Oleh : Ach Syaiful A’la*
Memasuki era globalisasi dan reformasi saat ini, dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang handal dan siap berkompetisi agar tidak terpinggirkan oleh bergulirnya perubahan zaman. Dalam situasi yang masih fluktuatif dan ancaman disintegrasi sosial yang mengarah ke gerakan etnonasionalisme, kita diha¬dapkan pada problem bagaimana menyiapkan rancang bangun yang operasional untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mendorong tumbuhnya demokrasi dan terse¬dianya SDM yang dilandasi oleh iman-takwa (IMTAQ) dan ilmu pengetahuan - teknologi (IPTEK).
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan yang mempunyai fungsi pokok pendidikan dan pengajaran mau tidak mau harus turut pula mengambil bagian dalam berkompetisi dengan “para tetangganya” mencari pangsa pasar, dengan berani untuk lebih terbuka dan siap adu kualitas.
Kompetisi yang dapat dilakukan oleh pesantren ialah dengan turut pula ambil bagian, memposisikan diri dan membuktikan sebagai lembaga yang juga mampu mengakomodasi tuntutan di era globalisasi, yaitu menciptakan manusia yang tidak hanya bertakwa tapi juga berilmu, memiliki SDM tinggi plus berahlakul karimah. Penciptaan output seperti itulah membuat pesantren mempunyai peran dan kesempatan yang lebih besar dalam mengawal bangsa Indonesia dalam menghadapi era globalisasi. Minimal ada tiga alasan mengapa pesantren mempunyai peran dan kesempatan yang lebih besar dibandingkan dengan lembaga lembaga lain.
Pertama, pesantren dengan pendidikannya yang tidak terbatas, akan semakin mempermudah dalam menunjang pesantren untuk makin menyemaikan ajaran-ajaran Islam, yang dapat menjadi benteng dalam menghadapi globalisasi. Interaksi antara kyai dengan santri terus berlangsung selama 24 jam dan lingkungan pesantren yang sengaja di setting untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan pesantren.
Kedua, pendidikan pesantren yang mencoba memberikan keseimbangan antara pemenuhan lahir dan batin, pendidikan agama dan umum, merupakan usaha yang sangat sesuai dengan kebutuhan pendidikan di era globalisasi yang membutuhkan keseimbangan antara kualitas SDM dan keluhuran moral. Pendidikan pesantren yang berlandaskan ajaran agama Islam, menjadikan keluhuran moral dan akhlakul karimah sebagai salah satu fokus bidang garapan pendidikannya.
Perlunya suatu keseimbangan dan perpaduan yang sepadan antara penciptaan manusia yang bertaqwa dan berwawasan keilmuan tinggi adalah dalam rangka merombak image masyarakat bahwa pesantren hanya dikenal sebagai lembaga yang berorientasikan pada pembentukan manusia yang bermoral atau bertaqwa saja tetapi tidak mempunyai SDM tinggi.
Keengganan untuk menyesuaikan dengan perubahan sebenarnya dengan sendirinya telah memposisikan pesantren sebagai lingkungan yang terisolir dari pergaulan dan pada akhirnya akan ditinggalkan kebanyakan orang karena sudah tidak lagi sesuai atau tak dapat mengakomodasi keadaan zaman. Dengan demikian, pesantren sudah saatnya tidak menutup diri terhadap perubahan.
Akibat Globalisasi
Perubahan yang dimaksud di sini bukan berarti pesantren merombak total ataupun membuang jauh-jauh sistem yang selama ini telah menjadi ciri khasnya. Penerimaan pesantren terhadap berbagai perubahan juga disertai dengan mempertahankan dan tetap memberikan tempat terhadap nilai-nilai lama karena perubahan bukan berarti harus meghilangkan atau menggusur nilai-nilai lama pesantren yang justru pada akhirnya akan menghilangkan hakekat dari pada pesantren itu sendiri. Perubahan yang dimaksud adalah pesantren harus terbuka dengan segala berubahan, tidak ekskluif. Sebagaimana sebuah pendapat ulama terdahulu yang sering digembar-gemborkan oleh orang-orang pesantren, yaitu al muhafadzatu ala al qadim al shalih wa al akhdzu bi al jadidi al ashlah (mempertahankan nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Tetap dengan yang demikian itu, pesantren cendrung mulai kehilangan identitas kepesantrenannya. Contoh kecil saja budaya nadzam (syairan atau nyanyi-nyanyian) santri. Biasanya nadzam dibaca pada saat akan memulai pelajaran atau pengajian kitab. Baik itu sorogan, tontonan, halaqah, atau bondongan, dan itu adalah tradisi pesantren yang sejak duhulu ada.
Tradisi nazham merupakan budaya dan ciri has sebuah pesantren di Indonesia. Sehingga tidak disangkal lagi bahwa pesantren modern (khalaf) atau pesantren tradisional (salaf) sangat mengagung-agungkan nazham. Dan harus diakui bahwa kebudayaan pesantren tidak bisa diremehkan, karena kebudayaan pesantren merupakan kebudayaan asli Indonesia yang harus tetap dipertahankan dan dilestarikan bersama-sama.
Tapi, zaman tak bisa lagi kompromi. Pesantren seperti diketahui banyak orang merupakan markas santri, kini mulai redup dengan dunia nazham. Dampak industrialiasi, globalisasi, serta arus informasi dan komunikasi yang tak lagi terbendung berdampak hilangnya semangat kegemaran para santri membaca nazham dulunya sempat menjadi kebanggan dan sangat diagung-agungkan. Akibatnya, saat ini santri lebih suka melagukan musik-musik pop, dangdut(an), india, dan musik-musik barat sebagian itu tidak mempunyai nilai dan pesan moral sama sekali. Ironisnya, kalau santri masih bergemulut dengan nazham dianggap tidak gaul, ndeso, katrok, tertinggal, kuno, tidak modern dan lain sebagainya.
20 November, 2008
04 November, 2008
Falsafah “Sarung” Untuk Indonesia
Judul Buku : Sarung & Demokrasi : dari NU Untuk Peradaban Keindonesiaan
Penulis : Abu Dzarrin al-Hamidy, at all
Pengantar : KH Miftahul Akhyar
Penerbit : Khalista, Surabaya
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : xiv+288 Halaman
Peresensi : Ach Syaiful A'la*
Kalau kita mendengarkan kata sarung, secara otomatis di benak kita akan teringat selembar kain yang biasa dipakai kaum muslimin Indonesia untuk mengerjakan shalat, atau minimal yang dipakai oleh para tetangga bersiskampling. Sarung mungkin sudah pekat dengan kehidupan kita sehari hari, hampir bisa dipastikan rakyat Indonesia sebagian besar telah memilikinya, baik itu masih anak anak sampai tuah rentah, terutama kaum prianya.
Dalam kaitannya dengan ini (NU untuk Indonesia), penulis tidak akan membahas asal-muasal terciptanya sarung, namun akan membahas makna filosofis yang terkandung dalam sarung sebagai identitas kaum nahdhiyyin untuk peradaban keindonesiaan.
Terkadang, hanya dengan sarung hidup manusia bisa survival untuk mempertahankan hidup, walau dilepas di tengah hutan sekalipun. Karena dengan sarung kita bisa menggunakan sesuai dengan kebutuhan kita, untuk menjala ikan, memanjat pojon kelapa, bahkan untuk melampung ketika akan berenang.
NU & Negara
Kini, NU sudah dalam usianya yang ke-82. Usia ini bukanlah waktu yang cukup sebentar. Tapi, melalui beberapa dekade panjang yang dilalui dari proses berdirinya hingga masa-masa perjuangannya.
Latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran kaum modernitas Islam atas situasi politik dunia Islam. Berawal dari pemikiran Syeikh Muhammad Abduh di Mesir, sedangkan di Arab terdapat gerakan wahabi yang dipelopori Abdul Wahab, dengan tujuan untuk memurnikan ajaran Islam.
Gerakan ini ingin memacu perkembangan Islam agar dapat menghadapi perubahan zaman, akibat modernisasi dengan berdasarkan pada Al-Qur'an dan Hadits. “Kalau umat Islam ingin maju lagi, harus kembali pada Islam sejati, sebagaimana diperaktekkan di zaman Nabi.” Demikian semboyan golongan pembaharuan. Di kalangan ulama salaf pesantren, yang tetap berpegang pada empat madzhab (Maliki, Syafi'ei, Hanafi dan Hambali) dalam menjalankan syari'ah Islam, membentuk sebuah komite dipimpin KH Wahab Chasbullah.
Melihat NU kebelakang, pasti akan membuat orang merasa salut atas sumbangsih yang telag diberikannya untuk bangsa Indonesia. Betapa tidak? KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahid Hasyim dengan Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI)-nya, memberikan dukungan kepada Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dalam aksi menuntut "Indonesia Berparlemen". Ketika itu pula para tokoh NU turut aktif dalam Badan Penyelidikan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUKI) serta Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam konteks ini tidak heran jika KH Wahid Hasyim kemudian dipilih sebagai salah satu anggota "Panitia Sembilan" yang merumuskan "Piagama Jakarta", hingga akhirnya menjadi Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Dalam mempertahankan kemerdekaan, saat masih terjadi upaya perebutan kembali Indonesia oleh kolonial, NU mengeluarkan Resolusi Jihad. Dalam keputusan tersebut NU memandang bahwa kemerdekaan RI harus dipertahankan. Pengaruh resolusi itu sangat terasa sehingga meletuskan peristiwa heroik 10 November 1945 dan kemudian diperingati secar nasional menjadi Hari Pahlawan.
Lebih dari itu, keputusan spektakuler dalam Munas Alim Ulama NU (1983) dan Muktamar NU ke-27 di Situbondo. Ketika itu (1984) dengan "berani" NU menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas, mendahului organisasi masyarakat manapun di Indonesia. Bahkan KH Achmad Shiddiq sebagai Rais Aam menyatakan bahwa Negara Pancasila adalah bentuk final dari upaya umat Islam mendirikan Negara. Selanjutnya, siapa saja yang mengganggu eksistensi negara Pancasila, harus berhadapan dengan Nahdlatul Ulama.
Belum lagi peristiwa-peristiwa muataakhir dalam percaturan politik nasional lainnya. Sungguh, tidak kecil apa yang disumbangkan oleh organisasi 'bintang sembilan' ini.
Buku ini mengetengahkan kembali agenda besar dan sesuatu dan yang ingin diraih NU. Misalnya peran NU dalam bidang pendidikan (LP Ma’arif), politik (kebangsaan), sosial (pembelaan terhadap kaum dua’fa), hukum (fiqh) & HAM, gender (muslimat), budaya, dan ekonomi. Juga buku ini menegaskan bahwa cita-cita NU tidak berbeda dari cita-cita Indonesia. Sehingga buku ini penting dimiliki oleh kiai, santri, warga nahdliyyin, akademisi, politisi NU agar mengaca dan semakin sadar bahwa memang masih banyak yang harus dibenai dalam tubuh NU.
Sebuah buku yang baik seharusnya harus lengkap ketika menulis tentang peran NU dalam peradaban keindonesiaan. Hanya saja dalam penulisan buku ini ada yang terlupakan. Sangat sepi pembahasan tentang peran NU dalam bidang ekonomi. Padahal jauh sebelum berdirinya (1926), NU mempunyai peran penting dalam masalah persoalan ekonomi yang dimotori oleh KH Hasyim Asy’ari dan beberapa tokoh NU lainnya yang dikenal dengan sebuah organisasi Nahdlatut Tujjar (kebangkitan para saudagar/pengusaha).
*Aktif di Forum Komunitas Penulis dan Penerbit Pesantren (FKP3) LTN-NU Jawa Timur. email. achsyaiful@yahoo.com
Penulis : Abu Dzarrin al-Hamidy, at all
Pengantar : KH Miftahul Akhyar
Penerbit : Khalista, Surabaya
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : xiv+288 Halaman
Peresensi : Ach Syaiful A'la*
Kalau kita mendengarkan kata sarung, secara otomatis di benak kita akan teringat selembar kain yang biasa dipakai kaum muslimin Indonesia untuk mengerjakan shalat, atau minimal yang dipakai oleh para tetangga bersiskampling. Sarung mungkin sudah pekat dengan kehidupan kita sehari hari, hampir bisa dipastikan rakyat Indonesia sebagian besar telah memilikinya, baik itu masih anak anak sampai tuah rentah, terutama kaum prianya.
Dalam kaitannya dengan ini (NU untuk Indonesia), penulis tidak akan membahas asal-muasal terciptanya sarung, namun akan membahas makna filosofis yang terkandung dalam sarung sebagai identitas kaum nahdhiyyin untuk peradaban keindonesiaan.
Terkadang, hanya dengan sarung hidup manusia bisa survival untuk mempertahankan hidup, walau dilepas di tengah hutan sekalipun. Karena dengan sarung kita bisa menggunakan sesuai dengan kebutuhan kita, untuk menjala ikan, memanjat pojon kelapa, bahkan untuk melampung ketika akan berenang.
NU & Negara
Kini, NU sudah dalam usianya yang ke-82. Usia ini bukanlah waktu yang cukup sebentar. Tapi, melalui beberapa dekade panjang yang dilalui dari proses berdirinya hingga masa-masa perjuangannya.
Latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran kaum modernitas Islam atas situasi politik dunia Islam. Berawal dari pemikiran Syeikh Muhammad Abduh di Mesir, sedangkan di Arab terdapat gerakan wahabi yang dipelopori Abdul Wahab, dengan tujuan untuk memurnikan ajaran Islam.
Gerakan ini ingin memacu perkembangan Islam agar dapat menghadapi perubahan zaman, akibat modernisasi dengan berdasarkan pada Al-Qur'an dan Hadits. “Kalau umat Islam ingin maju lagi, harus kembali pada Islam sejati, sebagaimana diperaktekkan di zaman Nabi.” Demikian semboyan golongan pembaharuan. Di kalangan ulama salaf pesantren, yang tetap berpegang pada empat madzhab (Maliki, Syafi'ei, Hanafi dan Hambali) dalam menjalankan syari'ah Islam, membentuk sebuah komite dipimpin KH Wahab Chasbullah.
Melihat NU kebelakang, pasti akan membuat orang merasa salut atas sumbangsih yang telag diberikannya untuk bangsa Indonesia. Betapa tidak? KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahid Hasyim dengan Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI)-nya, memberikan dukungan kepada Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dalam aksi menuntut "Indonesia Berparlemen". Ketika itu pula para tokoh NU turut aktif dalam Badan Penyelidikan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUKI) serta Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam konteks ini tidak heran jika KH Wahid Hasyim kemudian dipilih sebagai salah satu anggota "Panitia Sembilan" yang merumuskan "Piagama Jakarta", hingga akhirnya menjadi Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Dalam mempertahankan kemerdekaan, saat masih terjadi upaya perebutan kembali Indonesia oleh kolonial, NU mengeluarkan Resolusi Jihad. Dalam keputusan tersebut NU memandang bahwa kemerdekaan RI harus dipertahankan. Pengaruh resolusi itu sangat terasa sehingga meletuskan peristiwa heroik 10 November 1945 dan kemudian diperingati secar nasional menjadi Hari Pahlawan.
Lebih dari itu, keputusan spektakuler dalam Munas Alim Ulama NU (1983) dan Muktamar NU ke-27 di Situbondo. Ketika itu (1984) dengan "berani" NU menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas, mendahului organisasi masyarakat manapun di Indonesia. Bahkan KH Achmad Shiddiq sebagai Rais Aam menyatakan bahwa Negara Pancasila adalah bentuk final dari upaya umat Islam mendirikan Negara. Selanjutnya, siapa saja yang mengganggu eksistensi negara Pancasila, harus berhadapan dengan Nahdlatul Ulama.
Belum lagi peristiwa-peristiwa muataakhir dalam percaturan politik nasional lainnya. Sungguh, tidak kecil apa yang disumbangkan oleh organisasi 'bintang sembilan' ini.
Buku ini mengetengahkan kembali agenda besar dan sesuatu dan yang ingin diraih NU. Misalnya peran NU dalam bidang pendidikan (LP Ma’arif), politik (kebangsaan), sosial (pembelaan terhadap kaum dua’fa), hukum (fiqh) & HAM, gender (muslimat), budaya, dan ekonomi. Juga buku ini menegaskan bahwa cita-cita NU tidak berbeda dari cita-cita Indonesia. Sehingga buku ini penting dimiliki oleh kiai, santri, warga nahdliyyin, akademisi, politisi NU agar mengaca dan semakin sadar bahwa memang masih banyak yang harus dibenai dalam tubuh NU.
Sebuah buku yang baik seharusnya harus lengkap ketika menulis tentang peran NU dalam peradaban keindonesiaan. Hanya saja dalam penulisan buku ini ada yang terlupakan. Sangat sepi pembahasan tentang peran NU dalam bidang ekonomi. Padahal jauh sebelum berdirinya (1926), NU mempunyai peran penting dalam masalah persoalan ekonomi yang dimotori oleh KH Hasyim Asy’ari dan beberapa tokoh NU lainnya yang dikenal dengan sebuah organisasi Nahdlatut Tujjar (kebangkitan para saudagar/pengusaha).
*Aktif di Forum Komunitas Penulis dan Penerbit Pesantren (FKP3) LTN-NU Jawa Timur. email. achsyaiful@yahoo.com
Merindukan Islam ala Wali Songo
Judul Buku : Islam Tradisional; Antara Realitas Sosial & Realitas Politik
Penulis : Dr. Ali Maschan Moesa, M. Si.
Penerbit : Jenggala Pustaka, Kediri
Cetakan : I, September 2008
Tebal : viii+199 Halaman
Peresensi : Ach. Syaiful A'la*
Pluralisme agama menghadapkan kita pada dua tantangan sekaligus, yakni teologis dan sosiologis. Secara teologis, kita dihadapkan pada tantangan iman: bagaimana mendefinisikan iman kita ditengah keragaman iman yang lainnya? Begitu pula secara sosiologis, kitapun dihadapkan pada sejumlah fakta sosial: bagaimanakah hubungan antar umat beragama, lebih khusus lagi hubungan antar iman ditengah pluralisme agama?
Fakta sosial secara jelas menyadarkan kita bahwasannya pluralisme agama belumlah berkorelasi positif dengan harmoni agama. Justru fakta berbicara sebaliknya: pluralisme agama seringkali menjadi pemicu konflik sosial dan sentimen keagamaan. Mengapa demikian? Banyak faktor yang bisa menjelaskan. Salah satunya adalah masih kuatnya “hambatan teologis” di kalangan umat beragama untuk menerima kehadiran pluralisme agama sebagai hukum Tuhan. Maka, alih-alih bersikap toleran, inklusif, dan pluralis, umat beragama justru semakin mengeras kearah sikap intoleran, eksklusif dan cenderung antipluralisme. Untuk itu, agenda awal kita adalah bagaimana memecahkan “hambatan teologis” dikalangan umat beragama dalam menerima kehadiran pluralisme sebagai hukum Tuhan.
Pluralisme di Indonesia kalau meminjam bahasanya Zuhairi Misrawi dalam bukunya yang berjudul Al-Qur’an Kitab Toleransi merupakan upaya mencari titik temu (kalimatun sawa’) untuk membangun komitmen bersama diantara berbagai perbedaaan dan keragaman komitmen. Kalaupun hal tersebut (jujur saja) bukanlah hal yang mudah.
Umat Islam Indonesia hingga kini tetap menjadi baromiter dan merupakan negara yang banyak dijadikan acuan karena dianggap berhasil memenej kemajemukan yang ada.
Bagaimana seharusnya hidup ditengah perbedaan yang ada?
Terkadang kalau kita amati, salah satu bentuk keberagaman yang memunculkan konflik memang keberagaman agama itu sendiri. Bahkan dalam berbagai konflik fenominal saat ini banyak yang mengatasnamakan agama, sehingga menjadi sulit untuk penyelesaikannya. Hal ini karena melibatkan agama pada setiap konflik yang pada akhirnya pasti mengikutsertakan pendasaran teologis untuk melegitimasinya. Setiap konflik (agama) akhirnya menjadi sah karena seolah-olah ajaran (agama) membenarkannya. Sehingga agama mengalami pereduksian fungsi utamanya karena digunakan untuk bersembunyi bagi tindak kekerasan atas namanya agama.
Melihat fenomena tersebut, melalui buku Islam Tradisional; Realitas dan Realitas Politik ini, Mas Ali Maschan Moesa mencoba mengajak untuk memperkenalkan kembali tentang Islam tradisional, islam rahmatan lil alamin yang pernah dipertontonkan oleh (wali songo) penyebar agama Islam di tanah Jawa. Sesuai dengan namanya bahwa Islam adalah agama “penyelamat” bukan (hanya) “selamat” bagi orang-orang masuk ke dalamnya. Mari kita mulai dari asal katanya saja, “Islam” berasal dari kalimat “aslama” – “yuslimu” – “islaman” (dari gramatika arab kata islaman berarti mempunyai kedudukan sebagai “masdar”) yang artinya “menyelamatkan” bukan dari kata “salima” yang artinya “selamat”. Hal ini bisa dibuktikan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin, artinya untuk seluruh alam (manusia dan lingkungan) bukan hanya rahmatan lil al-nas dan lainnya.
Disamping itu juga Islam adalah agama dakwah, yaitu agama yang mengamanatkan kepada umatnya untuk mengkomunikasikan Islam kepada seluruh komunitas manusia (al furuq baina al-basyar). Usaha untuk menyebarluaskan Islam, begitu pula merealisir ajarannya ditengah-tengah kehidupan manusia adalah usaha dakwah, yang dalam keadaan bagaimanapun haus diaplikasikan oleh manusia. Tentunya dakwah yang dimaksud adalah dengan metoda bil hikmah wa mauidatul al hasanah.
Wali Songo sejak dulu telah memperkenalkan dakwah Islam tersebut di tanah air. Hasilnya sungguh menakjubkan. Apa itu? Masyarakat yang awalnya manganut anisme dan dinamisme, berubah 90 % menjadi muslim. Namun beberapa akhir ini Islam ala Wali Songo mulai dipersoalkan banyak kalangan. Artinya apa? Bahwa Wali Songo sebenarnya pada waktu itu sudah memperkenalkan watak pluralisme dalam keberagamaan (hal. 37).
Tidak seperti inkulusivisme, pluralisme manawarkan sesuatu yang baru. Pluralisme oleh banyak kalangan dianggap sebagai tahapan lanjutan dari inklusivisme. Dalam pandangan Islam tradisional, pluralisme bukan merupakan sesuatu yang baru. Karena nilai-nilai pluralisme sejak dulu tidak pertentangan dengan nilai-nilai Islam tradisional. Karena dalam perkembangannya, Islam sangat tidak pantas kalau dianggap agama yang tidak menghendaki kemajemukan (eksklusif). Sejak dulu Islam telah mengenal sebuah dalil yang biasa di pakai oleh Nahdlatul Ulama (NU) : al-muha fadzatu ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (mempertahankan nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik).
Buku ini layak dikonsumsi ketika sekarang ini dikalangan kaum Ahlu al-Sunnah Wa al-Jamaah sendiri telah muncul berbagai pemikiran yang biasanya bisa dikategorikan “tradisional”, “liberal”, dan “radikal”.
Hanya saja buku ini merupakan kumpulan tulisan penulis berupa opini yang pernah dimuat dan berserakan di berbagai media lokal maupun nasional dan beberapa makalah makalah seminar dikumpulkan menjadi satu-kesatuan dalam bentuk buku. Sehingga bisa dikatakan, buku ini kurang sistematis dalam penulisannya.
Selajutnya, selamat membaca!
*Alumnus PP. Nasy’atul Muta’allimin (NASA) Gapura Timur Sumenep Madura. HP. +6281703039434.
Penulis : Dr. Ali Maschan Moesa, M. Si.
Penerbit : Jenggala Pustaka, Kediri
Cetakan : I, September 2008
Tebal : viii+199 Halaman
Peresensi : Ach. Syaiful A'la*
Pluralisme agama menghadapkan kita pada dua tantangan sekaligus, yakni teologis dan sosiologis. Secara teologis, kita dihadapkan pada tantangan iman: bagaimana mendefinisikan iman kita ditengah keragaman iman yang lainnya? Begitu pula secara sosiologis, kitapun dihadapkan pada sejumlah fakta sosial: bagaimanakah hubungan antar umat beragama, lebih khusus lagi hubungan antar iman ditengah pluralisme agama?
Fakta sosial secara jelas menyadarkan kita bahwasannya pluralisme agama belumlah berkorelasi positif dengan harmoni agama. Justru fakta berbicara sebaliknya: pluralisme agama seringkali menjadi pemicu konflik sosial dan sentimen keagamaan. Mengapa demikian? Banyak faktor yang bisa menjelaskan. Salah satunya adalah masih kuatnya “hambatan teologis” di kalangan umat beragama untuk menerima kehadiran pluralisme agama sebagai hukum Tuhan. Maka, alih-alih bersikap toleran, inklusif, dan pluralis, umat beragama justru semakin mengeras kearah sikap intoleran, eksklusif dan cenderung antipluralisme. Untuk itu, agenda awal kita adalah bagaimana memecahkan “hambatan teologis” dikalangan umat beragama dalam menerima kehadiran pluralisme sebagai hukum Tuhan.
Pluralisme di Indonesia kalau meminjam bahasanya Zuhairi Misrawi dalam bukunya yang berjudul Al-Qur’an Kitab Toleransi merupakan upaya mencari titik temu (kalimatun sawa’) untuk membangun komitmen bersama diantara berbagai perbedaaan dan keragaman komitmen. Kalaupun hal tersebut (jujur saja) bukanlah hal yang mudah.
Umat Islam Indonesia hingga kini tetap menjadi baromiter dan merupakan negara yang banyak dijadikan acuan karena dianggap berhasil memenej kemajemukan yang ada.
Bagaimana seharusnya hidup ditengah perbedaan yang ada?
Terkadang kalau kita amati, salah satu bentuk keberagaman yang memunculkan konflik memang keberagaman agama itu sendiri. Bahkan dalam berbagai konflik fenominal saat ini banyak yang mengatasnamakan agama, sehingga menjadi sulit untuk penyelesaikannya. Hal ini karena melibatkan agama pada setiap konflik yang pada akhirnya pasti mengikutsertakan pendasaran teologis untuk melegitimasinya. Setiap konflik (agama) akhirnya menjadi sah karena seolah-olah ajaran (agama) membenarkannya. Sehingga agama mengalami pereduksian fungsi utamanya karena digunakan untuk bersembunyi bagi tindak kekerasan atas namanya agama.
Melihat fenomena tersebut, melalui buku Islam Tradisional; Realitas dan Realitas Politik ini, Mas Ali Maschan Moesa mencoba mengajak untuk memperkenalkan kembali tentang Islam tradisional, islam rahmatan lil alamin yang pernah dipertontonkan oleh (wali songo) penyebar agama Islam di tanah Jawa. Sesuai dengan namanya bahwa Islam adalah agama “penyelamat” bukan (hanya) “selamat” bagi orang-orang masuk ke dalamnya. Mari kita mulai dari asal katanya saja, “Islam” berasal dari kalimat “aslama” – “yuslimu” – “islaman” (dari gramatika arab kata islaman berarti mempunyai kedudukan sebagai “masdar”) yang artinya “menyelamatkan” bukan dari kata “salima” yang artinya “selamat”. Hal ini bisa dibuktikan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin, artinya untuk seluruh alam (manusia dan lingkungan) bukan hanya rahmatan lil al-nas dan lainnya.
Disamping itu juga Islam adalah agama dakwah, yaitu agama yang mengamanatkan kepada umatnya untuk mengkomunikasikan Islam kepada seluruh komunitas manusia (al furuq baina al-basyar). Usaha untuk menyebarluaskan Islam, begitu pula merealisir ajarannya ditengah-tengah kehidupan manusia adalah usaha dakwah, yang dalam keadaan bagaimanapun haus diaplikasikan oleh manusia. Tentunya dakwah yang dimaksud adalah dengan metoda bil hikmah wa mauidatul al hasanah.
Wali Songo sejak dulu telah memperkenalkan dakwah Islam tersebut di tanah air. Hasilnya sungguh menakjubkan. Apa itu? Masyarakat yang awalnya manganut anisme dan dinamisme, berubah 90 % menjadi muslim. Namun beberapa akhir ini Islam ala Wali Songo mulai dipersoalkan banyak kalangan. Artinya apa? Bahwa Wali Songo sebenarnya pada waktu itu sudah memperkenalkan watak pluralisme dalam keberagamaan (hal. 37).
Tidak seperti inkulusivisme, pluralisme manawarkan sesuatu yang baru. Pluralisme oleh banyak kalangan dianggap sebagai tahapan lanjutan dari inklusivisme. Dalam pandangan Islam tradisional, pluralisme bukan merupakan sesuatu yang baru. Karena nilai-nilai pluralisme sejak dulu tidak pertentangan dengan nilai-nilai Islam tradisional. Karena dalam perkembangannya, Islam sangat tidak pantas kalau dianggap agama yang tidak menghendaki kemajemukan (eksklusif). Sejak dulu Islam telah mengenal sebuah dalil yang biasa di pakai oleh Nahdlatul Ulama (NU) : al-muha fadzatu ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (mempertahankan nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik).
Buku ini layak dikonsumsi ketika sekarang ini dikalangan kaum Ahlu al-Sunnah Wa al-Jamaah sendiri telah muncul berbagai pemikiran yang biasanya bisa dikategorikan “tradisional”, “liberal”, dan “radikal”.
Hanya saja buku ini merupakan kumpulan tulisan penulis berupa opini yang pernah dimuat dan berserakan di berbagai media lokal maupun nasional dan beberapa makalah makalah seminar dikumpulkan menjadi satu-kesatuan dalam bentuk buku. Sehingga bisa dikatakan, buku ini kurang sistematis dalam penulisannya.
Selajutnya, selamat membaca!
*Alumnus PP. Nasy’atul Muta’allimin (NASA) Gapura Timur Sumenep Madura. HP. +6281703039434.
03 November, 2008
Ketika Kiai Terjun Berpolitik
Oleh : Ach. Syaiful A'la*
Dalam kurun waktu dasawarsa terakhir, sosok kiai seolah menjadi figur yang menjadi sorotan publik dalam dunia politik. Kiai yang selama ini lebih dikenal sebagai penerus budaya keislaman (cultural broker) nampaknya sudah mulai terkikis oleh arus politik yang sudah jauh dari ajaran-ajaran agama baik dalam interpretasi (ijtihadi) maupun dalam menghasilkan kebijakan yang tidak memihak rakyat.
Hal yang semacam ini memaksa kiai untuk terjun langsung ke dunia politik karena para wakil rakyat sudah jauh dari implementasi amar ma'ruf nahi mungkar. Sehingga bukan tidak mungkin dalam posisi seperti ini kiai itu sendiri malah menjadi pemeran utama dalam politik atau sebagai pialang dalam dunia politik (political broker).
Kiai adalah sosok yang penuh dengan aura kharismatik tinggi serta menempati posisi tinggi (high class) dalam strata sosial utamanya bagi umat Islam. Sehingga tidak heran jika segala yang di ucapkan diyakininya (sami’na waatho’na). Disisi kiai bisa dibilang memiliki peranan penting dalam kehidupan beragama masyarakat yang tidak mungkin bisa lepas dari dogma-dogma agama sebagai pedoman hidup masyarakat. Hal itu disebabkan karena masyarakat percaya bahwa kiai adalah sosok yang mempuni dalam ilmu keislaman. Dari realitas inilah diakui atau tidak sosok kiai memiliki power serta otoritas tinggi untuk memobilisasi massa.
Dari realitas seperti yang disebutkan di atas bukan suatu yang mustahil jika seorang kiai terjun ke kancah perpolitikan baik itu secara langsung atau hanya mendukung salah satu kandidat yang diusung oleh partai. Realitas inilah yang sering kali dijadikan moment oleh para elit politik atau para kandidat untuk merangkul kiai dalam partai atau hanya sekedar meminta restu alias dukungan dari sang kiai.
Peran kiai dalam politik semakin jelas terlihat ketika pesta demokrasi 2004 (Baca : Pemilu). Hingga kini, para kiai berlomba-lomba baik dalam masa atau intensitas kampanye. Setiap hari disibukan dengan banyak tamu berdasi keluar masuk pesantren. Yang demikian itu tentunya sangat kontradiktif dengan kehidupan sehari-hari kiai di pesantren dulunya selalu diwarnai dengan mengajar kitab-kitab keislaman dan memberikan fatwa.
Sebenarnya bukan hal yang sulit bagi seorang kiai untuk menarik simpati dari masyarakat. Karena dalam masyarakat sudah ada semacam kesepakatan (agreement) yang bersumber dari doktrin-doktrin agama, bahwa kiai mampu mengemban segala tugas yang berkaitan dengan kemaslahatan umat termasuk dalam bidang politik.
Di satu sisi hawa kebebasan berserikat atau berpolitik juga menjadi alasan serta memperkuat keberadaan partai-partai politik baik yang berasaskan Islam atau bukan. Karena semasa Orde Baru kebebasan ruang gerak tersebut diberedel oleh penguasa. Disaat ada suksesi kepemimpinan di Indonesia serta perubahan dalam undang-undang tentang partai politik dan pemilihan umum orang-orang berlomba-lomba untuk mandaftarkan partai politik mereka, laksana air dalam satu waduk yang sudah penuh kemudian dibuka pintu airnya secara otomatis air akan tumpah ruah menempati ruang-ruang kosong. Saking semangatnya mereka membangun link serta koalisi diantara parpol lain sehingga yang sering timbul adalah jargon baru dalam dunia politik yang berbunyi “ dalam politik su’udzon itu boleh yang tidak boleh adalah don’t nusuk”.
Wajar dan sah-sah saja jika kiai terjun dalam dunia politik karena dari segi pengetahuan mereka bisa dibilang kompeten untuk mengelola suatu organisasi yang memang kesehariannya sudah diwarnai dengan pengelolaan pesantren meskipun masih bersifat klasik (salafi) sehingga para kiai tidak akan clingukan bagaimana mengelola pemerintahan.
Yang menjadi kekhawatiran penulis di sini ketika kiai merasionalisasikan politik hanya dalam arti yang sempit serta untung-untungan secara matematis dan spekulatif dengan tujuan utamanya (grand goal) memprediksikan kekuatan massa dari rival politiknya. Jika hal ini yang terjadi, walhasil para kiai ini hanya akan menempatkan kekuatan pada massa semata dan bukan beroreintasi pada bagaimana memerintah serta menghasilkan suatu undang-undang atau peraturan yang memihak rakyat. Dalam posisi seperti ini kiai hanya menempatkan kharismanya sebagai bargaining politik belaka. Sehingga akan menghasilkan pola perilaku yang bersifat paragmatis yang hanya mengedepankan program jangka pendek tanpa melihat realitas yang akan terjadi di masa yang akan datang setelah suksesi kepemimpinannya jadi jargon aji mumpung berlaku pada realitas ini mumpung duduk dikursi kekuasaan (political opportunity ) semuanya dianggap selesai tanpa memikirkan rakyat. Kenak dech!
*Penulis, Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Hp. +6281703039434
Dalam kurun waktu dasawarsa terakhir, sosok kiai seolah menjadi figur yang menjadi sorotan publik dalam dunia politik. Kiai yang selama ini lebih dikenal sebagai penerus budaya keislaman (cultural broker) nampaknya sudah mulai terkikis oleh arus politik yang sudah jauh dari ajaran-ajaran agama baik dalam interpretasi (ijtihadi) maupun dalam menghasilkan kebijakan yang tidak memihak rakyat.
Hal yang semacam ini memaksa kiai untuk terjun langsung ke dunia politik karena para wakil rakyat sudah jauh dari implementasi amar ma'ruf nahi mungkar. Sehingga bukan tidak mungkin dalam posisi seperti ini kiai itu sendiri malah menjadi pemeran utama dalam politik atau sebagai pialang dalam dunia politik (political broker).
Kiai adalah sosok yang penuh dengan aura kharismatik tinggi serta menempati posisi tinggi (high class) dalam strata sosial utamanya bagi umat Islam. Sehingga tidak heran jika segala yang di ucapkan diyakininya (sami’na waatho’na). Disisi kiai bisa dibilang memiliki peranan penting dalam kehidupan beragama masyarakat yang tidak mungkin bisa lepas dari dogma-dogma agama sebagai pedoman hidup masyarakat. Hal itu disebabkan karena masyarakat percaya bahwa kiai adalah sosok yang mempuni dalam ilmu keislaman. Dari realitas inilah diakui atau tidak sosok kiai memiliki power serta otoritas tinggi untuk memobilisasi massa.
Dari realitas seperti yang disebutkan di atas bukan suatu yang mustahil jika seorang kiai terjun ke kancah perpolitikan baik itu secara langsung atau hanya mendukung salah satu kandidat yang diusung oleh partai. Realitas inilah yang sering kali dijadikan moment oleh para elit politik atau para kandidat untuk merangkul kiai dalam partai atau hanya sekedar meminta restu alias dukungan dari sang kiai.
Peran kiai dalam politik semakin jelas terlihat ketika pesta demokrasi 2004 (Baca : Pemilu). Hingga kini, para kiai berlomba-lomba baik dalam masa atau intensitas kampanye. Setiap hari disibukan dengan banyak tamu berdasi keluar masuk pesantren. Yang demikian itu tentunya sangat kontradiktif dengan kehidupan sehari-hari kiai di pesantren dulunya selalu diwarnai dengan mengajar kitab-kitab keislaman dan memberikan fatwa.
Sebenarnya bukan hal yang sulit bagi seorang kiai untuk menarik simpati dari masyarakat. Karena dalam masyarakat sudah ada semacam kesepakatan (agreement) yang bersumber dari doktrin-doktrin agama, bahwa kiai mampu mengemban segala tugas yang berkaitan dengan kemaslahatan umat termasuk dalam bidang politik.
Di satu sisi hawa kebebasan berserikat atau berpolitik juga menjadi alasan serta memperkuat keberadaan partai-partai politik baik yang berasaskan Islam atau bukan. Karena semasa Orde Baru kebebasan ruang gerak tersebut diberedel oleh penguasa. Disaat ada suksesi kepemimpinan di Indonesia serta perubahan dalam undang-undang tentang partai politik dan pemilihan umum orang-orang berlomba-lomba untuk mandaftarkan partai politik mereka, laksana air dalam satu waduk yang sudah penuh kemudian dibuka pintu airnya secara otomatis air akan tumpah ruah menempati ruang-ruang kosong. Saking semangatnya mereka membangun link serta koalisi diantara parpol lain sehingga yang sering timbul adalah jargon baru dalam dunia politik yang berbunyi “ dalam politik su’udzon itu boleh yang tidak boleh adalah don’t nusuk”.
Wajar dan sah-sah saja jika kiai terjun dalam dunia politik karena dari segi pengetahuan mereka bisa dibilang kompeten untuk mengelola suatu organisasi yang memang kesehariannya sudah diwarnai dengan pengelolaan pesantren meskipun masih bersifat klasik (salafi) sehingga para kiai tidak akan clingukan bagaimana mengelola pemerintahan.
Yang menjadi kekhawatiran penulis di sini ketika kiai merasionalisasikan politik hanya dalam arti yang sempit serta untung-untungan secara matematis dan spekulatif dengan tujuan utamanya (grand goal) memprediksikan kekuatan massa dari rival politiknya. Jika hal ini yang terjadi, walhasil para kiai ini hanya akan menempatkan kekuatan pada massa semata dan bukan beroreintasi pada bagaimana memerintah serta menghasilkan suatu undang-undang atau peraturan yang memihak rakyat. Dalam posisi seperti ini kiai hanya menempatkan kharismanya sebagai bargaining politik belaka. Sehingga akan menghasilkan pola perilaku yang bersifat paragmatis yang hanya mengedepankan program jangka pendek tanpa melihat realitas yang akan terjadi di masa yang akan datang setelah suksesi kepemimpinannya jadi jargon aji mumpung berlaku pada realitas ini mumpung duduk dikursi kekuasaan (political opportunity ) semuanya dianggap selesai tanpa memikirkan rakyat. Kenak dech!
*Penulis, Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Hp. +6281703039434
Siapa (Layak) Mimpin Jawa Timur?
Oleh : Ach. Syaiful A’la*
Pergulatan politik di Jawa Timur tentunya menjadi baromiter perpolitikan secara nasional. Contohnya pilgub yang hingga kini banyak menyita perhatian orang. Bahkan jauh sebelumnya ketika masih masing-masing partai politik mengadakan tahap penjaringan terhadap para kader yang akan diusung dalam pilgub Jawa Timur. Berbagai media cetak lokal maupun nasional menyediakan kolom khusus tentang panggung politik pilkada Jawa Timur.
Yang demikian itu wajar dan sah-sah saja, karena kalau kita tilik dari beberapa tokoh politik nasional dan beberapa menculnya partai politik banyak lahir dari rahim propinsi Jawa Timur. Banyak partai tumbuh dan subur di Jawa Timur. Menjadi benar jika seseorang mengatakan : tidak enak makan itu tanpa garam. Artinya “Indonesia tidak lengkap tanpa Jawa Timur”.
Ini terbukti setelah masing-masing pasangan calon gubernur dan wakil gubernur mendeklarasikan maju (siap) bertarung untuk memperebutkan kursi gubernur. Misalnya deklarasi pertama kali yang dilakukan oleh pasangan Soekarwo – Saifullah Yusuf (karsa) dihadiri oleh Suetrisno Bakhir, Pramono Agung dan beberapa kiai sepuh, pasangan Soenarjo – Ali Maschan Moesa (salam) dihadiri Agung Laksono, Chairul Anam (PKNU) dan beberapa kiai serta beberapa pengurus NU cabang, Sujibto – Ridwan Hisyam (sr) dihadiri oleh Megawati Soekarno Putri, Achmady – Suhartono (achsan) dihadiri oleh KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Khafifah Indar Parawanshah – Mojiyono (ka-ji) di hadiri oleh Suryadharma Ali, jamaah muslimat NU dan beberapa tokoh 12 partai politik pendudukungnya.
Dari kelima pasangan calon diatas, visi dan missi yang mereka buat semuanya baik, masuk akal, rasional, realistis, kongkrit dan tujuannya hanya (demi) untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat Jawa Timur.
Jawa Timur yang Sejuk
Rabu, 23 Juli 2008 pemilihan gubernur Jawa Timur putaran pertama telah selesai dilaksanakan tanpa anarkis. Sepatutnya kita bersyukur karena sampai saat ini propinsi Jatim masih terkenal dengan propinsi yang sejuk, plural, demokratis dan rasa kebersamaan yang begitu tinggi. Dan proses demokrasi di Jawa Timur pada waktu itu benar-benar diuji dan hasilnya berjalan baik. Walaupun masih (tetap) ada beberapa kejanggalan (pelanggaran) yang dilakukan oleh beberapa pasangan calon dan tim sukses para calon pada waktu sebelum hari pemilihan atau saat pemilihan berlangsung (baca:panwas).
Berdasarkan ketetapan komisi pemilihan umum (KPU) bahwa syarat untuk memenangkan pemilihan kapala daerah putaran pertama minimal harus mencapai 30 % suara. Berhubung dari kelima pasangan calon tidak ada yang sampai 30 % suara. KarSa 4.498.332 (26,43%), Ka-Ji 4.223.089 (24,82), SR 3.605.106 (21,18%), Salam 3.290.448 (19,34%), Achsan 1.397.291 (8,21%), KPU akhirnya memutuskan untuk diadakan pemilihan ulang putaran kedua. Maka dua pasangan terbanyak ditetapkan sebagai calon gubernur dan wakil gubernur maju pada putaran kedua, yaitu pasangan Khafifah Indar Parawansyah – Mojiyono (ka-ji) dan pasangan Soekarwo – Saifullah Yusuf (karsa).
Putaran kedua ini tentunya adalah babak “final” bagi kedua calon utuk memperebutkan kursi Jatim. Suasana politik pun jauh lebih semarak dibandingkan dengan putaran pertama. Beberapa tokoh lokal maupun nasional mulai angkat bicara memberikan dukungan politik. Bahkan beberapa organisasi, kiai dan ulama dari pondok pesantren mulai turun gunung untuk mengkampanyekan dukungannya kepada salah satu calon. Ironisnya, dalam acara-acara tertentu, terkadang mereka tidak segan-segan memberikan fatwa, tausiyah, mengajak, atau meghimbau untuk memilih salah satu calon. Bagi masyarakat awam yang panatik langsung meng(ia)kan hal tersebut, karena sudah pilihan kiai dan dianggap benar. Bagi pemilih yang berpengalaman biasanya cendrung mempunyai pilihan sendiri, ia lebih melihat track record para calon terlebih dahulu dan tidak terpengaruh dengan tindakan semacam itu.
Yang Layak Mimpin
Bapak Andi Samit, seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta, memberikan pandangan kepada kita. Walaupun sebenarnya masyarakat telah mempunyai kecendrungan (menu) sendiri siapa yang akan dipilih nantinya. Kata Andi Samit, minimal calon yang harus dipilih mempunyai tiga “kepastian”. Dan tiga point ini sudah bisa dibaca pada track record masing-masing calon.
Pertama, kepastian berusaha. Melakukan suatu tindakan kongkrit bagi gubernur adalah langkah strategis yang pasti dan yang demikian itu suatu tindakan paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat Jawa Timur nanti. Karena kalau janji kampanye hanya sekedar janji-janji belaka dan hanya dijadikan alat untuk masyarakat bisa antivatif dan memberikan dukungan suara, taruhannya bukan hanya kredibilitas pemimpin itu. Walhasil, proses demokrasi di Jawa Timur akan ditolak mentah-mentah oleh masyarakat.
Kedua, kepastian pembangunan. Salah satu wujud kongkrit dari kepastian berusaha pada paragrap sebelumnya, adalah adanya pertumbuhan pembangunan di segala sektor. Misalnya pembangunan ekonomi, politik, sosial, pendidikan, budaya, kesehatan, pertanian yang selama ini di Jawa Timur masih terlihat lemah. Di berbagai media masyarakat selalu disuguhi tentang tinggginya angka kemiskinan, mahalnya biaya pengobatan, mahalnya biaya pendidikan, pengangguran dimana-mana, biaya pupuk tani mahal dan lain sebagainya. Hemat penulis, ini adalah PR untuk calon yang menang dalam pemilihan gubernur nanti.
Ketiga, kepastian keamanan. Keamanan merupakan sesuatu yang “vital” dalam Negara. Hal ini terkait dengan adanya proses pembangunan di Jawa Timur. Disamping itu juga, Jawa Timur mempunyai sumber alam yang berlimpah ruah yang harus dibentengi dan dilindungi, baik bersumber dari daratan dan lautan. Kalau propinsi keamanan terjamin, banyak para investor betah menanamkan modalnya di Jawa Timur. Sehingga Jawa Timur (harapan kita semua tentunya) menjadi propinsi yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur sebuah propinsi yang makmur, sejahtera dan diridhai oleh-Nya. Semoga!
*Aktif di Lembaga Kajian Survey Nusantara (LAKSNU) & Ketua Pengurus Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya. HP. 081703039434
Pergulatan politik di Jawa Timur tentunya menjadi baromiter perpolitikan secara nasional. Contohnya pilgub yang hingga kini banyak menyita perhatian orang. Bahkan jauh sebelumnya ketika masih masing-masing partai politik mengadakan tahap penjaringan terhadap para kader yang akan diusung dalam pilgub Jawa Timur. Berbagai media cetak lokal maupun nasional menyediakan kolom khusus tentang panggung politik pilkada Jawa Timur.
Yang demikian itu wajar dan sah-sah saja, karena kalau kita tilik dari beberapa tokoh politik nasional dan beberapa menculnya partai politik banyak lahir dari rahim propinsi Jawa Timur. Banyak partai tumbuh dan subur di Jawa Timur. Menjadi benar jika seseorang mengatakan : tidak enak makan itu tanpa garam. Artinya “Indonesia tidak lengkap tanpa Jawa Timur”.
Ini terbukti setelah masing-masing pasangan calon gubernur dan wakil gubernur mendeklarasikan maju (siap) bertarung untuk memperebutkan kursi gubernur. Misalnya deklarasi pertama kali yang dilakukan oleh pasangan Soekarwo – Saifullah Yusuf (karsa) dihadiri oleh Suetrisno Bakhir, Pramono Agung dan beberapa kiai sepuh, pasangan Soenarjo – Ali Maschan Moesa (salam) dihadiri Agung Laksono, Chairul Anam (PKNU) dan beberapa kiai serta beberapa pengurus NU cabang, Sujibto – Ridwan Hisyam (sr) dihadiri oleh Megawati Soekarno Putri, Achmady – Suhartono (achsan) dihadiri oleh KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Khafifah Indar Parawanshah – Mojiyono (ka-ji) di hadiri oleh Suryadharma Ali, jamaah muslimat NU dan beberapa tokoh 12 partai politik pendudukungnya.
Dari kelima pasangan calon diatas, visi dan missi yang mereka buat semuanya baik, masuk akal, rasional, realistis, kongkrit dan tujuannya hanya (demi) untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat Jawa Timur.
Jawa Timur yang Sejuk
Rabu, 23 Juli 2008 pemilihan gubernur Jawa Timur putaran pertama telah selesai dilaksanakan tanpa anarkis. Sepatutnya kita bersyukur karena sampai saat ini propinsi Jatim masih terkenal dengan propinsi yang sejuk, plural, demokratis dan rasa kebersamaan yang begitu tinggi. Dan proses demokrasi di Jawa Timur pada waktu itu benar-benar diuji dan hasilnya berjalan baik. Walaupun masih (tetap) ada beberapa kejanggalan (pelanggaran) yang dilakukan oleh beberapa pasangan calon dan tim sukses para calon pada waktu sebelum hari pemilihan atau saat pemilihan berlangsung (baca:panwas).
Berdasarkan ketetapan komisi pemilihan umum (KPU) bahwa syarat untuk memenangkan pemilihan kapala daerah putaran pertama minimal harus mencapai 30 % suara. Berhubung dari kelima pasangan calon tidak ada yang sampai 30 % suara. KarSa 4.498.332 (26,43%), Ka-Ji 4.223.089 (24,82), SR 3.605.106 (21,18%), Salam 3.290.448 (19,34%), Achsan 1.397.291 (8,21%), KPU akhirnya memutuskan untuk diadakan pemilihan ulang putaran kedua. Maka dua pasangan terbanyak ditetapkan sebagai calon gubernur dan wakil gubernur maju pada putaran kedua, yaitu pasangan Khafifah Indar Parawansyah – Mojiyono (ka-ji) dan pasangan Soekarwo – Saifullah Yusuf (karsa).
Putaran kedua ini tentunya adalah babak “final” bagi kedua calon utuk memperebutkan kursi Jatim. Suasana politik pun jauh lebih semarak dibandingkan dengan putaran pertama. Beberapa tokoh lokal maupun nasional mulai angkat bicara memberikan dukungan politik. Bahkan beberapa organisasi, kiai dan ulama dari pondok pesantren mulai turun gunung untuk mengkampanyekan dukungannya kepada salah satu calon. Ironisnya, dalam acara-acara tertentu, terkadang mereka tidak segan-segan memberikan fatwa, tausiyah, mengajak, atau meghimbau untuk memilih salah satu calon. Bagi masyarakat awam yang panatik langsung meng(ia)kan hal tersebut, karena sudah pilihan kiai dan dianggap benar. Bagi pemilih yang berpengalaman biasanya cendrung mempunyai pilihan sendiri, ia lebih melihat track record para calon terlebih dahulu dan tidak terpengaruh dengan tindakan semacam itu.
Yang Layak Mimpin
Bapak Andi Samit, seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta, memberikan pandangan kepada kita. Walaupun sebenarnya masyarakat telah mempunyai kecendrungan (menu) sendiri siapa yang akan dipilih nantinya. Kata Andi Samit, minimal calon yang harus dipilih mempunyai tiga “kepastian”. Dan tiga point ini sudah bisa dibaca pada track record masing-masing calon.
Pertama, kepastian berusaha. Melakukan suatu tindakan kongkrit bagi gubernur adalah langkah strategis yang pasti dan yang demikian itu suatu tindakan paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat Jawa Timur nanti. Karena kalau janji kampanye hanya sekedar janji-janji belaka dan hanya dijadikan alat untuk masyarakat bisa antivatif dan memberikan dukungan suara, taruhannya bukan hanya kredibilitas pemimpin itu. Walhasil, proses demokrasi di Jawa Timur akan ditolak mentah-mentah oleh masyarakat.
Kedua, kepastian pembangunan. Salah satu wujud kongkrit dari kepastian berusaha pada paragrap sebelumnya, adalah adanya pertumbuhan pembangunan di segala sektor. Misalnya pembangunan ekonomi, politik, sosial, pendidikan, budaya, kesehatan, pertanian yang selama ini di Jawa Timur masih terlihat lemah. Di berbagai media masyarakat selalu disuguhi tentang tinggginya angka kemiskinan, mahalnya biaya pengobatan, mahalnya biaya pendidikan, pengangguran dimana-mana, biaya pupuk tani mahal dan lain sebagainya. Hemat penulis, ini adalah PR untuk calon yang menang dalam pemilihan gubernur nanti.
Ketiga, kepastian keamanan. Keamanan merupakan sesuatu yang “vital” dalam Negara. Hal ini terkait dengan adanya proses pembangunan di Jawa Timur. Disamping itu juga, Jawa Timur mempunyai sumber alam yang berlimpah ruah yang harus dibentengi dan dilindungi, baik bersumber dari daratan dan lautan. Kalau propinsi keamanan terjamin, banyak para investor betah menanamkan modalnya di Jawa Timur. Sehingga Jawa Timur (harapan kita semua tentunya) menjadi propinsi yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur sebuah propinsi yang makmur, sejahtera dan diridhai oleh-Nya. Semoga!
*Aktif di Lembaga Kajian Survey Nusantara (LAKSNU) & Ketua Pengurus Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya. HP. 081703039434
Langganan:
Postingan (Atom)