24 November, 2010

REKRUTMEN PNS HARUS OBJEKTIF

Oleh: Ach. Syaiful A'la*

Pengawai Negeri Sipil, disingkat PNS dalam pikiran masyarakat Indonesia masih dianggap sebagai sesuatu hal “final” dalam mengejar sebuah profesi. PNS adalah pekerjaan. Menjadi PNS semua kebutuhan hidupnya akan terpenuhi. Sama dengan orang yang mencalonkan anggota legeslatif. Menjadi PNS bukannya mau menjadi abdi Negara, tetapi mau meraup untung dari Negara. Sehingga PNS tetap menjadi incaran banyak orang.


Menjelang akhir tahun 2010, merupakan tahun panen untuk masyarakat Indonesia. CPNS kembali dibuka. Jutaan orang berlomba-lomba mendaftar guna memperebutkan jatah yang hanya secuil. Tidak imbang antara pendaftar dengan kuota yang tersedia. Tidak separuhnya, tetapi hanya salah-satu yang akan diambil lolos menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).


Banyaknya jumlah pendaftar itu, sementara kesediaan kouta tidak sebanding dengan jumlah pendaftar, maka akan melahirkan beberapa persoalan mendasar – yang seharusnya tidak harus terjadi – dalam rekrutmen PNS. Salah satunya adalah adanya calo (mafia) dengan melakukan pemerasan terhadap pendaftar yang ikut sayembara PNS. Suap-menyuap dan loby-loby pun dilakukan. Ada yang melakukan sendiri, ada pula yang menggunakan orang lain, karena orang dimaksud punyak jaringan kepada bosnya (penentu kebijakan).


Beberapa terakhir ini, ketika calon pendaftaran CPNS dibuka untuk umum, tidak sepi pula dalam beberapa media cetak dan elektronik pemberitaan tentang adanya pemerasan terhadap CPNS yang dilakukan oleh oknom tertentu. Sehingga berita-berita tersebut menghiasi halaman depan beberapa media seperti Koran setiap hari.


Tindakan yang dilakukan oknom seperti yang disebutkan diatas bukanlah lahir dari ruang kosong. Beberapa kasus pemerasan ketika dibuka CPNS bukannya pula lahir tanpa ibu. Ibunya adalah ketidak objektifan beberapa para pemegang kebijkan (pemberi vonis) bahwa orang itu bisa lulus atau tidak. Oleh karena tidak objektif, maka beberapa cara pun dilakukan oleh orang yang tertarik ikut CPNS. Ia bisa melakukan apa saja yang terpenting dirinya masuk menjadi PNS meskipun melalui jalur membayar dengan jumlah yang cukup besar. Walaupun pada sebuah kesimpulan dirinya tertipu. Ketika para CPNS mau melakukan hal-hal demikian (membayar) maka dimamfaatkan pula oleh oknum tak bertanggungjawab yang menjanjikan dirinya lolos.


Ketika cara-cara seperti dilakukan, berarti yang berhak masuk (lolos) menjadi PNS bukan berarti orang yang terbaik dalam Negeri ini. Karena cara yang dipakai adalah dengan cara kotor. Mareka hanya yang terkuat dari beberapa (banyak) calon yang lain. Hukum rimba (hutan) berlaku, siapa yang kuat (banyak uang) ia menjadi raja, yang lemah harus rela (terpaksa) menunggu antrian.

CPNS tanpa Uang
Ada perkataan mengelitik ditelinga saya ketika bebepa hari yang lalu, saya ngantar teman ke kantor pos mengirim berkas CPNS, bahwa rekrutmen CPNS cenderung tidak objektif yang dilakukan oleh para birokrasi penentu kebijakan. Tidak objektif yang maksud adalah calon yang lolos bukan peserta yang benar-benar sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan keputusan. Tetapi melalui jalur-jalur lain yang tidak bisa ditempuh oleh calon yang tidak lolos.


Sekilas, kalau melihat rekrutmen CPNS saat ini memang (sepertinya) bersih dari menipulasi dan praktek-praktek kotor lainnya. Pendaftarannya dilakukan via pos, tanpa harus ada yang membawa berkas dan juga tidak bisa dititipkan kepada siapa-siapa. Tetapi – maaf – walaupun dengan cara seperti itu, yang lolos tetap mereka yang punyak orang (jaringan). Artinya, cara pendaftaran seperti itu pada akhirnya hanya sebagai kegiatan serimonial (ritual tahunan) saja untuk membuang atau dengan bahasa sangat sederhanya untuk men-tidak loloskan orang-orang yang tidak punyak orang dan uang.


Sangatlah naïf kalau cara-cara seperti masih terus berlanjut di negeri ini. Mau menjadi abdi Negara masih melalui jalur-jalur kotor. Dan kalau mereka pada gilirannya nanti berkesempatan menjadi penentu kebijakan, maka akan perbuat hal yang sama pula. Lingkaran syetan namanya. Menerima pesanan, tidak segan-segan meminta uang (uang administrasi kalau mau diperhalus bahasanya) kepada calon kalau ingin lolos, serta tega men-delete nama-nama yang seharusnya memang benar layak menjadi PNS berdasar kriteria yang ditetapkan. Sehingga orang yang memang punyak niatan ikhlas mengabdi membangun negeri rela terdampar, sementara mereka yang ingin meraup keuntungan dari Negara diberi jalan mulus dan lampu penerang.


Dengan tulisan ini – bukan bermaksud menggurui – setidaknya bisa meminimalisir perbuatan keji diatas. Kalau rekrutmen dilakukan dengan cara objektif, diloloskan karena kualitas dirinya bukan karena membayar dan bukan pula karena sungkan kepada siapa-siapa, karena kerabat, teman dekat, tetangga, anaknya atasan, maka tidak akan terjadi (secara otomatis) mafia PNS dimana-mana. Ada kompetisi penuh. Terjadinya tindak pemerasan CPNS belakangan ini karena masyarakat sudah tidak percaya dengan panitia seleksi, sehingga CPNS mau melakukan apa saja, yang penting tercapai tujuannya, tanpa harus menoleh bahwa apa yang diperbuat sesuai dengan karakter bangsa (adat ketimuran). Rekrutmen PNS yang dilakukan dengan cara objektif, akan menghasilkan orang-orang yang berkualitas, siap mengabdi, tanpa memperimbangkan materi dalam bekerja. Semoga!


*Mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Dimuat di Duta Masyarakat, 22 Nopember 2010