30 Mei, 2011

Buku untuk Kenaikan Pangkat?

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Ada fenomena menarik saat ini di kalangan tenaga pendidik kita, khususnya di lingkup para dosen atau pengajar perguruan tinggi. Di antara mereka berlomba menulis buku demi tujuan tertentu.


Kalau dulu, apalagi zaman Orde Baru, orang takut menyuarakan pikiran-pikirannya lewat tulisan, apalagi sampai melakukan kritikan terhadap pemerintah. Tapi, kini zamannya berbeda. Semua orang bisa berekspresi, membuat tulisan atau karangan berupa buku, opini, menulis di blog, jejaring facebook dan lain sebagainya.


Sepuluh tahun lalu mungkin jarang kita temukan (untuk tidak mengatakan tidak ada) karangan-karangan yang ditulis dosen di kampus-kampus. Tetapi, kini jangan ditanyakan, hampir setiap dosen di perguruan tinggi aktif membuat karangan berupa buku, di samping juga sering menulis jurnal. Ada di antara dosen lainnya sengaja mengirimkan tulisan-tulisan mereka di media massa.


Pertanyaannya, kenapa mereka berlomba menulis buku? Banyak dosen enggan menulis di media massa karena untuk bisa menembusnya agar tulisannya dimuat, harus melalui seleksi dan persaingan yang ketat.


Beberapa waktu lalu, saya berjalan-jalan, sampai di sebuah tempat foto kopi, yang terletak berdekatan dengan salah satu kampus. Saya menjumpai ada beragam judul buku baru yang dicetak oleh pihak rental (bukan penerbit). Tetapi, jumlahnya tidak banyak, per judul buku itu maksimal hanya berjumlah lima eksemplar. Kala itu saya berfikir, mungkinkan buku-buku itu merupakan hasil dari penggandaan buku (fotokopi) hasil tulisan orang lain yang diterbitkan oleh salah satu penerbit?


Tetapi, ternyata tidak demikian. Buku-buku itu adalah buku baru, ditandai dengan bulan, tahun dan tercantum pula penulisnya. Mereka tergolong orang-orang baru yang belum dikenal luas di media-media seperti koran.


Memang, membuat karangan seperti buku - kata banyak orang - lebih gampang daripada menulis opini di media massa. Karena, membuat tulisan dengan jumlah karakter tertentu di media massa memang tidak mudah. Bagaimana pun menulis opini adalah menulis ide dengan jumlah kolom yang begitu sempit. Sementara menulis opini melalui buku dirasa itu bebas, tidak terbatas oleh space.


Kehadiran buku-buku itu memang bisa membuat penasaran. Apalagi, disain sampulnya begitu indah dengan judul yang tidak kalah menariknya dengan buku-buku karya orang-orang yang sudah punya nama di dunia tulis-menulis, Namun, isinya tampaknya memang masih mendatangkan tanda tanya, kendati ber-ISBN (International Standard Book Number) pula.


Karena penasaran, saya memberanikan bertanya kepada pemilik tempat foto kopi tersebut ihwal buku-buku yang dipajang di etalase. Pemilik foto kopi itu dengan lancar menjawab, "Buku-buku ini mas, hanya untuk kenaikan pangkat/golongan oleh penulisnya. Makanya, tidak dicetak banyak karena memang tidak untuk dijual-belikan."


Dari pembicaraan tadi jelas, kita tidak bisa menyalahkan pemilik foto kopi tadi, karena dia hanya melakukan bisnis. Pikirannya juga tiada lain untuk mencari untung dari pekerjaannya walaupun terkadang juga harus hati-hati terhadap buku yang dilarang untuk digandakan.


Bom Akademik

Tentu masih belum hilang dalam ingatan kita tentang adanya kasus ledakan bom buku yang sempat menyita perhatian publik. Tetapi, tulisan ini tidak bermaksud membahas tentang bom buku seperti ramai dibicarakan orang. Maksudnya hanya membahas tentang buku-buku 'sampah' yang juga tidak kalah dahsyat dampak negatifnya dengan isu bom buku karena berdampak menghancurkan nilai dan kualitas dunia akademik di lingkungan perguruan tinggi.


Kenapa saya berani mengatakan demikian, karena buku yang ditulis tidak dimaksudkan untuk melakukan sebuah transformasi nilai, atau menyampaikan sebuah gagasan teori. Buku itu juga tidak ditulis dari hasil penelitian dan percobaan yang membuat isi buku itu benar-benar perlu disampaikan kepada, dan layak dikonsumsi oleh publik. Sehingga, pembaca juga berhak menilai kualitasnya.


Fenomena seperti itu, hemat saya, tidak hanya terjadi dalam satu lingkungan kasus seperti yang saya jumpai tadi, tetapi masih banyak terjadi pula di tempat-tempat lain dengan motif yang sama. Padahal, kejadian seperti itu jelas merupakan sesuatu yang buruk, menghancuran kualitas dunia akademik di perguruan tinggi, karena karyanya diperoleh dari hasil jadi buatan orang lain.


Alasan kenapa aktivitas itu dikatakan buruk dan lebih dahsyat dampaknya dari bom buku, karena pembuatan buku-buku seperti itu, tanpa seleksi dan tanpa proses edit yang ketat oleh seorang editor berkualitas secara akademik. Dalam dunia tulis-menulis, sebuah karya tanpa editing tentu hasilnya akan meragukan.


Namun, hal itu bisa terjadi karena sekarang banyak bermunculan penerbit-penerbit komersial, tanpa sebuah menajemen, visi dan misi yang tepat, serta tanpa adanya seorang editor. Penerbit semacam itu biasanya dikejar oleh para dosen untuk menerbitkan karya tulis mereka. Tujuannya, yang penting ada ISBN-nya. Dengan ISBN, maka buku itu sudah layak dibuat sebagai persyaratan untuk kenaikan pangkat/golongan dosen.


Buku yang diterbitkan hanya dimaksudkan untuk kenaikan pangkat semata, seperti yang penulis paparkan tersebut. Dhus, sudah jelas kualitas kandungan isi dalam buku itu tidak dianggap penting lagi.


Ketika kualitas sebuah buku tergolong jelek, karena ditlis asal jadi, meski ber-ISBN, sudah barang tentu hal ini akan berpengaruh terhadap menurunnya reputasi dunia akademik. Karena, bukankah buku-buku yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar etika penulisan ilmiah? Sejatinya pula, pangkat yang didapat oleh seorang dosen dengan cara 'membuat buku dari hasil karya orang lain' demikian juga merupakan jabatan yang gadu-gadu, penuh kepalsuan. ***



*Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Islam Al-Karimiyyah (STIA) Sumenep, Madura.