Ach. Syaiful A'la
Pertengahan tahun 2007, kalangan kaum muslimin terutama bagi warga nahdliyyin dihebohkan dengan tudingan syirik yang dilakukan oleh H Mahrus Ali melalui bukunya Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik (seperti Nariyah, al-Fatih, Munjiyat, Thibul Qulub). Tudingan bahwa amaliah yang dilakukan oleh warga nahdliyyin adalah syirik, mendapat respon dari salah satu tim Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) Kabupaten Jember, dengan jawaban yang lebih argumentatif dan lengkap berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Dibalik munculnya tudingan syirik bagi amaliah warga nahdliyyin, ada fenomena yang unik, ternyata setalah pusat pengembangan intelektual (P2I) pasca sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, mengadakan debat terbuka untuk mempertemukan (mencari titik temu, kalimatun sawa’) dari dua pendapat yang bersebrangan alias sedang tidak sejalan, H Mahrus Ali, yang menuding syirik terhadap amaliah warga nahdliyyin sebagai penulis buku, tidak berani hadir untuk mempertanggung jawabkan hasil ijtihadnya sendiri, alias kerdil. Bahkan Syeikh H Muammal Hamidy yang memberikan pengantar dalam bukunya H Mahrus Ali tesebut yang memunculkan term baru, mungkin istilah ini sangat tidak akrab di telinga kaum muslimin, yakni dengan istilah “mukmin musyrik”, padahal dua kata ini tidak bisa bersandingan jati satu. Karena tidak bisa mempertahankan alias argumennya lemah, Muammal Hamidy, akhirnya mencabut pernyataan tersebut di depan peserta seminar dan disaksikan oleh berbagai media.
Salah satu yang dianggap syirik amalan warga nahdliyyin oleh Mahrus Ali dalam bukunya, yakni “burdah”. Bahkan pesantren yang istiqamah membaca burdah, seperti pondok pesantren Sidogiri, oleh H Mahrus Ali dikecam sebagai agent of kekufuran dan bersiap-siap untuk masuk neraka dengan berbagai alasan dan beberapa literatur yang dikemukakan oleh H Mahrus Ali (lihat. Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik. hl. 54).
Kalau meminjam istilahnya Dr. Habib Mohammad Baharun, sekaligus sebagai pengantar dalam buku ini, burdah adalah gubahan syair-syair madah yang menyejukkan hati—bagaikan mata air jernih yang tidak pernah berhenti mengalir, membasahi seluruh daratan kering kemudian menjadi hijau (green nature).
Burdah karya Imam Al-Bushiri ini telah banyak diterjemahkan keberbagai bahasa dibelahan dunia, diantaranya adalah Negara Inggris, Jerman, Turki, Melayu, dan Indonesia yang kini hasil terjemahannya ada ditangan pembaca.
Bahkan para sastrawan dunia telah mengakui, bahwa burdah adalah salah satu bentuk karya puisi yang dalam kesusastraan Arab dikenal paling kuat dan bertahan, mudah dihafal, berbobot, kaya dengan estetik, romantik dan apik. Misalnya : amin tadzkuriji jirani bidzi salami—mazajta dam’an jara min muqlatin bidami (Apakah karena ingat tetangga, di negeri Dzi Salam sana-Engkau deraikan air mata bercampur darah duka?), amhayyatir-raiha min tilqai kadzimatin—wa aumadhal barqu fi dzuluma’I min idhami (Ataukah karena hembusan angin dari jalan kazhimah-Dan kilatan cahaya gulita malam dari kedalaman lembah Idham) hlm. 1-2.
Terbitnya buku ini tiada lain (hanya) untuk mempermudah pembaca memahami karya Imam Al-Bushiri yang sedang tenggelam dalam gubangan kecintaan beliau kepada utusan Allah, bukan berarti untuk mengkultuskan Nabi Muhammad sebagai Tuhan, penyelamat. Hakikat memuji Nabi Muhammad SAW bukanlah menganggap sebagai Tuhan, tetapi menyanjung sebagai manusia pilihan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an: “Kami tidak mengutus engkau (Hai Muhammad) keculai sebagai rahmat bagi alam semesta”. Disini terlihat karya Al-Bushri, seperti Abaana mauliduhu ‘an thibi ‘unshurihi—ya thibu mubtada’I minhu wa muhtatami (Kelahiran Rasulullah SAW, menampakkan kesucian dirinya-Alangkah harum titik mulanya, Alangkah harum titik akhirnya) hlm. 37.
Memang saking rendah diri (sikap tawadu’) yang dimiliki oleh Nabi Muhammad, beliau pernah suatu ketika menolak untuk dikultus-individukan berlebihan dalam pujian seperti umat-umat terhadulu yang memuji para utusan Tuhan. Kekhawatiran tersebut takut dikemudian hari menimbulkan seperti pengultusan yang dilakukan umat Nasrani dan Yahudi yang menempatkan para utusan sebagai makhluk yang sejajar dan memiliki kemiripan dengan Tuhan.
Khazanah burdah sekarang hampir mulai sepi di lingkungan masyarakat dan pondok pesantren, kecuali memang ada beberapa pondok pesantren yang masih tetap mempertahankan burdah, syair-syair, dan nazdam di lembaganya atau masyarakat yang masih menggalakkan kumpulan (jam’iyah) di perkampungan dengan terlebih dahulu dimulai dengan alunan burdah. Kalau beberapa tahun silam, jika tuan masuk pondok pesantren, mungkin tidak sepi dengan syair, nazdam, dan burdah. Kesemua itu, dahulu digunakan ketika akan memulai atau mengakhiri kegiatan proses belajar mengajar (ngaji) di pesantren.
Kini zamannya telah berubah, santri lebih senang dengan alunan lagu-lagu barat, seperti musik India, dangdut(an), pop, kroncongan dan lainnya, ketimbang lagu-lagu burdah, padahal kalau kita cermati terkadang tidak mengandung makna dan estetika sama-sekali. Semoga dengan hadirnya buku ini diruang pembaca, bisa menjadi jendela awal untuk (kita) dan tetap mempertahankan nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik demi kemajuan Agama (al-muhafadzatu ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah). Semoga!
Judul Buku : Burdah Imam Al-Bushiri: Kasidah Cinta dari Tepi Nil untuk Sang Nabi
Penyusun : Masykuri Abdurrahman
Editor : Ahmad Dairabi
Penerbit : Pustaka Sidogiri
Distributor : Khalista, Surabaya
Cetakan : I, Maret 2009
Tebal : xxx+122 Halaman