10 Mei, 2011

Menyoal Larangan Aktivitas JAI

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Bangsa ini kita kenal dengan bangsa yang demokrasi. Walaupun demokrasi sempat terkurung dan dikebiri pada masa Orde Baru. Hak-hak warga selama 32 tersumbat dan dikekang oleh pemerintah. Setelah arus reformasi (public sphere) bergulir yang lebih bertendensi pada kebebasan rakyat ibarat air – meminjam istilah Nurkholish Madjid – yang semula tersumbat kemudian di buka, air keras kontan menyerobot keluar.


Orde reformasi tidak hanya kebebasan berbicara dan bersuara, tetapi juga di dalam menganut sebuah kepercayaan dengan memilih aliran ideologi tertentu. Misalnya beberapa aliran Islam radikal yang sewaktu Orde Baru tidak punyak akses sama sekali, saat ini begitu gencarkan mereka mengakampanyekan ide dan ajarannya. Mulai dari yang hanya biasa-biasa saja hingga mereka yang mengusung konsep lain yakitu mau menggantikan asas dan dasar NKRI. Adanya gerakan-gerakan itu, pemerintah seperti tidak mempunyai kontrol dan tidak berdaya untuk memberikan larangan. Seandainya pemerintah ikut interpnesi dengan ini, maka dianggap bukan Negara yang demokrasi. Walaupun pada dasarnya semua mengambil untung dibawah bendera demokrasi.


Pencegahan Sejak Dini
Beberapa pekan yang lalu, mungkin masih belum hilang dalam ingatan kita, Indonesia dihebohkan dengan penyerbuan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) oleh kelompok tertentu. Semua orang, mulai dari tokoh agama, tokoh ormas, pemerhati, peneliti, akademisi, aktivis, pemerintah, politisi menorehkan perhatiannya terhadap tragedi itu. Termasuk juga semua media memberitakan hal yang sama setiap harinya, bahkan bisa dikatakan menghiasi halaman depan media-media itu. Kejadian serupa tentunya semua berharap tidak terulang kembali seperti yang terjadi di Cikeusik, Banten, kekerasan di Temanggung kemudian disusul dengan penyerangan Lembaga Pendidikan Islam (pesantren) di Bangil, Pasuruan.


Mengantisipasi terjadi kerusahan dengan label agama dan keyakinan, Gubernur Jawa Timur akhirnya menerbitkan Surat Keputusan (SK) tentang larangan aktivitas Jamaah Ahmadiyah di Jawa Timur dengan Nomor 188/94/KPTS/013/2011. Di dalam surat keputusan tersebut, terdapat empat point larangan oleh Jamaah Ahmadiyah di Jawa Timur, yaitu: melarang kepada Jamaah Ahmadiyah di Jawa Timur untuk menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan dan elektronik. Kedua, memasang papan nama Ahmadiyah di tempat umum. Ketiga, memasang papan nama di lembaga-lembaga pendidikan, masjid, dan mushalla. Keempat, menggunakan semua bentuk atribut Ahmadiyah.


Diterbitkan Surat Keputusan Gubernur tersebut tiada lain adalah untuk mencegah tindak kekerasan di Jawa Timur. Kenapa itu penting? Kita optimis saja bahwa kebijakan itu diambil adalah untuk kebaikan bersama. Dalam sisi yang lain tentunya untuk menjaga provinsi Jawa Timur yang kini masih terkenal sejuk, damai, penuh dengan toleransi yang jelas tak ingin label-label itu dinodai oleh persoalan yang barakibat terganggunya stabilitas dan kelancaran pembangunan di Jawa Timur.


Dampak SK Guberbur
Setiap kebjiakan apapun yang diambil oleh pemimpin (pemerintah) tetap terjadi yang nama kontroversial. Ada yang pro juga ada yang kontra, ada dampak positif dan negatifnya. Tetapi semua itu kembali kepada pengambil kebijakan, apa tendensi dibalik setiap kebijakan tadi.


Menilik kembali kepada Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur tentang larangan aktivitas Jamaah Ahmadiyah tentunya mempunyai dampak-dampak tertentu: positif juga ada yang negatif. Dampak posistifnya jelas bahwa pemerintah Jawa Timur dalam hal benar-benar mengantisipasi sedini mungkin tentang tragedi yang terjadi di beberapa daerah lain tentang perbedaan kepercayaan dan keberagamaan. Adapun dampak negatif dari dikeluarkannya SK tersebut, terdapat dua hal:


Pertama, Jawa Timur telah memulai untuk tidak menghargai perbedaan. Padahal hingga kini, masyarakat luar masih menilai bahwa provinsi ini (Jawa Timur) adalah gudangnya perbedaan: ras, suku, agama, ormas, etnis, aliran dan kepercayaan. Tetapi dengan diterbitkannya SK Gubernur tentang larangan aktivitas Ahmadiyah, maka secara tidak langsung akan menutup selanjutnya pada masa yang akan datang terhadap semua perbedaan kepercayaan dan keyakinan yang datang ke Jawa Timur. Kalau demikian, berarti nilai-nilai pluralisme telah mulai luntur di Jawa Timur.


Selain itu, Surat Keputusan Gubernur tersebut telah menyimpang dari nilai-nilai UUD 1945 yang tertuang dalam pasal 29 ayat 1 yang berbunyi “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan ayat 2 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.


Kedua, kalau belakangan nanti terjadi penyerangan (tragedi besar) terhadap Jamaah Ahmadiyah di Jawa Timur, maka kerusahan tersebut nantinya akan berlindung di bawa hukum SK Guberbur, sementara Jamaah Ahmadiyah tidak akan berdaya apa-apa. Itu artinya, setiap perlakuan kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah oleh sekelompok tententu bakal mempunyai alasan kuat, landasan hukum karena tindakan tersebut telah bernaung dibawah Surat Keputusan.


Nah, nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Semoga semuanya tetap akan berjalan sesuai dengan harapan masyarakat Jawa Timur tanpa sebuah diskriminasi dalam berbagai aspek. Jika sebuah keputusan akan diambil, hendaklah dilakukan sebuah analisis yang intensif dengan orang yang kompeten dalam bidangnya, sehingga bisa mendapat respon positif dari masyarakat. Harapan kami (warga Jawa Timur semua tentunya) tragedi yang terjadi diluar karena ketidaksepahaman bendera (keyakinan) semoga “tidak” untuk di Jawa Timur, Indonesia pada umumnya. Kalau tidak, NKRI adalah taruhannya.


*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya & Staf pengajar di STIA Sumenep