10 Mei, 2011

Pemikiran Hamka tentang Etika

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Dalam kajian filsafat istilah “etika” difahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai sesuatu yang baik dan buruk kaitannya dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Persolan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis (ethos) yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata.


Etika dikatakan sebagai cabang pemikiran filsafat bisa dibedakan manjadi dua: yaitu obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam Islam –pada batas tertentu– ialah aliran Muitazilah.


Islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakkan nilai-nilai kemanusia atau hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan luhur, tidak ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang mengikat semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima” (menyelamatkan) itu dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manuia itu sendiri menggunakan dorongan diri kearah bagaimana memanusiakan manusia dan atau memposisikan dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja unik, tapi juga sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan tidak berjalan seiring fitrah, maka janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang.


Fitrah kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan memang tidak dapat ditawar, dia hadir sering tiupan ruh dalam janin manusia dan begitu manusia lahir dalam bentuk “manusia” punya mata, telinga, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya sangat tergantung pada wilayah, tempat, lingkungan dimana manusia itu dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga dan lingkungan muslim sudah barang tentu secara akidah akan mempunyai persepsi ketuhanan (iman) yang sama, begitu pun nasrani dan lain sebagainya. Inilah yang sering dikatakan sebagai sudut lahirnya keberagamanaan seorang manusia yang akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering dikatakan bahwa fenomena keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas.


Keberagamaan dalam Islam tentu saja harus dipandang secara konfrehenship dan seyogyanya harus diposisikan sebagai sebuah persfektif tanpa menapikan yang lain. Keberagamaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya merupakan salah satu nilai luhur kemanusiaan itu sendiri. Karena Islam itu lahir dengan pondasi keimanan, syariat, muamalat dan ihsan, Keimanan adalah inti pemahaman manusia tehadap sang pencipta, syariat adalah jalan menuju penghambaan manusia kepada tuhannya, sedangkan muamalat dan Ihsan adalah keutamaan manusia memandang dirinya dan diri orang lain sebagai sebuah hubungan harmonis yang bermuara pada kesalehan sosial.


Keberagamaan manusia yang berbeda inilah yang perlu diangkat sebagai sebuah momentum guna melihat sisi keunikan manusia sebagai ciptaan Tuhan itu sendiri. Persoalannya adalah apakah keberagamaan yang berbeda itu akan bermuara kearah yang sama? Kalau kita melihat secara seksama bahwa pada intinya keberagamaan manusia adalah pencarian terhadap kebenaran, baik kebenaran sosial hubungan antar manusia atau kebenaran transenden, yaitu cara pandang dan sikap manusia dalam menempatkan Tuhan dan makhluk ciptaan-Nya sebagai kebenaran absolut. Maka keberagamaan itu sendiri akan mengarah pada bagaimana kebenaran itu bisa diraih dalam rangka pendekatan diri kepada Tuhan sebagai manifestasi dari “iman”.


Dalam hubungannya dalam pencarian kebenaran dari sudut pandang keberagamaan manusia yang berbeda tentu akan didapat adalah berbedaan cara pandang dan sangat tergantung dorongan dari manusia itu sendiri yang sudah dikatakan di atas sebagai fitrah manusia yang given akan mengarakan kepada kebenaran atau sebaliknya. Dilihat dalam kontek ini adalah bagaimana manusia memposisikan diri selain pemahaman terhadap kebenaran transenden, juga memahamkan dirinya pada kebenaran hubungan antar manusia yang dalam Islam masuk dalam kategori “ihsan” yang secara harfiah berarti kebaikan dan kebaikan. Dorongan ihsan itu sendiri akan melahirkan subuah prilaku, yaitu moral atau etika.


Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua ciri utama. Pertama, etika Islam tidak menentang fithrah manusia. Kedua, etika Islam amat rasionalistik.


Di Indonesia gagasan dan pemikiran-pemikirannya tentan etika juga pernah diflorkan oleh seorang yang namanya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah atau biasa disapa dengan HAMKA. Pria yang dilahirkan di Kampong Molek, Meninjau, Sumatra Barat, tanggal 17 Pebruari 1908 ini juga banyak menyumbangkan pemikirannya tentang etika dalam Islam.


Dalam buku Etika Hamka; Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius yang ditulis oleh Dr. Abd Harits ini berbicara banyak tentang konstruksi etika Hamka yang dibangun di atas fondasi tawhid dan filsafat. Menurutnya (Hamka), motivasi perbuatan moral seorang muslim itu bersifat transendental, yakni mencari ridla Allah SWT untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Perbuatan moral seorang muslim hendaknya didasari pandangan dunia tawhid yang melampaui kepentingan pragmatis. Di sinilah tampak sekali dalam pemikiran etika Hamka, perpaduan serasi antara bangunan agama yang religius dan filsafat yang rasional. Maka tidak salah bila pemikiran etika hamka disebut dengan corak etika berbasis rasional-religius. Selamat membaca!


*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya & Alumnus PP. Nasa Gapura Sumenep



DATA BUKU:
Judul Buku: Etika Hamka; Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius
Penulis: pROF. Dr. Abd. Haris
Penerbit: LKiS, Yogyakarta & IAIN Sunan Ampel Surabaya Press
Cetakan: I, Desember 2010
Tebal: xvi + 258 Halaman