01 Mei, 2009

Pertamina & Pendidikan; Belum Tepat Sasaran

Oleh : Ach. Syaiful A'la

Pendidikan menjadi salah satu agenda terbesar di Indonesia. Prioritas pada agenda pendidikan ini didasarkan pada kesadaran minimnya sumberdaya manusia Indonesia. Pada saat yang sama, seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara niscaya dioptimalkan oleh indvidu-individu yang mempunyai kompetensi dan kualifikasi tinggi yang lahir dari dunia pendidikan. Hal ini sesuai dengan misi pendidikan secara umum, yaitu secara progresif membantu mewujudkan bentuk masyarakat yang dicita-citakan. Hampir tidak ada yang membantah bahwa pendidikan adalah pionir dalam pembangunan masa depan suatu bangsa.

Pendidikan adalah sebuah aset. Mengapa demikian? Karena meskipun terkadang harus mengeluarkan biaya banyak, orang tetap berbondong-bondong untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Dan bagi yang tidak mampu membayar biaya pendidikan sekalipun, mereka harus mencari lembaga-lembaga pemberi bantuan beasiswa.
Jika pendidikan suatu bangsa sudah amburadul, maka kehancuran bangsa sudah di depan pintu. Sebab, pendidikan menyangkut pembangunan karakter dan sekaligus mempertahankan jati diri manusia suatu bangsa. Karena itu, bangsa yang ingin maju, maka pembangunan pendidikan selalu menjadi prioritas utama.

Becermin pada Jepang, ketika negara itu luluh akibat meledaknya bom di Nagasaki dan Hirosima, ketika itu pula Jepang secara fisik telah hancur. Tetapi tak sebarapa lama, Jepang kemudian bangkit dan kini telah berdiri kokoh kembali sebagai salah satu negara maju di dunia. Dalam konteks inilah, salah satu kunci utama keberhasilan Jepang adalah pembangunan dunia pendidikan, yang pada gilirannya membangun kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) ditetapkan sebagai prioritas.

Satu tesis mengemukakan bahwa pendidikan memberi kontribusi secara signifikan terhadap pembangunan ekonomi telah menjadi kebenaran yang bersifat aksiomatik. Berbagai kajian akademis dan penelitian empiris telah membuktikan keabsahan tesis itu.

William Schweke dalam bukunya, Smart Money: Education and Economic Development (2004), memberi afirmasi atas tesis ilmiah para scholars. William menulis bahwa pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi pendidikan juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.

Dari itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan lain sebagainya.

Pendidikan dan Kemiskinan
Salah satu problem pendidikan paling mendasar adalah kemiskinan. Tingkat kemiskinan di negeri ini sungguh fantastis, sangat besar dan mengkhawatirkan. Kita sepakat bahwa kemiskinan kini merupakan simbol yang tentunya sangat memalukan. Besarnya angka kemiskinan di Indonesia saat ini setara dengan kondisi 15 tahun yang lalu. Berdasarkan data (BPS), jumlah penduduk miskin pada tahun 2004 mencapai 36,1 juta orang atau 16,6 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Tingkat kemiskinan dan pengangguran masih paling tinggi di antara negara-negara ASEAN. Demikian pula dalam indeks pembangunan manusia, Indonesia masih menempati peringkat 111 dari 175 negara di dunia. Posisi ini jauh di bawah negara tetangga, seperti Malaysia (76) dan Filipina (98).

Satu hal penting untuk mengatasi hal tersebut di atas adalah dengan menumbuhkan political will pemerintahan sekarang ini untuk lebih memperhatikan sektor pendidikan. Bagaimana pemerintah mau menempatkan persoalan pendidikan sebagai salah satu prioritas dalam pengambilan kebijakannya. Misalnya mempertegas anggaran pendidikan 20 % diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sesuai Undang-Undang Dasar 45 pasal 31 ayat (4).

Disinilah Pertamina sebenarnya juga (harus) merasa terpanggil ikut serta dan terlibat dalam membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi bangsa sebagai wujud aplikasi dari program Corporate Social Responsibility (CSR) bidang pendidikan. Sesuai dengan akte pendiriannya, pertamina sebagai perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia (National Oil Company) menyelenggarakan usaha dibidang minyak dan gas bumi, baik di dalam atau di luar negeri serta usaha kegiatan lain yang terkait menunjang kegiatan usaha dibidang minyak dan gas bumi tadi. Artinya, pertamina merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah mampu mengemban amanah UUD 1945 yaitu “…bumi, air, dan kekayaan yang ada didalamnya dikuasai oleh Negara demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat…”.

CRS Tepat Sasaran
Selama ini, Corporate Social Responsibility (CSR) PT Pertamina bidang pendidikan memang talah banyak memberikan bantuan pada pendidikan. Misalnya tahun 2008, CSR melakukan peningkatan mutu dan akses pendidikan seperti pembangunan dan rehabilitasi sarana pendidikan tingkat SD sampai SLTA. Bentuk peningkatan mutu yang dilakukan seperti pembangunan auditorium, sarana olah raga, renovasi perpustakaan, pembangunan green house dan lainnya. Bentuk kegiatan diatas sebagap strategic partner dengan institusi pendidikan yang ada. Salah satu strategic partner dari CSR adalah beasiswa pendidikan kepada anak putus sekolah, dan turut mendukung program Education Far All (EFA) untuk pendidikan kepada tuna netra.

Tahun 2009, anggaran CSR bidang pendidikan mencapai 120 miliar (Antara News, 3/3/09). Bagaimana dana sebesar itu bisa sampai kelapisan pendidikan level bawah yang memang membutuhkan kucuran atau bantuan dana untuk penyelenggaraan pendidikan? Selama ini, gerakan yang dilakukan CSR hanya bersifat aksidental, tidak berkelanjutan, terkesan proyek bukan program. Dan anggaran yang sebesar itu, sering kali tidak tepat sasaran alias hanya bisa dinikmati oleh lembaga pendidikan lapisan atas (baca:kegiatan csr). Sementara lembaga-lembaga pendidikan yang ada di plosok dan terpencil belum tersentuh oleh program CSR Pertamina bidang pendidikan.

Hemat penulis, salah satu penyebab belum tersentuhnya lembaga pendidikan level bawah disebabkan oleh adanya kebijakan yang sentralistik dari Perusahaan Pertamina. Akibatnya, bentuk kegiatan selalu cenderung seperti ceremonial belaka. Kebijakan sentalisttik memang dibutuhkan, tetapi yang demikian itu kalau menyangkut persoalan yang sangat prinsipil, kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk pengembangan perusahaan. Mungkin tindakan seperti inilah yang perlu diperbaharui dan menjadi garapa utama di internal Pertamina, sehingga CSR bidang pendidikan betul-betul tepat sasaran.

Ada dua strategi bagaimana Corporate Social Responsibility tepat sasaran. Pertama, untuk memajukan perusahaan PT Pertamina dan tetap berjalan berkelanjutan serta mendapat kepercayaan dari masyarakat, maka masyarakat yang selama ini posisinya sebagai konsumen harus diposisikan sebagai mitra corporate. Kedua, memberikan kebijakan kepada masing-masing cabang Pertamina untuk membuat anggaran (budget) dan beberapa program CSR bidang pendidikan sendiri juga cara merealisasikannya. Hal ini sebagai bentuk kebijakan partisipatorik dalam perusahaan antara top manager (pusat) dengan beberapa anak perusahaan dibawahnya (Hasibun, 2005).

Karena pertamina-pertamina dibeberapa cabang jauh lebih dekat dan mengetahui terhadap kebutuhan dan kondisi pendidikan di daerahnya, sehingga kebijakan anggaran dana untuk pendidikan sebasar anggaran itu, akhirnya benar-benar menyentuh terhadap persoalan dan kondisi pendidikan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Semoga tulisan ini bermamfaat.