20 Agustus, 2010

Berharap Puasa Mabrur

Oleh: Ach. Syaiful A'la*

Secara umum, dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi. Ketiga potensi tersebut mempunyai kecendrungan yang berbeda-beda dan berusaha saling mempengaruhi di dalam jiwa manusia.

Pertama, potensi amarah (qawwat al-ghadhabiyah). Potensi ini cenderung untuk mengikuti sifat-sifat amarah dan emosional yang berlebihan. Jika potensi ini yang mengendalikan diri manusia, bisa dipastikan seseorang akan menjadi labil, pemarah, dan tidak bisa berkompromi.

Kedua, potensi kekuatan syahwat (quwwat al-syahwaniyah). Kekuatan ini cendrung memperturutkan hawa nafsu yang mengarah ke pemenuhan kebutuhan biologis secara berlebih-lebihan. Jika potensi yang dominan dan berkauasa, manusia akan terjerumus dalam kenikmatan (duniawi) sesaat.

Ketiga, potensi berpikir (quwwat al-natiqah). Jika potensi yang mengendalikan manusia, sebenarnya positif saja selama ini tidak berlebih-lebihan dalam mengembangkan potensi tersebut, baik dalam rangka memahami doktrin agama, maupun implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Substansi ibadah puasa ramadlan dalam konteks ini adalah mengembalikan ketiga potensi tersebut agar bisa terarah dengan benar. Jadi, dalam hal ini, tuntunan puasa ramadlan adalah membina, membimbing serta mengarahkan ketiga potensi agar bisa tersalurkan dengan baik dan benar.

Puasa Mabrur
Kata “mabrur” disini mungkin sangat asing di telinga pembaca ketika dikaitkan dengan ibadah puasa. Karena kata (mabrur) tersebut lazimnya melekat dan merupakan sebuah predikat bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah haji ke Mekkah.

Tentunya kita telah mafhum, bahwa tipe orang yang melaksanakan ibadah haji itu ada tiga. Jika seseorang yang menunaikan ibadah haji, kemudian kembali ketanah air, kelakuannya (sikap) lebih jelek dari sebelumnya, maka dimata Allah orang tersebut mendapat tiket, namanya haji mardud (ditolak). Apabila seseorang yang melaksanakan ibadah haji, setelah kepergiannya amal perbuatannya sama saja seperti sebelumnya (tidak ada perubahan), maka dinamai dengan haji makbul (keterima). Bila mana seseorang yang menunaikan ibadah haji kelakuannya lebih baik dari sebelum naik haji, maka ia menyandang predikat haji yang mabrur. Dan predikat mabrur inilah tentunya menjadi cita-cita setiap insan yang menunaikan ibadah haji.

Predikat mabrur disini ternyata tidak sesederhana seperti yang kita ucapkan setiap saat ini. Dalam sebuah hadits Nabi disebutkan, mabrur disini apabila memenuhi kriteria berikut. Pertama, orang yang baik perkataannya (thibul kalam). Misalnya orang tersebut bermoral, mempunyai kekayaan mental (optimistik), amanah dalam menjalankan tugas, sopan dalam bergaul dengan sesama, tawadau’ (tidak merasa dirinya lebih tinggi ketimbang yang lain). Kedua, mampu menyebarkan kedaimaian (ifsyaul as-salam). Ketiga, memberikan makan (ith'amul at-tha'am), seperti membantu orang yang kelaparan, menyantuni anak yatim piatu dan lain sebagainya.

Puasa sebagai Training
Bulan ramadlan atau disebut juga dengan bulan puasa sebagai bulan yang penuh berkah (syahrul mubarok). Berkah artinya terkumpulnya kebaikan Ilahiah pada suatu waktu, tempat, sesuatu atau seseorang. Dari satu sudut dapat disebut bahwa bulan ramadlan adalah bulan yang sangat produktip. Produktifitas ramadlan itu ditandai dengan peningkatan pahala sebagaimana dikatakaan oleh Nabi, bahwa amal sunnat diganjar senilai amal wajib, dan amal wajib diganjar dengan 10 sampai dengan 700 kali lipat, bergantung kualitasnya.

Puasa yang dilakukan seseorang secara benar, secara psikologis akan menekan keserakahan kepada harta dan menekan dorongan hawa nafsu (nafsul ammarah) yang pada gilirannya dapat meningkatkan tingkat kesucian jiwanya (nafsul muthmainnah). Hadits tersebut diatas tidak cukup hanya dimaknai secara literal saja, melainkan harus didefinisikan kepada konteks sosial saat ini. Kerana puasa adalah sebuah latihan (training) kepada kita untuk menghindari hal-hal yang sifatnya buruk, bukan semata-semata ibadah ritual yang sifatnya transindental, yang sepertinya tidak mempunyai nilai-nilai kemanusiaan sama sekali. Puasa secara substantif mempunyai makna sosial dan menjadi keharusan untuk diterjemahkan dalam kehidupan bermasyarakat (a’malul yaumiyah).

Misalnya dalam sebuah hadits Nabi juga disebutkan, bahwa 10 hari pertama di dalam bulan ramadlam adalah rahmah (pemberian segala macam kenikmatan dari Allah). Rahmat disini dapat artikan bahwa kita juga harus bisa memberikan mamfaat kepada orang lain. Sepuluh hari kedua adalah maghfirah (ampunan). Orang yang melaksanakan ibadah puasa hendaklah bisa memberikan maaf kepada orang lain, karena memaafkan orang lain jauh lebih sulit ketimbang memberi ampunan. Sepuluh hari ketiga adalah dibebaskan dirinya dari siksaan api neraka.

Bebas dari api neraka disini berarti keluar dari kesengsaraan. Sebagai muslim yang melaksanakan ibadah puasa, hendaknya turut serta membantu, menolong guna meringankan penderitaan saudaranya, misalnya supaya mereka cepat keluar dari himpitan persoalan ekonomi (kemiskinan) yang hingga kini tak kunjung usai.

Inilah yang dimaksud dengan “mabrur” dalam tulisan ini. Seseorang yang melaksanakan ibadah puasa akan mendapat predikat “mabrur” dan benar-benar keluar sebagai pemenang (fitrah) kalau mampu mengaplikasikan ketiga hal tersebut diatas. Karena apa yang diperbuat selama bulan puasa, seperti memperbanyak sedekah, mengeluarkan zakat fitrah, memberi bantuan makan seperti buka dan sahur kepada orang lian dan membantu sahabat sekitar yang memang membutuhkan, kemudian ia mampu menerjemahkannya pada 11 bulan diluar bulan ramadlan berikutnya.


*Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya' 2009.