26 Juli, 2009

Fatihah surat fundamen dalam Al-Qur’an

Oleh: Ach. Syaiful A'la

Khaled Abou Al Fadl (2001), mengemukakan dalam bukunya “Musyawarah Buku; Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab”, buku tersebut adalah salah-satu – lakon – kritikan kepada umat Islam yang banyak lupa (atau terkadang sengaja memang membuat lupa), betapa pesan Islam dimulai dengan sebuah buku (Al-Qur’an); sebuah buku yang mengandung visi moral dan kebaikan yang luar biasa. Dari cahaya “Teks” suci itu pula peradaban Islam pergulir, para kiai atau ulama dahulu berjuangan menegakkan kebenaran melalui jalan yang berliku dan penuh duri, dan tidak terpuruk dalam nalar dogmatis, sikap apologetis, atau solipsisme yang egois seperti sekarang.

Nasr Hamid Abu Zaid, juga menambahkan dalam bukunya “Tekstualitas Al-Qur’an”, bahwa Al-Qur’an adalah sebuah Teks (dengan “T” besar) yang dalam sejarahnya tidak pernah ada yang menandingi oleh teks-teks lain sebelum dan sesudahnya. Nasr menulis, bahwa Teks Al-Qur’an merupakan media bahasa (al-syifrah al-lughawiyah) untuk mengkomunikasikan ide atau gagasan Tuhan dengan manusia atau realitas pada waktu itu.
Karena Al-Qur’an adalah sebuah Teks, maka Al-Qur’an layak ditafsirkan dan akan berkomunikasi dengan lingkungannya. Sehingga pengkajian terhadap Teks-teks suci yang dilakukan oleh beberapa mufassir sebenarnya mereka tidaklah mau (apalagi perkeinginan) untuk merubah redaksi Al-Qur’an, apalagi sampai menolaknya, melainkan hanyalah untuk mengembangkan penafsiran untuk mengkontekstualisasikan pemahaman Al-Qur’an dengan menangkap sebuah ide atau gagasan Tuhan yang literal.

Tetapi tidak semua orang bisa menafsirkan Al-Qur’an (baca:syarat-syarat menjadi mufassir), sudah barang tentu penafsiran Al-Qur’an memerlukan sebuah metode serta analisis hermeneutik (fiqh al tafsir wa al-ta’wil). Melalui pengkajian fiqh al tafsir wa al-ta’wil, tak dapat dipungkiri lagi hingga kini banyak karya-karya tafsir yang dihasilkan oleh mufassir, bahkan ribuan tafsir telah tersebar dipenjuru dunia, termasuk diantaranya “Tafsir Al-Fatihah” yang kini berada di tangan pembaca dan beberapa tafsir kontemporer lainnya dalam kaca mata perempuan, seperti tafsir feminis. Kesemua itu, berangkat dari kegelisahan dan keinginan untuk menyingkap makna yang terkandung dari ide atau gagasan Tuhan yang tersimpan dalam sebuah Teks suci yang namanya Al-Qur’an.

Mukjizat Surat Al-Fatihah
Apa makna yang terkandung dalam surat Al-Fatihah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, baiknya kita menilik kepada sebuah kisah pada masa shababat Umar bin Khattab ra.

Suatu ketika, kaisar kerajaan Romawi, berkirim surat kepada Khalifah Umar bin Khattab ra. Isinya, menanyakan tentang nama surat dalam Al-Qur’an yang tidak mengandung tujuh huruf (Tsa, Jim, Kha, Za, Syiin, Zha dan Fa), baginya yang membaca surat itu akan masuk surga. Keterangan yang demikian itu, oleh kaisar dapatkan dalam kitab Injil.

Selesai membaca surat dari Kaisar, khalifah Umar bin Khattab ra. segera memberikan kabar kepada para sahabat tentang isi surat itu. Akhirnya, Ubay bin Ka’ab mengatakan bahwa surat yang tidak mengandung tujuh huruf dimaksud adalah “Al-Fatihah”.
Mendapat keterangan dari Ubay bin Ka’ab, khalifah Umar bin Khattab segera membalas surat Kaisar, bahwa surat itu, adalah Al-Fatihah dalam Al-Qur’an. Usai membaca surat balasan dari khalifa Umar, kaisar Romawi menyatakan diri memeluk Agama Islam dan ia meninggal dalam memeluk Islam.

Buku Tafsir Al-Asas; Kandungan dan Rahasia di Balik Firman-Nya, yang ditulis oleh KH. A. Busyro Karim, kiai muda NU asal Sumenep Madura ini, banyak mengulas tuntas tentang makna, fungsi, dan keistimewaan-keistimewaan yang dikandungnya. Penulis buku ini juga memaparkan tentang nama-nama lain dari surat Al-Fatihah.

Banyak orang yang kagum atau tertarik pada Al-Qur’an, karena Al-Qur’an mengandung kesusastraan yang sangat tinggi dibandingkan dengan sastra-sastra yang lain pada zamannya. Namun, jika seseorang itu kemudian ditanya, kenapa tertarik dan kagum pada Al-Qur’an? Mereka terkadang tidak dapat menjelaskan dengan kata-kata mengapa mereka kagum dan tertarik.

Pesona Al-Qur’an sebenarnya bukan karena faktor dogma teologis yang mengharuska orang beriman untuk mengangungkan dan mengimaninya, melainkan ada faktor inheren dalam teks Al-Quran itu sendiri. Teks Al-Qur’an memang mengandung sesuatu yang dapat memikat pembaca atau bagi para pendengarnya. Betapa banyak cerita di dalam Al-Qur’an atau yang tidak tersurat dalam Al-Qur’an yang menggambarkan kenyataan ini. Dari sinilah akhirnya, banyak studi yang dilakukan oleh beberapa peneliti dengan berbagai disiplin ilmu yang ingin mengetahui makna yang tersembunyi dibalik Teks.

Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi manusia (hudan li an-nass) seharusnya tidak hanya dijadikan bacaan ritual semata, tetapi juga harus dipahami, dihayati, dinikmati, serta diamalkan isinya. Akan tetapi untuk sampai kesana, memenuhi hal tersebut diatas tidaklah mudah, dibutuhkan perangkat keilmuan yang memadai.

Buku ini penting dibaca, difahami dan direnungkan isinya ditengah kita –manusia – sibuk dalam urusan dunia. Isi buku ini masih orisinil dan jauh dari kepentingan sepihak oleh penulisannya. Karena buku ini merupakan karya, disaat penulisnya masih jauh dari keramaian politik. Maka, kalau ingin mengetahui pemikiran KH. A. Busyro Karim yang “khas”, buku ini adalah jawabannya.


DATA BUKU
Judul Buku : Tafsir Al-Asas; Kandungan dan Rahasia di Balik Firman-Nya
Penulis : Drs. KH. A. Busyro Karim, M.Si
Penerbit : Muara Progresif, Surabaya
Cetakan : I, Juli 2009
Tebal : xi+202 Halaman