11 Maret, 2009

Memilih atau (Tetap) Golput?

PASCA PUTUSAN MK TENTANG SUARA TERBANYAK

Oleh : Ach. Syaiful A’la*

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut pasal pasal 214 huruf a, b, c, d dan e UU No 10/2008 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 benar-benar memberikan angin segar dan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi para caleg yang mendapatkan nomor sepatu dan menjadi kebakaran jenggot bagi para caleg dari elit partai yang dulunya optimis berada diurutan nomor jadi (No. 1). Dengan keputusan tersebut, semua caleg bisa berkompetisi untuk memperebutkan kursi di DPR. Partai tidak lagi seenaknya menggunakan otoritas penuh dalam menentukan kader-kadernya untuk duduk di kursi DPR, padahal mereka tidak disukai rakyat, karena tidak pernah membela kepentingan rakyat.

Langkah bijak yang diambil oleh MK itu bukan tidak mempunyai berdampak apa-apa dalam perpolitikan nasional. Karena para caleg (apakah mereka berada di nomor jadi dan nomor urut sepatu) sama-sama mempunyai pendukung (basis massa) yang panatik untuk mengantarkan calonnya (figure) mewakili di DPR.

Hal positif yang bisa dapat kita ambil dari keputusan MK, masyarakat dalam menentukan wakilnya tidak lagi ibarat memilih kucing dalam karung, sekarang kucingnya sudah berada di akuarium (Muhammad Sholeh, JP/27/08). Masyarakat bisa melihat denga jelas siapa wakilnya, pembela nasibnya lima tahun kedepan tanpa harus panatik terhadap partai politik, kiai atau golongan tertentu.

Disamping itu pula, keputusan MK akan mengurangi angka golput pada proses pemilihan umum nanti. Misalnya, sebelumnya keputusan MK, orang yang diidolakan masyarakat berada di nomor sepatu, akhirnya masyarakat enggan datang ke TPS, karena calonnya tidak mungkin jadi kalau tidak memenuhi kuota berapa % sesuai yang ditetapkan oleh aturan main partai. Maka sedikit sekali – untuk tidak mengatakan tidak ada – caleg yang mendapat nomor urut sepatu bisa menang dalam perebutan caleg.

Dampak negatif dari pencabutan pasal pasal 214 huruf a, b, c, d dan e UU No 10/2008 itu, akan terjadi perpecahan ditubuh partai sendiri. Kecuali ada beberapa partai yang memang sebelumnya telah menerapkan sistem kompetisi penuh dalam pemilihan umum. Hal yang demikian itu pula kita harus memikirkannya matang-matang untuk mengantisipasi kalau ada persaingan tidak sehat di dalam tubuh partai. Saling intimidasi dan maraknya politik uang (money politic). Inilah tugas partai bagaimana mengelola konflik internal.

Kenapa (Harus) Golput?

Beberapa waktu lalu, Gus Dur – panggilan akrapnya KH Abdurrahman Wahid – menyerukan golput pada pemilu 2009 (bukan hanya kepada simpatisan PKB Pro Gur Dur karena konflik internal ditubuh partainya), tetapi seruan itu dikumandangkan juga untuk seluruh masyarakat Indonesia. Kalau kita cermati ada yang menarik dari seruan Gus Dur itu? Semua orang termasuk elit partai politik, pengamat, dan tokoh masyarakat kebingunan dan angkat bicara dengan pernyataan mantan orang nomor di Indoensia itu. Bahkan sampai ada yang mau menggugat kepengadilan, tapi gak jadi. Yang menarik ada beberapa kiai dan ulama berkumpul melakukan bahtsul masail untuk melawan penyataan Gus Dur secara fikih. Hasil forum kiai-kiai itu akhirnya mengelurakan fatwa bahwa golput hukumnya haram.

Kalau kita cermati lebih mendalam, pernyataan golput yang dikumandang Gus Dur sebenarnya bukanlah pendefinisian yang cukup sederhana, yaitu hanya tidak memilih atau menggunakan hak pilihnya pada pemilu nanti. Term “golput” yang diserukan Gus Dur mempunyai arti lain yang cukup bermakna dan tidak hanya untuk pemilih saja tembakannya, tetapi calon pun harus memilih untuk menjadi orang golput.

Seperti apa golput yang diinginkan Gus Dur? Arti sederhana golput adalah singkatan dari golongan putih alias orang-orang yang mempunyai pilihan untuk tidak memilih. Dalam hadis Nabi disebutkan – arrasyi wa al-mustasyi fi nar (orang yang menyogok dan yang menerima sogok keduanya adalah Neraka). Inilah jawaban Gus Dur sebenarnya bahwa pada pemilihan umum 2009 agar supaya semua calon dan pemilih bersih (menjadi golongan putih) dari hal-hal keji itu. Gus Dur menginginkan proses pemilihan umum benar-benar berjalan bersih, jujur, adil, bebas dan rahasia. Artinya, bukan Abdurrahman Wahid kalau tidak kontroversial. Kenak dech! Belum tahu dia!

Harapan kita dengan keputusan MK, proses demokrasi jangan sampai dinodai dengan sistem yang tidak sehat. Keputusan MK betul-betul dijadikan sarana untuk memperbaiki proses demokrasi di Indonesia yang kini banyak dinodai oleh individu-individu yang mempunyai kepentingan sesaat dengan melakukan berbagai cara (money politic) untuk memenuhi syahwat politiknya. Sehingga banyak kejangglan terjadi disana-sini mulai dari konflik pilkada, pilwali, pilgub tak kunjung usai. Kepada para calon silahkan suguhi masyarakat dengan bentuk visi-misi, program dan langkah kongkrit yang akan dikerjakan selama lima tahun kedepan, masyarakat pun harus dengan jeli melihat action beberapa calon untuk tidak memilih poli(tikus) busuk.

*Peneliti di Lembaga Kajian & Survey Nusantara (LAKSNU). Hp. 081703039434.