Oleh: Ach. Syaiful A'la*
Berbincang mengenai demokrasi, hampir semua pemikir besar menarik kesimpulan simplitis bahwa demokrasi adalah barang aneh bagi masyarakat Muslim. Dengan pendekatan budaya politik (political culture) kemudian mengatakan bahwa perilaku politik, instutisi politik, dan kinerja politik Islam yang tidak mendukung demokrasi berasal dari kultur Islam itu sendiri. Pendapat yang demikian itu dikeluarkan oleh Bernard Lewis, Ernes Gellner, Elie Kedourie, dan Samuel Huntington. Teori yang mereka pakai ingin mengatakan bahwa persoalan utama yang dihadapi demokrasi di dunia Islam bukanlah semata-mata fundamentalisme Islam, melainkan Islam itu sendiri.
Masdar Hilmy, melalui bukunya Teologi Perlawanan; Islamisme dan Diskursus Demokrasi di Indonesia Pasca-Orde Baru (2009), memberikan kontribusi penting dalam kajian Islam dan demokrasi di Indonesia pada masa pasca Orde Baru, terutama dalam konteks pemetaan kelompok Islamis dalam merespon isu demokrasi di Indonesia. Melalui pembahasan analisis-ekstensif, buku ini mengupas tuntas tentang dialektika Islamisme dengan modernitas.
Tumbangnya pemerintahan Orde Baru beralih masa reformasi sedikit (memang) memberikan angin segar bagi bangsa Indonesia termasuk golongan dan aliran kepercayaan (ideology) serta kebebasan berpendapat yang sebelumnya bersembunyi dan dibungkam oleh kekuasaan Seoharto. Meminjam istilahnya Nurcholis Madjid, era reformasi bagaikan kran air, yang kalau dibuka akan berhampuran kesana-sini.
Pasca jatuhnya rezim Soeharto, iklim perpolitikan di Indonesia mengalami perubahan yang sangat signifikan. Ketika Habibie menggantikan Soeharto mencoba mengambil langkah untuk mempercepat pemilihan umum (Pemilu) dan memberikan ruang yang sangat luas kepada masyarakat untuk terlibat langsung dalam berbagai macam partai politik.
Akibatnya berbagai macam partai politik lahir – bagaikan jamur – dijadikan ajang tempat aspirasi dalam berkreasi dan berpartisipasi untuk membangun demokrasi yang hakiki. Bangsa Indonesia yang berada dalam posisi transisi antara otoritarianisme dan demokrasi berupaya membangun esensi demokrasi. Akibatnya, perhelatan politik semakin tajam dan kompetisi dilakukan oleh berbagai kalangan di tengah-tengah rakyat yang masih dalam kemiskinan.
Islamisme di Indonesia
Gerakan untuk mengistitusikan Syari’ah Islam dalam semua lini bentuk pemerintahan dan pengambilan kebijakan di Indonesia tumbuh subur setelah reformasi bergulir. Pada masa Orde Baru, Islamisme dikategorikan sebagai ekstrim kanan. Pemerintah Orde Baru mengambil pendekatan yang keras terhadap gerakan Islamisme. Politik reformasi yang ditandai oleh keterbukaan dan kebebasan politik telah memungkinkan politik Islamisme tumbuh subur. Kelompok-kelompok Islamisme mulai mewarnai kehidupan keagamaan, politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Meminjam bahasanya Greg Fealy dan Anthony Bubalo, Islamisme adalah suatu paham yang menyatakan bahwa Islam harus menentukan segala bidang kehidupan dalam masyarakat. Mulai dari cara pemerintahan, pendidikan, sistem hukum hingga kebudayaan dan ekonomi. Islamisme merupakan upaya untuk menegaskan kembali pesan-pesan politik, sosial dan ekonomi yang diperjuangkan oleh kelompok Islamis.
Dalam bidang keagamaan, Islamisme muncul dalam bentuk puritanisme Islam seperti yang berlangsung di Timur Tengah. Islamisme mengecam praktek keagamaan yang menyesuaikan dengan nilai-nilai lokal. Di Indonesia Islamisme juga mengecam bahkan mengkafirkan aliran-aliran dalam Islam seperti Ahmadiyah, komunitas Eden, Al Qiyadah al-Islamiyah, Darul Arqom, Darul Hadis dan kelompoknya Yusman Roy. Dengan mengecam dan mengkafirkan kelompok lain, Islamisme berniat menguasai secara total tafsir dan praktik keagamaan (Islam) yang ada.
Islam dan Demokrasi
Islam yang sejatinya berwajah lembut serta penuh sentuhan kasih sayang berubah garang kerap menampilkan kekerasan. Islam kini ditengarai pelepas pelatuk terorisme. Beragam kampanye menyeru perlunya curiga pada aktivisme muslim.
Islam adalah agama berisalahkan perdamaian serta cinta kasih. Islam terlahir sebagai agama rahmat bagi semua telah teruji kesahihannya. Hanya keterlibatan faktor lain yang begitu kompleks menjadi penentu terjadinya itu semua. Di Indonesia misalnya, di mana segala biang radikalisasi tertuju pada Islam patut diklarifikasi secepat mungkin.
Menguak akar semangat Islamisme dilahirkan, tujuannya adalah demi kebangkitan atau pembaruan Islam. Islamisme sebagai pemantik ide sentral yang mengilhami Dunia Islam saat tengah berada dalam kemunduran dan bagaimana harus dibenahi. Ruh paham itulah, oleh kelompok besar Islamis diserap langsung dari Ikhwanul Muslimin Mesir sebagai inspirasi dengan menjadikan warisan tradisi revivalis-reformis yang berniat menggerakkan perkembangan sejarah Islam.
Realitas suram demokrasi di pelbagai wilayah Muslim menyisakan tanda tanya besar tentang potensi tumbuhnya demokrasi di wilayah ini. Hal itu tercermin pada minimnya penerimaan masyarakat Muslim terhadap demokrasi dengan tidak terbentuknya sistem demokrasi dalam politik, tidak tersedianya prasyarat stabilitas ekonomi dan politik, tidak adanya pengalaman sejarah pertentangan otoritas agama dan politik, adanya konsep ummah yang kemudian mengancam konsep nation-state, dan tingginya angka kriminalitas yang menjadi isyarat sikap dan prilaku intoleran.
Memahami Islamisme di era reformasi tidaklah sesederhana seperti dalam bayangan banyak orang. Islamisme adalah sebuah entitas dan tidak tunggal, namun dinamis dan penuh teka-teki. Untuk membongkar persepektif tersebut, buku ini adalah jawabannya. Selamat membaca!
*)Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS), Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya
DATA BUKU: (tulisan ini dimuat di SINDO, 23 Jan 2010)
Judul Buku: Teologi Perlawanan; Islamisme dan Diskursus Demokrasi di Indonesia Pasca-Orde Baru
Penulis : Masdar Hilmy, Ph.D
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal: 320 Halaman