Ach. Syaiful A’la, S.Pd.I*
Di dalam ajaran Islam ada tiga aspek terpenting, yang terkait antara satu sama lain. Baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara tersurat maupun yang tersirat. Secara sadar mahupun tidak sadar. Yaitu pendidikan akidah, syariat dan tasawuf atau akhlak. Siapa yang ingin beragama Islam atau siapa saja yang ingin melaksanakan ajaran Islam di dalam kehidupan, wajib mempelajari ketiga aspek atau bagian yang ada di dalam ajaran Islam ini. Wajib dipelajari ilmunya, diyakini, dihayati dan juga diamalkan.
Kalau satu aspek saja kita terima tetapi meninggalkan aspek-aspek yang lain, ia timpang. Katakanlah kita pelajari akidahnya saja serta diyakini dengan meninggalkan aspek-aspek yang lain, seolah-olah Islam itu hanyalah agama ketuhanan. Kalau syariatnya saja yang kita terima dan menolak pula aspek-aspek yang lain, Islam itu sudah seolah-olah seperti ajaran ideologi. Manakala kalau akhlaknya saja diterima dengan meninggalkan kedua aspek diatas, seolah-olah Islam hanya ajaran etika di dalam pergaulan atau etika kerja. Agama Islam tidak dapat diterima atau dipelajari di satu-satu aspek saja, tetapi kesemua aspeknya. Jika ketiga aspek berjalan seimbang, barulah lengkap, sempurna, indah, berguna, dapat dilihat keagungan dan kebesaran Allah, berlaku keharmonisan, keamanan, kedamaian yang memang diidamkan oleh manusia.
Terjadinya berbagai macam persoalan yang sangat kompleks saat dihadapi bangsa ini, serta berbagai krisis yang berkepanjangan baik yang berkaitan dengan persoalan politik, ekonomi, pendidikan dan sosial, sebenarnya kalau mau jujur dan dengan jernih kita melihatnya semuanya adalah persoalan moral. Ketika para pemangku jabatan kita dilihat sudah tidak bermoral (amoral) maka yang akan timbul adalah persoalan disana-sini karena kebijakan yang diambil hanya merupakan kepentingan sesaat dan cenderung kepentingan pribadi alias mementingkan kelompoknya faqot (status quo).
Upaya untuk terlepas dari persoalan ini (amoral) sebenarnya yang harus menjadi garapan utama bagi kita bangsa Indonesia untuk menuju al ummah al badaniyah sebagaimana yang dicita-citakan oleh Nabi Muhammad SAW, salah satu cara yang bisa diambil adalah dengan memberikan pelajaran-pelajaran tentang akhlak (pendidikan moral) yang baik dalam dunia pendidikan.
Kenapa harus pendidikan yang ambil bagian dalam masalah ini? Dalam pendidikan adalah terjadi adanya proses transformasi nilai-nilai dari pendidik kepada peserta didik. Meminjam istilah Paulo Prairie, pendidikan adalah memanusiakan manusia. Artinya, apa yang diimpikan oleh Paulo semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kepedulian sosial seseorang kepada sesama, simpatik, dan merasa satu anggota tubuh yang lain merasakan sakit atau menderita (empatik).
Tetapi saat ini proses pendidikan belum mampu menjawab semua itu. Beberapa tahun terakhir ini, perbincangan pendidikan hanya menyangkut pada anggaran yang kurang memadai 20%. Keadaan itu mengakibatkan gaji guru rendah, sarana dan prasarana pendidikan kurang memadai, lingkungan tidak tertata, sehingga hasil pendidikan kurang memuaskan.
Belum lagi persoalan lainnya, hasil ujian (UN) dikaitkan dengan prestasi pemerintah daerah, sehingga berakibat melahirkan penyimpangan, pendidikan kemudian sebatas mengejar target yang ditetapkan. Maka jujur saja, sedikit sekali perbincangan pendidikan yang lebih menyentuh aspek substantif, yaitu membangun pendidikan hingga mengantarkan anak bangsa ini meraih keunggulan (insan kamil), yaitu unggul dalam ilmu pengetahuan, jiwa dan mentalnya, unggul cita-citanya, unggul watak dan perilakunya, unggul keberaniannya, unggul sifat kepemimpinannya, dan unggul akhlaqnya.
Buku Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat karya Dr. Moh. Roqib ini, berupaya menjawab segala persoalan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam perspektif Islam, disaat kita (bangsa Indonesia) lagi pusing dalam hal pencarian jati diri masing-masing. Didalam buku ini, pembaca pula akan diajak jalan-jalan mengarungi guna melihat kembali bagaimana pendidikan Islam membentuk insan kamil.
Salah satu tujuan pendidikan Islam adalah humanisasi serta menanamkan akhlak (tasawuf) pada peserta didik. Tasawuf adalah ilmu rasa (zauk). Ia adalah perasaan-perasaan yang timbul di dalam hati orang yang beriman atau orang yang bertaqwa, yang bersifat terpuji (mahmudah). Orang yang selalu menuruti kemauan (suara) hati dalam hidupnya, maka akan selamat. Karena suara hati tidak pernah berbohong. Misalnya, ketika seseorang melakukan sesuatu yang amoral, maka pasti terdetik dalam hatinya bahwa hal itu adalah perbuatan munkar (keji) yang dilarang oleh Agama (hal. 31).
Sifat terpuji (akhlaq mahmudah) yang menempel pada diri seseorang akan mencerminkan contoh sikap seperti rasa hamba, rasa merendah diri, rasa malu, rasa kasih, rasa bertimbang rasa, rasa simpati, rasa tawakal, rasa sabar, rasa redha, rasa pemurah, rasa kasihan, rasa pemaaf, rasa meminta maaf dan rasa cinta. Dari rasa-rasa tadi, ia mendorong manusia bertindak atau melahirkan rasa-rasa positif diatas. Maka lahirlah buahnya di dalam kehidupan, yang dapat dilihat oleh mata yaitu akhlaq mulia (akhlaq al-karimah). Dapat dilihat seseorang itu pemurah, merendah diri, tenang, menolong orang, mengasihi orang, memberi maaf, meminta maaf dan hal inilah yang menjadi cita-cita pendidikan Islam.
*) Direktur Komunitas Baca Suarabaya (KOMBAS)
DATA BUKU
Judul Buku : Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat
Penulis : Dr. Moh. Roqib, M.Ag
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Juni 2009
Tebal : xvi+256
30 Oktober, 2009
23 Oktober, 2009
Pendidikan Sirkus
Oleh : A. Dardiri Zubairi*
Pak Midun senangnya bukan main melihat Syarkawi, anaknya, diterima di sebuah sekolah negeri di sebuah kecamatan, tak jauh dari tempat ia tinggal. Betapa tidak. Pak Midun hanyalah seorang petani biasa. Seorang yang membesarkan anak dalam keluarga dan masyarakat sederhana, lengkap dengan kultur guyub pedesaan yang melatarinya.
Sebelum diterima di sekolah negeri, Syarkawi belajar di sebuah madrasah swasta. Sorenya masih nambah di madrasah diniyah. Belum lagi malam hari, ia dikirim kepada seorang kyaji tua yang sudah lebih setengah abad istiqamah mengajarkan alif, bata, ta kepada anak-anak desa. Di sela-sela kesibukannya, syarkawi toh masih sempat membantu pak midun di sawahnya.
Hari pertama sekolah, pak Midun melihat sesuatu yang aneh. Anaknya pake’ dasi. Pak Midun sulit mengunyah ”realitas baru” yang menggantung di leher anaknya. Meski begitu ia berpikir positif saja. Senyum pun merekah, anaknya tampil gagah layaknya pemain senetron ABG yang kerap menghiasi layar kaca, lengkap dengan seragam sekolah dan dasinya. Ia pun bermimpi, anaknya kelak menjadi orang ”sukses”. Tidak perlu mereproduksi pekerjaan dia, yang selalu berkubang dengan tanah.
Tetapi toh dalam hatinya ia tetap sulit memahami, bahkan ketika anaknya sudah menginjak kelas XII. Apa hubungan sarung yang selalu dikenakannya dengan dasi anaknya(?)
Semakin lama, ”keganjilan” anaknya semakin memanjang. Ibarat ”gempa”, keganjilan itu telah meluluhlantakkan alam sadarnya. Bahkan menggoncang hingga bawah alam sadar.
Tiba-tiba anaknya enggan membantunya di sawah. Satu-persatu simbol masyarakat desa pun dilucuti, ya songkok, sarung, ngaji, kesenian hadrah, cangkul, dan seterusnya. Tak cukup simbol, nilai-nilai masyarakat desa seperti keikhlasan, kesederhanaan, sopan santun,kebersamaan juga dilepas.
Setiap kali pak Midun melihat anaknya, setiap kali itu pula ia melihat sosok ”alien”. Mahkluk dengan kepribadian asing. Cara pikir, berprilaku, berdandan, bahkan berselera asing. Ia semakin tak mengenalnya, meski setiap hari bersamanya.
Toh pak Midun tetap berpikir positif. Ia masih yakin, meski pendidikan telah mengasingkan anaknya dari lingkungannya sendiri, hal itu ia anggap proses yang niscaya. Proses yang mesti dilalui oleh seseorang untuk ”sukses”, persis seperti hotbah yang terus-menerus direproduksi oleh pendukung pendidikan modern. Dan pak Midun salah satu korbannya(?)
***
Pak midun dan anaknya adalah gambaran paradoksnya pendidikan modern saat ini. Satu sisi telah menyihir semua orang sehingga mempercayai ”pencerahan” yang dijanjikannya. Sisi lain, ”pencerahan” yang dijanjikan pendidikan modern ternyata tidak juga datang-datang.
Justru sebaliknya, anak didik bukan malah arif, tapi congkak (terutama terhadap lokalitas). Bukan kreatif, tapi passif. Bukan berjiwa enterprenuer, tapi tergantung. Bukan bebas, tapi terjajah. Bukan pencipta, tapi peniru. Bukan…
Dalam konteks kebangsaan, tiba-tiba nasionalisme (di)pudar(kan). Cinta kasih antar sesama lenyap. Gantinya, anak bangsa atas nama ”benda” bahkan ”identitas” (agama, etnis, ras, gender) rela saling berjibaku dan meradang.
Seperti pak Midun melihat anaknya, kita banyak jumpai alien di rumah (tangga), sekolah, jalan, masyarakat, negara, birokrasi, dan di mana-mana. Sosok yang dulu kita kenal, tapi sekarang sudah tidak menjejakkan kaki di kebudayaan sendiri. Sudah tercerabut dari akar budayanya dan sekarang sepenuhnya menjadi asing. Ah…jangan-jangan kita (saya) sendiri sudah menjadi makhluk alien juga?
Sampai di sini saya jadi geli sendiri. Bisakah air yang sudah keruh di hulu, mau dijernihkan di hilir?
Bisakah permasalahan yang demikian mendasar, diselesaikan secara tambal sulam? Misalnya, dengan menggagas pendidikan kewirausahaan?
Permasalahan pendidikan kita memang cukup kompleks. Sama carut-marutnya dengan situasi kebangsaan kita. Ada sesat pikir sejak level paradigmatiknya. Maka sejatinya diagnosa dan penyembuhannya harus dimulai sejak level paradigmatiknya juga.
Karena itu, mempertanyakan asumsi ideologis pendidikan kita menjadi penting.. Untuk apa dan siapa, ideologi pendidikan dirumuskan? Pasar, kapital, pabrik, kekuasaan,
atau memanusiakan manusia?
Sayang, pertanyaan seperti di atas tidak dimunculkan, terutama oleh pengambil kebijakan pendidikan. Mereka lebih suka ”ngurus” yang (maaf) remeh-remeh. Misalnya, UAN yang dipertahankan mati-matian. Pada hal banyak kritik, UAN tidak akan mampu menyelesaikan permasalah mendasar pendidikan.
Atau seperti sekarang, gembar-gembor otonomi pendidikan, meski realitasnya tetap sentralistik. Semua tahu, sentralisasi akan memasung kreativitas. Jika lembaga dan personalianya tidak kreatif, bagaimana mungkin akan menularkan kreativitas kepada anak didik?
Karena itu diskusi pendidikan kewirausahaan harus ditempatkan dalam kerangka (untuk terus-menerus)mempertanyakan asumsi ideologis pendidikan kita, dan menyuarakan otonomi pendidikan dipraktikkan secara penuh. Otonomi pendidikan secara penuh akan memungkinkan setiap lembaga pendidikan mendesain ideologi pendidikan, kurikulum, silabi, dan seterusnya sesuai dengan kebutuhan lingkungan dan komunitasnya.
Dengan demikian, pendidikan kewirausahaan akan terintegrasi secara kokoh dalam kerangka pendidikan secara utuh, karena ditopang oleh ideogi pendidikan yang memanusiakan dan sesuai dengan lingkungan, kebudayaan, dan kebutuhan masyarakat sebagai user-nya.
Kita tentu tidak mau bukan, jika pendidikan kewirausahaan menguatkan ketidakpekaan anak didik terhadap tanggung jawab sosial. Dengan kata lain, capek-capek pendidikan kewirausahaan di(bel)ajarkan, tapi out putnya anak didik tetap individualistik dan kapitalistik.
Mari kita pertanyakan asumsi ideologis pendidikan kita, sembari merancang pendidikan kewirausahaan, untuk menjawab kegelisahaan pak Midun melihat dasi dan makhluk alien.
*)Kepala MA Nasy'atul Muta'allimin Gapura Timur Sumenep
Dipetik dari: http://enewsletterdisdik.wordpress.com/24/10/09
Pak Midun senangnya bukan main melihat Syarkawi, anaknya, diterima di sebuah sekolah negeri di sebuah kecamatan, tak jauh dari tempat ia tinggal. Betapa tidak. Pak Midun hanyalah seorang petani biasa. Seorang yang membesarkan anak dalam keluarga dan masyarakat sederhana, lengkap dengan kultur guyub pedesaan yang melatarinya.
Sebelum diterima di sekolah negeri, Syarkawi belajar di sebuah madrasah swasta. Sorenya masih nambah di madrasah diniyah. Belum lagi malam hari, ia dikirim kepada seorang kyaji tua yang sudah lebih setengah abad istiqamah mengajarkan alif, bata, ta kepada anak-anak desa. Di sela-sela kesibukannya, syarkawi toh masih sempat membantu pak midun di sawahnya.
Hari pertama sekolah, pak Midun melihat sesuatu yang aneh. Anaknya pake’ dasi. Pak Midun sulit mengunyah ”realitas baru” yang menggantung di leher anaknya. Meski begitu ia berpikir positif saja. Senyum pun merekah, anaknya tampil gagah layaknya pemain senetron ABG yang kerap menghiasi layar kaca, lengkap dengan seragam sekolah dan dasinya. Ia pun bermimpi, anaknya kelak menjadi orang ”sukses”. Tidak perlu mereproduksi pekerjaan dia, yang selalu berkubang dengan tanah.
Tetapi toh dalam hatinya ia tetap sulit memahami, bahkan ketika anaknya sudah menginjak kelas XII. Apa hubungan sarung yang selalu dikenakannya dengan dasi anaknya(?)
Semakin lama, ”keganjilan” anaknya semakin memanjang. Ibarat ”gempa”, keganjilan itu telah meluluhlantakkan alam sadarnya. Bahkan menggoncang hingga bawah alam sadar.
Tiba-tiba anaknya enggan membantunya di sawah. Satu-persatu simbol masyarakat desa pun dilucuti, ya songkok, sarung, ngaji, kesenian hadrah, cangkul, dan seterusnya. Tak cukup simbol, nilai-nilai masyarakat desa seperti keikhlasan, kesederhanaan, sopan santun,kebersamaan juga dilepas.
Setiap kali pak Midun melihat anaknya, setiap kali itu pula ia melihat sosok ”alien”. Mahkluk dengan kepribadian asing. Cara pikir, berprilaku, berdandan, bahkan berselera asing. Ia semakin tak mengenalnya, meski setiap hari bersamanya.
Toh pak Midun tetap berpikir positif. Ia masih yakin, meski pendidikan telah mengasingkan anaknya dari lingkungannya sendiri, hal itu ia anggap proses yang niscaya. Proses yang mesti dilalui oleh seseorang untuk ”sukses”, persis seperti hotbah yang terus-menerus direproduksi oleh pendukung pendidikan modern. Dan pak Midun salah satu korbannya(?)
***
Pak midun dan anaknya adalah gambaran paradoksnya pendidikan modern saat ini. Satu sisi telah menyihir semua orang sehingga mempercayai ”pencerahan” yang dijanjikannya. Sisi lain, ”pencerahan” yang dijanjikan pendidikan modern ternyata tidak juga datang-datang.
Justru sebaliknya, anak didik bukan malah arif, tapi congkak (terutama terhadap lokalitas). Bukan kreatif, tapi passif. Bukan berjiwa enterprenuer, tapi tergantung. Bukan bebas, tapi terjajah. Bukan pencipta, tapi peniru. Bukan…
Dalam konteks kebangsaan, tiba-tiba nasionalisme (di)pudar(kan). Cinta kasih antar sesama lenyap. Gantinya, anak bangsa atas nama ”benda” bahkan ”identitas” (agama, etnis, ras, gender) rela saling berjibaku dan meradang.
Seperti pak Midun melihat anaknya, kita banyak jumpai alien di rumah (tangga), sekolah, jalan, masyarakat, negara, birokrasi, dan di mana-mana. Sosok yang dulu kita kenal, tapi sekarang sudah tidak menjejakkan kaki di kebudayaan sendiri. Sudah tercerabut dari akar budayanya dan sekarang sepenuhnya menjadi asing. Ah…jangan-jangan kita (saya) sendiri sudah menjadi makhluk alien juga?
Sampai di sini saya jadi geli sendiri. Bisakah air yang sudah keruh di hulu, mau dijernihkan di hilir?
Bisakah permasalahan yang demikian mendasar, diselesaikan secara tambal sulam? Misalnya, dengan menggagas pendidikan kewirausahaan?
Permasalahan pendidikan kita memang cukup kompleks. Sama carut-marutnya dengan situasi kebangsaan kita. Ada sesat pikir sejak level paradigmatiknya. Maka sejatinya diagnosa dan penyembuhannya harus dimulai sejak level paradigmatiknya juga.
Karena itu, mempertanyakan asumsi ideologis pendidikan kita menjadi penting.. Untuk apa dan siapa, ideologi pendidikan dirumuskan? Pasar, kapital, pabrik, kekuasaan,
atau memanusiakan manusia?
Sayang, pertanyaan seperti di atas tidak dimunculkan, terutama oleh pengambil kebijakan pendidikan. Mereka lebih suka ”ngurus” yang (maaf) remeh-remeh. Misalnya, UAN yang dipertahankan mati-matian. Pada hal banyak kritik, UAN tidak akan mampu menyelesaikan permasalah mendasar pendidikan.
Atau seperti sekarang, gembar-gembor otonomi pendidikan, meski realitasnya tetap sentralistik. Semua tahu, sentralisasi akan memasung kreativitas. Jika lembaga dan personalianya tidak kreatif, bagaimana mungkin akan menularkan kreativitas kepada anak didik?
Karena itu diskusi pendidikan kewirausahaan harus ditempatkan dalam kerangka (untuk terus-menerus)mempertanyakan asumsi ideologis pendidikan kita, dan menyuarakan otonomi pendidikan dipraktikkan secara penuh. Otonomi pendidikan secara penuh akan memungkinkan setiap lembaga pendidikan mendesain ideologi pendidikan, kurikulum, silabi, dan seterusnya sesuai dengan kebutuhan lingkungan dan komunitasnya.
Dengan demikian, pendidikan kewirausahaan akan terintegrasi secara kokoh dalam kerangka pendidikan secara utuh, karena ditopang oleh ideogi pendidikan yang memanusiakan dan sesuai dengan lingkungan, kebudayaan, dan kebutuhan masyarakat sebagai user-nya.
Kita tentu tidak mau bukan, jika pendidikan kewirausahaan menguatkan ketidakpekaan anak didik terhadap tanggung jawab sosial. Dengan kata lain, capek-capek pendidikan kewirausahaan di(bel)ajarkan, tapi out putnya anak didik tetap individualistik dan kapitalistik.
Mari kita pertanyakan asumsi ideologis pendidikan kita, sembari merancang pendidikan kewirausahaan, untuk menjawab kegelisahaan pak Midun melihat dasi dan makhluk alien.
*)Kepala MA Nasy'atul Muta'allimin Gapura Timur Sumenep
Dipetik dari: http://enewsletterdisdik.wordpress.com/24/10/09
15 Oktober, 2009
Kiai, Santrinya Buku
Oleh : Ach. Syaiful A'la*
Banyak tulisan sebelumnya yang menyoroti dunia kiai dan buku. Dari tulisan-tulisan itu, mereka melakukan kritikan, masukan, himbauan, atau sebagai bentuk kepedulian para penulis yang ditujukan kepada kiai, khususnya kiai-kiai yang mempunyai pondok pesantren dengan jumlah santri yang cukup besar dan/atau yang menjadi panutan masyarakat, diantaranya adalah tulisan Fahrudin Nasrulloh “Kiai dan Kitab Kuning” (JP, 17-12-2006), Kuswaidi Syafi’i “Kiai Tanpa Buku” (JP, 24-12-2006), M. Faizi “Tak Ada Kitab, Buku pun Jadi” (JP, 7-1-2007), dan tulisan Muhamad Ali Hisyam “Kami Rindu Padamu, Kiai Penulis” (JP, 14-1-2007).
Upaya tersebut merupakan bentuk keprihatinan orang-orang yang sangat merendukan wacana keilmuan dilingkungan kiai pesantren, yang kalau kita lihat dalam sejarahnya tidak sedikit kiai-kiai pesantren yang telah banyak ambil bagian peran dalam khazanah wacana keilmuan dan pemikiran melalui buku atau kitab yang ditulis. Misalnya, kiai Imam Nawawi al-Bantani, kiai Cholil Bangkalan, kiai Hasyim Asy’ari, kiai Wahab Hasbullah, kiai Ahmad Siddiq, kiai As’ad Syamsul Arifin dan lain sebagainya.
Kita sepakat bahwa salah satu tugas kiai adalah sebagai waratsatul anbiya (pewaris para Nabi), salah satu tugas dan fungsinya adalah berdakwah. Dakwah yang dimaksud bisa berbentuk lisan (ceramah di panggung atau podium), ada pula kiai yang melakukan dakwah dengan tulisan. Kenapa menulis juga dikatakan berdakwah? Menulis butuh kesungguhan tersendiri, memilih kata yang tepat untuk sebuah kalimat, mengurai kalimat untuk menjadi pragraf. Maka dapat dimaknai, menulis merupakan bagian dari jihad. “Jihad bahasa”.
Untuk menjadi juru dakwah yang baik, kiai tentunya tidak hanya berangkat bermodal dengan kepercayaan diri saja, melainkan pendakwah yang baik ketika sebelumnya melakukan studi alias membaca beberapa buku literatur, semisal buku, kitab dan beberapa referensi lainnya. Hal ini menandakan bahwa, betapa penting dunia pembaca (buku) untuk para kiai yang ada di pondok pesantren yang mempunyai status sebagai imam atau pialang budaya (cultural broker) dalam bahasanya Clifford Geertz dalam lingkup yang paling besar, yakni di masyarakat.
Saking pentingnya membaca dan perbukuan, sampai Allah menurunkan wahyu pertama kali kepada Nabi Muhammad adalah dengan perintah iqra’ (bacalah), kemudian Tuhan bersumpah demi qalam (pena) begitu pentingnya dunia perbukuan, beberapa sahabat waktu itu merespon mengumpulkan (wahyu) menjadi sebuah buku (Al-Quran). Dari dua aktivitas ini (membaca dan menulis), maka dunia akhirnya menjadi dinamis (mutahawwil) tidak statis (tsabit).
Khaled Abou Al Fadl (2001) menulis dalam bukunya “Musyawarah Buku; Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab”, melakukan kritikan kepada umat Islam yang banyak lupa (atau sengaja memang membuat lupa), betapa pesan Islam dimulai dengan sebuah buku (Al-Qur’an); sebuah buku yang mengandung visi moral dan kebaikan yang luar biasa. Dari cahaya Teks suci itu pula peradaban Islam pergulir, para kiai atau ulama dahulu berjuangan menegakkan kebenaran melalui jalan yang berliku dan penuh duri, dan tidak terpuruk dalam nalar dogmatis, sikap apologetis, atau solipsisme yang egois seperti sekarang.
Mulailah Menjadi Kiai
Selama ini, bahwa kiai selalu identik dengan orang yang mempunyai pesantren dengan jumlah santri yang cukup banyak, ngajar kitab kuning, berdakwah dengan melakukan ceramah (pidatu) kesana-sini, dan lain sebagainya. Begitu pula santri, selalu identik dengan pelajar yang mendalami ilmu agama Islam di pondok pesantren. Sepertinya memang dari sononya! Keduanya, antara santri dan kiai saling berdekatan dan menjali komunikasi setiap hari dalam komunitas pondok pesantren.
Kini zaman berbicara lain, kemajuan teknologi merubah semuanya dalam segala sektor membuat seseorang bisa melakukan apa saja dengan jarak jauh, misalnya, sekolah jarak jauh, kursus jarak jauh, diklat jarak jauh, dan sejenisnya. Artinya, antara pelajar dan pengajar, begitu pula kiai dengan santri tidak lagi harus berdekatan, tapi bisa dilakukan dengan cara yang sedemikian tersebut.
Maksud dari tulisan ini, penulis ingin mengajak kepada pembaca, bahwa untuk menjadi kiai itu tidak harus mempunyai pesantren (building), punya jumlah santri banyak, melakukan dakwah (ceramah) kesana-sini. Menjadi kiai itu bisa dengan cara menulis atau dengan cara membuat buku. Jadi, santrinya adalah orang-orang yang membaca tulisan Anda dan buku yang ditulisnya. Begitu pula menjadi santri cukup hanya dengan membaca buku-buku yang ditulis oleh kiai-kiai pondok pesantren.
Mungkin bagi Anda yang sering membaca koran pasti sudah akrab dengan nama-nama seperti, Zawawi Imron, Zuhairi Misrawi, Hasibullah Satrawi, Nur Syam, Abd A’la, Tasyriq Hifzillah, Muhammadun AS, Lukman Santoso Az, Zen Rahkmat Sugito, Gugun El-Guyani, M. Yunus. BS., Syaiful Bari, Mukhlis Amrin, Rusdi Anwar, meskipun Anda sendiri tidak pernah bertemu secara langsung dengan mereka. Belum lagi para penulis muda yang serius membuat buku utuh, seperti Muhidin M. Dahlan, Mohammad Al-Fayyadh, Reny Nuryanti, Chabib Mustafa, Azizah Hefni, Herlinatien. Mereka itu, saat menulis (jadi kiai) masih berstatus sebagai pelajar/mahasiswa.
Jadi, siapa saja sekarang bisa menjadi santri asal mau membaca. Dan sebaliknya, tidak menutup kemungkinan bahwa siapa saja juga bisa menjadi kiai, asalkan mau menulis dan berkarya membuat buku. Kenapa harus menulis? Bukannya Al-Qur’an juga mengajak kepada manusia setelah membaca lalu menulislah? Bahkan sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib telah berpesan: bahwa ilmu itu ibarat seekor binatang buas yang kalau tidak diikat akan lari jauh, cara mengikatnya adalah dengan tulisan.
Seorang penulis terkenal, Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya menulis “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah…! Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Al-Ghazali juga menambahkan “Kalau Anda bukan keturunan ulama, bukan pulan keturunan raja, maka jadilah penulis”.
Sekarang, marilah kita menjadi kiai-kiai pemula dengan jalan menulis di media atau yang konsen membuat buku, karena tulisan Anda akan dibaca oleh ribuan bahkan jutaan pembaca, dan itu (pembaca) adalah orang yang menjadi santri Anda di dunia.
*) Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS) Hp. 081703039343
Banyak tulisan sebelumnya yang menyoroti dunia kiai dan buku. Dari tulisan-tulisan itu, mereka melakukan kritikan, masukan, himbauan, atau sebagai bentuk kepedulian para penulis yang ditujukan kepada kiai, khususnya kiai-kiai yang mempunyai pondok pesantren dengan jumlah santri yang cukup besar dan/atau yang menjadi panutan masyarakat, diantaranya adalah tulisan Fahrudin Nasrulloh “Kiai dan Kitab Kuning” (JP, 17-12-2006), Kuswaidi Syafi’i “Kiai Tanpa Buku” (JP, 24-12-2006), M. Faizi “Tak Ada Kitab, Buku pun Jadi” (JP, 7-1-2007), dan tulisan Muhamad Ali Hisyam “Kami Rindu Padamu, Kiai Penulis” (JP, 14-1-2007).
Upaya tersebut merupakan bentuk keprihatinan orang-orang yang sangat merendukan wacana keilmuan dilingkungan kiai pesantren, yang kalau kita lihat dalam sejarahnya tidak sedikit kiai-kiai pesantren yang telah banyak ambil bagian peran dalam khazanah wacana keilmuan dan pemikiran melalui buku atau kitab yang ditulis. Misalnya, kiai Imam Nawawi al-Bantani, kiai Cholil Bangkalan, kiai Hasyim Asy’ari, kiai Wahab Hasbullah, kiai Ahmad Siddiq, kiai As’ad Syamsul Arifin dan lain sebagainya.
Kita sepakat bahwa salah satu tugas kiai adalah sebagai waratsatul anbiya (pewaris para Nabi), salah satu tugas dan fungsinya adalah berdakwah. Dakwah yang dimaksud bisa berbentuk lisan (ceramah di panggung atau podium), ada pula kiai yang melakukan dakwah dengan tulisan. Kenapa menulis juga dikatakan berdakwah? Menulis butuh kesungguhan tersendiri, memilih kata yang tepat untuk sebuah kalimat, mengurai kalimat untuk menjadi pragraf. Maka dapat dimaknai, menulis merupakan bagian dari jihad. “Jihad bahasa”.
Untuk menjadi juru dakwah yang baik, kiai tentunya tidak hanya berangkat bermodal dengan kepercayaan diri saja, melainkan pendakwah yang baik ketika sebelumnya melakukan studi alias membaca beberapa buku literatur, semisal buku, kitab dan beberapa referensi lainnya. Hal ini menandakan bahwa, betapa penting dunia pembaca (buku) untuk para kiai yang ada di pondok pesantren yang mempunyai status sebagai imam atau pialang budaya (cultural broker) dalam bahasanya Clifford Geertz dalam lingkup yang paling besar, yakni di masyarakat.
Saking pentingnya membaca dan perbukuan, sampai Allah menurunkan wahyu pertama kali kepada Nabi Muhammad adalah dengan perintah iqra’ (bacalah), kemudian Tuhan bersumpah demi qalam (pena) begitu pentingnya dunia perbukuan, beberapa sahabat waktu itu merespon mengumpulkan (wahyu) menjadi sebuah buku (Al-Quran). Dari dua aktivitas ini (membaca dan menulis), maka dunia akhirnya menjadi dinamis (mutahawwil) tidak statis (tsabit).
Khaled Abou Al Fadl (2001) menulis dalam bukunya “Musyawarah Buku; Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab”, melakukan kritikan kepada umat Islam yang banyak lupa (atau sengaja memang membuat lupa), betapa pesan Islam dimulai dengan sebuah buku (Al-Qur’an); sebuah buku yang mengandung visi moral dan kebaikan yang luar biasa. Dari cahaya Teks suci itu pula peradaban Islam pergulir, para kiai atau ulama dahulu berjuangan menegakkan kebenaran melalui jalan yang berliku dan penuh duri, dan tidak terpuruk dalam nalar dogmatis, sikap apologetis, atau solipsisme yang egois seperti sekarang.
Mulailah Menjadi Kiai
Selama ini, bahwa kiai selalu identik dengan orang yang mempunyai pesantren dengan jumlah santri yang cukup banyak, ngajar kitab kuning, berdakwah dengan melakukan ceramah (pidatu) kesana-sini, dan lain sebagainya. Begitu pula santri, selalu identik dengan pelajar yang mendalami ilmu agama Islam di pondok pesantren. Sepertinya memang dari sononya! Keduanya, antara santri dan kiai saling berdekatan dan menjali komunikasi setiap hari dalam komunitas pondok pesantren.
Kini zaman berbicara lain, kemajuan teknologi merubah semuanya dalam segala sektor membuat seseorang bisa melakukan apa saja dengan jarak jauh, misalnya, sekolah jarak jauh, kursus jarak jauh, diklat jarak jauh, dan sejenisnya. Artinya, antara pelajar dan pengajar, begitu pula kiai dengan santri tidak lagi harus berdekatan, tapi bisa dilakukan dengan cara yang sedemikian tersebut.
Maksud dari tulisan ini, penulis ingin mengajak kepada pembaca, bahwa untuk menjadi kiai itu tidak harus mempunyai pesantren (building), punya jumlah santri banyak, melakukan dakwah (ceramah) kesana-sini. Menjadi kiai itu bisa dengan cara menulis atau dengan cara membuat buku. Jadi, santrinya adalah orang-orang yang membaca tulisan Anda dan buku yang ditulisnya. Begitu pula menjadi santri cukup hanya dengan membaca buku-buku yang ditulis oleh kiai-kiai pondok pesantren.
Mungkin bagi Anda yang sering membaca koran pasti sudah akrab dengan nama-nama seperti, Zawawi Imron, Zuhairi Misrawi, Hasibullah Satrawi, Nur Syam, Abd A’la, Tasyriq Hifzillah, Muhammadun AS, Lukman Santoso Az, Zen Rahkmat Sugito, Gugun El-Guyani, M. Yunus. BS., Syaiful Bari, Mukhlis Amrin, Rusdi Anwar, meskipun Anda sendiri tidak pernah bertemu secara langsung dengan mereka. Belum lagi para penulis muda yang serius membuat buku utuh, seperti Muhidin M. Dahlan, Mohammad Al-Fayyadh, Reny Nuryanti, Chabib Mustafa, Azizah Hefni, Herlinatien. Mereka itu, saat menulis (jadi kiai) masih berstatus sebagai pelajar/mahasiswa.
Jadi, siapa saja sekarang bisa menjadi santri asal mau membaca. Dan sebaliknya, tidak menutup kemungkinan bahwa siapa saja juga bisa menjadi kiai, asalkan mau menulis dan berkarya membuat buku. Kenapa harus menulis? Bukannya Al-Qur’an juga mengajak kepada manusia setelah membaca lalu menulislah? Bahkan sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib telah berpesan: bahwa ilmu itu ibarat seekor binatang buas yang kalau tidak diikat akan lari jauh, cara mengikatnya adalah dengan tulisan.
Seorang penulis terkenal, Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya menulis “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah…! Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Al-Ghazali juga menambahkan “Kalau Anda bukan keturunan ulama, bukan pulan keturunan raja, maka jadilah penulis”.
Sekarang, marilah kita menjadi kiai-kiai pemula dengan jalan menulis di media atau yang konsen membuat buku, karena tulisan Anda akan dibaca oleh ribuan bahkan jutaan pembaca, dan itu (pembaca) adalah orang yang menjadi santri Anda di dunia.
*) Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS) Hp. 081703039343
Label:
buku,
Clifford Geertz,
kiai,
kombas,
penulis muda,
pesantren,
Pramoedya Ananta Toer,
santri
03 Oktober, 2009
‘Ngemis’ dan Kemiskinan Mental
Oleh : Ach. Syaiful A'la*
Setiap keputusan (fatwa) yang diambil oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga kini selalu menyulut kontroversial disana-sini. Yang tidak lama ini kembali terjadi, seperti yang dilakukan oleh MUI Kabupaten Sumenep tentang haramnya mengemis. Akibat fatwa tersebut, tidak sedikit pula orang yang maragukan kembali hingga ada yang menanyakan, apakah keputusan MUI sudah bijaksana. Apakah keputusan MUI berdasarkan rasional atau hanya emosional.
Hemat saya, bahwa keputusan yang dilakukan oleh MUI selama masih tetap pada pedoman yang tertuang dalam surat penetapan fatwa nomor : U-596/MUI/X/1997 tidak menjadi masalah. Artinya, apa yang dilakukan oleh MUI tentang haram bagi pengemis saat ini, tidak berdasar pada emosial. Melainkan sesuai dengan syarat dan ketentuan berlaku (baca: pedoman penetapan fatwa MUI).
Dari itu, saya dapat menyimpulkan bahwa persoalan mendasar dari terjadinya perilaku masyarakat yang “ngemis” disebabkan oleh kemiskinan. Kemiskinanlah yang mengakibatkan semuanya bisa terjadi. Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab dalam masalah ini? Jawabannya, yang pasti adalah pemerintah. Karena hal-hal semacam itu, sudah termaktub dalam UUD 1945 pasal 31 (pendidikan), pasal 33 (perekonomian), dan pasal 34 (kesejahteraan sosial).
Sebagai pemerintah yang mempunyai tanggung jawab terhadap pokok permasalahan tersebut diatas, minimal ada tiga action yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus pemberikan pelatihan dan bimbingan kepada mereka (pengemis), sehingga ia bisa memilih pekerjaan lain dan lebih mandiri. Kedua, memberikan bantuan modal untuk berusaha. Ketiga, membuka lebar lapangan kerja.
Kemiskinan Mental
Secara umum, kemiskinan dibagi menjadi tiga macam. Pertama, kemiskinan karena malas. Orang yang malas untuk bekerja memeras keringat memang layak disebut miskin. Dan inilah hemat saya yang disebut dengan kemiskinan mental. Kedua, kemiskinan karena nasib. Contohnya orang yang berbisnis, kemudian jatuh bangkrut. Ketiga, kemiskinan sistematis. Yang terakhir inilah yang saat ini terjadi di Indonesia. Sementara contoh pertama dan kedua, mungkin dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat episodic dan sporadic.
Padahal kalau dikaji lebih dalam, point pertamalah – kemiskinan mental – yang menyebabkan orang menjadi “pengemis”. Karena kalau ditilik lebih dekat, mereka bukan orang yang tak berpendidikan, bukan orang yang tak bermodal (miskin), bukan pula orang yang tidak mempunyai lapangan pekerjaan. Semuanya telah dipunyai dalam diri individu mereka masing-masing pengemis (baca: kehidupan pengemis).
Apa yang disebut dengan kemiskinan mental? Kemiskinan mental adalah sebuah kondisi mental kejiwaan atau orientasi hidup seseorang yang dipenuhi oleh kebiasaan-kebiasaan negatif, yang sifat dapat menghambat kemjauan. Seperti psimistik, malas, buruk sangka, sukan menyalahkan pihak lain, iri melihat keberhasilan orang lain. Miskin mental juga bisa ditunjukkan dengan prilaku yang tidak disiplin, tidak percaya diri, tidak bertanggung jawab, tidak jujur, tidak mau belajar, tidak mau memperbaiki diri, dan tidak punyak visi kedepan.
Perang untuk memberantas “pengemis” memang tidaklah semudah seperti orang yang makan cabe, begitu ditelan, saat itu pula terasa pedasnya. Tetapi membutuhkan waktu yang tepat (timing). Membutuhkan pembinaan. Memerlukan seperangkat dan stack holder dan harus melibatkan banyak orang (masyarakat secara umum) dalam menyelesaikan masalah ini. Kenapa? Tentunya kita mafhum, bahwa tipe pengemis saat ini ada dua. Ada pengemis profesional dan ada pengemis konvensional.
Pengemis profesional dimaksud, pada saat sedang meminta-minta, biasanya menggunakan proposal. Supaya kelihatan legal. Alasannya untuk keperluan pembangunan masjid, pembangunan madrasah, pembangunan musallah, pembangunan panti asuhan anak yatim piatu dan yang lainnya. Sedangkan pengemis konvensional, seperti yang sering kita jumpai di jalan-jalan, kendaraan umum, angkot, dan bus kota. Meraka meminta-minta langsung dengan cara menjulurkan tangannya.
Dari itulah, langkah MUI Sumenep yang mengharamkan “mengemis” adalah langkah tepat dan merupakan senjata awal disamping untuk mendukung pemerintah dalam ketertiban, meminimalisir jumlah pengemis di jalanan dan di rumah-rumah serta sebagai wujud untuk menghindarkan diri seseorang dari beberapa sifat keji diatas. Kemiskinan mental.
Melalui tulisan ini, hemat penulis (harapan kita semua tentunya), mulai saat ini, detik ini, satu demi satu melangkah untuk memiliki sifat “kekayaan mental”. Maka, kita akan lebih survive dalam menghadapi hidup, makin kompetetif, besar peluang untuk meraih cita-cita, dan memandang masa depan dengan penuh rasa optimistik.
*Direktur Komunitas Baca Surabaya (KombaS).
Setiap keputusan (fatwa) yang diambil oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga kini selalu menyulut kontroversial disana-sini. Yang tidak lama ini kembali terjadi, seperti yang dilakukan oleh MUI Kabupaten Sumenep tentang haramnya mengemis. Akibat fatwa tersebut, tidak sedikit pula orang yang maragukan kembali hingga ada yang menanyakan, apakah keputusan MUI sudah bijaksana. Apakah keputusan MUI berdasarkan rasional atau hanya emosional.
Hemat saya, bahwa keputusan yang dilakukan oleh MUI selama masih tetap pada pedoman yang tertuang dalam surat penetapan fatwa nomor : U-596/MUI/X/1997 tidak menjadi masalah. Artinya, apa yang dilakukan oleh MUI tentang haram bagi pengemis saat ini, tidak berdasar pada emosial. Melainkan sesuai dengan syarat dan ketentuan berlaku (baca: pedoman penetapan fatwa MUI).
Dari itu, saya dapat menyimpulkan bahwa persoalan mendasar dari terjadinya perilaku masyarakat yang “ngemis” disebabkan oleh kemiskinan. Kemiskinanlah yang mengakibatkan semuanya bisa terjadi. Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab dalam masalah ini? Jawabannya, yang pasti adalah pemerintah. Karena hal-hal semacam itu, sudah termaktub dalam UUD 1945 pasal 31 (pendidikan), pasal 33 (perekonomian), dan pasal 34 (kesejahteraan sosial).
Sebagai pemerintah yang mempunyai tanggung jawab terhadap pokok permasalahan tersebut diatas, minimal ada tiga action yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus pemberikan pelatihan dan bimbingan kepada mereka (pengemis), sehingga ia bisa memilih pekerjaan lain dan lebih mandiri. Kedua, memberikan bantuan modal untuk berusaha. Ketiga, membuka lebar lapangan kerja.
Kemiskinan Mental
Secara umum, kemiskinan dibagi menjadi tiga macam. Pertama, kemiskinan karena malas. Orang yang malas untuk bekerja memeras keringat memang layak disebut miskin. Dan inilah hemat saya yang disebut dengan kemiskinan mental. Kedua, kemiskinan karena nasib. Contohnya orang yang berbisnis, kemudian jatuh bangkrut. Ketiga, kemiskinan sistematis. Yang terakhir inilah yang saat ini terjadi di Indonesia. Sementara contoh pertama dan kedua, mungkin dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat episodic dan sporadic.
Padahal kalau dikaji lebih dalam, point pertamalah – kemiskinan mental – yang menyebabkan orang menjadi “pengemis”. Karena kalau ditilik lebih dekat, mereka bukan orang yang tak berpendidikan, bukan orang yang tak bermodal (miskin), bukan pula orang yang tidak mempunyai lapangan pekerjaan. Semuanya telah dipunyai dalam diri individu mereka masing-masing pengemis (baca: kehidupan pengemis).
Apa yang disebut dengan kemiskinan mental? Kemiskinan mental adalah sebuah kondisi mental kejiwaan atau orientasi hidup seseorang yang dipenuhi oleh kebiasaan-kebiasaan negatif, yang sifat dapat menghambat kemjauan. Seperti psimistik, malas, buruk sangka, sukan menyalahkan pihak lain, iri melihat keberhasilan orang lain. Miskin mental juga bisa ditunjukkan dengan prilaku yang tidak disiplin, tidak percaya diri, tidak bertanggung jawab, tidak jujur, tidak mau belajar, tidak mau memperbaiki diri, dan tidak punyak visi kedepan.
Perang untuk memberantas “pengemis” memang tidaklah semudah seperti orang yang makan cabe, begitu ditelan, saat itu pula terasa pedasnya. Tetapi membutuhkan waktu yang tepat (timing). Membutuhkan pembinaan. Memerlukan seperangkat dan stack holder dan harus melibatkan banyak orang (masyarakat secara umum) dalam menyelesaikan masalah ini. Kenapa? Tentunya kita mafhum, bahwa tipe pengemis saat ini ada dua. Ada pengemis profesional dan ada pengemis konvensional.
Pengemis profesional dimaksud, pada saat sedang meminta-minta, biasanya menggunakan proposal. Supaya kelihatan legal. Alasannya untuk keperluan pembangunan masjid, pembangunan madrasah, pembangunan musallah, pembangunan panti asuhan anak yatim piatu dan yang lainnya. Sedangkan pengemis konvensional, seperti yang sering kita jumpai di jalan-jalan, kendaraan umum, angkot, dan bus kota. Meraka meminta-minta langsung dengan cara menjulurkan tangannya.
Dari itulah, langkah MUI Sumenep yang mengharamkan “mengemis” adalah langkah tepat dan merupakan senjata awal disamping untuk mendukung pemerintah dalam ketertiban, meminimalisir jumlah pengemis di jalanan dan di rumah-rumah serta sebagai wujud untuk menghindarkan diri seseorang dari beberapa sifat keji diatas. Kemiskinan mental.
Melalui tulisan ini, hemat penulis (harapan kita semua tentunya), mulai saat ini, detik ini, satu demi satu melangkah untuk memiliki sifat “kekayaan mental”. Maka, kita akan lebih survive dalam menghadapi hidup, makin kompetetif, besar peluang untuk meraih cita-cita, dan memandang masa depan dengan penuh rasa optimistik.
*Direktur Komunitas Baca Surabaya (KombaS).
Langganan:
Postingan (Atom)