03 November, 2008

Siapa (Layak) Mimpin Jawa Timur?

Oleh : Ach. Syaiful A’la*

Pergulatan politik di Jawa Timur tentunya menjadi baromiter perpolitikan secara nasional. Contohnya pilgub yang hingga kini banyak menyita perhatian orang. Bahkan jauh sebelumnya ketika masih masing-masing partai politik mengadakan tahap penjaringan terhadap para kader yang akan diusung dalam pilgub Jawa Timur. Berbagai media cetak lokal maupun nasional menyediakan kolom khusus tentang panggung politik pilkada Jawa Timur.

Yang demikian itu wajar dan sah-sah saja, karena kalau kita tilik dari beberapa tokoh politik nasional dan beberapa menculnya partai politik banyak lahir dari rahim propinsi Jawa Timur. Banyak partai tumbuh dan subur di Jawa Timur. Menjadi benar jika seseorang mengatakan : tidak enak makan itu tanpa garam. Artinya “Indonesia tidak lengkap tanpa Jawa Timur”.

Ini terbukti setelah masing-masing pasangan calon gubernur dan wakil gubernur mendeklarasikan maju (siap) bertarung untuk memperebutkan kursi gubernur. Misalnya deklarasi pertama kali yang dilakukan oleh pasangan Soekarwo – Saifullah Yusuf (karsa) dihadiri oleh Suetrisno Bakhir, Pramono Agung dan beberapa kiai sepuh, pasangan Soenarjo – Ali Maschan Moesa (salam) dihadiri Agung Laksono, Chairul Anam (PKNU) dan beberapa kiai serta beberapa pengurus NU cabang, Sujibto – Ridwan Hisyam (sr) dihadiri oleh Megawati Soekarno Putri, Achmady – Suhartono (achsan) dihadiri oleh KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Khafifah Indar Parawanshah – Mojiyono (ka-ji) di hadiri oleh Suryadharma Ali, jamaah muslimat NU dan beberapa tokoh 12 partai politik pendudukungnya.

Dari kelima pasangan calon diatas, visi dan missi yang mereka buat semuanya baik, masuk akal, rasional, realistis, kongkrit dan tujuannya hanya (demi) untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat Jawa Timur.

Jawa Timur yang Sejuk
Rabu, 23 Juli 2008 pemilihan gubernur Jawa Timur putaran pertama telah selesai dilaksanakan tanpa anarkis. Sepatutnya kita bersyukur karena sampai saat ini propinsi Jatim masih terkenal dengan propinsi yang sejuk, plural, demokratis dan rasa kebersamaan yang begitu tinggi. Dan proses demokrasi di Jawa Timur pada waktu itu benar-benar diuji dan hasilnya berjalan baik. Walaupun masih (tetap) ada beberapa kejanggalan (pelanggaran) yang dilakukan oleh beberapa pasangan calon dan tim sukses para calon pada waktu sebelum hari pemilihan atau saat pemilihan berlangsung (baca:panwas).

Berdasarkan ketetapan komisi pemilihan umum (KPU) bahwa syarat untuk memenangkan pemilihan kapala daerah putaran pertama minimal harus mencapai 30 % suara. Berhubung dari kelima pasangan calon tidak ada yang sampai 30 % suara. KarSa 4.498.332 (26,43%), Ka-Ji 4.223.089 (24,82), SR 3.605.106 (21,18%), Salam 3.290.448 (19,34%), Achsan 1.397.291 (8,21%), KPU akhirnya memutuskan untuk diadakan pemilihan ulang putaran kedua. Maka dua pasangan terbanyak ditetapkan sebagai calon gubernur dan wakil gubernur maju pada putaran kedua, yaitu pasangan Khafifah Indar Parawansyah – Mojiyono (ka-ji) dan pasangan Soekarwo – Saifullah Yusuf (karsa).

Putaran kedua ini tentunya adalah babak “final” bagi kedua calon utuk memperebutkan kursi Jatim. Suasana politik pun jauh lebih semarak dibandingkan dengan putaran pertama. Beberapa tokoh lokal maupun nasional mulai angkat bicara memberikan dukungan politik. Bahkan beberapa organisasi, kiai dan ulama dari pondok pesantren mulai turun gunung untuk mengkampanyekan dukungannya kepada salah satu calon. Ironisnya, dalam acara-acara tertentu, terkadang mereka tidak segan-segan memberikan fatwa, tausiyah, mengajak, atau meghimbau untuk memilih salah satu calon. Bagi masyarakat awam yang panatik langsung meng(ia)kan hal tersebut, karena sudah pilihan kiai dan dianggap benar. Bagi pemilih yang berpengalaman biasanya cendrung mempunyai pilihan sendiri, ia lebih melihat track record para calon terlebih dahulu dan tidak terpengaruh dengan tindakan semacam itu.

Yang Layak Mimpin
Bapak Andi Samit, seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta, memberikan pandangan kepada kita. Walaupun sebenarnya masyarakat telah mempunyai kecendrungan (menu) sendiri siapa yang akan dipilih nantinya. Kata Andi Samit, minimal calon yang harus dipilih mempunyai tiga “kepastian”. Dan tiga point ini sudah bisa dibaca pada track record masing-masing calon.

Pertama, kepastian berusaha. Melakukan suatu tindakan kongkrit bagi gubernur adalah langkah strategis yang pasti dan yang demikian itu suatu tindakan paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat Jawa Timur nanti. Karena kalau janji kampanye hanya sekedar janji-janji belaka dan hanya dijadikan alat untuk masyarakat bisa antivatif dan memberikan dukungan suara, taruhannya bukan hanya kredibilitas pemimpin itu. Walhasil, proses demokrasi di Jawa Timur akan ditolak mentah-mentah oleh masyarakat.

Kedua, kepastian pembangunan. Salah satu wujud kongkrit dari kepastian berusaha pada paragrap sebelumnya, adalah adanya pertumbuhan pembangunan di segala sektor. Misalnya pembangunan ekonomi, politik, sosial, pendidikan, budaya, kesehatan, pertanian yang selama ini di Jawa Timur masih terlihat lemah. Di berbagai media masyarakat selalu disuguhi tentang tinggginya angka kemiskinan, mahalnya biaya pengobatan, mahalnya biaya pendidikan, pengangguran dimana-mana, biaya pupuk tani mahal dan lain sebagainya. Hemat penulis, ini adalah PR untuk calon yang menang dalam pemilihan gubernur nanti.

Ketiga, kepastian keamanan. Keamanan merupakan sesuatu yang “vital” dalam Negara. Hal ini terkait dengan adanya proses pembangunan di Jawa Timur. Disamping itu juga, Jawa Timur mempunyai sumber alam yang berlimpah ruah yang harus dibentengi dan dilindungi, baik bersumber dari daratan dan lautan. Kalau propinsi keamanan terjamin, banyak para investor betah menanamkan modalnya di Jawa Timur. Sehingga Jawa Timur (harapan kita semua tentunya) menjadi propinsi yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur sebuah propinsi yang makmur, sejahtera dan diridhai oleh-Nya. Semoga!

*Aktif di Lembaga Kajian Survey Nusantara (LAKSNU) & Ketua Pengurus Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya. HP. 081703039434

Tidak ada komentar: