Oleh: Ach. Syaiful A'la*
Semua orang sudah paham, bahwa berbincang perpolitikan di Jawa Timur juga tidak lepas pada sebuah organisasi sosial keagamaan yang namanya jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Di Jawa Timur organisasi ini dilahirkan, tak hayal jika propinsi ini merupakan basis nahdliyyin (sebutan bagi warga NU), tidak aneh pula jika beberapa calon gubernur baik kader NU sendiri atau kader yang lainnya setiap musim pemilihan legeslatif maupun eksekutif ingin mendapatkan dukungan atau rekomendasi secara struktural dari NU untuk memperebutkan suara nahdliyyin. Hingga saat ini posisi NU ibarat gadis cantik dan suci yang dipeributkan oleh banyak orang.
Dalam kesempatan seperti itu, NU sendiri merasa sudah percaya diri dan tak ingin ketinggalan, ia menginginkan kadernya sendiri yang menjadi pemimpin di Jawa Timur. Maka dilakukanlah beberapa cara untuk melakukan penjaringan terhadap kader-kadernya sendiri siapa yang layak mimpin Jawa Timur lima tahun mendatang. Misalnya dengan cara mendekati beberapa partai politik yang merupakan refresentasi politik warga NU atau melakukan koalisi dengan partai yang lain agar bisa mengusung kadernya.
Keterlibatan NU dalam kancah politik praktis selalu kandas ditengah jalan untuk mengantarkan kadernya duduk dikursi eksekutif. Salah contoh dalam pemilihan presiden 2004, dimana ketua umum PBNU mencalonkan diri sebagai wakil presiden mendampingi Megawati Seokarno Putri. Contoh kedua pada pemilihan Gubernur Jawa Timur 2008, disana ada Khofifah. Bahkan NU all out disana. Untuk itu, tahun 2013 ini NU sepertinya tidak mau absen lagi dalam pemilihan gubernur nanti. Akhirnya membentuk tim untuk melakukan penjaringan terhadap kadernya yang akan dijagokan oleh NU.
Untuk tidak terjadi kekalahan yang kedua kalinya, walaupun tidak ada juga jaminan mutlak menang, hemat penulis, PWNU Jawa Timur perlu menyimak tulisan Samsudin Adlawi, Ubah Srategi NU Rebut Kursi Gubernur (Jawa Pos, 30/11/12) dan Salahuddin Wahid, Memilih Cagub Satu Tokoh NU (Jawa Pos, 7/12/2012), merupakan masukan bagi struktural NU Jawa Timur untuk merubah strateginya jika ingin kadernya menjadi orang nomor satu di daerah basis nahdliyyin ini pada pemilihan gubernur 2013 nanti. Adlawi menjelaskan bahwa kalau NU kepingin kadernya menang perlu mencontoh apa yang dilakukan oleh pengurus PCNU Banyuwangi dalam proses penjaringan bupati yang akan dijagokan. Artinya, PWNU Jawa Timur tidak serta merta merekomendasikan, memberikan kesimpulan sendiri, dan menetapkan calonnya kemudian hanya menginstruksikan kepada cabang-cabang untuk mendukung dan memenangkan calon dimaksud.
Beda Pilihan dalam NU
Lalu pertayaannya, apakah Pemilihan kepala daerah (pemilukada) di Jawa Timur yang akan digelar 2013 mendatang bisa disamakan dengan pemilukada yang ada di Banyuwangi yang areanya hanya kabupaten? Hal ini yang perlu diperhatikan oleh NU sendiri untuk tidak terlalu percaya diri bahwa jagonya bakal menang. Karena berbicara pemilihan gubernur wilayahnya cukup luas dan NU sendiri masih perlu melakakukan koordianasi dan penyamaan persepsi dengan beberapa cabang yang jumlahnya cukup banyak.
Disaat kondisi perpolitikan bangsa dimana pemilih semakin prakmatis, maka perpolitikan masing-masing kabupaten, disana ada NU cabang pun cukup sulit ditebak kemana arah dukungannya. Karena masing-masing pengurus cabang mempunyai pilihan dan kepentingan yang berbeda.
Jika saudara mas Adlawi dalam tulisannya mengusulkan agar PWNU Jawa Timur mengadakan serap aspirasi kepada semua cabang-cabang, hemat penulis itu cukup baik. Karena dengan sistem terbuka seperti itu semua akan legewo. Tapi perlu kita analisis kembali.
Mari kita lihat, zaman ini adalah zaman dimana terjadi kondisi politik yang transaksional bisa disaksikan dimana-mana. Visi dan misi, program kerja dan track record yang baik dari calon tidak menjadi ukuran untuk mendapat simpatik pemilih dan bisa menang. Bila serap aspirasi dilakukan, bisa saja setiap cabang membawa nama-nama calon yang akan dijagokan untuk memimpin Jawa Timur yang mendapat direkomendasikan NU. Hanya saja, karena setiap cabang mempunyai nama calon yang dijagokan, kalau jagonya tidak terpilih, sikap kecewa dan akan memberikan dukungan pada yang lain saat pemilihan gubernur nanti. Karena sentimental dari masing-masing cabang tetap akan terjadi.
Analisis kedua, adanya serap aspirasi itu tidak mustahil beberapa calon akan melakukan pendekatan terhadap beberapa pengurus cabang NU untuk bisa memenangkan dukungan suara terbanyak pada tahap penjaringan, keadaan seperti ini akan berakibat buruk, terjadinya money politic dalam proses penjaringan yang akan diusung oleh NU Jatim. Dalam percaturan politik, saat uang berbicara tidak tembus, muncul adanya kontrak bagi posisi dan janji-janji.
Analisis ketiga, walaupun semua cabang pada akhirnya berkomitmen dengan tetap mengikuti hasil penjaringan yang dilakukan secara bersama, mendukung calon yang banyak suaranya dan dijagokan oleh NU, lalu bagaimana ketika membaca posisi nahdliyyin sebagai pemilih disaat suara politik bisa ditransaksikan dengan uang. Kondisi inilah yang sulit ditebak dari suara warga nahdliyyin. Karena para elit NU dan warganya pasti mempunyai pilihan yang berbeda. Tidak sedikit – untuk tidak mengatakan banyak – yang secara struktural NU mendukung calon tertentu, nahdliyyin mempunyai pilihan yang berbeda. Warga NU juga mempunyai prinsip bahwa masalah politik adalah hak individu dan kalau mempunyai pilihan berbeda dengan elit NU juga tidak ada sanksi yuridis apalagi sampai dipecat dari keanggotaan NU
Jika demikian, NU ibarat parpol lokal yang setiap saat sibuk mengurus politik untuk menjagokan orangnya. Bahkan kalau kadernya tidak diusung oleh parpol tertentu, akhirnya NU harus turun gunung dengan mengumpulkan KTP agar mengusung kadernya secara independen. Itu pun selalu berujung pada sebuah kekalahan. Lalu apa makna “Khittah” itu yang sebenarnya?
*Dosen STI Al Karimiyyah Sumenep & Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya
08 Desember, 2012
Langganan:
Postingan (Atom)