24 November, 2010

ANTISIPASI BANJIR LOKAL

Oleh : Ach. Syaiful A’la*


Banjir. Kata ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Surabaya. Sudah menjadi sego setiap saat. Banjir merupakan problem yang mendasar saat tengah dihadapi kota Metropolitan ini dan boleh tinggal diam tetapi harus dicarikan solusinya. Saking pentingnya penyelesaian persoalan banjir di kota Surabaya, terkadang sampai dijadikan ajang kampanye (janji-janji politik) oleh para kandidat calon wali kota dan calon wali kota saat musim kampanye, misalnya seperti pada pilkada 2010 untuk mencari simpatik masyarakat.


Persoalan banjir yang terjadi di kota Surabaya, mungkin tidak separah kabupaten lain di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, yang ketinggian airnya sampai beberapa meter. Dari akibat tingginya air itu, sehingga bisa merobohkan bangunan, menumbangkan pohon-pohon besar, menghanyutkan harta milik, jembatan menjadi putus, memakan korban jiwa, gagal panen, sehingga kalau dikalkulasi menunjukkan jumlah kerugian besar. Banjir yang menimpa kota Surabaya tentunya berbeda, rata-rata ketinggian airnya hanya berkisar 50 cm. Misalnya beberapa hari sebelumnya banjir lokal menimpa daerah Tandes, Margomulyo, Banyu Urip, Tenggilis dan lainnya.


Oleh sebab terjadinya banjir, maka berakibat pula pada terjadi kemacetan di beberapa arus jalan dimana-mana. Sangat “sepele” memang kedengarannya dampak dari banjir itu, hanya “macet”. Tetapi macet di Surabaya juga berbeda dengan macetnya di kota-kota yang terkena banjir besar. Akibatnya juga hampir sama dengan korban banjir besar yang terjadi dibeberapa daerah lain yang dengan ketinggian air – kadangkala – sampai diatas atap rumah. Karena “macet” juga adalah persoalan mendasar di Surabaya yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Terjadinya kemacetan bisa menyebabkan banyak waktu terbuang di jalan, sikap individualistik tumbuh semakin ketara, karena satu dengan lainnya sudah tidak memikirkan di pinggirannya, saling mendahului dan lain sebagainya yang penting dirinya sampai tujuan tanpa harus memperhatikan disekitarnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memperbincangkan persoalan terjadinya kemacetan di kota Surabaya, melainkan ingin mengetengahkan persoalan banjir.


Dalam rangka menyelesaikan dan mempercepat persoalan banjir yang terjadi di beberapa daerah (kecamatan) di kota Surabaya, dinas PU Binamarga segera membuat kebijakan yaitu dengan cara menguras, menggali dan memperlebar saluran-saluran air limbah. Lain dari itu, pemerintah kota (pemkot) juga menyediakan mesin Bor untuk memindahkan air yang mengenang pada saluran/penampuangan air yang lebih besar (sungai). Tidak hanya demikian, dinas PU Binamarga juga menghimbau kepada masyarakat untuk membuat biopori, tujuannya agar bisa menyerap sebagian air hujan yang turun dari langit ketika intensitas hujan tinggi dan masyarakat juga diminta untuk membuang air ke sumur pada saat hujan yang turun dari genting, tujuannya tidak lain agar supaya air hujan tidak semua menuju kearah saluran air.


Dibutuhkan Kesadaran Terpadu
Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya melalui dinas PU Binamarga merupakan langkah tepat dan patut diajungkan jempol dalam usanya mengatasi persoalan banjir di Surabaya. Walaupun tidak sepenuhnya berhasil, usaha tersebut telah meminimalisir terjadi banjir lokal-lokal di beberapah daerah di kota Surabaya. Tetapi usaha yang dilakukan oleh pemerintah akan nihil (tidak mempunyai makna apa-apa dan tidak bisa berlanjut) tanpa adanya kesadaran bersama (terpadu) dari masyarakat Surabaya dalam serta ikut membantu menyelesaikan permasalahan banjir di kota Surabaya.


Apalah artinya pemerintah menggali saluran-saluran kecil (air limbah) kalau masyarakatnya masih membuang sampah sembarangan, membuang sampah tidak pada tempatnya, dihanyutkan di selokan-selokan air, sehingga berakibat pada tersumbatnya aliran air menuju sungai. Akibatnya banjir. Padahal salah-satu penyebab terjadi banjir-banjir lokal di beberapa tertentu yaitu oleh tersumbatnya aliran air menuju sungai besar oleh sampah-sampah yang ada dalam saluran air kecil.


Karena tidak sedikit – untuk tidak mengatakan banyak – beberapa aliran air yang tersumbat oleh sampah-sampah, semisal plastik. Di beberapa jalan sering saya temui, baru selesai dilakukan perbaikan, penggalian, pelebaran, pembentonan saluran airnya telah tersumbat oleh sampah nakal masyarakat. Apa gunanya dan mamfaatnya pembangunan saluran air dengan anggaran (APBD) besar kemudian masyarakat sendiri tidak bisa menjaga dan merawatnya. Padahal salah-satu bentuk kecintaan kita terhadap bangsa (nation) adalah menjaga kekayaan (yang dimiliki) Negara dan melestarikannya.


Guna menciptakan lingkungan kota yang bersih dan terhindar dari bahaya banjir, maka ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh pemerintah kota Surabaya. Pertama, menggalakkan (terus) lomba kebersihan kampung. Sebenarnya ini saudah dilaksanakan, hemat penulis masih terkesan serimonial saja. Dengan berpacu menggalakkan kebersihan kampong masyarakat akan berlomba-lomba menjaga dan melestarikan kampungnya masing-masing. Bentuk penilaian bukan hanya pada sisi luarnya saja, seperti keindahan cat-cat, lukisan, penataan bunga-bunga dipinggiran jalan, kelengkapan info kampung, tetapi juga dilakukan penilaian terhadap kebersihan saluran air. Hal itu jangan sampai luput dari pantauan dewan juri dalam memberikan penilain pada saat mau menentukan siapa pemenangnya.


Kedua
, pemerintah kota Surabaya hendaknya memberikan sanksi tegas kepada bawahannya. Misalnya ada sebuah kecamatan yang dianggap kotor, maka camat dimaksud langsung dikenai sanksi. Camat juga memantau terhadap daerah (kelurahan) mana yang kotor dan memberikan sanksi. Kelurahan juga akan memnatau dan memberikan sanksi kepada ketua RW dimana RT-nya melakukan perbuatan yang membuat tidak nyaman terhadap keindahan kota. Kalau perlu paying hukumnya. Dengan kebijakan birokratik tersebut, diharapkan – dan harapan kita semua tentunya – kota Surabaya akan menjadi kota yang bersih dan banjir pun akan larih dari kota Surabaya ikut mengalir bersamaan dengan lancarnya air menuju sungai. Maka Surabaya kedepan akan menjadi kota impian banyak orang.


*Mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya &
Dosen Sekolah Tinggi Islam Al-Karimiyyah (STIA) Sumenep.