Oleh: Ach. Syaiful A’la*
Beberapa daerah di Jawa Timur, pada tahun 2010 ini banyak kota dan kabupaten yang akan menggelar pemilihan wali kota dan wakilnya atau bupati dan wakilnya, termasuk salah satunya adalah kabupaten Sumenep-Madura.
Politik uang atau money politic hingga kini telah menjadi sebuah budaya pada setiap menjelang pemilu. Bahkan akhir-akhir ini bisa dikatakan telah menggurita di negeri ini. Karena pada setiap menjelang pemilihan, mulai dari pemilihan presiden, pemilihan anggota legeslatif, guberbur, wali kota/bupati hingga pemilihan kepala desa tidak sepi dari yang namanya isu money politic. Ironisnya, hal seperti ini juga terkadang terjadi di dalam sebuah organisasi, baik organisasi politik, maupun organisasi sosial dan keagamaan.
Cara-cara seperti itu – menggunakan kekuatan uang – oleh sebagian calon yang mampu secara finansial telah dianggap sebuah solusi alternatif dan senjata paling ampuh untuk mengantarkan ambisi dirinya ke pucuk pimpinan yang telah cita-citakan sejak awal.
Bersih (tanpa) Uang
Proses demokrasi yang dilakukan dengan cara main uang (money politic) adalah bentuk kecurangan dan ketidakdewasaan para calon dalam perhelatan pesta demokrasi. Di era demokrasi yang semuanya telah menjadi bebas menentukan pilihan, bebas bersuara, berpendapat, mencalonkan dan dicalonkan semestinya digunakan sebaik mungkin. Politik uang tidak boleh terjadi dan harus di tolak, karena merusak moral bangsa.
Didalam pemilihan kepada daerah, seperti pilkada, para calon hendaknya bisa menjual dirinya dengan visi dan misi yang menurut masyarakat Sumenep layak memimpin kota Sumenep. Karena langkah untuk menang dengan cara menggunakan money politic akan menambah konflik di masyarakat. Munculnya konflik dikarenakan karena munculnya semtimin sepihak, baik antara para tim sukses calon juga antar masyarakat.
Lalu, mungkinkah menuju “zero” money politic ditengah banyaknya isu bahwa politik uang telah menjadi budaya pada setiap menjelang pemilihan kepala daerah seperti sekarang? Tentunya untuk menjawab “bisa” perlu beberapa tahapan dan pertimbangan. Karena proses pemilihan kepala daerah atau pemlihan apa saja sudah tidak sepi dari yang namanya pilitik uang. Sementara untuk mengatakan sulit menuju “zero” juga bukanlah hal yang tidak mungkin. Politik “tanpa uang” sebenarnya sebagai pertanda kepada dunia bahwa proses demokrasi di negeri ini telah berjalan maksimal dan menunjukkan kedewaan warga Indonesia di dalam berpolitik.
Artinya, zero money politic bakal terwujud asal ada dua kesepahaman terpadu antara para politisi dan pemilih. Pertama, pendidikan politik dari politisi (calon). Hal ini penting diperhatikan oleh pemain politisi, karena sebagai proses pendewasaan dan pembelajaran demokrasi secara baik. Pendidikan politik (bukan politik pendidikan) merupakan satu cara untuk meniadakan bentuk money politic di negeri ini.
Karena kalau kita tilik belakangan ini, banyak para politisi tidak bisa memberikan pendidikan politik terhadap rakyatnya (pemilih). Ia seenaknya bermain uang, padahal perbuatan yang dilakukan adalah justru proses pembodohan, merampas kreativitas dan kebebasan. Politisi yang seharusnya mengawal dan mempercepat proses demokrasi di Indonesia, kini justru menyandera proses demokrasi sendiri. Sehingga dianggap salah satu cara yang kita paling mujarab untuk meniadakan (setidaknya bisa diminimalisir) adalah action elit-elit politisi itu sendiri.
Kedua, kesadaran dan ketepatan dalam menentukan pilihan bagi pemilih. Dalam konteks ini, pemilih harus menentukan pilihan pada yang tepat. Tepat dalam arti mereka (calon) mempunyai visi dan misi kerja. Sebagai pemilih juga harus “tegas” menolak adanya money politic dari para calon. Kalau langkah itu bisa dilakukan oleh masyarakat, dengan sendirinya para calon akan terkena sanksi sosial, bahwa kalau ada calon yang main politik uang tidak layak dipilih.
Langkah diatas perlu digalakkan dan harus dimulai dari grass root secara terang-terangan menolak adanya money politic, Kegiatan-kegiatan masyarakat seperti itu akan mempersempit langkah para politisi yang akan bermain politik uang.
Salah memilih pemimpin akan menambah jumlah pemimpin yang hanya mau marusak negeri ini. Karena tidak sedikit para pemimpin, seperti mantan Gubernur, Wali Kota, Bupati dan pejabat negara lainnya kini masuk rumah tanahanan lantaran terlibat kasus korupsi. Kenapa ini terjadi? Bisa salah satunya adalah akibat dari money politic ketika pencalon dirinya. Sehingga ketika dirinya memimpin, maka yang dipikirkan pertama kali bukan bagaimana membuat perubahan untuk rakyatnya, justru memperkaya diri dan mengembalikan modal sebanyak-banyaknya.
Politik uang atau money politic hingga kini telah menjadi sebuah budaya pada setiap menjelang pemilu. Bahkan akhir-akhir ini bisa dikatakan telah menggurita di negeri ini. Karena pada setiap menjelang pemilihan, mulai dari pemilihan presiden, pemilihan anggota legeslatif, guberbur, wali kota/bupati hingga pemilihan kepala desa tidak sepi dari yang namanya isu money politic. Ironisnya, hal seperti ini juga terkadang terjadi di dalam sebuah organisasi, baik organisasi politik, maupun organisasi sosial dan keagamaan.
Cara-cara seperti itu – menggunakan kekuatan uang – oleh sebagian calon yang mampu secara finansial telah dianggap sebuah solusi alternatif dan senjata paling ampuh untuk mengantarkan ambisi dirinya ke pucuk pimpinan yang telah cita-citakan sejak awal.
Bersih (tanpa) Uang
Proses demokrasi yang dilakukan dengan cara main uang (money politic) adalah bentuk kecurangan dan ketidakdewasaan para calon dalam perhelatan pesta demokrasi. Di era demokrasi yang semuanya telah menjadi bebas menentukan pilihan, bebas bersuara, berpendapat, mencalonkan dan dicalonkan semestinya digunakan sebaik mungkin. Politik uang tidak boleh terjadi dan harus di tolak, karena merusak moral bangsa.
Didalam pemilihan kepada daerah, seperti pilkada, para calon hendaknya bisa menjual dirinya dengan visi dan misi yang menurut masyarakat Sumenep layak memimpin kota Sumenep. Karena langkah untuk menang dengan cara menggunakan money politic akan menambah konflik di masyarakat. Munculnya konflik dikarenakan karena munculnya semtimin sepihak, baik antara para tim sukses calon juga antar masyarakat.
Lalu, mungkinkah menuju “zero” money politic ditengah banyaknya isu bahwa politik uang telah menjadi budaya pada setiap menjelang pemilihan kepala daerah seperti sekarang? Tentunya untuk menjawab “bisa” perlu beberapa tahapan dan pertimbangan. Karena proses pemilihan kepala daerah atau pemlihan apa saja sudah tidak sepi dari yang namanya pilitik uang. Sementara untuk mengatakan sulit menuju “zero” juga bukanlah hal yang tidak mungkin. Politik “tanpa uang” sebenarnya sebagai pertanda kepada dunia bahwa proses demokrasi di negeri ini telah berjalan maksimal dan menunjukkan kedewaan warga Indonesia di dalam berpolitik.
Artinya, zero money politic bakal terwujud asal ada dua kesepahaman terpadu antara para politisi dan pemilih. Pertama, pendidikan politik dari politisi (calon). Hal ini penting diperhatikan oleh pemain politisi, karena sebagai proses pendewasaan dan pembelajaran demokrasi secara baik. Pendidikan politik (bukan politik pendidikan) merupakan satu cara untuk meniadakan bentuk money politic di negeri ini.
Karena kalau kita tilik belakangan ini, banyak para politisi tidak bisa memberikan pendidikan politik terhadap rakyatnya (pemilih). Ia seenaknya bermain uang, padahal perbuatan yang dilakukan adalah justru proses pembodohan, merampas kreativitas dan kebebasan. Politisi yang seharusnya mengawal dan mempercepat proses demokrasi di Indonesia, kini justru menyandera proses demokrasi sendiri. Sehingga dianggap salah satu cara yang kita paling mujarab untuk meniadakan (setidaknya bisa diminimalisir) adalah action elit-elit politisi itu sendiri.
Kedua, kesadaran dan ketepatan dalam menentukan pilihan bagi pemilih. Dalam konteks ini, pemilih harus menentukan pilihan pada yang tepat. Tepat dalam arti mereka (calon) mempunyai visi dan misi kerja. Sebagai pemilih juga harus “tegas” menolak adanya money politic dari para calon. Kalau langkah itu bisa dilakukan oleh masyarakat, dengan sendirinya para calon akan terkena sanksi sosial, bahwa kalau ada calon yang main politik uang tidak layak dipilih.
Langkah diatas perlu digalakkan dan harus dimulai dari grass root secara terang-terangan menolak adanya money politic, Kegiatan-kegiatan masyarakat seperti itu akan mempersempit langkah para politisi yang akan bermain politik uang.
Salah memilih pemimpin akan menambah jumlah pemimpin yang hanya mau marusak negeri ini. Karena tidak sedikit para pemimpin, seperti mantan Gubernur, Wali Kota, Bupati dan pejabat negara lainnya kini masuk rumah tanahanan lantaran terlibat kasus korupsi. Kenapa ini terjadi? Bisa salah satunya adalah akibat dari money politic ketika pencalon dirinya. Sehingga ketika dirinya memimpin, maka yang dipikirkan pertama kali bukan bagaimana membuat perubahan untuk rakyatnya, justru memperkaya diri dan mengembalikan modal sebanyak-banyaknya.
*Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya