Oleh: Ach. Syaiful A'la, S.Pd.I*
“Pada sebagian malam, laksanakanlah shalat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat terpuji”. (QS. Al-Isra’:79).
Sepotong ayat diatas sebenarnya bukan hanya sebagai motivasi bagi kita (manusia), tetapi juga dijadikan sebagai tantangan untuk membuktikan apakah benar atau seberapa besar janji Allah SWT kepada hambanya yang bisa bangun pada malam hari (qiyamu lail) untuk melaksanakan ibadah shalat sunah malam (tahajud).
Banyak orang yang tidak yakin – sebenarnya bukan tidak yakin dengan janji Allah, hanya saja malas untuk melasakannya karena belum terbukti apa-apa terhadap dirinya, akan tetapi tidak sedikit pula orang yang betul-betul tekun dan istiqamah melaksanakan shalat sunnah tahajud telah mencapai derajat yang tinggi, dalam artian mereka sukses dalam menjalani pernak-pernik kehidupan ini.
Gambaran kecil bahwa janji Tuhan benar-benar diberikan kepada hambanya yang melaksanakan shalat sunnah tahajud, seperti Prof. Dr. Muhammad Saleh dalam bukunya yang diberi judul Terapi Shalat Tahajud. Ia sukses menyebuhkan banyak pasiennya hanya dengan terapi shalat sunnah tahajud. Disamping itu masih banyak contoh-contoh lain baik yang tercover dalam buku atau tidak.
Artinya, apa yang bisa dipetik dari contoh diatas bahwa janji Allah SWT dalam QS. Al-Sira’ ayat 79 yang menyatakan bahwa “…Tuhan akan mengangkat ke tempat terpuji bagi yang melaksanakan shalat tahajud” telah teruji dan bisa dibuktikan. Pada sebuah kesimpulan awal, secara logika kita bahwa apabila Tuhan sudah menempatkan manusia pada tempat yang terpuji (maqam al-mahmudah) secara otomatis derajat dimata manusia juga akan tercapai. Dengan tahajud kesuskesan duniawi juga didapat. Seseorang yang melaksanakan shalat sunnah tahajud mendapat dua derajat sekaligus, pertama ia sudah bisa menikmatinya di dunia dan yang kedua nanti di akhirat akan menghadap Tuhannya dengan wajah yang berseri.
Sebagai orang muslim sebenarnya tidak ada yang tidak berminat melaksanakan shalat sunnah tahajud setelah melakukan shalat wajib (fardu) yang lima waktu. Hampir dipastikan semua orang tahu bahwa keistimewaan shalat sunnah tahajud memang luar biasa besar dan menjadi solusi untuk merubah hidup mencapai sukses. Oleh karena itu, tidak ada alasan – bagi orang muslim – untuk tidak melaksanakan shalat sunnah tahajud. Dari itu, maka saatnya kita untuk membudayakan tahajud, kesuksesan juga akan diperoleh dari amalan tahajud.
Orang yang terbiasa melaksanaka shalat sunnah tahajud, maka hidupnya akan tenang. Aneka persoalan yang menerpa terhadap dirinya dianggap sebagai angina berlalu. Dan menurut cerita-cerita dari orang yang istiqamah melaksanakan shalat sunnah tahajud, ketika ia melaksanakan shalat sunnah tahajud, segala macam dinamika hidup yang akan terjadi di esok harinya seperti sudah tergambar saat malam harinya, baik datang dalam mimpi atau terhembus dalam perasaan.
Buku Smart Tahajud; Menjadikan Hidup Lebih Bermakna dan Mulia dengan Tahajud (2009) yang ditulis oleh Nurrahman Effendi ini akan membimbing pembaca dalam rangka untuk mentradisikan gerakan massal shalat tahajud di tengah-tengah kehidupan umat Islam.
Buku yang seperti ini, memang (jujur) telah banyak beredar dipasaran. Tetapi dalam penulisannya (Nurrahman Effendi) mampu mencari cela-cela yang tidak terungkap oleh para penulis sebelumnya, sehingga buku ini menjadi apik dan tetap segar kehadirannya di ruangan pembaca.
Di dalam penyusunannya, buku ini dibagi menjadi 7 (tujuh) bagian. Bagian pertama, menjelaskan bagaimana konsep yang sesuai dengan panduan Al-Qur’an, hendaknya bagi umat Islam sabar dan shalat dijadikan sebagai penolong. Kedua, di dalam melaksanakan shalat bisa memperbaiki niat. Karena shalat bukan semata-mata bisa menjadi pengaruh dan bisa mengubah nasib seseorang dalam hidupnya, akan tetapi shalat sunnah tahajud bukan semata-semata untuk itu, melainkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan mengharap ridha-Nya.
Ketiga, penulis mengupas tentang sejarah shalat sunnah tahajud. Keempat, digambarkanlah janji-janji Allah SWT bagi orang yang dengan istiqamah melaksanakan shalat tahajud. Pembahasan kelima, dituturkan kepada pembaca tentang keajaiban sahalat sunnah tahajud, waktu yang tepat melaksanakan shalat tahajud, cara mendirikan shalat tahajud, shalat tahajudnya Rasulullah SAW dan orang-orang saleh, sampai kepada bagaimana cara agar bisa khusuk ketika melaksanakan shalat sunnah tahajud.
Pembahasan keenam, pembaca akan menjumpai bagaimana resep agar dapat bangun malam (qiyamul lail). Karena sering menjadi alasan bagi seseorang yang tidak melaksanakan shalat sunnah tahajud karena tidak bisa bangun malam. Menjawab problem yang seperti itu dalam buku ini disediakan resep-resepnya secara lengkap.
Akhirul kalam, pembahasan ketujuh, akan dikupas tuntas pengaruh shalat sunnah tahajud bagi kesehatan. Seperti mamfaat gerakan-gerakan dalam shalat sunnah tahajud, obat segela penyakit, dan menjadi obat keresahan jiwa yang sedang lara. Selamat membaca!
*Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS),
Almunus IAIN Sunan Ampel Surabaya
DATA BUKU (dimuat di NU Online, 8/2/2010)
Judul Buku: Smart Tahajud; Menjadikan Hidup Lebih Bermakna dan Mulia dengan Tahajud
Penulis: Nurrahman Effendi
Penerbit: Grafindo, Jakarta
Cetakan : I, November 2009
Tebal: 139 Halaman
09 Februari, 2010
02 Februari, 2010
Membunuh Demokrasi dari Dalam
Oleh: Ach. Syaiful A'la*
Berbincang mengenai demokrasi, hampir semua pemikir besar menarik kesimpulan simplitis bahwa demokrasi adalah barang aneh bagi masyarakat Muslim. Dengan pendekatan budaya politik (political culture) kemudian mengatakan bahwa perilaku politik, instutisi politik, dan kinerja politik Islam yang tidak mendukung demokrasi berasal dari kultur Islam itu sendiri. Pendapat yang demikian itu dikeluarkan oleh Bernard Lewis, Ernes Gellner, Elie Kedourie, dan Samuel Huntington. Teori yang mereka pakai ingin mengatakan bahwa persoalan utama yang dihadapi demokrasi di dunia Islam bukanlah semata-mata fundamentalisme Islam, melainkan Islam itu sendiri.
Masdar Hilmy, melalui bukunya Teologi Perlawanan; Islamisme dan Diskursus Demokrasi di Indonesia Pasca-Orde Baru (2009), memberikan kontribusi penting dalam kajian Islam dan demokrasi di Indonesia pada masa pasca Orde Baru, terutama dalam konteks pemetaan kelompok Islamis dalam merespon isu demokrasi di Indonesia. Melalui pembahasan analisis-ekstensif, buku ini mengupas tuntas tentang dialektika Islamisme dengan modernitas.
Tumbangnya pemerintahan Orde Baru beralih masa reformasi sedikit (memang) memberikan angin segar bagi bangsa Indonesia termasuk golongan dan aliran kepercayaan (ideology) serta kebebasan berpendapat yang sebelumnya bersembunyi dan dibungkam oleh kekuasaan Seoharto. Meminjam istilahnya Nurcholis Madjid, era reformasi bagaikan kran air, yang kalau dibuka akan berhampuran kesana-sini.
Pasca jatuhnya rezim Soeharto, iklim perpolitikan di Indonesia mengalami perubahan yang sangat signifikan. Ketika Habibie menggantikan Soeharto mencoba mengambil langkah untuk mempercepat pemilihan umum (Pemilu) dan memberikan ruang yang sangat luas kepada masyarakat untuk terlibat langsung dalam berbagai macam partai politik.
Akibatnya berbagai macam partai politik lahir – bagaikan jamur – dijadikan ajang tempat aspirasi dalam berkreasi dan berpartisipasi untuk membangun demokrasi yang hakiki. Bangsa Indonesia yang berada dalam posisi transisi antara otoritarianisme dan demokrasi berupaya membangun esensi demokrasi. Akibatnya, perhelatan politik semakin tajam dan kompetisi dilakukan oleh berbagai kalangan di tengah-tengah rakyat yang masih dalam kemiskinan.
Islamisme di Indonesia
Gerakan untuk mengistitusikan Syari’ah Islam dalam semua lini bentuk pemerintahan dan pengambilan kebijakan di Indonesia tumbuh subur setelah reformasi bergulir. Pada masa Orde Baru, Islamisme dikategorikan sebagai ekstrim kanan. Pemerintah Orde Baru mengambil pendekatan yang keras terhadap gerakan Islamisme. Politik reformasi yang ditandai oleh keterbukaan dan kebebasan politik telah memungkinkan politik Islamisme tumbuh subur. Kelompok-kelompok Islamisme mulai mewarnai kehidupan keagamaan, politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Meminjam bahasanya Greg Fealy dan Anthony Bubalo, Islamisme adalah suatu paham yang menyatakan bahwa Islam harus menentukan segala bidang kehidupan dalam masyarakat. Mulai dari cara pemerintahan, pendidikan, sistem hukum hingga kebudayaan dan ekonomi. Islamisme merupakan upaya untuk menegaskan kembali pesan-pesan politik, sosial dan ekonomi yang diperjuangkan oleh kelompok Islamis.
Dalam bidang keagamaan, Islamisme muncul dalam bentuk puritanisme Islam seperti yang berlangsung di Timur Tengah. Islamisme mengecam praktek keagamaan yang menyesuaikan dengan nilai-nilai lokal. Di Indonesia Islamisme juga mengecam bahkan mengkafirkan aliran-aliran dalam Islam seperti Ahmadiyah, komunitas Eden, Al Qiyadah al-Islamiyah, Darul Arqom, Darul Hadis dan kelompoknya Yusman Roy. Dengan mengecam dan mengkafirkan kelompok lain, Islamisme berniat menguasai secara total tafsir dan praktik keagamaan (Islam) yang ada.
Islam dan Demokrasi
Islam yang sejatinya berwajah lembut serta penuh sentuhan kasih sayang berubah garang kerap menampilkan kekerasan. Islam kini ditengarai pelepas pelatuk terorisme. Beragam kampanye menyeru perlunya curiga pada aktivisme muslim.
Islam adalah agama berisalahkan perdamaian serta cinta kasih. Islam terlahir sebagai agama rahmat bagi semua telah teruji kesahihannya. Hanya keterlibatan faktor lain yang begitu kompleks menjadi penentu terjadinya itu semua. Di Indonesia misalnya, di mana segala biang radikalisasi tertuju pada Islam patut diklarifikasi secepat mungkin.
Menguak akar semangat Islamisme dilahirkan, tujuannya adalah demi kebangkitan atau pembaruan Islam. Islamisme sebagai pemantik ide sentral yang mengilhami Dunia Islam saat tengah berada dalam kemunduran dan bagaimana harus dibenahi. Ruh paham itulah, oleh kelompok besar Islamis diserap langsung dari Ikhwanul Muslimin Mesir sebagai inspirasi dengan menjadikan warisan tradisi revivalis-reformis yang berniat menggerakkan perkembangan sejarah Islam.
Realitas suram demokrasi di pelbagai wilayah Muslim menyisakan tanda tanya besar tentang potensi tumbuhnya demokrasi di wilayah ini. Hal itu tercermin pada minimnya penerimaan masyarakat Muslim terhadap demokrasi dengan tidak terbentuknya sistem demokrasi dalam politik, tidak tersedianya prasyarat stabilitas ekonomi dan politik, tidak adanya pengalaman sejarah pertentangan otoritas agama dan politik, adanya konsep ummah yang kemudian mengancam konsep nation-state, dan tingginya angka kriminalitas yang menjadi isyarat sikap dan prilaku intoleran.
Memahami Islamisme di era reformasi tidaklah sesederhana seperti dalam bayangan banyak orang. Islamisme adalah sebuah entitas dan tidak tunggal, namun dinamis dan penuh teka-teki. Untuk membongkar persepektif tersebut, buku ini adalah jawabannya. Selamat membaca!
*)Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS), Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya
DATA BUKU: (tulisan ini dimuat di SINDO, 23 Jan 2010)
Judul Buku: Teologi Perlawanan; Islamisme dan Diskursus Demokrasi di Indonesia Pasca-Orde Baru
Penulis : Masdar Hilmy, Ph.D
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal: 320 Halaman
Berbincang mengenai demokrasi, hampir semua pemikir besar menarik kesimpulan simplitis bahwa demokrasi adalah barang aneh bagi masyarakat Muslim. Dengan pendekatan budaya politik (political culture) kemudian mengatakan bahwa perilaku politik, instutisi politik, dan kinerja politik Islam yang tidak mendukung demokrasi berasal dari kultur Islam itu sendiri. Pendapat yang demikian itu dikeluarkan oleh Bernard Lewis, Ernes Gellner, Elie Kedourie, dan Samuel Huntington. Teori yang mereka pakai ingin mengatakan bahwa persoalan utama yang dihadapi demokrasi di dunia Islam bukanlah semata-mata fundamentalisme Islam, melainkan Islam itu sendiri.
Masdar Hilmy, melalui bukunya Teologi Perlawanan; Islamisme dan Diskursus Demokrasi di Indonesia Pasca-Orde Baru (2009), memberikan kontribusi penting dalam kajian Islam dan demokrasi di Indonesia pada masa pasca Orde Baru, terutama dalam konteks pemetaan kelompok Islamis dalam merespon isu demokrasi di Indonesia. Melalui pembahasan analisis-ekstensif, buku ini mengupas tuntas tentang dialektika Islamisme dengan modernitas.
Tumbangnya pemerintahan Orde Baru beralih masa reformasi sedikit (memang) memberikan angin segar bagi bangsa Indonesia termasuk golongan dan aliran kepercayaan (ideology) serta kebebasan berpendapat yang sebelumnya bersembunyi dan dibungkam oleh kekuasaan Seoharto. Meminjam istilahnya Nurcholis Madjid, era reformasi bagaikan kran air, yang kalau dibuka akan berhampuran kesana-sini.
Pasca jatuhnya rezim Soeharto, iklim perpolitikan di Indonesia mengalami perubahan yang sangat signifikan. Ketika Habibie menggantikan Soeharto mencoba mengambil langkah untuk mempercepat pemilihan umum (Pemilu) dan memberikan ruang yang sangat luas kepada masyarakat untuk terlibat langsung dalam berbagai macam partai politik.
Akibatnya berbagai macam partai politik lahir – bagaikan jamur – dijadikan ajang tempat aspirasi dalam berkreasi dan berpartisipasi untuk membangun demokrasi yang hakiki. Bangsa Indonesia yang berada dalam posisi transisi antara otoritarianisme dan demokrasi berupaya membangun esensi demokrasi. Akibatnya, perhelatan politik semakin tajam dan kompetisi dilakukan oleh berbagai kalangan di tengah-tengah rakyat yang masih dalam kemiskinan.
Islamisme di Indonesia
Gerakan untuk mengistitusikan Syari’ah Islam dalam semua lini bentuk pemerintahan dan pengambilan kebijakan di Indonesia tumbuh subur setelah reformasi bergulir. Pada masa Orde Baru, Islamisme dikategorikan sebagai ekstrim kanan. Pemerintah Orde Baru mengambil pendekatan yang keras terhadap gerakan Islamisme. Politik reformasi yang ditandai oleh keterbukaan dan kebebasan politik telah memungkinkan politik Islamisme tumbuh subur. Kelompok-kelompok Islamisme mulai mewarnai kehidupan keagamaan, politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Meminjam bahasanya Greg Fealy dan Anthony Bubalo, Islamisme adalah suatu paham yang menyatakan bahwa Islam harus menentukan segala bidang kehidupan dalam masyarakat. Mulai dari cara pemerintahan, pendidikan, sistem hukum hingga kebudayaan dan ekonomi. Islamisme merupakan upaya untuk menegaskan kembali pesan-pesan politik, sosial dan ekonomi yang diperjuangkan oleh kelompok Islamis.
Dalam bidang keagamaan, Islamisme muncul dalam bentuk puritanisme Islam seperti yang berlangsung di Timur Tengah. Islamisme mengecam praktek keagamaan yang menyesuaikan dengan nilai-nilai lokal. Di Indonesia Islamisme juga mengecam bahkan mengkafirkan aliran-aliran dalam Islam seperti Ahmadiyah, komunitas Eden, Al Qiyadah al-Islamiyah, Darul Arqom, Darul Hadis dan kelompoknya Yusman Roy. Dengan mengecam dan mengkafirkan kelompok lain, Islamisme berniat menguasai secara total tafsir dan praktik keagamaan (Islam) yang ada.
Islam dan Demokrasi
Islam yang sejatinya berwajah lembut serta penuh sentuhan kasih sayang berubah garang kerap menampilkan kekerasan. Islam kini ditengarai pelepas pelatuk terorisme. Beragam kampanye menyeru perlunya curiga pada aktivisme muslim.
Islam adalah agama berisalahkan perdamaian serta cinta kasih. Islam terlahir sebagai agama rahmat bagi semua telah teruji kesahihannya. Hanya keterlibatan faktor lain yang begitu kompleks menjadi penentu terjadinya itu semua. Di Indonesia misalnya, di mana segala biang radikalisasi tertuju pada Islam patut diklarifikasi secepat mungkin.
Menguak akar semangat Islamisme dilahirkan, tujuannya adalah demi kebangkitan atau pembaruan Islam. Islamisme sebagai pemantik ide sentral yang mengilhami Dunia Islam saat tengah berada dalam kemunduran dan bagaimana harus dibenahi. Ruh paham itulah, oleh kelompok besar Islamis diserap langsung dari Ikhwanul Muslimin Mesir sebagai inspirasi dengan menjadikan warisan tradisi revivalis-reformis yang berniat menggerakkan perkembangan sejarah Islam.
Realitas suram demokrasi di pelbagai wilayah Muslim menyisakan tanda tanya besar tentang potensi tumbuhnya demokrasi di wilayah ini. Hal itu tercermin pada minimnya penerimaan masyarakat Muslim terhadap demokrasi dengan tidak terbentuknya sistem demokrasi dalam politik, tidak tersedianya prasyarat stabilitas ekonomi dan politik, tidak adanya pengalaman sejarah pertentangan otoritas agama dan politik, adanya konsep ummah yang kemudian mengancam konsep nation-state, dan tingginya angka kriminalitas yang menjadi isyarat sikap dan prilaku intoleran.
Memahami Islamisme di era reformasi tidaklah sesederhana seperti dalam bayangan banyak orang. Islamisme adalah sebuah entitas dan tidak tunggal, namun dinamis dan penuh teka-teki. Untuk membongkar persepektif tersebut, buku ini adalah jawabannya. Selamat membaca!
*)Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS), Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya
DATA BUKU: (tulisan ini dimuat di SINDO, 23 Jan 2010)
Judul Buku: Teologi Perlawanan; Islamisme dan Diskursus Demokrasi di Indonesia Pasca-Orde Baru
Penulis : Masdar Hilmy, Ph.D
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal: 320 Halaman
Langganan:
Postingan (Atom)