12 Februari, 2011

Menuntut Objektivitas Pengadilan Tipikor

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Korupsi terus menjadi bola liar di negeri ini, berganti hari bukan berarti tiada malah semakin muncul kasusnya dimana-mana. Tindakan korupsi tidak hanya dilakukan oleh lembaga pemerintahan tingkat pusat, kini telah sampai kepada tingkatan birokrasi level paling bawah yaitu rukun tetangga (RT). Korupsi juga tidak hanya dilakukan oleh orang berpendidikan saja tetapi oleh masyarakat yang tidak berpendidikan sekalipun. Artinya, tak dapat dipungkiri bahwa korupsi telah menjadi budaya mengakar di negeri ini.


Sederhanya, korupsi itu bisa dimaknai dengan cara-cara penyalahgunaan wewenang, hak tanggung jawab dan juga bisa didefinisikan sebagai perbuatan mengambil hak orang lain dan negara.


Akibat maraknya tindak korupsi di Indonesia, maka negara – dalam hal ini pemerintah membuat lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelesaikan persoalan korupsi ini. Walaupun di tubuh KPK dalam perjalannya selalu tertatih-tatih karena mendapat batu sandungan, dirunding banyak masalah atau (memang) ada yang dengan sengaja membuat ganjalan agar KPK kehilangan nyalinya. Dengan demikian, sehingga KPK tidak sempat melihat persoalan korupsi yang terjadi di negeri ini, ia (KPK) sibuk mengurus dirinya dalam berbagai persoalan yang melilitnya.


KPK tugasnya memang hanya sebatas penyidikan dan tidak sampai pada tahap penyidangan dan memberikan vonis. Ketika KPK mempunyai bukti persidangan lengkap perkara akan diserahkan kepada pengadilan untuk disidangkan dalam hal ini pengadilan Tindak Pidana Korupsi (tipikor). Di Tipikor ini posisi koruptor akan ditentukan, apakah bernasib sial atau melenggang dengan selamat atas perbuatannya.


Tipikor vs Koruptor
Diresmikannya lembaga pengadilan Tipikor di Surabaya oleh ketua Pengadilan Tipikor Jakarta tentunya memberikan angin segar bagi masyarakat daerah Jawa Timur untuk menyelesaikan (setidak bisa meminimalisir) kasus korupsi yang ada di Jatim (Metropolish, 18/12/2010). Adanya pengadilan baru ini dimaksudkan untuk mempermudah akses masyarakat dalam rangka melaporkan adanya indikasi dan tindakan korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Tidak harus ke Jakarta. Tetapi juga diresmikannya pengadilan Tipikor dimaksud menjadi sebuah ganjalan bagi mereka berniat jahat untuk meraup untung dari kekayaan negara.


Lalu pertanyaannya, apa ada jaminan bahwa pengadilan Tipikor di Surabaya benar-benar mampu mengatasi beberapa kasus korupsi yang tengah terjadi di beberapa daerah Jawa Timur? Tentunya kita sebagai bangsa yang baik tetap optimis bahwa lembaga pengadilan tersebut akan mampu menyelesaikan persoalan korupsi yang ada. Walaupun kita bersifat optimis, tetapi tidak 100 persen, tetap ada sifat pesimis dalam menilai kinerja pengadilan Tipikor yang baru diresmikan itu. Juga adalah sebuah keniscayaan bahwa lembaga pengadilan tersebut tidak akan mampu menyelesaikan persoalan yang ada. Kenapa?


Sudah menjadi kebiasaan bangsa ini, jika terjadi suatu tindakan yang tidak mengenakkan baru terburu-buru dibuatkan lembaga untuk menyelesaikan persoalan yang sedang berlangsung itu. Padahal dalam bahasa kesehatannya: menyegah lebih baik dari pada mengobati. Walaupun lembaga tersebut nantinya dibuat memang untuk melegalkan tindakan-tindakan menyimpang tadi, seperti para koruptor yang melenggang bebas karena mampu membeli pasal-pasal. Tidak sedikit (untuk tidak mengatakan banyak) dijumpai dalam beberapa persidangan tetap saja yang menang mereka yang memang terjilat kasus koruspi hanya dirinya mampu membayar pasal, sehingga pasal-pasal itu dimodifikasi sedemikian rupa untuk menyelamatkan dirinya. Kalau seperti itu, adanya pengadilan Tipikor hanya sebuah serimonial belaka. Adanya seperti tidak ada.


Tentunya kita tidak mau dengan tindakan kotor semacam itu. Pengadilan Tipikor yang baru diresmikan di Surabaya hendaknya bakal bekerja sesuai dengan tuntutan, harapan, mewakili dan menjadi metra masyarakat, tidak mewakili atau bahkan membela yang salah (koruptor) karena mampu membeli pasal-pasal. Memang kita akui bahwa menyelesaikan kasus korupsi tidak segampang membalik telapak tangan, tetapi dengan usaha objektif yang dilakukan oleh hakim Tipikor minimal menjadi sebuah pintu gerbang bagi bangsa ini untuk menyelesaikan persoalan korupsi di Indonesia, khsusunya di beberapa daerah di Jawa Timur.


Banyak PR yang harus digarap oleh lembaga pengadilan baru ini, salah-satunya adalah kasus P2SEM yang hingga kini masih belum menemukan titik temu. Bahkan kasus tersebut terus menjadi bola salju (saling catut) dan hampir setiap hari beritanya terus menghiasi beberapa halaman di media massa (koran). Akibat lambatnya penyelesaian kasus tersebut, berakibat pula terhadap citra buruk birokrasi Jawa Timur disatu sisi. Pada sisi yang lain masyarakat luar bisa memberikan penilaian bahwa penegakan hukum di Jawa Timur masih terkesan lemah.


Hadirnya lembaga pengadilan Tipikor ini hendaknya cukup respek dan objektif terhadap persoalan korupsi serta tidak melihat sebelah dalam menyelesaikan kasus korupsi. Kalau yang demikian bisa dilakukan oleh hakim Tipikor masyarakat akan antipatif terhadap hadirnya pengadilan Tipikor di Surabaya. Kalau tidak, masyarakat akan menolak dan tidak mempercayai kehadiran pengadilan Tipikor itu.



*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya

note: dimuat di kompas