Judul Buku : Islam Tradisional; Antara Realitas Sosial & Realitas Politik
Penulis : Dr. Ali Maschan Moesa, M. Si.
Penerbit : Jenggala Pustaka, Kediri
Cetakan : I, September 2008
Tebal : viii+199 Halaman
Peresensi : Ach. Syaiful A'la*
Pluralisme agama menghadapkan kita pada dua tantangan sekaligus, yakni teologis dan sosiologis. Secara teologis, kita dihadapkan pada tantangan iman: bagaimana mendefinisikan iman kita ditengah keragaman iman yang lainnya? Begitu pula secara sosiologis, kitapun dihadapkan pada sejumlah fakta sosial: bagaimanakah hubungan antar umat beragama, lebih khusus lagi hubungan antar iman ditengah pluralisme agama?
Fakta sosial secara jelas menyadarkan kita bahwasannya pluralisme agama belumlah berkorelasi positif dengan harmoni agama. Justru fakta berbicara sebaliknya: pluralisme agama seringkali menjadi pemicu konflik sosial dan sentimen keagamaan. Mengapa demikian? Banyak faktor yang bisa menjelaskan. Salah satunya adalah masih kuatnya “hambatan teologis” di kalangan umat beragama untuk menerima kehadiran pluralisme agama sebagai hukum Tuhan. Maka, alih-alih bersikap toleran, inklusif, dan pluralis, umat beragama justru semakin mengeras kearah sikap intoleran, eksklusif dan cenderung antipluralisme. Untuk itu, agenda awal kita adalah bagaimana memecahkan “hambatan teologis” dikalangan umat beragama dalam menerima kehadiran pluralisme sebagai hukum Tuhan.
Pluralisme di Indonesia kalau meminjam bahasanya Zuhairi Misrawi dalam bukunya yang berjudul Al-Qur’an Kitab Toleransi merupakan upaya mencari titik temu (kalimatun sawa’) untuk membangun komitmen bersama diantara berbagai perbedaaan dan keragaman komitmen. Kalaupun hal tersebut (jujur saja) bukanlah hal yang mudah.
Umat Islam Indonesia hingga kini tetap menjadi baromiter dan merupakan negara yang banyak dijadikan acuan karena dianggap berhasil memenej kemajemukan yang ada.
Bagaimana seharusnya hidup ditengah perbedaan yang ada?
Terkadang kalau kita amati, salah satu bentuk keberagaman yang memunculkan konflik memang keberagaman agama itu sendiri. Bahkan dalam berbagai konflik fenominal saat ini banyak yang mengatasnamakan agama, sehingga menjadi sulit untuk penyelesaikannya. Hal ini karena melibatkan agama pada setiap konflik yang pada akhirnya pasti mengikutsertakan pendasaran teologis untuk melegitimasinya. Setiap konflik (agama) akhirnya menjadi sah karena seolah-olah ajaran (agama) membenarkannya. Sehingga agama mengalami pereduksian fungsi utamanya karena digunakan untuk bersembunyi bagi tindak kekerasan atas namanya agama.
Melihat fenomena tersebut, melalui buku Islam Tradisional; Realitas dan Realitas Politik ini, Mas Ali Maschan Moesa mencoba mengajak untuk memperkenalkan kembali tentang Islam tradisional, islam rahmatan lil alamin yang pernah dipertontonkan oleh (wali songo) penyebar agama Islam di tanah Jawa. Sesuai dengan namanya bahwa Islam adalah agama “penyelamat” bukan (hanya) “selamat” bagi orang-orang masuk ke dalamnya. Mari kita mulai dari asal katanya saja, “Islam” berasal dari kalimat “aslama” – “yuslimu” – “islaman” (dari gramatika arab kata islaman berarti mempunyai kedudukan sebagai “masdar”) yang artinya “menyelamatkan” bukan dari kata “salima” yang artinya “selamat”. Hal ini bisa dibuktikan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin, artinya untuk seluruh alam (manusia dan lingkungan) bukan hanya rahmatan lil al-nas dan lainnya.
Disamping itu juga Islam adalah agama dakwah, yaitu agama yang mengamanatkan kepada umatnya untuk mengkomunikasikan Islam kepada seluruh komunitas manusia (al furuq baina al-basyar). Usaha untuk menyebarluaskan Islam, begitu pula merealisir ajarannya ditengah-tengah kehidupan manusia adalah usaha dakwah, yang dalam keadaan bagaimanapun haus diaplikasikan oleh manusia. Tentunya dakwah yang dimaksud adalah dengan metoda bil hikmah wa mauidatul al hasanah.
Wali Songo sejak dulu telah memperkenalkan dakwah Islam tersebut di tanah air. Hasilnya sungguh menakjubkan. Apa itu? Masyarakat yang awalnya manganut anisme dan dinamisme, berubah 90 % menjadi muslim. Namun beberapa akhir ini Islam ala Wali Songo mulai dipersoalkan banyak kalangan. Artinya apa? Bahwa Wali Songo sebenarnya pada waktu itu sudah memperkenalkan watak pluralisme dalam keberagamaan (hal. 37).
Tidak seperti inkulusivisme, pluralisme manawarkan sesuatu yang baru. Pluralisme oleh banyak kalangan dianggap sebagai tahapan lanjutan dari inklusivisme. Dalam pandangan Islam tradisional, pluralisme bukan merupakan sesuatu yang baru. Karena nilai-nilai pluralisme sejak dulu tidak pertentangan dengan nilai-nilai Islam tradisional. Karena dalam perkembangannya, Islam sangat tidak pantas kalau dianggap agama yang tidak menghendaki kemajemukan (eksklusif). Sejak dulu Islam telah mengenal sebuah dalil yang biasa di pakai oleh Nahdlatul Ulama (NU) : al-muha fadzatu ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (mempertahankan nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik).
Buku ini layak dikonsumsi ketika sekarang ini dikalangan kaum Ahlu al-Sunnah Wa al-Jamaah sendiri telah muncul berbagai pemikiran yang biasanya bisa dikategorikan “tradisional”, “liberal”, dan “radikal”.
Hanya saja buku ini merupakan kumpulan tulisan penulis berupa opini yang pernah dimuat dan berserakan di berbagai media lokal maupun nasional dan beberapa makalah makalah seminar dikumpulkan menjadi satu-kesatuan dalam bentuk buku. Sehingga bisa dikatakan, buku ini kurang sistematis dalam penulisannya.
Selajutnya, selamat membaca!
*Alumnus PP. Nasy’atul Muta’allimin (NASA) Gapura Timur Sumenep Madura. HP. +6281703039434.
04 November, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar