21 November, 2010

PELACUR JUGA BERAGAMA

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Agama Pelacur”. Dari judulnya saja menarik untuk dibaca. Buku ini layak dimiliki oleh akademisi, peneliti, pemerhati, dosen dan mahasiswa. Bagaimana seorang yang beragama bisa dikatakan dan berstatus menjadi pelacur? Lalu dimana Agama yang ia yakini ditaruh?


Nilai-nilai sosial, baik yang bersumber dari ajaran Agama maupun tradisi dapat menjadi faktor yang meminggirkan perempuan. Perempuan dapat terkonstruksi secara sosial sebagai mahkluk yang “tunduk”, “loyal”, “lembut”, “pasrah”, dan “mengabdi”, serta tempat yang dianggap sesuai dengan perempuan adalah rumah, peran yang harus diemban dan tidak boleh ditinggalkan adalah mengurus urusan-urusan rumah tangga. Pengingkaran terhadap watak dan posisi seperti itu dianggap melawan takdir.


Posisi perempuan dalam Agama sebagai pihak yang harus tunduk pada laki-laki banyak ditemukan dalam kitab-kitab klasik. Subordinasi perempaun dalam Islam misalnya, terdapat dalam kitab ‘Uqud al-Lujjayn tulisan ulama Nawawi al-Bantani, kitab kuning yang sering menjadi rujukan dalam pendidikan Agama di pesantren.


Pemosisian perempaun di masyarakat juga bisa dilihat dari simbol-simbol yang terbangun. Namun sistem simbol yang terkait dengan perempuan ternyata sangat rumit sehingga tidak dapat ditarik dengan segera ke dalam suatu keputusan tunggal. Ada kontradiski simbolik atau dinamika simbolisasi yang penting untuk dicermati.


Secara simbolik, perempuan mendapat tempat yang sangat terhormat di dalam imajinasi orang Indonesia. Misalnya, bumi Nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke selain disebut tanah air, sering pula dijuli “Ibu Pertiwi”, seperti pada ungkapan: “Pahlawan kita telah gugur dan kembali kepada pangkuan Ibu pertiwi. Itu artinya bahwa nama perempuan sangat terhormat. Begitu juga dengan sebutan ibu kota, dan banyak hal lainnya yang menyebut nama ibu. Ada puisi dahsyat judulnya juga diberi nama Ibu.


Pada ranah dimistik juga terbangun image publik tentang perempuan sebagai sosok manusia yang harus dihormati, misalnya pada ungkapan yang bersumber dari ucapan Nabi Muhammad SAW: “Surga berada di telapak kaki Ibu”. Disini begitu besar keududukan seorang perempuan (Ibu) harus dihormati dibandingkan dengan seorang laki-laki (Ayah).


Hanya saja, seringkali simbolisasi (image) perempuan sering dimamfaatkan oleh seorang laki-laki untuk menena-bobokkan seorang perempuan untuk tidak berdaya. Image diatas dijadikan sebagai senjata untuk menenangkan perempuan agar supaya tidak membuat perlawanan terhadap tindakan yang dilakukan perempuan. Sehingga laki-laki merasa puas dengan segala tindakannya, termasuk mau poligami tidak menjadi halangan. Pada sisi yang lain, perempuan banyak (hanya) dijadikan sebagai objek pemuas nafsu hedonisme seks laki-laki. Dalam sejumlah penelitian (yang dilakukan peneliti) banyak ditemukan data sebagai sumber kajian atau penelitian tentang perempuan tentang suatu kondisi marjinalisasi terhadap perempuan.


Buku Agama Pelacur (Dramaturgi Transendental) karya Nur Syam ini, hendak menggambarkan suatu keadaan (fenomena) perempaun dalam suatu kondisi tertentu. Bagaimana Agama memandang, menyikapi dan memposisikan perempuan yang seringkali dijadikan sebagai subjek (tertuduh) sebagai sosok yang a moral karena perbuatannya – yang kata sebagian orang – telah keluar dari garis yang ditentukan oleh Agama, misalnya perempuan yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial (PSK) dalam suatu lokalisasi.


Dalam penulisan buku ini, penulisnya menggunakan studi atau metode Dramaturgi. Studi ini dipakai untuk menjelaskan suatu identitas manusia, bahwa manusia tidak stabil dan merupakan setiap identitas manusia adalah bagian dari kejiwaan psikologi kemandirian individu. Studi ini menjelaskan bahwa identitas manusia bisa saja berubah-rubah sesuai dengan kondisi dan tergantung pada bagaimana ia melakukan interaksi dengan orang lain.


Kajian tentang Dramaturgi dikembangkan oleh seorang filosof dan literalis, Kenneth Duva Burkey. Dramaturgi dikenalkan untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan kehidupan sosial. Tujuan digunakan metode Dramaturgi oleh Nur Syam (penulis buku ini) adalah untuk menjelaskan bahwa hidup ini bukan seperti drama, tetapi hidup ini memang sebuah drama. Dengan demikian, untuk melihat kondisi sosial di masyarakat dibutuhkan pemahaman yang objektif. Tidak asal memberikan vonis itu salah dan yang ini benar, tetapi juga bisa memberikan solusi agar orang yang kita anggap keluar dari rel yang ditentukan bisa menemukan jalan dan tempat yang layak.


Melalui Dramaturgi, sehingga buku ini bisa menampilkan pentas (pertunjukan) tentang suatu kondisi prilaku perempuan dalam disebuah lokalisasi di Surabaya, misalnya di lokalisasi Jagir Wonokromo (hlm. 102), lokalisasi di Morseneng (hlm. 107), lokalisasi di Dolly (hlm. 113). Bagaimana seorang perempuan – yang oleh Agama diposisikan sebagai manusia terhormat bisa masuk dalam lokalisasi. Apa yang melatar belakanginya, bagaimana pengakuan (sesuai dengan hati nurani)-nya sebenarnya, serta bagaimana Agama menyikapi hal demikian? Untuk mengetahui lebih jauh, buku ini adalah jawabannya. Selamat membaca!



*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya


DATA BUKU:

Judul Buku : Agama Pelacur (Dramaturgi Transendental)

Penulis : Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

Penerbit : LKiS, Yogyakarta

Cetakan : I, Oktober 2010

Tebal : xviii+200 Halaman