaannya walaupun terkadang juga harus hati-hati terhadap buku yang dilarang untuk digandakan.


Bom Akademik

Tentu masih belum hilang dalam ingatan kita tentang adanya kasus ledakan bom buku yang sempat menyita perhatian publik. Tetapi, tulisan ini tidak bermaksud membahas tentang bom buku seperti ramai dibicarakan orang. Maksudnya hanya membahas tentang buku-buku 'sampah' yang juga tidak kalah dahsyat dampak negatifnya dengan isu bom buku karena berdampak menghancurkan nilai dan kualitas dunia akademik di lingkungan perguruan tinggi.


Kenapa saya berani mengatakan demikian, karena buku yang ditulis tidak dimaksudkan untuk melakukan sebuah transformasi nilai, atau menyampaikan sebuah gagasan teori. Buku itu juga tidak ditulis dari hasil penelitian dan percobaan yang membuat isi buku itu benar-benar perlu disampaikan kepada, dan layak dikonsumsi oleh publik. Sehingga, pembaca juga berhak menilai kualitasnya.


Fenomena seperti itu, hemat saya, tidak hanya terjadi dalam satu lingkungan kasus seperti yang saya jumpai tadi, tetapi masih banyak terjadi pula di tempat-tempat lain dengan motif yang sama. Padahal, kejadian seperti itu jelas merupakan sesuatu yang buruk, menghancuran kualitas dunia akademik di perguruan tinggi, karena karyanya diperoleh dari hasil jadi buatan orang lain.


Alasan kenapa aktivitas itu dikatakan buruk dan lebih dahsyat dampaknya dari bom buku, karena pembuatan buku-buku seperti itu, tanpa seleksi dan tanpa proses edit yang ketat oleh seorang editor berkualitas secara akademik. Dalam dunia tulis-menulis, sebuah karya tanpa editing tentu hasilnya akan meragukan.


Namun, hal itu bisa terjadi karena sekarang banyak bermunculan penerbit-penerbit komersial, tanpa sebuah menajemen, visi dan misi yang tepat, serta tanpa adanya seorang editor. Penerbit semacam itu biasanya dikejar oleh para dosen untuk menerbitkan karya tulis mereka. Tujuannya, yang penting ada ISBN-nya. Dengan ISBN, maka buku itu sudah layak dibuat sebagai persyaratan untuk kenaikan pangkat/golongan dosen.


Buku yang diterbitkan hanya dimaksudkan untuk kenaikan pangkat semata, seperti yang penulis paparkan tersebut. Dhus, sudah jelas kualitas kandungan isi dalam buku itu tidak dianggap penting lagi.


Ketika kualitas sebuah buku tergolong jelek, karena ditlis asal jadi, meski ber-ISBN, sudah barang tentu hal ini akan berpengaruh terhadap menurunnya reputasi dunia akademik. Karena, bukankah buku-buku yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar etika penulisan ilmiah? Sejatinya pula, pangkat yang didapat oleh seorang dosen dengan cara 'membuat buku dari hasil karya orang lain' demikian juga merupakan jabatan yang gadu-gadu, penuh kepalsuan. ***



*Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Islam Al-Karimiyyah (STIA) Sumenep, Madura.

10 Mei, 2011

Mbah Sahal Menjawab Persoalan Umat

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Dialog Problematika Umat, karya KH. MA. Sahal Mahfudh. Dari judulnya saja, buku ini menarik untuk dibaca. Layak dikonsumsi oleh para akademisi, dosen, mahasiswa, kiai, santri, pelajar dan masyarakat umum. Buku ini berisi lengkap tentang segala persoalan problematika aktual dan jawabannya yang tengah terjadi di masyarakat. Sehingga kehadiran buku ini menjadi baru diruangan pembaca.


Kelengkapan isi dalam penulisan buku bukanlah tidak penting, karena berbobot tidaknya sebuah buku, pembaca bisa menyambut dengan baik terhadap kehadiran buku juga tergantung kepada isi buku. Tetapi –maaf– kadang-kadang, lengkap bukan berarti menjadi sebuah ukuran bahwa buku itu berkualitas, lain dari hal itu tergantung juga kepada siapa penulisnya. Berbicara penulis berarti bicara soal keilmuan yang dimiliki si penulis buku.


Buku yang kini hadir diruang pembaca ini ditulis oleh orang yang tidak mungkin diragukan lagi keilmuannya (ke-aliman-nya). Ia adalah tokoh masyarakat, ulama, pengasuh pondok pesantren besar, ilmuan, dan Rois Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU). Sebut saja namanya adalah KH. MA. Sahal Mahfudh. Sosok nama kiai Sahal mungkin tidak asing lagi di Indonesia, khususnya bagi warga nahdliyyin.


Mbah Sahal – sapaan akrab dari KH. MA. Sahal Mahfudh – adalah sosok kiai yang cukup produktif menulis diantara beberapa kiai dikalangan pondok pesantren dan di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Disamping Mbah Sahal sering menulis, juga sering dijadikan objek tulisan (penelitian) tentang pemikiran dan kiprahnya. Diantaranya buku-buku yang menulis Mbah Sahal Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren; Kontribusi Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh dalam Perubahan Nilai-Nilai Pesantren (Pustaka Pelajar, ditulis oleh Zubaedi) dan Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh; Antara Konsep dan Implementasinya (Khalista, Jamal Ma’mur Asmani) serta beberapa dokumen tulisan lain baik yang telah terbit dan yang belum diterbitkan.


Dengan keilmuan yang dimilikinya, Mbah Sahal mempunyai kepribadian yang khas, pemikirannya yang tajam dalam memberikan solusi-solusi dikala memberikan jawaban terhadap persoalan umat, argumetatif, merakyat, objektif dan transparan, maka tidak berlebihan kiranya jika penulis memberi julukan kepada Mbah Sahal sebagai pelaku sejarah, santri taat, dan terakhir adalah sebagai ulama “khos”. Bukan ulama kaos.


Selama perjalanan hidupnya, Mbah Sahal tidak pernah tergiur dengan godaan politik praktis, layaknya beberapa kiai pondok pesantren saat ini yang lebih memilih berjuang lewat jalur politik. Ketidaktertarikan Mbah Sahal kepada politik bukan berarti tidak tahu informasi dan perkembangan politik di tanah air, Mbah Sahal sangat tahu isu perkembangan terkini karena dirinya senang membaca. Mungkin dalam dalam pikiran Mbah Sahal, kalau terlalu masuk menjadi pemain semua kadang-kadang banyak kiai pondok pesantren dakwah dikandang pesantrennya hampir di nomor duakan oleh gerakan politiknya. Bagi Mbah Sahal, pesantren tetap diijadikan ladang perjuangan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat berbasis pesantren, seperti pemberdayaan dalam hal keagamaan, ekonomi, sosial dan budaya.


Kepribadian Mbah Sahal adalah sesosok orang yang selalu haus ilmu, demikian itu bisa dilihat dari perjalanan pendidikannya. Tidak sedikit pondok pesantren yang disinggahinya. Belajar merupakan prinsip hidup bagi Mbah Sahal. Sejak menginjak masa-masa remaja, waktunya selalu dimamfaatkan untuk mengaji dan mencari ilmu. Sehingga tak heran jika Mbah Sahal adalah sosok kiai yang akademisi dan ilmuan. Bahkan saking konsistennya terhadap keilmuan yang diusung (fiqh), Mbah Salah mendapat penganugerahan titel Doktor Honuris Causa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Itu pertanda bahwa Mbah Sahal orang yang ngetol dan konsisten di dalam memperjuangkan nilai-nilai (warisan) fiqh dan tradisi pesantrennya.


Pada mulaya, terbitan pertamanya buku ini berjudul Dialog dengan Kiai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat) pada tahun 2003, terasa dibutuhkan dan dicari oleh masyarakat sehingga buku itu didesain ulang dan dicetak kembali yang kini tampil dihadapan pembaca. Buku ini mengupas tuntas tentang panduan ibadah mulai dari mahdah dan ghairu mahda. Misalnya bab tentang problematika bersuci, salat, puasa dan ramadhan, zakat dan pemberdayaan ekonomi umat, haji, rumah tangga, tuntunan ibadah dan rekayasa tekonologi, akidah-akhlak, menggunakan kitab suci, makanan hingga etika sosial.


Beberapa persoalan dalam buku ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul di masyarakat yang terkadang diangap sepele dan tidak dicarikan jawabannya. Oleh Mbah Sahal, sebagai sosok kiai yang selalu mempunyai kepedulian untuk memberikan jawaban setiap pertanyaan yang ada sebagai bentuk tanggung jawab dirinya sebagai orang yang ditokohkan oleh masyarakat untuk menjawab beberapa lontaran permasalahan yang muncul. Jadi, Mbah Sahal tidak pernah mengesampingkan persoalan-persoalan kecil-kecil yang tengah dihadapi waraganya, dicarikan solusi dan jawabannya.


Jawaban-jawaban Mbah Sahal dalam buku ini adalah reflektif-argumentatif (kontekstual). Literatur yang digunakan tidak hanya terfokus pada satu teks, tetapi banyak melakukan perbandingan dengan teks (kitab-kitab kuning) lainnya. Sehingga di dalam memberikan jawaban, Mbah Sahal tidak terkesan sebagai orang yang menggurui, yang harus diikuti pendapatanya, melainkan memberikan tawaran-tawaran elastis pada setiap jawaban yang ada. Selamat membaca!


*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya & Dosen STIA Sumenep


DATA BUKU:
Judul: Dialog Problematika Umat
Penulis: KH. MA Sahal Mahfudz
Penerbit: Khalista, Surabaya dan LTN PBNU
Cetakan: I, Januari 2011
Tebal: xii+464 Halaman

Pemikiran Hamka tentang Etika

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Dalam kajian filsafat istilah “etika” difahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai sesuatu yang baik dan buruk kaitannya dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Persolan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis (ethos) yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata.


Etika dikatakan sebagai cabang pemikiran filsafat bisa dibedakan manjadi dua: yaitu obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam Islam –pada batas tertentu– ialah aliran Muitazilah.


Islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakkan nilai-nilai kemanusia atau hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan luhur, tidak ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang mengikat semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima” (menyelamatkan) itu dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manuia itu sendiri menggunakan dorongan diri kearah bagaimana memanusiakan manusia dan atau memposisikan dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja unik, tapi juga sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan tidak berjalan seiring fitrah, maka janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang.


Fitrah kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan memang tidak dapat ditawar, dia hadir sering tiupan ruh dalam janin manusia dan begitu manusia lahir dalam bentuk “manusia” punya mata, telinga, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya sangat tergantung pada wilayah, tempat, lingkungan dimana manusia itu dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga dan lingkungan muslim sudah barang tentu secara akidah akan mempunyai persepsi ketuhanan (iman) yang sama, begitu pun nasrani dan lain sebagainya. Inilah yang sering dikatakan sebagai sudut lahirnya keberagamanaan seorang manusia yang akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering dikatakan bahwa fenomena keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas.


Keberagamaan dalam Islam tentu saja harus dipandang secara konfrehenship dan seyogyanya harus diposisikan sebagai sebuah persfektif tanpa menapikan yang lain. Keberagamaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya merupakan salah satu nilai luhur kemanusiaan itu sendiri. Karena Islam itu lahir dengan pondasi keimanan, syariat, muamalat dan ihsan, Keimanan adalah inti pemahaman manusia tehadap sang pencipta, syariat adalah jalan menuju penghambaan manusia kepada tuhannya, sedangkan muamalat dan Ihsan adalah keutamaan manusia memandang dirinya dan diri orang lain sebagai sebuah hubungan harmonis yang bermuara pada kesalehan sosial.


Keberagamaan manusia yang berbeda inilah yang perlu diangkat sebagai sebuah momentum guna melihat sisi keunikan manusia sebagai ciptaan Tuhan itu sendiri. Persoalannya adalah apakah keberagamaan yang berbeda itu akan bermuara kearah yang sama? Kalau kita melihat secara seksama bahwa pada intinya keberagamaan manusia adalah pencarian terhadap kebenaran, baik kebenaran sosial hubungan antar manusia atau kebenaran transenden, yaitu cara pandang dan sikap manusia dalam menempatkan Tuhan dan makhluk ciptaan-Nya sebagai kebenaran absolut. Maka keberagamaan itu sendiri akan mengarah pada bagaimana kebenaran itu bisa diraih dalam rangka pendekatan diri kepada Tuhan sebagai manifestasi dari “iman”.


Dalam hubungannya dalam pencarian kebenaran dari sudut pandang keberagamaan manusia yang berbeda tentu akan didapat adalah berbedaan cara pandang dan sangat tergantung dorongan dari manusia itu sendiri yang sudah dikatakan di atas sebagai fitrah manusia yang given akan mengarakan kepada kebenaran atau sebaliknya. Dilihat dalam kontek ini adalah bagaimana manusia memposisikan diri selain pemahaman terhadap kebenaran transenden, juga memahamkan dirinya pada kebenaran hubungan antar manusia yang dalam Islam masuk dalam kategori “ihsan” yang secara harfiah berarti kebaikan dan kebaikan. Dorongan ihsan itu sendiri akan melahirkan subuah prilaku, yaitu moral atau etika.


Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua ciri utama. Pertama, etika Islam tidak menentang fithrah manusia. Kedua, etika Islam amat rasionalistik.


Di Indonesia gagasan dan pemikiran-pemikirannya tentan etika juga pernah diflorkan oleh seorang yang namanya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah atau biasa disapa dengan HAMKA. Pria yang dilahirkan di Kampong Molek, Meninjau, Sumatra Barat, tanggal 17 Pebruari 1908 ini juga banyak menyumbangkan pemikirannya tentang etika dalam Islam.


Dalam buku Etika Hamka; Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius yang ditulis oleh Dr. Abd Harits ini berbicara banyak tentang konstruksi etika Hamka yang dibangun di atas fondasi tawhid dan filsafat. Menurutnya (Hamka), motivasi perbuatan moral seorang muslim itu bersifat transendental, yakni mencari ridla Allah SWT untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Perbuatan moral seorang muslim hendaknya didasari pandangan dunia tawhid yang melampaui kepentingan pragmatis. Di sinilah tampak sekali dalam pemikiran etika Hamka, perpaduan serasi antara bangunan agama yang religius dan filsafat yang rasional. Maka tidak salah bila pemikiran etika hamka disebut dengan corak etika berbasis rasional-religius. Selamat membaca!


*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya & Alumnus PP. Nasa Gapura Sumenep



DATA BUKU:
Judul Buku: Etika Hamka; Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius
Penulis: pROF. Dr. Abd. Haris
Penerbit: LKiS, Yogyakarta & IAIN Sunan Ampel Surabaya Press
Cetakan: I, Desember 2010
Tebal: xvi + 258 Halaman

Menyoal Larangan Aktivitas JAI

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Bangsa ini kita kenal dengan bangsa yang demokrasi. Walaupun demokrasi sempat terkurung dan dikebiri pada masa Orde Baru. Hak-hak warga selama 32 tersumbat dan dikekang oleh pemerintah. Setelah arus reformasi (public sphere) bergulir yang lebih bertendensi pada kebebasan rakyat ibarat air – meminjam istilah Nurkholish Madjid – yang semula tersumbat kemudian di buka, air keras kontan menyerobot keluar.


Orde reformasi tidak hanya kebebasan berbicara dan bersuara, tetapi juga di dalam menganut sebuah kepercayaan dengan memilih aliran ideologi tertentu. Misalnya beberapa aliran Islam radikal yang sewaktu Orde Baru tidak punyak akses sama sekali, saat ini begitu gencarkan mereka mengakampanyekan ide dan ajarannya. Mulai dari yang hanya biasa-biasa saja hingga mereka yang mengusung konsep lain yakitu mau menggantikan asas dan dasar NKRI. Adanya gerakan-gerakan itu, pemerintah seperti tidak mempunyai kontrol dan tidak berdaya untuk memberikan larangan. Seandainya pemerintah ikut interpnesi dengan ini, maka dianggap bukan Negara yang demokrasi. Walaupun pada dasarnya semua mengambil untung dibawah bendera demokrasi.


Pencegahan Sejak Dini
Beberapa pekan yang lalu, mungkin masih belum hilang dalam ingatan kita, Indonesia dihebohkan dengan penyerbuan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) oleh kelompok tertentu. Semua orang, mulai dari tokoh agama, tokoh ormas, pemerhati, peneliti, akademisi, aktivis, pemerintah, politisi menorehkan perhatiannya terhadap tragedi itu. Termasuk juga semua media memberitakan hal yang sama setiap harinya, bahkan bisa dikatakan menghiasi halaman depan media-media itu. Kejadian serupa tentunya semua berharap tidak terulang kembali seperti yang terjadi di Cikeusik, Banten, kekerasan di Temanggung kemudian disusul dengan penyerangan Lembaga Pendidikan Islam (pesantren) di Bangil, Pasuruan.


Mengantisipasi terjadi kerusahan dengan label agama dan keyakinan, Gubernur Jawa Timur akhirnya menerbitkan Surat Keputusan (SK) tentang larangan aktivitas Jamaah Ahmadiyah di Jawa Timur dengan Nomor 188/94/KPTS/013/2011. Di dalam surat keputusan tersebut, terdapat empat point larangan oleh Jamaah Ahmadiyah di Jawa Timur, yaitu: melarang kepada Jamaah Ahmadiyah di Jawa Timur untuk menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan dan elektronik. Kedua, memasang papan nama Ahmadiyah di tempat umum. Ketiga, memasang papan nama di lembaga-lembaga pendidikan, masjid, dan mushalla. Keempat, menggunakan semua bentuk atribut Ahmadiyah.


Diterbitkan Surat Keputusan Gubernur tersebut tiada lain adalah untuk mencegah tindak kekerasan di Jawa Timur. Kenapa itu penting? Kita optimis saja bahwa kebijakan itu diambil adalah untuk kebaikan bersama. Dalam sisi yang lain tentunya untuk menjaga provinsi Jawa Timur yang kini masih terkenal sejuk, damai, penuh dengan toleransi yang jelas tak ingin label-label itu dinodai oleh persoalan yang barakibat terganggunya stabilitas dan kelancaran pembangunan di Jawa Timur.


Dampak SK Guberbur
Setiap kebjiakan apapun yang diambil oleh pemimpin (pemerintah) tetap terjadi yang nama kontroversial. Ada yang pro juga ada yang kontra, ada dampak positif dan negatifnya. Tetapi semua itu kembali kepada pengambil kebijakan, apa tendensi dibalik setiap kebijakan tadi.


Menilik kembali kepada Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur tentang larangan aktivitas Jamaah Ahmadiyah tentunya mempunyai dampak-dampak tertentu: positif juga ada yang negatif. Dampak posistifnya jelas bahwa pemerintah Jawa Timur dalam hal benar-benar mengantisipasi sedini mungkin tentang tragedi yang terjadi di beberapa daerah lain tentang perbedaan kepercayaan dan keberagamaan. Adapun dampak negatif dari dikeluarkannya SK tersebut, terdapat dua hal:


Pertama, Jawa Timur telah memulai untuk tidak menghargai perbedaan. Padahal hingga kini, masyarakat luar masih menilai bahwa provinsi ini (Jawa Timur) adalah gudangnya perbedaan: ras, suku, agama, ormas, etnis, aliran dan kepercayaan. Tetapi dengan diterbitkannya SK Gubernur tentang larangan aktivitas Ahmadiyah, maka secara tidak langsung akan menutup selanjutnya pada masa yang akan datang terhadap semua perbedaan kepercayaan dan keyakinan yang datang ke Jawa Timur. Kalau demikian, berarti nilai-nilai pluralisme telah mulai luntur di Jawa Timur.


Selain itu, Surat Keputusan Gubernur tersebut telah menyimpang dari nilai-nilai UUD 1945 yang tertuang dalam pasal 29 ayat 1 yang berbunyi “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan ayat 2 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.


Kedua, kalau belakangan nanti terjadi penyerangan (tragedi besar) terhadap Jamaah Ahmadiyah di Jawa Timur, maka kerusahan tersebut nantinya akan berlindung di bawa hukum SK Guberbur, sementara Jamaah Ahmadiyah tidak akan berdaya apa-apa. Itu artinya, setiap perlakuan kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah oleh sekelompok tententu bakal mempunyai alasan kuat, landasan hukum karena tindakan tersebut telah bernaung dibawah Surat Keputusan.


Nah, nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Semoga semuanya tetap akan berjalan sesuai dengan harapan masyarakat Jawa Timur tanpa sebuah diskriminasi dalam berbagai aspek. Jika sebuah keputusan akan diambil, hendaklah dilakukan sebuah analisis yang intensif dengan orang yang kompeten dalam bidangnya, sehingga bisa mendapat respon positif dari masyarakat. Harapan kami (warga Jawa Timur semua tentunya) tragedi yang terjadi diluar karena ketidaksepahaman bendera (keyakinan) semoga “tidak” untuk di Jawa Timur, Indonesia pada umumnya. Kalau tidak, NKRI adalah taruhannya.


*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya & Staf pengajar di STIA Sumenep