Oleh: Ach. Syaiful A'la*
Fenomena baru di Negara-negara non muslim terakhir ini, seperti di negara Amerika Serikat (AS) pasca hancurnya gedung WTC adalah masyarakat disana banyak yang membeli dan membaca Al-Qur’an. Kitab suci ini menjadi kitab terlaris dan banyak dibaca orang di Negara adikuasa tersebut. Maka tidak heran jika Philip K. Hitti mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kitab yang paling banyak dibaca sepanjang sejarah umat manusia.
Al-Qur'an juga merupakan satu-satunya kitab yang terus-menerus dihafal oleh ratusan ribu manusia. Bukan hanya oleh mereka yang mengerti bahasa Arab, namun juga oleh mereka yang sama sekali tidak pernah belajar bahasa Arab. Mereka membaca dengan tekun dan menghafal dengan telaten. Sehingga banyak diantara mereka mengkhatamkan bacaan al-Qur'an beberapa puluh kali dalam hidupnya, dan menyelesaikan hafalan al-Qur'an dari halaman pertama hingga terakhir, tanpa satu huruf pun tertinggal. Tidak ada satu buku atau kitab suci pun yang bisa menandingi atau paling tidak menyamai al-Qur'an dalam hal ini.
Itu baru dalam hal dibaca dan dihafal. Bagaimana halnya dengan usaha menggali kandungan al-Qur'an? Ratusan hingga ribuan buku telah diterbitkan dalam usaha manusia menggali kandungan al-Qur'an. Dari buku yang hanya memuat beberapa halaman hingga buku yang memuat puluhan jilid. Dari buku paling sederhana yang ditujukan untuk orang-orang awam, hingga buku yang jlimet yang hanya bisa dipahami orang-orang yang mempunyai kapasitas keilmuan yang memadahi. Dari buku yang mengajarkan cara membaca al-Qur'an, hingga buku yang membahas makna al-Qur'an kata perkata. Dari buku yang ditulis orang yang sangat shaleh sampai orang yang amat thaleh; dari orang yang ingin menunjukkan kemukjizatan al-Qur'an hingga orang yang mencoba menunjukkan kepalsuan al-Qur'an sebagai wahyu dari Tuhan Semesta Alam. Dan seterusnya.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba dari Al-Qur’an yang cukup umum (general) itu, mengambil suatu bahasan tentang Amthal (perumpamaan-perumpamaan) dalam Al-Qur’an kaitannya dengan pendidikan. Apakah ada hubungannya materi (amthal) tersebut atau tidak? Secara tegas tulisan ini berdasar definisi dari amthal pada bahasan sebelumnya ada keterkaitan antara materi amthal dengan pendidikan (khusus konsentrasi kajian media pembelajaran). Artinya studi tentang Amthal dalam studi Al-Qur’an ketika disandingkan dengan pendidikan, penulis menyebutnya dengan sebuah media (alat) dalam pembelajaran.
Sadiman (2006) menyebutkan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar.
Berdasarkan definisi tersebut, media pembelajaran memiliki manfaat yang besar dalam memudahkan siswa mempelajari materi pelajaran. Media pembelajaran yang digunakan harus dapat menarik perhatian siswa pada kegiatan belajar mengajar dan lebih merangsang kegiatan belajar siswa.
Bruner (1966) mengungkapkan ada tiga tingkatan utama modus belajar, seperti: enactive (pengalaman langsung), iconic (pengalaman piktorial atau gambar), dan symbolic (pengalaman abstrak). Pemerolehan pengetahuan dan keterampilan serta perubahan sikap dan perilaku dapat terjadi karena adanya interaksi antara pengalaman baru dengan pengalaman yang telah dialami sebelumnya melalui proses belajar. Sebagai ilustrasi misalnya, belajar untuk memahami apa dan bagaimana mencangkok.
Dalam tingkatan pengalaman langsung, untuk memperoleh pemahaman pebelajar secara langsung mengerjakan atau membuat cangkokan. Pada tingkatan kedua, iconic, pemahaman tentang mencangkok dipelajari melalui gambar, foto, film atau rekaman video. Selanjutnya pada tingkatan pengalaman abstrak, siswa memahaminya lewat membaca atau mendengar dan mencocokkannya dengan pengalaman melihat orang mencangkok atau dengan pengalamannya sendiri.
Walhasil, bahwa media pembelajaran merupakan medium (alat) penyampai pesan (materi dari seorang pengajar kepada peserta ajar dalam pendidikan) untuk maksud tertentu agar penerima menjadi faham (baca: Alo, 2010). Begitu juga amthal dalam Al-Qur’an, bahasa-bahasa (amthal) itu digunakan oleh Allah SWT sebagai penyampai teks dengan maksud agar supaya gampang difahami makna teksnya oleh pendengar (manusia). Sehingga adanya media (amthal) sangat penting dalam beberapa aspek, baik dalam melakukan komunikasi ditengah-tengah masyarakat juga dalam pembelajaran di dalam dunia pendidikan.
*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
note: dimuat di website NU Online (kolom)
12 Februari, 2011
Menuntut Objektivitas Pengadilan Tipikor
Oleh: Ach. Syaiful A'la*
Korupsi terus menjadi bola liar di negeri ini, berganti hari bukan berarti tiada malah semakin muncul kasusnya dimana-mana. Tindakan korupsi tidak hanya dilakukan oleh lembaga pemerintahan tingkat pusat, kini telah sampai kepada tingkatan birokrasi level paling bawah yaitu rukun tetangga (RT). Korupsi juga tidak hanya dilakukan oleh orang berpendidikan saja tetapi oleh masyarakat yang tidak berpendidikan sekalipun. Artinya, tak dapat dipungkiri bahwa korupsi telah menjadi budaya mengakar di negeri ini.
Sederhanya, korupsi itu bisa dimaknai dengan cara-cara penyalahgunaan wewenang, hak tanggung jawab dan juga bisa didefinisikan sebagai perbuatan mengambil hak orang lain dan negara.
Akibat maraknya tindak korupsi di Indonesia, maka negara – dalam hal ini pemerintah membuat lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelesaikan persoalan korupsi ini. Walaupun di tubuh KPK dalam perjalannya selalu tertatih-tatih karena mendapat batu sandungan, dirunding banyak masalah atau (memang) ada yang dengan sengaja membuat ganjalan agar KPK kehilangan nyalinya. Dengan demikian, sehingga KPK tidak sempat melihat persoalan korupsi yang terjadi di negeri ini, ia (KPK) sibuk mengurus dirinya dalam berbagai persoalan yang melilitnya.
KPK tugasnya memang hanya sebatas penyidikan dan tidak sampai pada tahap penyidangan dan memberikan vonis. Ketika KPK mempunyai bukti persidangan lengkap perkara akan diserahkan kepada pengadilan untuk disidangkan dalam hal ini pengadilan Tindak Pidana Korupsi (tipikor). Di Tipikor ini posisi koruptor akan ditentukan, apakah bernasib sial atau melenggang dengan selamat atas perbuatannya.
Tipikor vs Koruptor
Diresmikannya lembaga pengadilan Tipikor di Surabaya oleh ketua Pengadilan Tipikor Jakarta tentunya memberikan angin segar bagi masyarakat daerah Jawa Timur untuk menyelesaikan (setidak bisa meminimalisir) kasus korupsi yang ada di Jatim (Metropolish, 18/12/2010). Adanya pengadilan baru ini dimaksudkan untuk mempermudah akses masyarakat dalam rangka melaporkan adanya indikasi dan tindakan korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Tidak harus ke Jakarta. Tetapi juga diresmikannya pengadilan Tipikor dimaksud menjadi sebuah ganjalan bagi mereka berniat jahat untuk meraup untung dari kekayaan negara.
Lalu pertanyaannya, apa ada jaminan bahwa pengadilan Tipikor di Surabaya benar-benar mampu mengatasi beberapa kasus korupsi yang tengah terjadi di beberapa daerah Jawa Timur? Tentunya kita sebagai bangsa yang baik tetap optimis bahwa lembaga pengadilan tersebut akan mampu menyelesaikan persoalan korupsi yang ada. Walaupun kita bersifat optimis, tetapi tidak 100 persen, tetap ada sifat pesimis dalam menilai kinerja pengadilan Tipikor yang baru diresmikan itu. Juga adalah sebuah keniscayaan bahwa lembaga pengadilan tersebut tidak akan mampu menyelesaikan persoalan yang ada. Kenapa?
Sudah menjadi kebiasaan bangsa ini, jika terjadi suatu tindakan yang tidak mengenakkan baru terburu-buru dibuatkan lembaga untuk menyelesaikan persoalan yang sedang berlangsung itu. Padahal dalam bahasa kesehatannya: menyegah lebih baik dari pada mengobati. Walaupun lembaga tersebut nantinya dibuat memang untuk melegalkan tindakan-tindakan menyimpang tadi, seperti para koruptor yang melenggang bebas karena mampu membeli pasal-pasal. Tidak sedikit (untuk tidak mengatakan banyak) dijumpai dalam beberapa persidangan tetap saja yang menang mereka yang memang terjilat kasus koruspi hanya dirinya mampu membayar pasal, sehingga pasal-pasal itu dimodifikasi sedemikian rupa untuk menyelamatkan dirinya. Kalau seperti itu, adanya pengadilan Tipikor hanya sebuah serimonial belaka. Adanya seperti tidak ada.
Tentunya kita tidak mau dengan tindakan kotor semacam itu. Pengadilan Tipikor yang baru diresmikan di Surabaya hendaknya bakal bekerja sesuai dengan tuntutan, harapan, mewakili dan menjadi metra masyarakat, tidak mewakili atau bahkan membela yang salah (koruptor) karena mampu membeli pasal-pasal. Memang kita akui bahwa menyelesaikan kasus korupsi tidak segampang membalik telapak tangan, tetapi dengan usaha objektif yang dilakukan oleh hakim Tipikor minimal menjadi sebuah pintu gerbang bagi bangsa ini untuk menyelesaikan persoalan korupsi di Indonesia, khsusunya di beberapa daerah di Jawa Timur.
Banyak PR yang harus digarap oleh lembaga pengadilan baru ini, salah-satunya adalah kasus P2SEM yang hingga kini masih belum menemukan titik temu. Bahkan kasus tersebut terus menjadi bola salju (saling catut) dan hampir setiap hari beritanya terus menghiasi beberapa halaman di media massa (koran). Akibat lambatnya penyelesaian kasus tersebut, berakibat pula terhadap citra buruk birokrasi Jawa Timur disatu sisi. Pada sisi yang lain masyarakat luar bisa memberikan penilaian bahwa penegakan hukum di Jawa Timur masih terkesan lemah.
Hadirnya lembaga pengadilan Tipikor ini hendaknya cukup respek dan objektif terhadap persoalan korupsi serta tidak melihat sebelah dalam menyelesaikan kasus korupsi. Kalau yang demikian bisa dilakukan oleh hakim Tipikor masyarakat akan antipatif terhadap hadirnya pengadilan Tipikor di Surabaya. Kalau tidak, masyarakat akan menolak dan tidak mempercayai kehadiran pengadilan Tipikor itu.
*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
note: dimuat di kompas
Korupsi terus menjadi bola liar di negeri ini, berganti hari bukan berarti tiada malah semakin muncul kasusnya dimana-mana. Tindakan korupsi tidak hanya dilakukan oleh lembaga pemerintahan tingkat pusat, kini telah sampai kepada tingkatan birokrasi level paling bawah yaitu rukun tetangga (RT). Korupsi juga tidak hanya dilakukan oleh orang berpendidikan saja tetapi oleh masyarakat yang tidak berpendidikan sekalipun. Artinya, tak dapat dipungkiri bahwa korupsi telah menjadi budaya mengakar di negeri ini.
Sederhanya, korupsi itu bisa dimaknai dengan cara-cara penyalahgunaan wewenang, hak tanggung jawab dan juga bisa didefinisikan sebagai perbuatan mengambil hak orang lain dan negara.
Akibat maraknya tindak korupsi di Indonesia, maka negara – dalam hal ini pemerintah membuat lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelesaikan persoalan korupsi ini. Walaupun di tubuh KPK dalam perjalannya selalu tertatih-tatih karena mendapat batu sandungan, dirunding banyak masalah atau (memang) ada yang dengan sengaja membuat ganjalan agar KPK kehilangan nyalinya. Dengan demikian, sehingga KPK tidak sempat melihat persoalan korupsi yang terjadi di negeri ini, ia (KPK) sibuk mengurus dirinya dalam berbagai persoalan yang melilitnya.
KPK tugasnya memang hanya sebatas penyidikan dan tidak sampai pada tahap penyidangan dan memberikan vonis. Ketika KPK mempunyai bukti persidangan lengkap perkara akan diserahkan kepada pengadilan untuk disidangkan dalam hal ini pengadilan Tindak Pidana Korupsi (tipikor). Di Tipikor ini posisi koruptor akan ditentukan, apakah bernasib sial atau melenggang dengan selamat atas perbuatannya.
Tipikor vs Koruptor
Diresmikannya lembaga pengadilan Tipikor di Surabaya oleh ketua Pengadilan Tipikor Jakarta tentunya memberikan angin segar bagi masyarakat daerah Jawa Timur untuk menyelesaikan (setidak bisa meminimalisir) kasus korupsi yang ada di Jatim (Metropolish, 18/12/2010). Adanya pengadilan baru ini dimaksudkan untuk mempermudah akses masyarakat dalam rangka melaporkan adanya indikasi dan tindakan korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Tidak harus ke Jakarta. Tetapi juga diresmikannya pengadilan Tipikor dimaksud menjadi sebuah ganjalan bagi mereka berniat jahat untuk meraup untung dari kekayaan negara.
Lalu pertanyaannya, apa ada jaminan bahwa pengadilan Tipikor di Surabaya benar-benar mampu mengatasi beberapa kasus korupsi yang tengah terjadi di beberapa daerah Jawa Timur? Tentunya kita sebagai bangsa yang baik tetap optimis bahwa lembaga pengadilan tersebut akan mampu menyelesaikan persoalan korupsi yang ada. Walaupun kita bersifat optimis, tetapi tidak 100 persen, tetap ada sifat pesimis dalam menilai kinerja pengadilan Tipikor yang baru diresmikan itu. Juga adalah sebuah keniscayaan bahwa lembaga pengadilan tersebut tidak akan mampu menyelesaikan persoalan yang ada. Kenapa?
Sudah menjadi kebiasaan bangsa ini, jika terjadi suatu tindakan yang tidak mengenakkan baru terburu-buru dibuatkan lembaga untuk menyelesaikan persoalan yang sedang berlangsung itu. Padahal dalam bahasa kesehatannya: menyegah lebih baik dari pada mengobati. Walaupun lembaga tersebut nantinya dibuat memang untuk melegalkan tindakan-tindakan menyimpang tadi, seperti para koruptor yang melenggang bebas karena mampu membeli pasal-pasal. Tidak sedikit (untuk tidak mengatakan banyak) dijumpai dalam beberapa persidangan tetap saja yang menang mereka yang memang terjilat kasus koruspi hanya dirinya mampu membayar pasal, sehingga pasal-pasal itu dimodifikasi sedemikian rupa untuk menyelamatkan dirinya. Kalau seperti itu, adanya pengadilan Tipikor hanya sebuah serimonial belaka. Adanya seperti tidak ada.
Tentunya kita tidak mau dengan tindakan kotor semacam itu. Pengadilan Tipikor yang baru diresmikan di Surabaya hendaknya bakal bekerja sesuai dengan tuntutan, harapan, mewakili dan menjadi metra masyarakat, tidak mewakili atau bahkan membela yang salah (koruptor) karena mampu membeli pasal-pasal. Memang kita akui bahwa menyelesaikan kasus korupsi tidak segampang membalik telapak tangan, tetapi dengan usaha objektif yang dilakukan oleh hakim Tipikor minimal menjadi sebuah pintu gerbang bagi bangsa ini untuk menyelesaikan persoalan korupsi di Indonesia, khsusunya di beberapa daerah di Jawa Timur.
Banyak PR yang harus digarap oleh lembaga pengadilan baru ini, salah-satunya adalah kasus P2SEM yang hingga kini masih belum menemukan titik temu. Bahkan kasus tersebut terus menjadi bola salju (saling catut) dan hampir setiap hari beritanya terus menghiasi beberapa halaman di media massa (koran). Akibat lambatnya penyelesaian kasus tersebut, berakibat pula terhadap citra buruk birokrasi Jawa Timur disatu sisi. Pada sisi yang lain masyarakat luar bisa memberikan penilaian bahwa penegakan hukum di Jawa Timur masih terkesan lemah.
Hadirnya lembaga pengadilan Tipikor ini hendaknya cukup respek dan objektif terhadap persoalan korupsi serta tidak melihat sebelah dalam menyelesaikan kasus korupsi. Kalau yang demikian bisa dilakukan oleh hakim Tipikor masyarakat akan antipatif terhadap hadirnya pengadilan Tipikor di Surabaya. Kalau tidak, masyarakat akan menolak dan tidak mempercayai kehadiran pengadilan Tipikor itu.
*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
note: dimuat di kompas
Ironi Tol Tengah Kota Surabaya
Oleh: Ach. Syaiful A'la*
Kontroversi atas rencana pembangunan Tol Tengah Kota Surabaya terus menggelinding tak ada habinya. Sepertinya tidak akan menemukan ujung temu selama tidak ada kompromi antara yang pro dan yang kontra terhadap adanya garapan proyek tersebut. Hal itu terjadi karena antara pihak yang pro (pemerintah pusat, pemprov dan DPRD kota Surabaya) dan yang menolak dalam hal ini pemkot sama-sama memiliki prinsip dan kepentingan (politik) yang berbeda, baik kepentingan kebijakan yang beroientasi terhadap pemberdayaan terhadap masyarakat Surabaya yang sifatnya populis atau yang malah sebaliknya.
Sejenak, rencana pembangunan Tol Tengah Kota Surabaya tujuannya memang dimaksudkan untuk memperlancar sarana transfortasi guna Surabaya bisa meminimalisir terjadi kemacetan. Karena bahasa macet bagi Surabaya juga merupakan bahasa yang tak asing lagi dan sungguh menjenuhkan tetapi tidak boleh didiamkan dan harus dicarikan penyelesaiannya. Untuk menghindari dari problem kemacetan itu, apakah dengan pembangunan jalan Tol Tengah Kota akan benar-benar menjadi sebuah solusi? Bagaimana nasib pemilik lahan terhadap pembebasan yang akan dilintasi Tol Tengah Kota? Berapa kerugian masyarakat terdampak? Dampaknya terhadap pendidikan? Siapa saja yang akan menjadi korban dari pembangunan jalan Tol Tengah Kota nanti? Lalu siapa yang beruntung? Kalau beberapa pertanyaan itu dijawab secara objekif, kita (khususnya warga Surabaya) akan tahu apakah pembangunan Tol Tengah Kota itu sebagai wujud final untuk kepentingan warga atau siapa?
***
Hari Selasa, massa tergabung dalam satu visi dan misi yang menyatakan menolak terhadap rencana pembangunan Tol Tengah Kota Surabaya melakukan aksi agar rencana tersebut dibatalkan. Dan pengunjuk menuntut agar ketua DPRD Surabaya mundur dari jabatannya karena kebijakan-kebijakannya yang tidak berpihak pada rakyat.
Ada yang menarik sebenarnya dari aksi massa yang menolak pembangunan Tol Tengah Kota itu. Menariknya adalah tanggapan Ketua Dewan DPRD Surabaya, Wishnu Wardhana (WW) terhadap tuntutan massa. Saya terkejut dan sangat kecewa ketika membaca jawaban Ketua DPRD Surabaya itu di sebuah koran terhadap para demontran. “Tol tengah kota bakal membuat transfortasi menuju Madura jauh lebih cepat lagi karena tidak perlu lagi terjebak macet di Jl. A. Yani maupun Wonokromo Surabaya” (Metropolis, 25/1/2011).
Hemat saya, jawaban itu bukanlah sebuah jawaban yang solutif dari seorang pemimpin kalau memang bijak, tetapi adalah ngapusi. Bukan pula jawaban yang berarti tetapi mau menggeruguti. Karena pembangunan jalan Tol Tengah Kota adalah bukan milik orang Madura, tetapi untuk masyarakat Surabaya. Apakah karena yang melakukan demo kebanyakan berasal dari Madura kemudian dijadikan senjata untuk sebuah jawaban untuk menyelamatkan kepentingannya? Padahal sampai saat ini belum ada aksi secara khusus yang dilakukan oleh masyarakat Madura yang melakukan tuntutan tentang persoalan kemacetan kemacetan di Surabaya lantaran ia (orang Madura) mempunyai usaha melalui jalur transportasi. Sungguh sebuah jawaban yang tanpa alasan dan tidak pantas diucapkan seorang atasan.
Dari jawaban itu, masyarakat tentunya sudah tidak usa susah mencari jawaban tentang apakah pembangunan Tol Tengah Kota itu betul-betul sebagai bentuk kebijakan pemberdayaan terhadap rakyat atau hanya kepentingan beberapa oknom yang telah ditunggangi para investor. Mereka yang hanya berfikir tentang modernisasi tanpa bisa beradaptasi dengan masyarakat yang jarang makan nasi. Yang dilihat hanyalah sebuah keuntungan besar untuk kepentingan diri dan kelompoknya yang terkadang – maaf – berkedok untuk pembangunan negara.
Ketika pemerintah merencanakan suatu proyek hendaknya membuat kesepakatan dulu dengan masyarakat, melakukan serap aspirasi apakah pembangunan seperti Tol Tengah Kota benar-benar bermamfaat adanya dan dibutuhkan oleh masyarakat Surabaya. Itulah yang disebut dengan sistem demokrasi. Karena pada dasarnya, asas dari demokrasi adalah konsep musyawarahnya, mencari titik temu (solusi) dengan cara bersama-sama.
Bersama-sama disini tidak cukup kalau hanya eksekutif dan legeslatif. Karena legeslatif (dewan) yang saat ini sebagai wakil rakyat, sementara rakyat sudah mulai tidak percaya dengan wakilnya. Kenapa? Karena kebijakan-kebijakannya yang cenderung untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Kenapa pembangunan Tol Tengah Kota mendapat perlawanan dari masyarakat, ini bertanda bahwa kebijakan yang dibuat adalah sepihak. Pasilitas seperti Tol Tengah Kota (bukan berarti tidak dibuthukan untuk mengatasi kemacetan di kota Surabaya) melainkan tanpa sebuah konsep dan analisis dan tepat.
*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
Kontroversi atas rencana pembangunan Tol Tengah Kota Surabaya terus menggelinding tak ada habinya. Sepertinya tidak akan menemukan ujung temu selama tidak ada kompromi antara yang pro dan yang kontra terhadap adanya garapan proyek tersebut. Hal itu terjadi karena antara pihak yang pro (pemerintah pusat, pemprov dan DPRD kota Surabaya) dan yang menolak dalam hal ini pemkot sama-sama memiliki prinsip dan kepentingan (politik) yang berbeda, baik kepentingan kebijakan yang beroientasi terhadap pemberdayaan terhadap masyarakat Surabaya yang sifatnya populis atau yang malah sebaliknya.
Sejenak, rencana pembangunan Tol Tengah Kota Surabaya tujuannya memang dimaksudkan untuk memperlancar sarana transfortasi guna Surabaya bisa meminimalisir terjadi kemacetan. Karena bahasa macet bagi Surabaya juga merupakan bahasa yang tak asing lagi dan sungguh menjenuhkan tetapi tidak boleh didiamkan dan harus dicarikan penyelesaiannya. Untuk menghindari dari problem kemacetan itu, apakah dengan pembangunan jalan Tol Tengah Kota akan benar-benar menjadi sebuah solusi? Bagaimana nasib pemilik lahan terhadap pembebasan yang akan dilintasi Tol Tengah Kota? Berapa kerugian masyarakat terdampak? Dampaknya terhadap pendidikan? Siapa saja yang akan menjadi korban dari pembangunan jalan Tol Tengah Kota nanti? Lalu siapa yang beruntung? Kalau beberapa pertanyaan itu dijawab secara objekif, kita (khususnya warga Surabaya) akan tahu apakah pembangunan Tol Tengah Kota itu sebagai wujud final untuk kepentingan warga atau siapa?
***
Hari Selasa, massa tergabung dalam satu visi dan misi yang menyatakan menolak terhadap rencana pembangunan Tol Tengah Kota Surabaya melakukan aksi agar rencana tersebut dibatalkan. Dan pengunjuk menuntut agar ketua DPRD Surabaya mundur dari jabatannya karena kebijakan-kebijakannya yang tidak berpihak pada rakyat.
Ada yang menarik sebenarnya dari aksi massa yang menolak pembangunan Tol Tengah Kota itu. Menariknya adalah tanggapan Ketua Dewan DPRD Surabaya, Wishnu Wardhana (WW) terhadap tuntutan massa. Saya terkejut dan sangat kecewa ketika membaca jawaban Ketua DPRD Surabaya itu di sebuah koran terhadap para demontran. “Tol tengah kota bakal membuat transfortasi menuju Madura jauh lebih cepat lagi karena tidak perlu lagi terjebak macet di Jl. A. Yani maupun Wonokromo Surabaya” (Metropolis, 25/1/2011).
Hemat saya, jawaban itu bukanlah sebuah jawaban yang solutif dari seorang pemimpin kalau memang bijak, tetapi adalah ngapusi. Bukan pula jawaban yang berarti tetapi mau menggeruguti. Karena pembangunan jalan Tol Tengah Kota adalah bukan milik orang Madura, tetapi untuk masyarakat Surabaya. Apakah karena yang melakukan demo kebanyakan berasal dari Madura kemudian dijadikan senjata untuk sebuah jawaban untuk menyelamatkan kepentingannya? Padahal sampai saat ini belum ada aksi secara khusus yang dilakukan oleh masyarakat Madura yang melakukan tuntutan tentang persoalan kemacetan kemacetan di Surabaya lantaran ia (orang Madura) mempunyai usaha melalui jalur transportasi. Sungguh sebuah jawaban yang tanpa alasan dan tidak pantas diucapkan seorang atasan.
Dari jawaban itu, masyarakat tentunya sudah tidak usa susah mencari jawaban tentang apakah pembangunan Tol Tengah Kota itu betul-betul sebagai bentuk kebijakan pemberdayaan terhadap rakyat atau hanya kepentingan beberapa oknom yang telah ditunggangi para investor. Mereka yang hanya berfikir tentang modernisasi tanpa bisa beradaptasi dengan masyarakat yang jarang makan nasi. Yang dilihat hanyalah sebuah keuntungan besar untuk kepentingan diri dan kelompoknya yang terkadang – maaf – berkedok untuk pembangunan negara.
Ketika pemerintah merencanakan suatu proyek hendaknya membuat kesepakatan dulu dengan masyarakat, melakukan serap aspirasi apakah pembangunan seperti Tol Tengah Kota benar-benar bermamfaat adanya dan dibutuhkan oleh masyarakat Surabaya. Itulah yang disebut dengan sistem demokrasi. Karena pada dasarnya, asas dari demokrasi adalah konsep musyawarahnya, mencari titik temu (solusi) dengan cara bersama-sama.
Bersama-sama disini tidak cukup kalau hanya eksekutif dan legeslatif. Karena legeslatif (dewan) yang saat ini sebagai wakil rakyat, sementara rakyat sudah mulai tidak percaya dengan wakilnya. Kenapa? Karena kebijakan-kebijakannya yang cenderung untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Kenapa pembangunan Tol Tengah Kota mendapat perlawanan dari masyarakat, ini bertanda bahwa kebijakan yang dibuat adalah sepihak. Pasilitas seperti Tol Tengah Kota (bukan berarti tidak dibuthukan untuk mengatasi kemacetan di kota Surabaya) melainkan tanpa sebuah konsep dan analisis dan tepat.
*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
Langganan:
Postingan (Atom)