Oleh : Ach. Syaiful A’la*
“Prestasi yang besar sesungguhnya merupakan hasil dari melakukan hal-hal yang kecil dengan baik ”
Sore itu (24/2/09), Saya telepon-teleponan dengan salah satu staf redaksi Qulbun. Diakhir pembicaraan, tiba-tiba Saya diminta untuk ngisi tulisan di rubrik Fokus disana. Tema yang disajikan pada Saya “Bagaimana Jika Ilmu Tanpa Barokah?” Waktu itu, Saya langsung jadi teringat dauh (pesan) al-alim al-allamah (alm) KH. A. Zubairi Marzuqi, pengasuh Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin Gapura Timur, ketika itu Saya pernah sowan kira-kira kurang lebih satu bulan sebelum menjelang kepergian beliau menghadap Sang Khaliq. Pesannya begini: “Kalau kamu terus melanjutkan kuliah habis ngabdi nanti, jangan hanya minta pintar kepada Allah, tapi mintalah pula ilmu yang bermamfaat alias barokah”.
Kata “barokah” mungkin sudah tidak asing lagi bagi telinga orang Indonesia, apalagi yang pernah hidup di lingkungan pondok pesantren, meskipun aslinya bahasa itu berasal bahasa Arab. Bahkan bagi tuan jika rajin blusukan nyari makan ke warung-warung, sering bolak-balik ke warnet, atau yang tidak henti-hentinya ngisi pulsa ke konter, biasanya didepan bertulis nama warung, warnet atau konter (cell) “barokah”. Sungguh satu kata yang memiliki daya jual yang tinggi.
Secara sederhana barokah adalah kebaikan yang banyak atau kebaikan yang tetap dan tidak hilang dan barokah hanya berasal dari Allah (tidak dari orang-orang yang telah meninggal dunia) dan barokah diberikan Allah kepada hamba atau sesuatu makhluk yang dikehendaki-Nya. Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang menjelaskan masalah barokah atau dengan istilah yang lain, yakni hikmah. Misalnya: Qs. 2:129, Qs. 2:151, Qs. 2:231, Qs. 2:251, Qs. 2:269, Qs. 3:48, Qs. 3:79, Qs. 3:81, Qs. 3:164, Qs. 4:54, Qs. 4:113, Qs. 5:110, Qs. 6:89, Qs. 12:22, Qs. 16:125, Qs. 17:1, Qs. 17:39, Qs. 21:74, Qs. 21:79, Qs. 26:21, Qs. 26:83, Qs. 28:14, Qs. 31:12, Qs. 33:34, Qs. 38:20, Qs. 43:63, Qs. 45:16, Qs. 54:5, Qs. 62:2.
Pembahasan mengenai barokah, memang belum ada dalam kitab secara khusus yang langsung membahas tentang barokah itu sendiri, kalaupun ada itupun cuma pemahaman-pemahaman atau pendapat para ulama saja tentang barokah. Secara ta’rif barokah itu bias diartikan qoliilan-qoliilan-qoliilan fa katsiiran (sedikit-sedikit-sedikit kemudian menjadi banyak). Seingat penulis ketika pernah ngaji ke Pak kiai (alm, KH. A. Zubairi Marzuqi) di pondok pesantren, minimal harus memenuhi tiga ciri dibawah ini bahwa sesuatu itu (ilmu, rejeki dan lainnya) dikatakan barokah, diantaranya:
Pertama, bermanfaat bagi banyak makhluk yang lain, misalnya Allah memberikan keistimewaan pada Al-Qur’an, yaitu barangsiapa yang membaca, memahami maknanya dan mengamalkan isinya, maka akan mendapat barokah dari Allah sesuai dengan kehendak-Nya. Atau Allah memberikan barokah kepada hambanya yang sholeh berupa ilmu pengetahuan sehingga bisa memberi pengajaran (pendidikan) kepada masyarakat.
Biasanya yang demikian itu, ditelinga kita lebih akrap dengan istilah karomah (keramat, jawa). Contoh lain, kalau tuan sering mendengarkan berita atau yang tekun membaca surat kabar, tidak lama ini ada Ponari, si dukun tiban cilik dari Jombang. Itulah sebuah bukti barokah (hikmah) yang diberikan Allah kepada hambanya dengan melalui perantara sebuah batu, atau Allah memberikan suatu kekuatan pada benda (batu) sehingga bisa menyembuhkan ratusan bahkan ribuan pasein setiap harinya.
Kedua, tidak berkurang manakala dimanfaatkan. Mungkin ketika tuan ingin berangkat mencari ilmu ke pondok pesantren atau yang mau kuliah kemana saja, orang tua tuan biasanya pula mengucapkan demikian “Semoga ilmu yang kamu pelajari berkah ya cong” . Maksud dari ucapan orang tua itu adalah semoga ilmu yang tuan pelajari itu diberi kebaikan oleh Allah, baik bagi tuan sendiri ataupun bagi orang lain. Semisal, orang lain bisa mengambil manfaat banyak dari ilmu tuan atau dengan ilmu tersebut tuan bisa banyak membantu orang lain atau meringankan masalah yang sedang dihadapi oleh orang lain yang ada disekitar tuan.
Ketiga, jumlahnya bertambah manakala dimanfaatkan. Jika ada seseorang mengucapkan demikian kepada anda “semoga Allah selalu memberkahimu” maka maksud dari ucapan tsb adalah semoga Allah selalu mendatangkan kebaikan bagi anda. Entah itu anda dicintai banyak orang, anda memperoleh rezeki yang halal, anda menjadi orang yang sabar, anda mempunyai ucapan lisan yang baik, anda istiqomah dalam mejalankan islam, anda mendapatkan pekerjaan yang baik dan segala bentuk kebaikan-kebaikan lain yang jumlahnya tak terhitung.
Ilmu (yang) Barokah
Pribahasa Arab mengatakan: al-ilmu bila amalin ka-assyajarati bila tsamarin (ilmu yang tidak diamalkan, bagaikan pohon yang tidak berbuah. Alias tidak bisa memberikan mamfaat kepada orang lain (tidak barokah). Pertanyaan kemudian, bagaimana kalau ilmu itu tanpa barokah?
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendeskripsikan bagaimana seseorang mendapatkan barokah, karena untuk sampai kesana banyak sekali cara (thariqah) yang dilakukan oleh seseorang (baca:santri). Berbicara mengenai topik barokah adalah sesuatu yang abstrak. Karena ada orang yang tidak pernah belajar kemudian pintar dengan sebab ngabdi ke kiai, mengerjakan apa yang menjadi pekerjaan kiai setiap harinya dengan ikhlash. Atau ada pula santri yang sering melakukan puasa atau rajin ngaji kemudian menjadi pandai, padahal secara akademis tidak ada hubungan antara puasa dengan pintar dan tidak bisa diajarkan kepada orang lain. Tetapi disini jelas bahwa barokah itu dipengaruhi oleh pengetahuan (pendidikan) seseorang dan datang dari belajar (ta’allum). Barokah bukan pula ladunni.
Ilmu tanpa barokah itu hanya sekedar wacana saja. Artinya ilmu dikatakan barokah ketika ia bisa mengaplikan dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang mafhum dan mengetahi banyak tentang shalat, tapi tidak memperaktekan/tidak mendirikan shalat, hemat penulis ilmu itu adalah ilmu tidak barokah. Sesuatu yang tidak diperaktekkan itu namanya tidak barokah. Karena itu, keilmuan prioritasnya pada pengamalannya, bukan pada kealimannya. Kalau tolak ukur (standar) barokah adalah kealimannya seseorang, maka syetan itu saya pikir adalah mahkluk yang alim, cerdas, dan pandai strategi.
Mungkin kalau (barokah) disajikan pada kajian liberal, kelompok yang selalu mengedepan rasio, “barokah” itu sudah dianggap tidak ada, karena tidak tampak alias abstrak. Tapi sebenarnya kalau mau jujur, bahwa keilmuan mereka telah barokah, karena ia bisa mengamalkan, memperatekkan, dan mampu mewacanakan ilmu yang didapat, selama tetap dalam rel atau rambu-rambu yang telah ditentukan oleh Agama. Semoga barokah!
*Alumnus PP. Nasy’atul Muta’allimin (NASA) Gapura Timur, kini melanjutkan studi di Fakultas Tarbiyah Kesukaan Manajemen Pendidikan Islam (MPI) IAIN Sunan Ampel Surabaya.
“Prestasi yang besar sesungguhnya merupakan hasil dari melakukan hal-hal yang kecil dengan baik ”
Sore itu (24/2/09), Saya telepon-teleponan dengan salah satu staf redaksi Qulbun. Diakhir pembicaraan, tiba-tiba Saya diminta untuk ngisi tulisan di rubrik Fokus disana. Tema yang disajikan pada Saya “Bagaimana Jika Ilmu Tanpa Barokah?” Waktu itu, Saya langsung jadi teringat dauh (pesan) al-alim al-allamah (alm) KH. A. Zubairi Marzuqi, pengasuh Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin Gapura Timur, ketika itu Saya pernah sowan kira-kira kurang lebih satu bulan sebelum menjelang kepergian beliau menghadap Sang Khaliq. Pesannya begini: “Kalau kamu terus melanjutkan kuliah habis ngabdi nanti, jangan hanya minta pintar kepada Allah, tapi mintalah pula ilmu yang bermamfaat alias barokah”.
Kata “barokah” mungkin sudah tidak asing lagi bagi telinga orang Indonesia, apalagi yang pernah hidup di lingkungan pondok pesantren, meskipun aslinya bahasa itu berasal bahasa Arab. Bahkan bagi tuan jika rajin blusukan nyari makan ke warung-warung, sering bolak-balik ke warnet, atau yang tidak henti-hentinya ngisi pulsa ke konter, biasanya didepan bertulis nama warung, warnet atau konter (cell) “barokah”. Sungguh satu kata yang memiliki daya jual yang tinggi.
Secara sederhana barokah adalah kebaikan yang banyak atau kebaikan yang tetap dan tidak hilang dan barokah hanya berasal dari Allah (tidak dari orang-orang yang telah meninggal dunia) dan barokah diberikan Allah kepada hamba atau sesuatu makhluk yang dikehendaki-Nya. Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang menjelaskan masalah barokah atau dengan istilah yang lain, yakni hikmah. Misalnya: Qs. 2:129, Qs. 2:151, Qs. 2:231, Qs. 2:251, Qs. 2:269, Qs. 3:48, Qs. 3:79, Qs. 3:81, Qs. 3:164, Qs. 4:54, Qs. 4:113, Qs. 5:110, Qs. 6:89, Qs. 12:22, Qs. 16:125, Qs. 17:1, Qs. 17:39, Qs. 21:74, Qs. 21:79, Qs. 26:21, Qs. 26:83, Qs. 28:14, Qs. 31:12, Qs. 33:34, Qs. 38:20, Qs. 43:63, Qs. 45:16, Qs. 54:5, Qs. 62:2.
Pembahasan mengenai barokah, memang belum ada dalam kitab secara khusus yang langsung membahas tentang barokah itu sendiri, kalaupun ada itupun cuma pemahaman-pemahaman atau pendapat para ulama saja tentang barokah. Secara ta’rif barokah itu bias diartikan qoliilan-qoliilan-qoliilan fa katsiiran (sedikit-sedikit-sedikit kemudian menjadi banyak). Seingat penulis ketika pernah ngaji ke Pak kiai (alm, KH. A. Zubairi Marzuqi) di pondok pesantren, minimal harus memenuhi tiga ciri dibawah ini bahwa sesuatu itu (ilmu, rejeki dan lainnya) dikatakan barokah, diantaranya:
Pertama, bermanfaat bagi banyak makhluk yang lain, misalnya Allah memberikan keistimewaan pada Al-Qur’an, yaitu barangsiapa yang membaca, memahami maknanya dan mengamalkan isinya, maka akan mendapat barokah dari Allah sesuai dengan kehendak-Nya. Atau Allah memberikan barokah kepada hambanya yang sholeh berupa ilmu pengetahuan sehingga bisa memberi pengajaran (pendidikan) kepada masyarakat.
Biasanya yang demikian itu, ditelinga kita lebih akrap dengan istilah karomah (keramat, jawa). Contoh lain, kalau tuan sering mendengarkan berita atau yang tekun membaca surat kabar, tidak lama ini ada Ponari, si dukun tiban cilik dari Jombang. Itulah sebuah bukti barokah (hikmah) yang diberikan Allah kepada hambanya dengan melalui perantara sebuah batu, atau Allah memberikan suatu kekuatan pada benda (batu) sehingga bisa menyembuhkan ratusan bahkan ribuan pasein setiap harinya.
Kedua, tidak berkurang manakala dimanfaatkan. Mungkin ketika tuan ingin berangkat mencari ilmu ke pondok pesantren atau yang mau kuliah kemana saja, orang tua tuan biasanya pula mengucapkan demikian “Semoga ilmu yang kamu pelajari berkah ya cong” . Maksud dari ucapan orang tua itu adalah semoga ilmu yang tuan pelajari itu diberi kebaikan oleh Allah, baik bagi tuan sendiri ataupun bagi orang lain. Semisal, orang lain bisa mengambil manfaat banyak dari ilmu tuan atau dengan ilmu tersebut tuan bisa banyak membantu orang lain atau meringankan masalah yang sedang dihadapi oleh orang lain yang ada disekitar tuan.
Ketiga, jumlahnya bertambah manakala dimanfaatkan. Jika ada seseorang mengucapkan demikian kepada anda “semoga Allah selalu memberkahimu” maka maksud dari ucapan tsb adalah semoga Allah selalu mendatangkan kebaikan bagi anda. Entah itu anda dicintai banyak orang, anda memperoleh rezeki yang halal, anda menjadi orang yang sabar, anda mempunyai ucapan lisan yang baik, anda istiqomah dalam mejalankan islam, anda mendapatkan pekerjaan yang baik dan segala bentuk kebaikan-kebaikan lain yang jumlahnya tak terhitung.
Ilmu (yang) Barokah
Pribahasa Arab mengatakan: al-ilmu bila amalin ka-assyajarati bila tsamarin (ilmu yang tidak diamalkan, bagaikan pohon yang tidak berbuah. Alias tidak bisa memberikan mamfaat kepada orang lain (tidak barokah). Pertanyaan kemudian, bagaimana kalau ilmu itu tanpa barokah?
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendeskripsikan bagaimana seseorang mendapatkan barokah, karena untuk sampai kesana banyak sekali cara (thariqah) yang dilakukan oleh seseorang (baca:santri). Berbicara mengenai topik barokah adalah sesuatu yang abstrak. Karena ada orang yang tidak pernah belajar kemudian pintar dengan sebab ngabdi ke kiai, mengerjakan apa yang menjadi pekerjaan kiai setiap harinya dengan ikhlash. Atau ada pula santri yang sering melakukan puasa atau rajin ngaji kemudian menjadi pandai, padahal secara akademis tidak ada hubungan antara puasa dengan pintar dan tidak bisa diajarkan kepada orang lain. Tetapi disini jelas bahwa barokah itu dipengaruhi oleh pengetahuan (pendidikan) seseorang dan datang dari belajar (ta’allum). Barokah bukan pula ladunni.
Ilmu tanpa barokah itu hanya sekedar wacana saja. Artinya ilmu dikatakan barokah ketika ia bisa mengaplikan dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang mafhum dan mengetahi banyak tentang shalat, tapi tidak memperaktekan/tidak mendirikan shalat, hemat penulis ilmu itu adalah ilmu tidak barokah. Sesuatu yang tidak diperaktekkan itu namanya tidak barokah. Karena itu, keilmuan prioritasnya pada pengamalannya, bukan pada kealimannya. Kalau tolak ukur (standar) barokah adalah kealimannya seseorang, maka syetan itu saya pikir adalah mahkluk yang alim, cerdas, dan pandai strategi.
Mungkin kalau (barokah) disajikan pada kajian liberal, kelompok yang selalu mengedepan rasio, “barokah” itu sudah dianggap tidak ada, karena tidak tampak alias abstrak. Tapi sebenarnya kalau mau jujur, bahwa keilmuan mereka telah barokah, karena ia bisa mengamalkan, memperatekkan, dan mampu mewacanakan ilmu yang didapat, selama tetap dalam rel atau rambu-rambu yang telah ditentukan oleh Agama. Semoga barokah!
*Alumnus PP. Nasy’atul Muta’allimin (NASA) Gapura Timur, kini melanjutkan studi di Fakultas Tarbiyah Kesukaan Manajemen Pendidikan Islam (MPI) IAIN Sunan Ampel Surabaya.