Oleh: Ach. Syaiful A'la*
“Menulis Tidak Jadi Seketika” (Jawa Pos, 31/1/2010). Begitu yang saya tangkap dari acara temu penulis Jawa Pos, minggu lalu. Bahwa menjadi seorang penulis akan menemukan jalan terjal, dibutuhkan kesabaran, keuletan, istiqamah, ketelatenan memilih kata untuk sebuah kalimat, membuat kalimat menjadi paragraf, dari paragrap kemudian dijadikan beberapa gugus kalimat lain sehingga menjadi sebuah tulisan utuh.
Judul tersebut diatas saya pilih pada dasarnya bermula dari pertanyaan peserta ketika penulis melakukan road show ke beberapa pondok pesantren di Jawa Timur, tentang menumbuhkan minat dan bakat menulis di kalangan santri pondok pesantren sekaligus bedah buku “Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis”. Kegiatan tersebut dimulai dari tanggal 10/12/2009 di pondok pesantren Semblak-Putri, Jombang, dilanjutkan pada tanggal 21/1/2010 di Pondok Pesantren Bata-Bata, Pamekasan, tanggal 22/1/2010 di Pondok Pesantren Nurul Islam, Karang Cempaka, tanggal 23/1/2010 di Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin (NASA) Gapura Timur, tanggal 25/1/2010 siang harinya di Pondok Pesantren An-Nuqayah, Guluk-Guluk dan malamnya di Pondok Pesantren At-Taufiqiyyah, Bluto Sumenep-Madura.
Dari enam pondok pesantren yang saya datangi, pada setiap sesi tanya-jawab, dipastikan muncul pertanyaan dari peserta bahwa dirinya merasa sebagai seorang “penulis bertepuk sebelah tangan”. Tentunya kita sudah mafhum ketika orang berkata demikian, sebetulnya orang itu sudah menulis (punyak tulisan), banyak menghasilkan karya, telah ngirim kebeberapa media, dimulai dari media yang bersifat lokal hingga yang berskala nasional tetapi tidak kunjung dimuat. Kalau awak mengibaratkan sama dengan orang yang sedang jatuh cinta pada seseorang, kemudian meluapkan semua perasaan yang tersimpan dalam hatinya, tapi belum juga ada kepastian dari yang ia maksud. Menunggu dalam kehampaan, penuh teka-teki dan penasaran.
Begitu juga dengan menulis. Jujur saja, sungguh tidak sedikit orang yang telah menuangkan ide pikiran dan isi otaknya dalam bentuk tulisan. Bahkan ketika tulisan itu telah jadi, melalui proses editing (tambal-sulam) yang cukup lama, saat mencoba untuk ngirim ke media, sementara dari media belum ada tanggapan sama-sekali, tidak ada berita bagaimana nasib tulisannya, apakah tulisan yang dikirim layak dimuat, masih antri atau sama sekali tidak akan dimuat.
Apa yang bisa kita ambil dari paparan diatas? Ketika saya hendak menjawab pertanyaan tersebut diatas, kemudian saya menjawab pertanyaan yang tidak kalah menariknya juga dari peserta, yakni “apakah seseorang yang dikatakan penulis apabila tulisannya telah pernah dimuat di media?” Seketika itu pula saya tegaskan kepada peserta, bahwa menjadi penulis itu tidak harus dimuat di media, seperti surat kabar (koran), majalah, buletin, jurnal, ataupun media online (internet).
Menariknya, ketika jawaban seperti itu saya berikan kepada penanya malah mendapat tanggapan (agak) serius dari peserta yang lain pada sesi pertanyaan berikutnya. Dengan suara tegas dan lantang, seseorang itu mengemukakan “bahwa menjadi penulis itu berkenaan dengan popularitas di media (No Name No News), dan sudah barang tentu, seseorang yang banyak menulis, sementara tulisannya hanya menjadi arsip (dokumen) pribadi, maka orang yang seperti itu belum disebut sebagai penulis”.
Lebih lanjut, ada pernyataan dari peserta bahwa kesemua narasumber (termasuk saya sendiri) hanya sebagai orang yang pinter menyuruh seperti buang air besar, tetapi tidak menyediakan jambannya. Artinya, kami yang ada di depan sering memutivasi orang untuk terus menulis, sementara tidak menyediakan media – kalau perlu mengawalnya supaya dimuat di media – dalam rangka menampung karya-karya mereka. Maka untuk menenangkan suasana, saya ketengahkan sebuah penjelasan tentang definisi dari seorang yang profesi sebagai penyusun, penulis dan pengaranag. Tiga kata ini ada sedikit berda (untuk tidak mengatakan sama), tapi juga memiliki kemiripan, sama halnya dengan dua sisi mata uang.
Menulis dengan Cinta
Bagaimana perasaan seseorang jika mencintai sesuatu? Semuanya akan terasa menjadi indah. Yang lemas akan menjadi berani, yang jauh terasa menjadi dekat, yang takut bisa menjadi berani, semula takut berkorban bisa bertani berkorban untuk segalanya yang ia cintai. Karena dasarnya sudah cinta.
Kembali kepada konteks menulis, bahwa menulis pun harus dengan cinta (indah). Tidak karena kebutuhan, seperti tuntutan ekonomi (penulis lapar), mencari honur, merebut popularitas, mengangkat dan menjatuhkan lawan dalam tulisannya dan lain sebagainya. Kalau hanya itu yang menjadi tujuan seorang penulis, maka setelah tujuan tersebut tercapai, akan berhenti menulis, karena dasarnya bukan cinta.
Hemat penulis, tulisan ini menjadi penting untuk pembaca (penulis), baik yang telah banyak menulis (belum dipublikasikan/dimuat) dan yang baru akan menulis, sesungguhnya menjadi seorang penulis tidak harus dikirim dan dimuat dimedia. Karena berbicara media, juga akan berbicara aturan main yang ada pada media itu. Misalnya kita sering menuangkan ide-ide (gagasan) dalam bentuk tulisan dalam jumlah banyak (tidak bisa nulis singkat), sementara media hanya menyedaiakan space (ruang) sangat sempit, sehingga memerlukan editing yang cukup intensif dan terkadang pula harus menguji kesabaran seorang editor redaksi saat membaca dan mengeditnya. Maka tak salah jika seorang penulis esai terkenal, Dhimam Abror Djuraid mengatakan bahwa menulis di media itu gampang (terkadang) juga susah.
Untuk para penulis dan akan memulai untuk menulis tidak perlu berkecil hati, sekarang media sudah bertaburan dimana-mana, bagi anda yang sering belusukan, warnet sudah menjamur disetiap gang jalan. Anda bisa membuat media sendiri seperti blog atau cari layanan gratis lain di internet supaya tulisan anda bisa dibaca orang.
Mungkin anda masih berfikir, bahwa tulisan yang dimasukkan di blog tidak dibaca orang, justru sebaliknya. Setelah tulisan diposting di blog anda, maka seluruh sudut dunia akan membaca tulisan anda. Atau bisa memulainya dengan cara menulis di Mabok (majalah tembok), news letter yang dibuat sendiri, tulis sendiri, lay-out sendiri, dibiayai sendiri, distribusikan sendiri, seperti yang telah banyak dilakoni oleh beberapa penulis terkenal sebelumnya ketika memulai dirinya untuk menjadi seorang penulis terkenal.
Selamat menulis kawan! “Tinta para ulama lebih berharga dari darah para syuhada”.
*Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya, Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS)