Oleh : Ach Syaiful A'la*
Secara umum, dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi. Ketiga potensi tersebut mempunyai kecendrungan yang berbeda-beda dan berusaha saling mempengaruhi di dalam jiwa manusia.
Pertama, potensi amarah (qawwat al-ghadhabiyah). Potensi ini cenderung untuk mengikuti sifat-sifat amarah dan emosional yang berlebihan. Jika potensi ini yang mengendalikan diri manusia, bisa dipastikan seseorang akan menjadi labil, pemarah, dan tidak bisa berkompromi.
Kedua, potensi kekuatan syahwat (quwwat al-syahwaniyah). Kekuatan ini cendrung memperturutkan hawa nafsu yang mengarah ke pemenuhan kebutuhan biologis secara berlebih-lebihan. Jika potensi yang dominan dan berkauasa, manusia akan terjerumus dalam kenikmatan (duniawi) sesaat.
Ketiga, potensi berpikir (quwwat al-natiqah). Jika potensi yang mengendalikan manusia, sebenarnya positif saja selama ini tidak berlebih-lebihan dalam mengembangkan potensi tersebut, baik dalam rangka memahami doktrin agama, maupun implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Substansi ibadah puasa ramadlan dalam konteks ini adalah mengembalikan ketiga potensi tersebut agar bisa terarah dengan benar. Jadi, dalam hal ini, tuntunan puasa ramadlan adalah membina, membimbing serta mengarahkan ketiga potensi agar bisa tersalurkan dengan baik dan benar.
Puasa Mabrur
Kata “mabrur” disini mungkin sangat asing di telinga pembaca ketika dikaitkan dengan ibadah puasa. Karena kata (mabrur) tersebut lazimnya melekat dan merupakan sebuah predikat bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah haji ke Mekkah.
Tentunya kita telah mafhum, bahwa tipe orang yang melaksanakan ibadah haji itu ada tiga. Jika seseorang yang menunaikan ibadah haji, kemudian kembali ketanah air, kelakuannya (sikap) lebih jelek dari sebelumnya, maka dimata Allah orang tersebut mendapat tiket, namanya haji mardud (ditolak). Apabila seseorang yang melaksanakan ibadah haji, setelah kepergiannya amal perbuatannya sama saja seperti sebelumnya (tidak ada perubahan), maka dinamai dengan haji makbul (keterima). Bila mana seseorang yang menunaikan ibadah haji kelakuannya lebih baik dari sebelum naik haji, maka ia menyandang predikat haji yang mabrur. Dan predikat mabrur inilah tentunya menjadi cita-cita setiap insan yang menunaikan ibadah haji.
Predikat mabrur disini ternyata tidak sesederhana seperti yang kita ucapkan setiap saat ini. Dalam sebuah hadits Nabi disebutkan, mabrur disini apabila memenuhi kriteria berikut. Pertama, orang yang baik perkataannya (thibul kalam). Misalnya orang tersebut bermoral, mempunyai kekayaan mental (optimistik), amanah dalam menjalankan tugas, sopan dalam bergaul dengan sesama, tawadau’ (tidak merasa dirinya lebih tinggi ketimbang yang lain). Kedua, mampu menyebarkan kedaimaian (ifsyaul as-salam). Ketiga, memberikan makan (ith'amul at-tha'am), seperti membantu orang yang kelaparan, menyantuni anak yatim piatu dan lain sebagainya.
Puasa sebagai Training
Bulan ramadlan atau disebut juga dengan bulan puasa sebagai bulan yang penuh berkah (syahrul mubarok). Berkah artinya terkumpulnya kebaikan Ilahiah pada suatu waktu, tempat, sesuatu atau seseorang. Dari satu sudut dapat disebut bahwa bulan ramadlan adalah bulan yang sangat produktip. Produktifitas ramadlan itu ditandai dengan peningkatan pahala sebagaimana dikatakaan oleh Nabi, bahwa amal sunnat diganjar senilai amal wajib, dan amal wajib diganjar dengan 10 sampai dengan 700 kali lipat, bergantung kualitasnya.
Puasa yang dilakukan seseorang secara benar, secara psikologis akan menekan keserakahan kepada harta dan menekan dorongan hawa nafsu (nafsul ammarah) yang pada gilirannya dapat meningkatkan tingkat kesucian jiwanya (nafsul muthmainnah).
Hadits tersebut diatas tidak cukup hanya dimaknai secara literal saja, melainkan harus didefinisikan kepada konteks sosial saat ini. Kerana puasa adalah sebuah latihan (training) kepada kita untuk menghindari hal-hal yang sifatnya buruk, bukan semata-semata ibadah ritual yang sifatnya transindental, yang sepertinya tidak mempunyai nilai-nilai kemanusiaan sama sekali. Puasa secara substantif mempunyai makna sosial dan menjadi keharusan untuk diterjemahkan dalam kehidupan bermasyarakat (a’malul yaumiyah).
Misalnya dalam sebuah hadits Nabi juga disebutkan, bahwa 10 hari pertama di dalam bulan ramadlam adalah rahmah (pemberian segala macam kenikmatan dari Allah). Rahmat disini dapat artikan bahwa kita juga harus bisa memberikan mamfaat kepada orang lain. Sepuluh hari kedua adalah maghfirah (ampunan). Orang yang melaksanakan ibadah puasa hendaklah bisa memberikan maaf kepada orang lain, karena memaafkan orang lain jauh lebih sulit ketimbang memberi ampunan. Sepuluh hari ketiga adalah dibebaskan dirinya dari siksaan api neraka. Bebas dari api neraka disini berarti keluar dari kesengsaraan. Sebagai muslim yang melaksanakan ibadah puasa, hendaknya turut serta membantu, menolong guna meringankan penderitaan saudaranya, misalnya supaya mereka cepat keluar dari himpitan persoalan ekonomi (kemiskinan) yang hingga kini tak kunjung usai.
Inilah yang dimaksud dengan “mabrur” dalam tulisan ini. Seseorang yang melaksanakan ibadah puasa akan mendapat predikat “mabrur” dan benar-benar keluar sebagai pemenang (fitrah) kalau mampu mengaplikasikan ketiga hal tersebut diatas. Karena apa yang diperbuat selama bulan puasa, seperti memperbanyak sedekah, mengeluarkan zakat fitrah, memberi bantuan makan seperti buka dan sahur kepada orang lian dan membantu sahabat sekitar yang memang membutuhkan, kemudian ia mampu menerjemahkannya pada 11 bulan diluar bulan ramadlan berikutnya. Wallahu – yang berpuasa – ‘a’lam.
*Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS)
30 September, 2009
07 September, 2009
Puasa Sosial
Oleh: Ach. Syaiful A'la*
Selama ini “ritual” puasa yang dilakukan umat Islam setiap bulan ramadhan, dalam keseharian cenderung hadir sebagai hal rutin dan tampak biasa-biasa saja. Karena sudah menjadi kebiasaan yang sudah sekian waktu mentradisi, puasa seakan diterima sebagai fenomena yang jamak dan sepertinya tak menimbulkan banyak persoalan.
Di hari pertama bulan ramadhan ini, saya coba membuka kembali klipingan koran yang pernah dibuat dua tahun yang lalu. Ketika saya membuka lembaran, akhirnya menjumpai klipingan tulisan Yonki Karman, judulnya “Robohnya Kesalehan Sosial” (kompas, 14 Juni 2007).
Ketika membaca tulisan itu, langsung muncul beberapa pertanyaan dalam pikiran saya. Adakah kaitannya puasa dengan sosial? Mulai dulu, seperti hanya sebuah ritual tahunan yang sifatnya transindental. Penghambaan kepada Allah. Sementara, orang yang melakukan ibadah puasa dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah : 183) dicap sebagai orang yang bertakwa. Lalu Apakah makna taqwa yang sebenarnya?
Tulisan Yonki Karman itu mencoba membuka cakrawala pikiran bagi kita, bahwa selama ini “takwa” selalu dan hanya diartikan sebatas hubungan manusia dengan Allah, Transindental. Tapi tidak pernah menyentuh makna takwa yang sebenarnya dalam kehidupan sosial.
Kita mungkin sadar, bahwa manusia hidup adalah sebagai makhluk hidup yang bermasyarakat. Tidak sendirian. Hidup dalam dua dimensi, hubungan kita dengan Tuhan (hablum minallah) dan hubungan dengan sesama (hablum minan nass).
Nabi Muhammad SAW., pernah bersabda : “Barangsiapa yang tidak bersyukur (mencintai) sesama, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah SWT”. Maksud dari hadits tersebut, Nabi hendak mengajak kepada kita, bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa seorang hamba selama ia masih belum membantu sesama (ekslusif). Artinya, kebersamaan itu penting guna terhindar dari gejala hipokrisi dan split personality yang sedang melanda lapisan masyarakat saat ini menuju civil society.
Bukan Hanya Ritual
Perdefinisian puasa tidak hanya berarti menahan diri bagi pemenuhan keinginan biologis semata, melainkan juga merupakan latihan terbaik dalam — meminjam istilah intelektual muslim Isma’il al-Faruqi — pengendalian diri (the art of self mastery), melatih kesabaran, berjujur pada diri sendiri, memupuk solidaritas kemanusiaan universal.
Ramadhan melatih seseorang untuk menjadi orang yang berdisiplin, tunduk pada hukum, empati, istiqamah, menerapkan pola hidup selektif, yang diharapkan terus berlanjut secara sinambung pada bulan-bulan berikutnya.
Dengan demikian, di samping sebagai ibadah, puasa pada saat yang sama, juga menekankan hubungan dengan manusia lain. Sehingga, tak pelak lagi, sepanjang bulan ramadhan kita dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah baik ibadah ritual wajib mahdhah) maupun ibadah sosial (ghairu mahdhah).
Ibadah sosial yang dimaksud, misalnya mengeluarkan zakat. Berinfak. Menyantuni fakir-miskin. Langkah itu seharusnya dilakukan pada sepanjang bulan puasa untuk membantu saudara-saudara kita yang sedang ekonominya terpuruk. Seperti pengungsi, orang-orang yang kehilangan pekerjaan akibat PHK, korban kekerasan, mereka yang terkena musibah banjir, dan yang lainnya.
Jika dicermati lebih dalam, pada sebagian ibadah ritual di bulan puasa juga terkandung dimensi sosial, seperti salat tarawih yang pelaksanaannya lebih utama jika dilakukan secara berjamaah dengan lingkungan masyarakat sekitar.
Dengan demikian, di samping sebagai aktivitas fisik, puasa juga secara sekaligus sebagai aktivitas psikis dan sosial. Secara fisik, puasa berarti menahan diri dari makan, minum, dan melakukan kontak seksual semenjak terbit fajar hingga terbenam matahari. Secara psikis, ini berarti penahanan diri dari upaya memanjakan gelora hawa nafsu yang dapat berimplikasi buruk pada dirinya.
Hasan Hanafi dalam kitabnya al-din wa al-tsawrah (1990: 63, VII), menuliskan, bahwa puasa adalah melatih kepekaan atas nasib sesama yang menderita kelaparan dan kehausan. Dalam konteks itulah kita bisa memahami adanya perintah untuk mengeluarkan zakat fitrah di penghujung bulan ramadhan.
Terang sekali, secara fungsional dan simbolis perintah zakat fitrah merupakan refleksi bagi adanya sasaran sosial yang hendak diraih dalam berpuasa, yaitu sebuah komitmen moral dan keprihatinan sosial untuk menimbun jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
Di bulan ramadhan ini kita dituntut untuk mampu menunjukkan nilai kemanusiaan kita masing-masing, in optima forma, dalam bentuk yang setinggi-tingginya. Seperti disebutkan dalam Al-Quran (QS, 3:134) tentang kaum beriman.
Lebih dari itu, puasa juga merupakan aktivitas sekaligus problem keseharian yang fundamental bagi umat Islam dan dalam perkembangannya kerapkali menimbulkan aneka permasalahan kontemporer yang membutuhkan jawaban solutif. Seperti pembagian zakar fitrah yang menimbulkan banyak korban jiwa. Dalam kaitan ini, di samping keberadaannya sebagai jembatan komunikasi antara makhluk dan Sang Khaliq (hablun min Allah), ibadah puasa tak kalah pentingnya didudukkan sebagai wahana interaksi sosial kemasyarakatan (hablun min an-naas) yang senantiasa dinamis selaras masa.
*Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS)
Selama ini “ritual” puasa yang dilakukan umat Islam setiap bulan ramadhan, dalam keseharian cenderung hadir sebagai hal rutin dan tampak biasa-biasa saja. Karena sudah menjadi kebiasaan yang sudah sekian waktu mentradisi, puasa seakan diterima sebagai fenomena yang jamak dan sepertinya tak menimbulkan banyak persoalan.
Di hari pertama bulan ramadhan ini, saya coba membuka kembali klipingan koran yang pernah dibuat dua tahun yang lalu. Ketika saya membuka lembaran, akhirnya menjumpai klipingan tulisan Yonki Karman, judulnya “Robohnya Kesalehan Sosial” (kompas, 14 Juni 2007).
Ketika membaca tulisan itu, langsung muncul beberapa pertanyaan dalam pikiran saya. Adakah kaitannya puasa dengan sosial? Mulai dulu, seperti hanya sebuah ritual tahunan yang sifatnya transindental. Penghambaan kepada Allah. Sementara, orang yang melakukan ibadah puasa dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah : 183) dicap sebagai orang yang bertakwa. Lalu Apakah makna taqwa yang sebenarnya?
Tulisan Yonki Karman itu mencoba membuka cakrawala pikiran bagi kita, bahwa selama ini “takwa” selalu dan hanya diartikan sebatas hubungan manusia dengan Allah, Transindental. Tapi tidak pernah menyentuh makna takwa yang sebenarnya dalam kehidupan sosial.
Kita mungkin sadar, bahwa manusia hidup adalah sebagai makhluk hidup yang bermasyarakat. Tidak sendirian. Hidup dalam dua dimensi, hubungan kita dengan Tuhan (hablum minallah) dan hubungan dengan sesama (hablum minan nass).
Nabi Muhammad SAW., pernah bersabda : “Barangsiapa yang tidak bersyukur (mencintai) sesama, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah SWT”. Maksud dari hadits tersebut, Nabi hendak mengajak kepada kita, bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa seorang hamba selama ia masih belum membantu sesama (ekslusif). Artinya, kebersamaan itu penting guna terhindar dari gejala hipokrisi dan split personality yang sedang melanda lapisan masyarakat saat ini menuju civil society.
Bukan Hanya Ritual
Perdefinisian puasa tidak hanya berarti menahan diri bagi pemenuhan keinginan biologis semata, melainkan juga merupakan latihan terbaik dalam — meminjam istilah intelektual muslim Isma’il al-Faruqi — pengendalian diri (the art of self mastery), melatih kesabaran, berjujur pada diri sendiri, memupuk solidaritas kemanusiaan universal.
Ramadhan melatih seseorang untuk menjadi orang yang berdisiplin, tunduk pada hukum, empati, istiqamah, menerapkan pola hidup selektif, yang diharapkan terus berlanjut secara sinambung pada bulan-bulan berikutnya.
Dengan demikian, di samping sebagai ibadah, puasa pada saat yang sama, juga menekankan hubungan dengan manusia lain. Sehingga, tak pelak lagi, sepanjang bulan ramadhan kita dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah baik ibadah ritual wajib mahdhah) maupun ibadah sosial (ghairu mahdhah).
Ibadah sosial yang dimaksud, misalnya mengeluarkan zakat. Berinfak. Menyantuni fakir-miskin. Langkah itu seharusnya dilakukan pada sepanjang bulan puasa untuk membantu saudara-saudara kita yang sedang ekonominya terpuruk. Seperti pengungsi, orang-orang yang kehilangan pekerjaan akibat PHK, korban kekerasan, mereka yang terkena musibah banjir, dan yang lainnya.
Jika dicermati lebih dalam, pada sebagian ibadah ritual di bulan puasa juga terkandung dimensi sosial, seperti salat tarawih yang pelaksanaannya lebih utama jika dilakukan secara berjamaah dengan lingkungan masyarakat sekitar.
Dengan demikian, di samping sebagai aktivitas fisik, puasa juga secara sekaligus sebagai aktivitas psikis dan sosial. Secara fisik, puasa berarti menahan diri dari makan, minum, dan melakukan kontak seksual semenjak terbit fajar hingga terbenam matahari. Secara psikis, ini berarti penahanan diri dari upaya memanjakan gelora hawa nafsu yang dapat berimplikasi buruk pada dirinya.
Hasan Hanafi dalam kitabnya al-din wa al-tsawrah (1990: 63, VII), menuliskan, bahwa puasa adalah melatih kepekaan atas nasib sesama yang menderita kelaparan dan kehausan. Dalam konteks itulah kita bisa memahami adanya perintah untuk mengeluarkan zakat fitrah di penghujung bulan ramadhan.
Terang sekali, secara fungsional dan simbolis perintah zakat fitrah merupakan refleksi bagi adanya sasaran sosial yang hendak diraih dalam berpuasa, yaitu sebuah komitmen moral dan keprihatinan sosial untuk menimbun jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
Di bulan ramadhan ini kita dituntut untuk mampu menunjukkan nilai kemanusiaan kita masing-masing, in optima forma, dalam bentuk yang setinggi-tingginya. Seperti disebutkan dalam Al-Quran (QS, 3:134) tentang kaum beriman.
Lebih dari itu, puasa juga merupakan aktivitas sekaligus problem keseharian yang fundamental bagi umat Islam dan dalam perkembangannya kerapkali menimbulkan aneka permasalahan kontemporer yang membutuhkan jawaban solutif. Seperti pembagian zakar fitrah yang menimbulkan banyak korban jiwa. Dalam kaitan ini, di samping keberadaannya sebagai jembatan komunikasi antara makhluk dan Sang Khaliq (hablun min Allah), ibadah puasa tak kalah pentingnya didudukkan sebagai wahana interaksi sosial kemasyarakatan (hablun min an-naas) yang senantiasa dinamis selaras masa.
*Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS)
Langganan:
Postingan (Atom)