04 November, 2008

Falsafah “Sarung” Untuk Indonesia

Judul Buku : Sarung & Demokrasi : dari NU Untuk Peradaban Keindonesiaan
Penulis : Abu Dzarrin al-Hamidy, at all
Pengantar : KH Miftahul Akhyar
Penerbit : Khalista, Surabaya
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : xiv+288 Halaman
Peresensi : Ach Syaiful A'la*

Kalau kita mendengarkan kata sarung, secara otomatis di benak kita akan teringat selembar kain yang biasa dipakai kaum muslimin Indonesia untuk mengerjakan shalat, atau minimal yang dipakai oleh para tetangga bersiskampling. Sarung mungkin sudah pekat dengan kehidupan kita sehari hari, hampir bisa dipastikan rakyat Indonesia sebagian besar telah memilikinya, baik itu masih anak anak sampai tuah rentah, terutama kaum prianya.

Dalam kaitannya dengan ini (NU untuk Indonesia), penulis tidak akan membahas asal-muasal terciptanya sarung, namun akan membahas makna filosofis yang terkandung dalam sarung sebagai identitas kaum nahdhiyyin untuk peradaban keindonesiaan.
Terkadang, hanya dengan sarung hidup manusia bisa survival untuk mempertahankan hidup, walau dilepas di tengah hutan sekalipun. Karena dengan sarung kita bisa menggunakan sesuai dengan kebutuhan kita, untuk menjala ikan, memanjat pojon kelapa, bahkan untuk melampung ketika akan berenang.

NU & Negara
Kini, NU sudah dalam usianya yang ke-82. Usia ini bukanlah waktu yang cukup sebentar. Tapi, melalui beberapa dekade panjang yang dilalui dari proses berdirinya hingga masa-masa perjuangannya.

Latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran kaum modernitas Islam atas situasi politik dunia Islam. Berawal dari pemikiran Syeikh Muhammad Abduh di Mesir, sedangkan di Arab terdapat gerakan wahabi yang dipelopori Abdul Wahab, dengan tujuan untuk memurnikan ajaran Islam.

Gerakan ini ingin memacu perkembangan Islam agar dapat menghadapi perubahan zaman, akibat modernisasi dengan berdasarkan pada Al-Qur'an dan Hadits. “Kalau umat Islam ingin maju lagi, harus kembali pada Islam sejati, sebagaimana diperaktekkan di zaman Nabi.” Demikian semboyan golongan pembaharuan. Di kalangan ulama salaf pesantren, yang tetap berpegang pada empat madzhab (Maliki, Syafi'ei, Hanafi dan Hambali) dalam menjalankan syari'ah Islam, membentuk sebuah komite dipimpin KH Wahab Chasbullah.
Melihat NU kebelakang, pasti akan membuat orang merasa salut atas sumbangsih yang telag diberikannya untuk bangsa Indonesia. Betapa tidak? KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahid Hasyim dengan Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI)-nya, memberikan dukungan kepada Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dalam aksi menuntut "Indonesia Berparlemen". Ketika itu pula para tokoh NU turut aktif dalam Badan Penyelidikan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUKI) serta Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam konteks ini tidak heran jika KH Wahid Hasyim kemudian dipilih sebagai salah satu anggota "Panitia Sembilan" yang merumuskan "Piagama Jakarta", hingga akhirnya menjadi Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Dalam mempertahankan kemerdekaan, saat masih terjadi upaya perebutan kembali Indonesia oleh kolonial, NU mengeluarkan Resolusi Jihad. Dalam keputusan tersebut NU memandang bahwa kemerdekaan RI harus dipertahankan. Pengaruh resolusi itu sangat terasa sehingga meletuskan peristiwa heroik 10 November 1945 dan kemudian diperingati secar nasional menjadi Hari Pahlawan.

Lebih dari itu, keputusan spektakuler dalam Munas Alim Ulama NU (1983) dan Muktamar NU ke-27 di Situbondo. Ketika itu (1984) dengan "berani" NU menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas, mendahului organisasi masyarakat manapun di Indonesia. Bahkan KH Achmad Shiddiq sebagai Rais Aam menyatakan bahwa Negara Pancasila adalah bentuk final dari upaya umat Islam mendirikan Negara. Selanjutnya, siapa saja yang mengganggu eksistensi negara Pancasila, harus berhadapan dengan Nahdlatul Ulama.

Belum lagi peristiwa-peristiwa muataakhir dalam percaturan politik nasional lainnya. Sungguh, tidak kecil apa yang disumbangkan oleh organisasi 'bintang sembilan' ini.
Buku ini mengetengahkan kembali agenda besar dan sesuatu dan yang ingin diraih NU. Misalnya peran NU dalam bidang pendidikan (LP Ma’arif), politik (kebangsaan), sosial (pembelaan terhadap kaum dua’fa), hukum (fiqh) & HAM, gender (muslimat), budaya, dan ekonomi. Juga buku ini menegaskan bahwa cita-cita NU tidak berbeda dari cita-cita Indonesia. Sehingga buku ini penting dimiliki oleh kiai, santri, warga nahdliyyin, akademisi, politisi NU agar mengaca dan semakin sadar bahwa memang masih banyak yang harus dibenai dalam tubuh NU.

Sebuah buku yang baik seharusnya harus lengkap ketika menulis tentang peran NU dalam peradaban keindonesiaan. Hanya saja dalam penulisan buku ini ada yang terlupakan. Sangat sepi pembahasan tentang peran NU dalam bidang ekonomi. Padahal jauh sebelum berdirinya (1926), NU mempunyai peran penting dalam masalah persoalan ekonomi yang dimotori oleh KH Hasyim Asy’ari dan beberapa tokoh NU lainnya yang dikenal dengan sebuah organisasi Nahdlatut Tujjar (kebangkitan para saudagar/pengusaha).

*Aktif di Forum Komunitas Penulis dan Penerbit Pesantren (FKP3) LTN-NU Jawa Timur. email. achsyaiful@yahoo.com

Tidak ada komentar: