Ach. Syaiful A'la*
Sekolah mahal (favorit) seperti sekolah berstandar nasional (SBN), sekolah bertaraf internasional (SBI) dan lainnya sampai detik memang menjadi objek atau sasaran bagi para siswa, orang tua atau wali siswa yang anak asuhnya ingin melanjutkan pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi. Karena sekolah favorit akan jauh lebih berkualitas dibandingkan sekolah yang tidak favorit (sederhana).
Apa yang ada dibenak Anda ketika mendengar kata “sekolah favorit?” Biasanya selalu identik dengan fasilitas yang lengkap, gurunya berpendidikan, sarana-prasarana pembelajaran memadai, misalnya laboratorium, tempat praktikum, lapangan olah raga, komputer, internet dan fasilitas lainnya.
Berbeda dengan sekolah yang tidak favorit (sederhana). Sekolah yang dikelola apa adanya dengan sistem manajemen sederhana biasanya pembelajaran didalamnya cenderung kaku, melokal, media pembelajaran juga tidak memadai, bahkan out put pun biasanya jauh berbeda kualitasnya dibandingkan dengan lulusan sekolah favorit. Walaupun tidak sedikit pula lulusan sekolah yang tidak favorit mampu bersaing dengan dunia pasar sesuai perkembangan zaman. Tapi yang semacam ini bisa dihitung dengan jari.
Pendidikan Gratis
“Kalau ada yang gratis kenapa harus mencari yang mahal” Hemat penulis, semuanya sepakat dengan kata-kata tersebut. Apalagi disaat Negara sedang dilanda berbagai macam krisis. Kemiskinan dimana-mana, angka pengangguran naik, jutaan anak putus sekolah dan lain sebagainya.
Setiap detik tidak sepi kita melihat penawaran di media baik media cetak atau elektronik yang mencekoki kata-kata ”gratis”, mulai iklan penawaran barang sampai dengan penawaran pendidikan (sekolah) gratis. Padahal tidak semua yang gratis itu berkualitas. Adakalanya sebatas pancingan kepada publik agar orang tertarik dan menjadi ketagihan saja. Hal semacam ini merupakan wabah baru yang melanda Negara kita. Akhirnya orang selalu berpikiran yang serba gratis. Tidak mau berusaha. Seperti makan, minum, olah raga, baca koran, baca buku semuanya maunya yang serba gratis. Maka cita-cita luhur pendidikan untuk menciptakan pelajar yang mandiri dan produktif telah gagal.
Melihat kebelakang (flash back), penyelenggaraan pendidikan memang memerlukan biaya. Terkadang tidak ada bedanya antara pendidikan yang bermutu atau tidak bermutu. Bahkan, biaya penyelenggaraan pendidikan yang tidak bermutu justru akan lebih mahal dibandingkan dengan pendidikan yang bermutu, dikarenakan banyaknya kegiatan yang harus diurus (baca : kondisi pendidikan). Oleh sebab itu, sehingga banyak anak-anak yang tidak bisa menikmati pendidikan lantaran biaya pendidikan (sekolah) yang begitu mahal.
Pandangan penulis, pendidikan memang butuh biaya dan (tetap) mahal. Diselenggarakannya pendidikan bebas biaya (gratis) akan berdampak negatif terhadap beberapa kondisi pendidikan Indonesia, antara lain :
Pertama, hilangnya rasa tanggungjawab orang tua siswa terhadap anak didiknya dalam hal pembiayaan pendidikan. Karena semua biaya pendidikan telah ditanggung pihak sekolah. Pendidikan gratis, biasanya juga akan mengurangi rasa kepuasan orang tua dan anak didik setelah lulus. Coba bayangkan, betapa bahagianya orang tua atau wali yang mempunyai tanggungjawab terhadap pembiayaan pendidikan. Sehingga ia perlu mengeluarkan uang untuk membiayai anaknya, kemudian pada saat yang ditunggu-tunggu (pelulusan) si anak benar-benar mampu menyelesaikan pendidikan dengan baik.
Kedua, hilangnya semangat belajar pada siswa (malas). Siswa sudah tidak merasa mempunyai rasa tanggungjawab terhadap pembelajaran. Penyebab utama bisa yang pertama tadi yakni orang tua. Orang tua setiap hari hanya memberikan uang saku habis itu selesai. Karena siswa sudah tidak merasa diperhatikan dan akhirnya kehilangan identitasnya sebagai pelajar yang tidak mau belajar. Padahal yang diharapkan dalam dunia pendidikan adalah belajarnya seorang pelajar. Lebih fatal lagi kalau bisa berlanjut terhadap hilangnya semangat mengajar para guru. Mengajar hanya asal-asalan.
Ketiga, komunikasi orang tua dengan sekolah dan guru mulai luntur. Imam Az-Zarnuji dalam kitabnya Ta'limul Muta'allim menuliskan bahwa orang tua, guru dan anak harus berjalan seimbang. Diibaratkan tiga roda becak, kalau yang satu sudah tidak ada anginya (kepa’, madura) maka becak tersebut tidak akan berjalan lurus alias pincang.
Pendidikan mahal yang dimaksud penulis adalah bukan berarti menghapus atau tidak mau menerima bantuan dari pemerintah. Walaupun Musthafa al-Ghalaini dalam kitabnya Durratun Nasyi'in juga menegaskan bahwa proses pendidikan yang baik adalah proses pendidikan yang dihasilkan dari sumbangan sumberdaya masyarakat. Bukan minta atau ngemis-ngemis bantuan dari pemerintah. Realitasnya, kalau pendidikan sudah ada keterkaitan dengan pemerintah, maka yang selalu menjadi kambing hitam (dikambing hitamkan) adalah pemerintah ketika terjadi persoalan dalam dunia pendidikan.
Misalnya berubahan kebijakan kurikulum, kebijakan anggaran pendidikan sampai kepada ketimpangan-ketimpangan yang terjadi pada pelaksanaan ujian nasional (baca : unas).
Pendidikan gratis memang menjadi impian bersama dan merupakan garapan banyak orang. Bahkan beberapa orang pemerhati pendidikan telah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan alternatif seperti yang dirintis oleh Ahmad Bahruddin, Salatiga. Tapi sekolah tersebut bukan berarti harus bebas dari biaya pendidikan, mainkan hanya murah dan berkualitas (baca : pendidikan alternatif).
Bantuan biaya pendidikan dari pemerintah memang sangat diharapkan. Karena sudah menjadi amanah undang-undang dan tanggungjawab pemerintah dalam mencerdaskan bangsa. Tetapi, akan lebih baik kalau untuk meningkatkan kualitas pendidikan pemerintah memperbanyak bantuan berupa beasiswa prestasi. Kalau pendidikan digratiskan secara keseluruhan yang terjadi adalah ketidakadilan. Tidak ada bedanya antara yang kaya dan miskin. Dengan memperbanyak bantuan beasiswa prestasi, siswa bisa berkompetisi memacu prestasinya untuk mendapatkan (bantuan) beasiswa. Melalui jalur seperti ini, ada tiga hal yang didapat dalam dunia pendidikan kita, yakni pendidikan gratis bagi siswa berprestasi akademik kategori tidak mampu, mencetak pelajar yang produktif, dan terwujudnya pendidikan berkualitas serta insane paripurna. Semoga!
*Mantan Kepala Tata Usaha MTs. Nasy’atul Muta’allimin (NASA) Gapura Timur Sumenep, kini tinggal di Surabaya
15 Februari, 2009
Pendidikan Gratis, Bukan Mimpi Siang Hari
Label:
beasiswa,
edacation,
gratis,
iain,
nasa,
nasy'atul muta'allimin,
pendidikan,
politik,
tarbiyah