25 April, 2010

Ketika NU Jadi Parpol Lokal

Oleh: Ach. Syaiful A’la


Diawal tulisan ini, penulis mencoba mengalisis persoalan mendasar yang tengah dihadapi oleh NU secara nasional, kemudian pada bagian diakhir seratan ini juga akan menampilkan beberapa perjalanan NU yang tengah terjadi di beberapa daerah (kabupaten) yang mayoritas penduduknya adalah nahdliyyin (sebutan bagi warga NU).
Dalam usianya yang cukup panjang, Nahdlatul Ulama sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyah ijtimaiyyah), tengah mengalami aneka krisis yang mengancam terhadap eksistensi organisasi NU sendiri dan merugikan bangsa. Perkembangan sosial, politik, dan ekonomi semakin menekan warga nahdliyyin, termasuk sesepuh yang kini tengah asyik berpolitik dan hampir melupakan kepentingan umat yang merupakan ikon kekuatan tersebar NU.


Selain persoalan diatas, ada empat permasalahan yang tidak kalah menariknya yang sedang dihadapi oleh organisasi bintang sembilan (sebutan lain dari NU) dan segera harus dicarikan solusinya. Diantaranya, pertama, tantangan yang datang dari jurus kanan, yaitu merebahnya paham fundamentalisme dan radikalisme yang tidak bisa dipahami secara utuh oleh warga NU sendiri. Kedua, tantangan datang dari sebelah kiri yang merupakan pemahaman keagamaan secara liberal yang hingga kini justru semakin banyak diminati oleh kalangan muda anak-anak NU. Ketiga, tantangan datangnya dari atas, dalam hal ini kuatnya refresi penguasa dalam politik praktis. Keempat, adalah tantangan yang datang dari arus bawah, dalam hal ini adalah merupakan rendahnya loyalitas warga NU terhadap kiainya yang terkadang kalau kita lihat di internal pun tejadi pertarungan para elit-elitnya. Ketika para elit mulai berkonflik dan kemudian akan diikuti oleh pengikutnya, maka tidak mustahil akan terjadi split personality yang tidak lama kemudian akan mengancam terhadap eksistensi jam’iyyah dan atau bahkan jama’ah yang ada.


NU dan Pilkada Sumenep
Tahun 2010, beberapa kota dan kabupaten di Jawa Timur, bakal menyelenggarakan pemilihan kepada daerah (wali kota atau bupati), salah satu yang bakal menyelenggarakan perhelatan lima tahunan adalah kabupaten Sumenep.


Posisi NU pada setiap menjelang pelaksanaan pemilihan kepada daerah bisa dikatakan memiliki daya ikat yang luar biasa. Hal itu dapat dipahami karena karena NU memiliki sumber daya berupa tokoh-tokoh berpengaruh dan struktur oganisasi hingga pelosok desa/kelurahan (ranting). Lebih dari itu, NU memiliki anggota yang sangat mayoritas di provinsi Jawa Timur. Itu berarti sangat potensial para calon untuk mendulang suara dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), khususnya di Sumenep. Maka karena alasan itulah, hampir semua calon yang akan berlaga berupaya sekuat tenaga untuk meraih dukungan dari NU.


Mengingat pentingnya posisi politik warga NU dalam pilkada Sumenep, banyak para calon telah menjalin komunikasi dan merajut sinergi dengan berbagai tokoh NU, baik jalur kultural maupun struktural.


Khittah Lokal
Khittah merupakan istilah dan keputusan yang dipakai oleh jam’iyyah Nahdlatul Ulama setelah dicetuskan pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo. Keputusan (Khittah) diambil sebagai bentuk pernyataan sikap bahwa NU tidak akan terlibat dalam ranah politik praktis dan tidak mendukung salah satu bendera partai politik tertentu. Walaupun hingga kini banyak orang (termasuk elit-elit NU) yang memberikan tafsir berbeda tentang diambilnya keputusan Khittah untuk kepentingan dirinya.


Persoalan Khittah dalam Muktamar NU ke-32 di Makassar, memang kurang begitu banyak mendapat perhatian dari peserta Muktamar. Muktamirin lebih asyik memperbincangkan siapa yang bakal maju untuk memperebutkan ketua umum (PB) dari pada mendiskusikan tentang persoalan yang tengah dihadapi oleh jam’iyyah NU sendiri. Misalanya meluruskan kembali konsep Khittah dan beberapa persoalan besar diatas. Sehingga terasa sekali dalam suasana Muktamar kala itu ada loby-loby dan persaingan memanas akibat saling menjagokan calon tertentu.


Tujuan diambilnya keputusan Khittah pada tahun 1984, NU diharapkan lebih konsentrasi dan dapat terfokus pada empat garapan besar, yakni dakwah, pendidikan, sosial dan ekonomi. Guna garapan tersebur bisa tercapai, salah satu cara adalah – harapan kita semua tentunya – NU, termasuk juga di kabupaten Sumenep beserta struktur kepengurusan dibawahnya (MWC dan pengurus Ranting) untuk melakukan “Khittah Lokal” agar NU tidak terkesan sebagai partai politik lokal yang sekali-kali dilahirkan untuk mengusung salah satu calon tertentu (baik jalur parpol juga independen) hanya untuk kepentingan dan ambisi syahwat politik para elit-elitnya. Kalau yang demikian terus dilakukan, dalam artian NU tidak bisa menjaga jarak pada setiap pesta lima tahunan, maka taruhannya bukan kredibilitas elit-elit NU saja, tetapi NU secara jam’iyyah (organisasi) pun nanti akan ditolak oleh masyarakat


*Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya, PP Nasa Gapura Timur