Judul Buku : Islam Profetik, Substansi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Puplik
Penulis : Masdar Hilmy
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : 240 Halaman
Peresensi : Ach. Syaiful A'la*
Zuhairi Misrawi (2007) dalam karyanya, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme menulis bahwa agama yang paling dicintai Allah adalah ajaran yang lurus-toleran (ahabbu al-dain ila-Allah al-hanifiyyatus al-samha). Dengan beberapa metode dan kajian mendalam – dalam bukunya – tentang pemaknaan pada sebuah ”Teks”, Zuhairi Misrawi pada acara bedah buku tersebut di kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya, menyatakan : walaupun agama lain (selain Islam) dalam ajarannya masih mengedapankan atau mencintai nilai-nilai kedamaian, kerukunan dan toleransi antar sesama, dengan tegas – kiai muda NU itu – menyebutnya sebagai ”muslim”.
Pluralisme dalam Islam bukanlah sesuatu yang baru. Nilai-nilai pluralisme sejak dulu tidak pernah pertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dalam perkembangannya, Islam sangat tidak pantas kalau dianggap agama yang tidak menghendaki kemajemukan alias eksklusif. Cita-cita pluralisme dan toleransi yang diusung oleh Zuhairi Misrawi sebenarnya sebagai upaya untuk mencari titik temu (kalimatun sawa’) guna membangun komitmen bersama diantara berbagai perbedaaan dan keragaman komitmen. Kalaupun hal tersebut (jujur saja) bukanlah hal yang mudah untuk dibangun.
Terkadang kalau kita amati, salah satu bentuk keberagaman yang sering memunculkan konflik memang keberagaman agama itu sendiri. Bahkan dalam berbagai konflik fenominal saat ini banyak yang mengatasnamakan agama, sehingga menjadi sulit untuk penyelesaikannya. Hal ini karena melibatkan agama pada setiap konflik yang pada akhirnya pasti mengikutsertakan pendasaran teologis untuk melegitimasinya. Melakukan kekerasan atas nama Agama. Setiap konflik (agama) akhirnya menjadi sah (legal demi Tuhan) karena seolah-olah ajaran (agama) membenarkannya. Sehingga agama mengalami pereduksian fungsi utamanya karena digunakan untuk yang bersembunyi bagi tindak kekerasan atas nama agama. Kini, dikalangan tubuh Ahlu al-Sunnah Wa al-Jamaah sendiri telah muncul berbagai pemikiran yang biasanya dikategorikan “Islam tradisional”, “Islam liberal”, dan “Islam radikal”.
Buku Islam Profetik; Substansi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik, yang ditulis oleh Masdar Hilmy ini mencoba menghadirkan kembali wacana Islam Nubuwwah (konsep kenabian) yang ditanamkan oleh Nabi Muhammad semasa perjuangannya. Bahkan Nabi Ibrahim, jauh sebelum datangnya Muhammad telah memperkenalkan agama yang lurus dan toleran seperti islam hanif. Tidak ketinggalan pula dalam konteks yang lebih kecil, di Indonesia, Wali Songo telah mampu mengislamkan Bumi Nusantara hingga 90 %, tentunya pola yang mereka pakai adalah dengan manampilkan keteladanan. Keteladanan profetiknya berupa hikmah, kearifan, dan pesan-pesan kedamaian dalam beragama. Mereka tampil keranah publik bukan membawa Islam simbolik seperti yang dipertontonkan Islam garis keras dijalan-jalan sekarang ini, melainkan yang dikedepankan disini adalah aspek nilai ajaran agama (relegious values). Sehingga lebih berbobot jika substantif, bukan simbolnya yang dikedepankan.
Meminjam istilah Kuntowijoyo, yang mengutip pada nash Al-Quran surat Al-Imran : ayat 110 yang berbunyi, “Umat Islam adalah umat terbaik yang pernah diciptakan untuk manusia, yang bertugas melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar (dalam arti keberimanan kepada Tuhan Allah SWT)”. Disini, Kuntowijoyo ingin menampilkan Islam sebagai agama kemanusiaan yang harus direspon secara baik. Islam harus hadir sebagai agama profetik, agama yang mengedepankan humanisasi, emansipasi dan transendensi.
Humanisasi dimaksud adalah sebagai bagian dari doktrin-kontekstual Islam mampu diterapkan dalam ruang lingkup tatanan sosial kemasyarakatan yang nantinya akan bermuara pada pemanusiaan manusia. Karena seringkali dalam masyarakat yang mengaku taat dalam menjalankan perintah agamanya, justru perangai sosial politik dan ekonominya tidak mencerminkan orang yang beragama. Amal sholeh dan keberpihakan kepada kaum miskin kurang mendapat perioritas utama bagi penganut keagamaan.
Semangat Masdar Hilmy kenapa buku ini perlu hadir diruang pembaca tiada lain untuk flash back kesadaran profetik dalam ruang keberagamaan yang didasarkan pada sejumlah fenomena kehidupan yang semakin menjauh dari semangat kenabinan, seperti kekerasan, terorisme, kriminalitas, kemiskinan, kebodohan dan pembodohan, ketidakadilan dan ketertindasan, despotisme dan keangkuhan, hedonisme dan pemberhalaan duniawi dan semacamnya (hlm. 245).
Buku yang baik ketika dilengkapi dengan beberapa literatur dan metode kajian mendalam tentang sebuah fenomena yang terjadi. Buku ini hanya sebuah kumpulan tulisan penulis yang berserakan dan pernah dimuat diberbagai media lokal maupun nasional dan jurnal akademis atas respon dan fenomena sosial keagamaan pada saat itu. Bisa dikatakan isi buku ini antara satu tulisan dengan pembahasan lainnya tidak memiliki mata rantai dan terkesan kurang memiliki koherensi yang tinggi.
Terlepas dari beberapa kelemahan, buku ini hadir untuk berpartisipasi memecahkan dimensi yang berbeda dalam upaya pemecahan realitas agama, yakni pemecahan yang profetik. Disamping itu pula, buku ini akan menjawab keangkuhan sekolompok kaum yang mengaku bahwa dakwa (ajaran) yang mereka lakukan didalam memperjuangkan agama Islam sebagaimana juga yang pernah dilakukan oleh Nabi. Klaim seperti itu muncul karena kurangnya pemahaman dan pembacaan ulang terhadap makna sebuah ”Teks” suci. Dengan demikian, pembacaan terhadap realitas Teks (Al-Qur’an dan Hadis) harus ditakar dari, dan perpeluang pada, nilai-nilai kemanusiaan manusia sebagai obyek sekaligus subyek beragama.