30 Maret, 2010

Benarkah Label Kiai Haram?

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Secara epistemologis, perkataan kiai berasal dari bahasa Jawa. Pertama, kiai merupakan sebutan untuk benda-benda terhormat atau benda pusaka, seperti kiai Pleret, kiai Garuda Kencana dan lainnya. Kedua, gelar kiai diberikan kepada salah seorang tokoh atau sebagai public figure di tengah masyarakat. Biasanya disingkat Ki, seperti Ki Ageng, Ki Temenggung, Ki gede, Ki Buyut dan seterusnya. Ketiga, seseorang disebut kiai karena ilmunya (alim), faham ilmu-ilmu keagamaan, mempunyai kharisma di masyarakat, mengajar kitab kuning dan mempunyai pesantren.


Pertanyaannya, bagaimana seorang yang mempunyai ilmu cukup (alim dalam ilmu agama), mengajar kitab kuning, banyak melakukan berubahan dan pemberdayaan di masyarakat, sementara tidak memiliki pondok pesantren apakah tetap disebut sebagai kiai? Dan bagaimana hukumnya?


Pertanyaan inilah yang sedang terjadi saat ini ketika Forum Kiai Pondok Pesantren (FKP) mengadakan pertemuan (bahtsul masail) di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Pertemuan tersebut meyepakati bahwa seseorang yang tidak mempunyai pondok pesantren (building) “haram” hukumnya menggunakan label kiai.

***
Menjadi seorang kiai atau ulama memang tidaklah gampang, karena membutuhkan suatu proses yang cukup panjang. Berbeda dengan seorang yang mau menjadi politisi, akademisi, pegawai dan pejabat Negara lainnya. Hanya bermodal dana dan pencitraan yang bagus, maka akan diraihlah semuanya. Berbeda dengan menjadi kiai, ia harus melampaui tahapan seperti patapan (mengasingkan diri, mencari ilmu pengetahuan agama sebanyak-banyaknya). Tidak cukup itu, tetapi juga harus dibuktikan, apakah ilmu yang didapat benar-benar bermamfaat kepada masyarakat atau tidak (uji kelayakan). Jadi label kiai adalah bentukan (julukan) yang diberikan oleh masyarakat berdasar ilmunya, bukan berdasar pada seberapa besar bangunan pondok pesantrennya.


Ketika memperhatikan hasil pertemuan Forum Kiai Pesantren di Lirboyo, Kediri, tanggal 14 Pebruari 2010, yang memfatwakan “haram” seseorang menggunakan label kiai sementara tidak punyak pondok pesantren (banyak santri) Untuk melehat kesana dibutuhkan pembacaan secara intensif, diperlukan sebuah pijakan dan kerangka pikir (manhaj). Kalau dahulu kita di pesantren dikenalkan dengan maqal (perkataan ulama) “lihat apa yang ia katakan, jangan melihat siapa yang mengatakan” (undzur maa kaala wala tandzur man kaala) adalah tidak berlaku lagi disaat sekarang ini. Lebih baik “lihatlah siapa yang berbicara (dulu), jangan melihat apa yang ia katakana” (undzur man kaala wala tandzur maa kaala).


Artinya, saat ini, melihat realitas hidup dibutuhkan sebuah pola pikir yang kritis. Kenapa harus “siapa” yang diletakkan di depan? Karena berbicara siapa juga berbicara subyek. Ketika ngomong subyek ada kaitannya dengan tempat dan waktu (konteks) yang melatar belakangi lahirnya sebuah pendapat, pernyataan dan fatwa.


Tulisan ini merupakan tanggapan – untuk tidak mengatakan kritik dan perlawanan – terhadap Forum Kiai Pesantren yang mengharamkan seseorang yang tidak mempunyai pondok pesantren berlabel kiai. Karena tidak sedikit pula orang banyak melakukan dakwah di masyarakat, sementara dia terkadang tidak mempunyai pondok pesantren. Walaupun mereka tidak peduli apakah di bilang kiai atau tidak. Karena bermodal ikhlash dalam berjuang, identitas tidaklah penting.


Apa yang penulis tangkap dari fatwa kiai-kiai di Lirboyo, Kediri itu, mempunyai tendensi dan beberapa kepentingan sebagai berikut. Pertama, pada bulan Maret depan, Nahdlatul Ulama (NU) akan mengadakan muktamar yang akan ditempatkan di Sulawesi (kalau tidak ada perubahan). Dengan adanya fatwa tersebut diatas, adalah merupakan bentuk perlawanan dan upaya untuk menjegal salah-satu calon tertentu yang akan memperebutkan ketua umum PBNU.


Kedua, tahun 2010, di Jawa Timur, beberapa daerah (kabupaten) akan mengadakan pemilihan kepala daerah (pilkada). Sementara – mohon maaf – masyarakat Jawa Timur hingga kini masih panatik terhadap kiai. Artinya, rekom (restu) kiai untuk mendukung salah-satu calon tertentu dalam mengais suara tetap menjadi pertimbangan banyak politisi. Fatwa dilakukan – meminjam bahasanya KH. Abdurrahman Wahid – sebagai bentuk perlawanan untuk tidak kalah saing antara kiai kampung (yang tidak punyak pesantren) dan kiai khos (yang mempunyai pesantren besar).


Ketiga, langkah tersebut merupakan pembunuhan karakter dan pemutusan mata rantai kader-kader potensial di lingkungan NU dan pesantren. Sementara harus disadari, bahwa munculnya kiai khos (bukan kiai kaos) adalah lahir dan dibesarkan melalui proses kiai kampung yang hanya melayani dua sampai tiga santri dalam bentuk surau, bukan pesantren besar.


Ditengah hiruk-pikuk persoalan bangsa yang begitu kompleks, mulai dari persoalan keagamaan, sosial, ekonomi, budaya, dan politik, diharapkan fatwa para kiai benar-benar dilakukan untuk kebaikan, tidak mendiskreditkan salah satu pihak tertentu.


*Kader Muda NU Sumenep, Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS).