Oleh: Ach. Syaiful A'la*
Kyai. Begitu kira-kira “gelar” yang diberikan masyarakat kepada sesosok pemimpin yang mempunyai keahlian khusus dalam bidang disiplin keilmuan tertentu di komunitas masyarakat. Misalnya mereka (kyai) yang mempunyai kemampuan dalam bidang intelektual (‘ilmiyah), spiritual (rohaniyah), sosial (ijtimaiyah), administratif (idariyah), politik (siyasah) lebih-lebih kalau mempunyai pondok pesantren (sebagai pengasuh), sudah tidak terbantah lagi, bahwa dirinya disebut sebagai kyai. Tetapi yang aneh terkadang, saat ini juga seorang dukun disebut sebagai kyai.
Secara epistemologis, perkataan kyai berasal dari bahasa Jawa. Pertama, kyai merupakan sebutan untuk benda-benda terhormat atau benda pusaka, seperti kyai Pleret, kyai Garuda Kencana dan lainnya. Kedua, gelar kyai diberikan kepada salah seorang tokoh atau sebagai public figure di tengah masyarakat. Biasanya disingkat Ki, seperti Ki Ageng, Ki Temenggung, Ki gede, Ki Buyut dan seterusnya. Ketiga, seseorang disebut kyai karena ilmunya (alim), faham ilmu-ilmu keagamaan, mempunyai kharisma di masyarakat, mengajar kitab kuning dan mempunyai pesantren dengan jumlah santri yang cukup banyak.
Keberadaan kyai pengasuh pondok pesantren di dalam lingkungan masyarakat (Indonesia pada umumnya) sudah bagaikan garam dalam sebuah menu masakan. Artinya, keberadaan dan keterlibatan kyai dalam berbagai agenda kegiatan sudah menjadi sebuah kaharusan. Tidak ada kyai, tidak ramai.
Dalam percaturan perpolitikan lokal dan nasional, yang menjadi menarik dan meramaikan media massa setiap hari karena adanya keterlibatan kyai pondok pesantren, mulai dari tingkat pemilihan anggota legeslatif (DPR), eksekutif, pemilihan presiden, gubernur, bupati, sampai kepada pemilihan kepala desa. Seandainya tidak ada keterlibatan kyai, sepertinya tidak menarik, kering dan membosankan, walaupun pada akhirnya muncul kontroversi disana-disini atas keterlibatan kyai pondok pesantren dalam ranah politik praktis. Yang demikian itu terjadi, karena dianggap keikutsertaan kyai dalam politik hampir melupakan tugas utama di pondok pesantren sebagai pendidik dan pentransfer ilmu pengetahuan (cultural broker) dalam bahasa Clifford Geertz.
Dari Pesantren ke Pohon
Masa Orde Baru, istilah pohon oleh kyai dan masyarakat khususnya di lingkungan pondok pesantren selalu identik dengan Partai Golongan Karya (Golkar), karena lambangnya memang memakai pohon beringin. Oleh kyai pondok pesantren, pohon beringin identik pula dengan pohon yang mengerikan (berit, Madura), dihuni makhlus halus sebangsa jin, sehingga kelihatannya saja angker tidak mengenakkan mata. Maka tak hayal jika para kyai memberikan fatwa jangan dekat-dekat dengan pohon. Artinya, tidak boleh ikut bergabung dengan partai politik namanya Golkar.
Untuk menguatkan fatwa diatas, para kyai akhirnya mencari dalil sebagai landasan. Misalnya ayat wala taqroba hadzihisy syajarota diartikan dilarang mendekati partai Golkar, karena gambarnya pohon. Padahal konteks aslinya pada kisah Nabi Adam As, dan pohon juga bukan pohon beringin.
Lain lagi dengan kyai yang sudah terjun dalam politik alias menjadi bagian dari pohon tadi, mereka mencari dalil untuk melakukan perlawanan terhadap pernyataan diatas. Misalnya, sesungguhnya orang Islam harus berbaiat dibawah pohon, juga diartikan dengan bahwa kita harus setia kepada Golkar, sementara partai yang gambarnya pohon 'kan hanya Golkar! Padahal konteks itu adalah kisah baiah aqabah antara Nabi dengan sahabatnya. Ada pula ayat yang sering digunakan: berkarkayalah kamu, sehingga menjadi golongan karya.
Juga masih banyak kalimat lain yang biasa digembar-gemborkan oleh kyai pada saat kampanye. Misalnya saja janji pertama dalam kampanye kalau terpilih akan memberantas Korupsi, Kolusi dan Neputisme (KKN) karena merugikan negara dan hukumnya haram. Realitasnya setelah masuk menjabat dalam legeslatif maupun eksekutif kata “haram” berubah menjadi “harum”. Yang dulunya berfatwa tidak boleh pemimpin wanita, maka justru berfatwa tidak ada masalah pemimpin wanita karena sudah mendapat restu dari Tuhan (hasil istikharoh). Tuhan pun dijual untuk kepentingan politik.
Kini kyai jauh mengalami pergeseran fungsi. Kalau dulu berfatwa dilarang seseorang (umatnya) untuk mendekati, apalagi ikut bergabung ke dalam pohon beringin (politik), malah saat ini diambil fungsi sendiri oleh kyai. Kyai hingga kini sering menjadi penentu (tim sukses calon) untuk mengarahkan suara rakyat dalam berbagai pemilihan, maka calon yang direstui kiai sudah dianggap baik oleh masyarakat karena sudah pilihan kyai. Belum tentu.
Pohon yang dulunya juga identik dengan pohon beringin, dihuni oleh makhluk halus seperti jin, malah kyai sendiri sekarang juga banyak yang menjadi penjaga pohon. Betapa banyak setiap hari kita lihat di sepanjang jalan kota maupun jalan kecataman dan desa pada tiap-tiap pohon ada fhoto kyai mampang bersama-sama dengan calon. Duhulu kyai menjadi penjaga pesantren dan masyarakat, sekarang menjadi penjaga pohon.
Berpolitik bagi kyai bukan berarti selamanya distempel jelek. Tidak. Dalam Islam juga diajarkan tentang bagaiamana berpolitik untuk mengatur Negara dengan baik, misalnya tujuan demokrasi adalah memilih pemimpin. Tapi ketika kyai terlibat dan terlalu masuk pada percaturan politik secara langsung, maka akan berdampak negatif terhadap diri kyai sendiri dan kepercayaan masyarakat juga mulai luntur. Contoh kecil, masyarakat mulai sungkan untuk sowan (silaturrahim) pada kyainya. Karena kedatangannya takut dicurigai mau mengajukan proposal atau minta bantuan untuk membangunan. Dengan demikian, berarti sudah putus tugas kyai sebagai pengayom dan penyambung lidah untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemimpinnya.
Oleh karena itu, kyai pondok pesantren idealnya mempunyai empat garapan besar (tidak hanya di politik), yakni penyebaran dakwah, peningkatan pendidikan, sosial, dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
*Alumnus PP. Nasa Gapura Timur
10 Mei, 2010
Langganan:
Postingan (Atom)