20 Maret, 2009

Arab Islam di Mata Adonis

Ach. Syaiful A'la
Islam bagi kelompok konservatif selalu identik dengan Arab. Islam itu Arab dan segala aktivitas Arab mencerminkan Islam. Sementara hingga kini pemikiran Arab-Islam selalu terdapat dua kubu yang saling bertentangan disemua lini. Yaitu kubu konservatif (ats-tsâbit) dan kubu progresif (al-mutahawwil). Tetapi kelompok konservatif jauh lebih dominan karena didukung penguasa, dibandingkan dengan kelompok progresif. Kelompok konservatif menganggap masa lalu sudah sempurna, selesai dan tidak perlu ditambah-tambah lagi.

Berbeda dengan kelompok progresif. Masa lalu bukan selesai, harus diteruskan dan diperjuangkan hingga mencapai kesempurnaan yang tidak pernah didapatkan : “al-muhafazhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidil al-ashlah” (mempertahankan kebaikan warisan masa lalu dan mengkreasi hal baru yang lebih baik).

Tetapi kelompok progresif selalu menjadi kelompok pinggiran yang kurang mendapat akses dalam kekusaan. Sehingga wacananya kurang dominan, tetapi selalu muncul membuat pertentangan. Dan itu berlaku untuk semua bidang ilmu pengetahuan dalam Islam. Mulai filsafat, teologi, hukum, kemudian khilafah (kekuasaan), puisi, kebudayaan, dan sebagainya.
Karena kelompok konservatif selalu dominan dalam sejarah, maka tidak heran kalau kebudayaan mereka kering dari kreatifitas. Dalam pandangan Adonis, kreatifitas merupakan hal paling penting dalam pengembangan kehidupan. Akhirnya, tidak bisa dipungkiri kalau kebudayaan mereka selalu gagab menghadapi kebuadayaan orang lain. Kegagapan ini lantas memunculkan kompleksitas secara psikologis yang tercermin pada dualisme dalam kehidupan yang tak terpecahkan.
Buku Ats-Tsâbit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-ibdâ’ wa al-Ittibâ’ inda al-Arab, secara harfiah bisa diterjemahkan dengan bahasa : “yang mapan (statis) dan yang berubah (dinamis), kajian atas kreatifitas dan konservatifitas menurut bangsa Arab” sebuah disertasi Adonis – panggilan akrabnya Ali Ahmad Said – untuk menempuh gelar doktornya di Universitas St. Joseph Bairut Lebanon.
Buku ini telah menimbulkan pelbagai perdebatan yang seringkali muncul dari kesalahpahaman, dan kadang bahkan lahir niat yang jahat. Tapi sayangnya, kebanyakan mereka yang mengkritik sama-sekali tidak menyentuh persoalan pemikiran yang mendasar dipelbagai persoalan yang dilontarkan Adonis.

Sastrawan Kontroversial
Adonis, dilahirkan di Qassabin, Suriah. Adonis belajar filsafat di Damascus University (Suriah) dan St Joseph University di Beirut (Lebanon). Setelah dipenjara selama enam bulan pada tahun 1955 karena aktivitasnya pada Syrian National Socialist Party, ia menetap di Lebanon pada 1956.
Ali Harb, melihat Adonis sebagai pencipta atau kreator, kritikus, pemikir dan bahkan “Nabi”. Tidak hanya itu, Adonis adalah seorang sastrawan terkenal. Ada yang bilang penyair/sastrawan kontroversial. Bahkan pimikiran-pemikirannya tentang kebudayaan Arab-Islam bisa difahami lewat karya-karya sastranya.
Baik sebagai penyair atau teoris puisi, Adonis juga sebagai pemikir dengan visi radikal untuk budaya Arab. Adonis telah memberikan pengaruh pada masanya dan juga pada para penyair Arab muda. Namanya menjadi padanan untuk modernisme (hadatha). Ia memberontak semua aturan dan juga keyakinan yang ada di sana. Puisi-puisinya terasa begitu mengejutkan dan menantang kebudayaan.
Melalui karyanya ini Adonis menyajikan pandangan-pandangan kritis terhadap sejumlah pemikir Arab kontemporer tentang isu-isu kebudayaan, warisan, sejarah, dan peran perempuan Arab yang akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian.
Adonis melihat mengapa upaya-upaya yang dilakukan Bangsa Arab untuk menjadi modern selalu gagal? Padahal, dibandingkan dengan negara-negara seperti Cina, Rusia, dan Jepang misalnya, Arab relatif lebih lama terlibat dalam kancah kemodernan, namun upaya-upaya tersebut acapkali berakhir tragis. Jika persoalannya adalah faktor budaya, bukankah Jepang yang merupakan negara industri terkemuka di dunia mampu melakukan modernisasi dengan tetap menjaga kebudayaannya?
Dalam kaca mata Adonis, persoalannya terletak pada kekeliruan dalam memahami sejarah. Sejarah bagi bangsa Arab cenderung dimaknai secara statis dan reaksioner ketimbang sebagai proses dialektika yang terus berlangsung mengikuti bahasa zaman. Lebih jauh ia mengatakan : “Kita (Arab) tidak melihat sejarah sebagai titik permulaan, tetapi sebagai batas akhir. Kita tidak melihatnya sebagai getah tumbuhan, tetapi sebagai cabang yang siap untuk tempat bergantung dan berayun.” Karena itu, menurut Adonis, satu-satunya jalan keluar bagi bangsa Arab saat ini adalah keharusan mengadaptasikan warisan Arab dengan era modern. Dengan begitu, ia optimis kelak Arab akan mampu meraih kemajuan yang genuine dan otentik.
Keprihatinan patut kita alamatkan pada negeri Arab dan dunia Islam secara umum. Betapa tidak? Arab yang merupakan tempat persemaian salah satu budaya terbesar dunia, akhirnya harus berhadapan dengan pilihan yang cukup sulit dan dilematis : Menerima budaya luar (Barat) yang sekuler, liberal, dan progresif, atau tetap setia pada tradisi Islam klasik. Yang menarik, persoalan ini telah mengundang perdebatan hangat di antara sejumlah pemikir Arab kontemporer.
Berangkat dari rasa ketidakpuasan melihat keterpurukan dan keterbelakangan masyarakat Arab dewasa ini sebagai akibat dari sistem budaya dan pola pikir yang berorientasi ke masa lampau (atavisme). Adonis, telah menawarkan agenda-agenda pembaharuan, dekonstruksi, bahkan perubahan radikal kebudayaan Arab sehingga mampu merespons kebutuhan-kebutuhan modern.
Dalam konteks Indonesia, tentu kajian ini sangat penting. Apalagi selama ini Arab dengan Islam acapkali diidentikkan, meski sebenarnya tak seidentik itu. Karena Arab adalah kebudayaan lokal dan partikular, yang dibentuk oleh ruang dan waktu, sementara Islam adalah ajaran yang diyakini secara universal. Karena itulah, barangkali kehadiran buku ini patut kita sambut gembira. Karena minimal karya ini akan sangat membantu kita dalam memahami modernitas dan kaitannya dengan budaya, khususnya Islam sebagai “way of life” mayoritas masyarakat negeri ini.
Mungkin bagi sebagian orang, buku terjemahan barangkali dianggap amat menyebalkan, karena bahasanya cendrung kaku, kurang melokal, tidak komunikatif dan sebagainya. Apalagi pemikiran Adonis (kata banyak orang) bahasa sangat berat. Ternyata buku Ats-Tsâbit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-ibdâ’ wa al-Ittibâ’ inda al-Arab : Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, diterjemahkan seapik mungkin, melokal, segar, sehingga menjadi mudah memahami pemikiran-pemikiran Adonis serta karya sastranya.
Data Buku
Judul Asli : Ats-Tsâbit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-ibdâ’ wa al-Ittibâ’ inda  
  al-Arab
Judul Buku : Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam
Penerjemah : Khoirun Nahdiyyin
Editor : M Faisol Fatawi
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, September 2007
Tebal : 4 Eksemplar