28 November, 2010

OBAMA & PERANG TAK BERUJUNG

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Obama. Begitulah nama yang paling sering disebut-sebut akhir-akhir ini. Nama Obama begitu santer terdengar apalagi setelah memenangkan pemilu Presiden Amerika Serikat (AS) pada 20 Februari 2009 lalu. Dari segi namanya, presiden Amerika Serikat pertama berkulit hitam ini sudah mewakili sejumlah Negara di dunia, seperti Arab, Afrika dan Asia. Sehingga ketika dirinya mencalonkan diri sebagai presiden AS, dukungan tidak hanya datang dari warga AS sendiri, tetapi banyak mendapat dukungan dari Negara luar. Termasuk beberapa negara muslim. Karena dapat dilihat, dalam diri Obama terdapat potensi, bisa mendudukan permasalahan, perselisihan konflik antar bangsa, negara, Barat dan Timur, Islam dan Non-Muslim. Sehingga tak heran tak heran jika Obama disebut sebagai “Change”.


Dari segi nama, Presiden Amerika Serikat yang ke-44 ini betul-betul memiliki perpaduan nama yang unik dan mudah didengar. Dikatakan unik karena berbeda dengan yang lainnya. Barack Hussein Obama. Kata pertama, Barack diambil dari Bahasa Arab yang berarti tampan. Dua kata diambil dari bahasa Arab karena ayah kandungnya Senator Illinois ini seorang muslim dari Kenya.


Sedangkan nama terakhir Obama berasal dari bahasa Lou, bahasa yang biasa digunakan orang Luo di Provinsi Nyanza, Barat Daya Kenya. Arti nama Obama menurut bahasa Luo adalah tidak tulus. Namun dalam bahasa Parsi nama Obama dibaca mirip Uw Ba Ma yang berarti dia bersama kita. Bahkan di Jepang ada sebuah kota yang namanya Obama, walaupun saat kecil ketika tinggal di Indonesia, Obama akrap dipanggil Barry.


Dibalik nama Obama, juga ada seorang tokoh yang tak kalah terkenalnya namanya Osama. Tapi mempunyai peran berbeda. Osama hampir sama penyebutannya. Hanya berbeda huruf “B” dan “S” pada huruf kedua dalam penulisan nama. Nama Osama ini juga tidak asing ditelinga masyarakat Internasional karena mendapat tuduhan dari Presiden Amerika sebelum Obama, George W Bush, bahwa Osama sebagai otak teroris di dunia. Osama mempunyai jaringan kuat ke beberapa negara tentang terorisme. Tentunya kemiripan nama ini bukan menjadi keuntungan bagi Obama, pimpinan jaringan Al-Qaedah ini adalah buronan Negara adikuasa yang dimpimpin Obama. Sementara Obama pun (tidak bisa menghindar) harus melanjutkan terhadap warisan pemburuan jaringan teroris, karena merupakan salah satu dari janji kampanye dahulu adalah memberantas terorisme. Terorisme marampas hak kemanusiaan. Terlepas misi itu menuduh salah-satu agama tertentu atau tidak.


Secara kebijakan politik, Obama harus melanjutkan perburuan terhadap teroris yang namanya Osama dalam jaringan Al-Qaedah harus ditundukkan. Maka dengan berbagai cara, Obama juga harus memburu Osama, kalau misi pemberantasan terorisme segara berakhir.


Dua tokoh ini, Obama dan Osama sepertinya tidak pernah ketemu. Obama adalah presiden Amerika Serikat yang jelas memusuhi dan memburu Osama sebagai terdakwah atas serangan WTC 11 September 2001. Sementara Amerika adalah negara yang berpenduduk mayoritas beragama non-muslim. Apapun bentuknya, Obama adalah simbol dari negaranya. Sementara Osama hingga kini masih tetap disimbolkan secara totalitas muslim. Tetapi yang menarik, Obama disini ketika sebagai presiden Amerika Serikat tidak menampilkan bahwa dirinya bagian dari kelompoknya, melainkan dirinya merefleksikan dari semua berbedaan yang ada dimuka bumi.


Buku Obama Memburu Osama; Terjerat Perang Tak Berujung Melawan Teroris berusaha menjelaskan secara objektif tentang sosok Obama yang sesungguhnya. Buku ini menampis semua tuduhan terhadap diri Obama adalah membeci Islam, melakukan ketimpangan dalam kebijakan luar negeri ketika ada perseteruan antara Islam dan Non-Muslim, dan Obama dianggap memihak dan membela Negara Non-Muslim saja. Ketika Obama terpilih sebagai orang nomor satu di Amerika Serikat, ia bukan hanya milik negaranya, tetapi dirinya dan negara adalah pengayum untuk semua sebagai Negara adikuasa. Termasuk membuang jauh statemen bahwa Amerika Serikat memusuhi Islam. Hal itu bisa diliat dari cuplikan pidatunya di Cairo University, Mesir, 4 juni 2009 “…Bahwa salah satu bagian tanggung jawab saya sebagai presiden Amerika Serikat untuk berjuang melawan streotip negatif terhadap Islam dimanapun”. (hlm.200).


Dalam melakukan misinya pemberantasan terorisme, Obama tidak dengan jalan memusuhi Islam sebagaimana tuduhan George W Bush bahwa terorisme datang dari kaum muslim, tanpa mempetakan terlebih dulu Islam corak Islam seperti apa yang melakukan teros. Tetapi Obama membuka lembaran baru, menjalin hubungan baik dengan negara-negara muslim. Sebab kerjasama dengan negara-negara Islam sangat penting untuk menghadapi serangkaian aksi kekerasan yang dilakukan secara ektrim diseluruh dunia. Obama lebih kepada bersama-sama dan duduk bareng mencari solusinya. Karena berperang bukanlah solusi. Itulah beberapa langkah Obama kepemimpinannya menjadi berbeda dengan pemimpin AS sebelumnya. Diplomatis, tanpa pertumpahan darah.


Manarik mengikuti kebijakan Obama beberapa tarakhir ini. Dalam buku ini juga dikupas bagaimana Obama menghadapi perang Afganistan dengan memadukan kebijakan Meliter dan politik yang realistis, termasuk memperbaiki hubungan dengan dunia Islam. Salah-satu bukti bahwa Obama welcome dengan Islam ketika Capital Hill, tempat pelantikan Obama dipersilahkan digunakan untuk kegiatan umat Islam, shalat jumat, pada tanggal 25 September 2009, waktu itu dihadiri oleh 3.500 umat muslim. Hubungan kemanusiaan menjadi misi utama bagi Obama, tanpa harus melirik latar belakang Agama, etnis, kulit, negara, ras, suku dan golongan. Sehingga tidak berlebihan sekiranya sosok Obama disebut sebagai tokoh “Change” abad kekinian. Selamat membaca!


*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya


DATA BUKU: (dimuat di Radar Surabaya)

Judul Buku : Obama Memburu Osama; Terjerat Perang Tak Berujung

Melawan Teroris

Penulis : Wasis Wibowo

Penerbit : Grafindo, Jakarta

Cetakan : I, 2009

Tebal : 260 Halaman

24 November, 2010

ANTISIPASI BANJIR LOKAL

Oleh : Ach. Syaiful A’la*


Banjir. Kata ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Surabaya. Sudah menjadi sego setiap saat. Banjir merupakan problem yang mendasar saat tengah dihadapi kota Metropolitan ini dan boleh tinggal diam tetapi harus dicarikan solusinya. Saking pentingnya penyelesaian persoalan banjir di kota Surabaya, terkadang sampai dijadikan ajang kampanye (janji-janji politik) oleh para kandidat calon wali kota dan calon wali kota saat musim kampanye, misalnya seperti pada pilkada 2010 untuk mencari simpatik masyarakat.


Persoalan banjir yang terjadi di kota Surabaya, mungkin tidak separah kabupaten lain di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, yang ketinggian airnya sampai beberapa meter. Dari akibat tingginya air itu, sehingga bisa merobohkan bangunan, menumbangkan pohon-pohon besar, menghanyutkan harta milik, jembatan menjadi putus, memakan korban jiwa, gagal panen, sehingga kalau dikalkulasi menunjukkan jumlah kerugian besar. Banjir yang menimpa kota Surabaya tentunya berbeda, rata-rata ketinggian airnya hanya berkisar 50 cm. Misalnya beberapa hari sebelumnya banjir lokal menimpa daerah Tandes, Margomulyo, Banyu Urip, Tenggilis dan lainnya.


Oleh sebab terjadinya banjir, maka berakibat pula pada terjadi kemacetan di beberapa arus jalan dimana-mana. Sangat “sepele” memang kedengarannya dampak dari banjir itu, hanya “macet”. Tetapi macet di Surabaya juga berbeda dengan macetnya di kota-kota yang terkena banjir besar. Akibatnya juga hampir sama dengan korban banjir besar yang terjadi dibeberapa daerah lain yang dengan ketinggian air – kadangkala – sampai diatas atap rumah. Karena “macet” juga adalah persoalan mendasar di Surabaya yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Terjadinya kemacetan bisa menyebabkan banyak waktu terbuang di jalan, sikap individualistik tumbuh semakin ketara, karena satu dengan lainnya sudah tidak memikirkan di pinggirannya, saling mendahului dan lain sebagainya yang penting dirinya sampai tujuan tanpa harus memperhatikan disekitarnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memperbincangkan persoalan terjadinya kemacetan di kota Surabaya, melainkan ingin mengetengahkan persoalan banjir.


Dalam rangka menyelesaikan dan mempercepat persoalan banjir yang terjadi di beberapa daerah (kecamatan) di kota Surabaya, dinas PU Binamarga segera membuat kebijakan yaitu dengan cara menguras, menggali dan memperlebar saluran-saluran air limbah. Lain dari itu, pemerintah kota (pemkot) juga menyediakan mesin Bor untuk memindahkan air yang mengenang pada saluran/penampuangan air yang lebih besar (sungai). Tidak hanya demikian, dinas PU Binamarga juga menghimbau kepada masyarakat untuk membuat biopori, tujuannya agar bisa menyerap sebagian air hujan yang turun dari langit ketika intensitas hujan tinggi dan masyarakat juga diminta untuk membuang air ke sumur pada saat hujan yang turun dari genting, tujuannya tidak lain agar supaya air hujan tidak semua menuju kearah saluran air.


Dibutuhkan Kesadaran Terpadu
Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya melalui dinas PU Binamarga merupakan langkah tepat dan patut diajungkan jempol dalam usanya mengatasi persoalan banjir di Surabaya. Walaupun tidak sepenuhnya berhasil, usaha tersebut telah meminimalisir terjadi banjir lokal-lokal di beberapah daerah di kota Surabaya. Tetapi usaha yang dilakukan oleh pemerintah akan nihil (tidak mempunyai makna apa-apa dan tidak bisa berlanjut) tanpa adanya kesadaran bersama (terpadu) dari masyarakat Surabaya dalam serta ikut membantu menyelesaikan permasalahan banjir di kota Surabaya.


Apalah artinya pemerintah menggali saluran-saluran kecil (air limbah) kalau masyarakatnya masih membuang sampah sembarangan, membuang sampah tidak pada tempatnya, dihanyutkan di selokan-selokan air, sehingga berakibat pada tersumbatnya aliran air menuju sungai. Akibatnya banjir. Padahal salah-satu penyebab terjadi banjir-banjir lokal di beberapa tertentu yaitu oleh tersumbatnya aliran air menuju sungai besar oleh sampah-sampah yang ada dalam saluran air kecil.


Karena tidak sedikit – untuk tidak mengatakan banyak – beberapa aliran air yang tersumbat oleh sampah-sampah, semisal plastik. Di beberapa jalan sering saya temui, baru selesai dilakukan perbaikan, penggalian, pelebaran, pembentonan saluran airnya telah tersumbat oleh sampah nakal masyarakat. Apa gunanya dan mamfaatnya pembangunan saluran air dengan anggaran (APBD) besar kemudian masyarakat sendiri tidak bisa menjaga dan merawatnya. Padahal salah-satu bentuk kecintaan kita terhadap bangsa (nation) adalah menjaga kekayaan (yang dimiliki) Negara dan melestarikannya.


Guna menciptakan lingkungan kota yang bersih dan terhindar dari bahaya banjir, maka ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh pemerintah kota Surabaya. Pertama, menggalakkan (terus) lomba kebersihan kampung. Sebenarnya ini saudah dilaksanakan, hemat penulis masih terkesan serimonial saja. Dengan berpacu menggalakkan kebersihan kampong masyarakat akan berlomba-lomba menjaga dan melestarikan kampungnya masing-masing. Bentuk penilaian bukan hanya pada sisi luarnya saja, seperti keindahan cat-cat, lukisan, penataan bunga-bunga dipinggiran jalan, kelengkapan info kampung, tetapi juga dilakukan penilaian terhadap kebersihan saluran air. Hal itu jangan sampai luput dari pantauan dewan juri dalam memberikan penilain pada saat mau menentukan siapa pemenangnya.


Kedua
, pemerintah kota Surabaya hendaknya memberikan sanksi tegas kepada bawahannya. Misalnya ada sebuah kecamatan yang dianggap kotor, maka camat dimaksud langsung dikenai sanksi. Camat juga memantau terhadap daerah (kelurahan) mana yang kotor dan memberikan sanksi. Kelurahan juga akan memnatau dan memberikan sanksi kepada ketua RW dimana RT-nya melakukan perbuatan yang membuat tidak nyaman terhadap keindahan kota. Kalau perlu paying hukumnya. Dengan kebijakan birokratik tersebut, diharapkan – dan harapan kita semua tentunya – kota Surabaya akan menjadi kota yang bersih dan banjir pun akan larih dari kota Surabaya ikut mengalir bersamaan dengan lancarnya air menuju sungai. Maka Surabaya kedepan akan menjadi kota impian banyak orang.


*Mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya &
Dosen Sekolah Tinggi Islam Al-Karimiyyah (STIA) Sumenep.

REKRUTMEN PNS HARUS OBJEKTIF

Oleh: Ach. Syaiful A'la*

Pengawai Negeri Sipil, disingkat PNS dalam pikiran masyarakat Indonesia masih dianggap sebagai sesuatu hal “final” dalam mengejar sebuah profesi. PNS adalah pekerjaan. Menjadi PNS semua kebutuhan hidupnya akan terpenuhi. Sama dengan orang yang mencalonkan anggota legeslatif. Menjadi PNS bukannya mau menjadi abdi Negara, tetapi mau meraup untung dari Negara. Sehingga PNS tetap menjadi incaran banyak orang.


Menjelang akhir tahun 2010, merupakan tahun panen untuk masyarakat Indonesia. CPNS kembali dibuka. Jutaan orang berlomba-lomba mendaftar guna memperebutkan jatah yang hanya secuil. Tidak imbang antara pendaftar dengan kuota yang tersedia. Tidak separuhnya, tetapi hanya salah-satu yang akan diambil lolos menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).


Banyaknya jumlah pendaftar itu, sementara kesediaan kouta tidak sebanding dengan jumlah pendaftar, maka akan melahirkan beberapa persoalan mendasar – yang seharusnya tidak harus terjadi – dalam rekrutmen PNS. Salah satunya adalah adanya calo (mafia) dengan melakukan pemerasan terhadap pendaftar yang ikut sayembara PNS. Suap-menyuap dan loby-loby pun dilakukan. Ada yang melakukan sendiri, ada pula yang menggunakan orang lain, karena orang dimaksud punyak jaringan kepada bosnya (penentu kebijakan).


Beberapa terakhir ini, ketika calon pendaftaran CPNS dibuka untuk umum, tidak sepi pula dalam beberapa media cetak dan elektronik pemberitaan tentang adanya pemerasan terhadap CPNS yang dilakukan oleh oknom tertentu. Sehingga berita-berita tersebut menghiasi halaman depan beberapa media seperti Koran setiap hari.


Tindakan yang dilakukan oknom seperti yang disebutkan diatas bukanlah lahir dari ruang kosong. Beberapa kasus pemerasan ketika dibuka CPNS bukannya pula lahir tanpa ibu. Ibunya adalah ketidak objektifan beberapa para pemegang kebijkan (pemberi vonis) bahwa orang itu bisa lulus atau tidak. Oleh karena tidak objektif, maka beberapa cara pun dilakukan oleh orang yang tertarik ikut CPNS. Ia bisa melakukan apa saja yang terpenting dirinya masuk menjadi PNS meskipun melalui jalur membayar dengan jumlah yang cukup besar. Walaupun pada sebuah kesimpulan dirinya tertipu. Ketika para CPNS mau melakukan hal-hal demikian (membayar) maka dimamfaatkan pula oleh oknum tak bertanggungjawab yang menjanjikan dirinya lolos.


Ketika cara-cara seperti dilakukan, berarti yang berhak masuk (lolos) menjadi PNS bukan berarti orang yang terbaik dalam Negeri ini. Karena cara yang dipakai adalah dengan cara kotor. Mareka hanya yang terkuat dari beberapa (banyak) calon yang lain. Hukum rimba (hutan) berlaku, siapa yang kuat (banyak uang) ia menjadi raja, yang lemah harus rela (terpaksa) menunggu antrian.

CPNS tanpa Uang
Ada perkataan mengelitik ditelinga saya ketika bebepa hari yang lalu, saya ngantar teman ke kantor pos mengirim berkas CPNS, bahwa rekrutmen CPNS cenderung tidak objektif yang dilakukan oleh para birokrasi penentu kebijakan. Tidak objektif yang maksud adalah calon yang lolos bukan peserta yang benar-benar sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan keputusan. Tetapi melalui jalur-jalur lain yang tidak bisa ditempuh oleh calon yang tidak lolos.


Sekilas, kalau melihat rekrutmen CPNS saat ini memang (sepertinya) bersih dari menipulasi dan praktek-praktek kotor lainnya. Pendaftarannya dilakukan via pos, tanpa harus ada yang membawa berkas dan juga tidak bisa dititipkan kepada siapa-siapa. Tetapi – maaf – walaupun dengan cara seperti itu, yang lolos tetap mereka yang punyak orang (jaringan). Artinya, cara pendaftaran seperti itu pada akhirnya hanya sebagai kegiatan serimonial (ritual tahunan) saja untuk membuang atau dengan bahasa sangat sederhanya untuk men-tidak loloskan orang-orang yang tidak punyak orang dan uang.


Sangatlah naïf kalau cara-cara seperti masih terus berlanjut di negeri ini. Mau menjadi abdi Negara masih melalui jalur-jalur kotor. Dan kalau mereka pada gilirannya nanti berkesempatan menjadi penentu kebijakan, maka akan perbuat hal yang sama pula. Lingkaran syetan namanya. Menerima pesanan, tidak segan-segan meminta uang (uang administrasi kalau mau diperhalus bahasanya) kepada calon kalau ingin lolos, serta tega men-delete nama-nama yang seharusnya memang benar layak menjadi PNS berdasar kriteria yang ditetapkan. Sehingga orang yang memang punyak niatan ikhlas mengabdi membangun negeri rela terdampar, sementara mereka yang ingin meraup keuntungan dari Negara diberi jalan mulus dan lampu penerang.


Dengan tulisan ini – bukan bermaksud menggurui – setidaknya bisa meminimalisir perbuatan keji diatas. Kalau rekrutmen dilakukan dengan cara objektif, diloloskan karena kualitas dirinya bukan karena membayar dan bukan pula karena sungkan kepada siapa-siapa, karena kerabat, teman dekat, tetangga, anaknya atasan, maka tidak akan terjadi (secara otomatis) mafia PNS dimana-mana. Ada kompetisi penuh. Terjadinya tindak pemerasan CPNS belakangan ini karena masyarakat sudah tidak percaya dengan panitia seleksi, sehingga CPNS mau melakukan apa saja, yang penting tercapai tujuannya, tanpa harus menoleh bahwa apa yang diperbuat sesuai dengan karakter bangsa (adat ketimuran). Rekrutmen PNS yang dilakukan dengan cara objektif, akan menghasilkan orang-orang yang berkualitas, siap mengabdi, tanpa memperimbangkan materi dalam bekerja. Semoga!


*Mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Dimuat di Duta Masyarakat, 22 Nopember 2010

21 November, 2010

PELACUR JUGA BERAGAMA

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Agama Pelacur”. Dari judulnya saja menarik untuk dibaca. Buku ini layak dimiliki oleh akademisi, peneliti, pemerhati, dosen dan mahasiswa. Bagaimana seorang yang beragama bisa dikatakan dan berstatus menjadi pelacur? Lalu dimana Agama yang ia yakini ditaruh?


Nilai-nilai sosial, baik yang bersumber dari ajaran Agama maupun tradisi dapat menjadi faktor yang meminggirkan perempuan. Perempuan dapat terkonstruksi secara sosial sebagai mahkluk yang “tunduk”, “loyal”, “lembut”, “pasrah”, dan “mengabdi”, serta tempat yang dianggap sesuai dengan perempuan adalah rumah, peran yang harus diemban dan tidak boleh ditinggalkan adalah mengurus urusan-urusan rumah tangga. Pengingkaran terhadap watak dan posisi seperti itu dianggap melawan takdir.


Posisi perempuan dalam Agama sebagai pihak yang harus tunduk pada laki-laki banyak ditemukan dalam kitab-kitab klasik. Subordinasi perempaun dalam Islam misalnya, terdapat dalam kitab ‘Uqud al-Lujjayn tulisan ulama Nawawi al-Bantani, kitab kuning yang sering menjadi rujukan dalam pendidikan Agama di pesantren.


Pemosisian perempaun di masyarakat juga bisa dilihat dari simbol-simbol yang terbangun. Namun sistem simbol yang terkait dengan perempuan ternyata sangat rumit sehingga tidak dapat ditarik dengan segera ke dalam suatu keputusan tunggal. Ada kontradiski simbolik atau dinamika simbolisasi yang penting untuk dicermati.


Secara simbolik, perempuan mendapat tempat yang sangat terhormat di dalam imajinasi orang Indonesia. Misalnya, bumi Nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke selain disebut tanah air, sering pula dijuli “Ibu Pertiwi”, seperti pada ungkapan: “Pahlawan kita telah gugur dan kembali kepada pangkuan Ibu pertiwi. Itu artinya bahwa nama perempuan sangat terhormat. Begitu juga dengan sebutan ibu kota, dan banyak hal lainnya yang menyebut nama ibu. Ada puisi dahsyat judulnya juga diberi nama Ibu.


Pada ranah dimistik juga terbangun image publik tentang perempuan sebagai sosok manusia yang harus dihormati, misalnya pada ungkapan yang bersumber dari ucapan Nabi Muhammad SAW: “Surga berada di telapak kaki Ibu”. Disini begitu besar keududukan seorang perempuan (Ibu) harus dihormati dibandingkan dengan seorang laki-laki (Ayah).


Hanya saja, seringkali simbolisasi (image) perempuan sering dimamfaatkan oleh seorang laki-laki untuk menena-bobokkan seorang perempuan untuk tidak berdaya. Image diatas dijadikan sebagai senjata untuk menenangkan perempuan agar supaya tidak membuat perlawanan terhadap tindakan yang dilakukan perempuan. Sehingga laki-laki merasa puas dengan segala tindakannya, termasuk mau poligami tidak menjadi halangan. Pada sisi yang lain, perempuan banyak (hanya) dijadikan sebagai objek pemuas nafsu hedonisme seks laki-laki. Dalam sejumlah penelitian (yang dilakukan peneliti) banyak ditemukan data sebagai sumber kajian atau penelitian tentang perempuan tentang suatu kondisi marjinalisasi terhadap perempuan.


Buku Agama Pelacur (Dramaturgi Transendental) karya Nur Syam ini, hendak menggambarkan suatu keadaan (fenomena) perempaun dalam suatu kondisi tertentu. Bagaimana Agama memandang, menyikapi dan memposisikan perempuan yang seringkali dijadikan sebagai subjek (tertuduh) sebagai sosok yang a moral karena perbuatannya – yang kata sebagian orang – telah keluar dari garis yang ditentukan oleh Agama, misalnya perempuan yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial (PSK) dalam suatu lokalisasi.


Dalam penulisan buku ini, penulisnya menggunakan studi atau metode Dramaturgi. Studi ini dipakai untuk menjelaskan suatu identitas manusia, bahwa manusia tidak stabil dan merupakan setiap identitas manusia adalah bagian dari kejiwaan psikologi kemandirian individu. Studi ini menjelaskan bahwa identitas manusia bisa saja berubah-rubah sesuai dengan kondisi dan tergantung pada bagaimana ia melakukan interaksi dengan orang lain.


Kajian tentang Dramaturgi dikembangkan oleh seorang filosof dan literalis, Kenneth Duva Burkey. Dramaturgi dikenalkan untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan kehidupan sosial. Tujuan digunakan metode Dramaturgi oleh Nur Syam (penulis buku ini) adalah untuk menjelaskan bahwa hidup ini bukan seperti drama, tetapi hidup ini memang sebuah drama. Dengan demikian, untuk melihat kondisi sosial di masyarakat dibutuhkan pemahaman yang objektif. Tidak asal memberikan vonis itu salah dan yang ini benar, tetapi juga bisa memberikan solusi agar orang yang kita anggap keluar dari rel yang ditentukan bisa menemukan jalan dan tempat yang layak.


Melalui Dramaturgi, sehingga buku ini bisa menampilkan pentas (pertunjukan) tentang suatu kondisi prilaku perempuan dalam disebuah lokalisasi di Surabaya, misalnya di lokalisasi Jagir Wonokromo (hlm. 102), lokalisasi di Morseneng (hlm. 107), lokalisasi di Dolly (hlm. 113). Bagaimana seorang perempuan – yang oleh Agama diposisikan sebagai manusia terhormat bisa masuk dalam lokalisasi. Apa yang melatar belakanginya, bagaimana pengakuan (sesuai dengan hati nurani)-nya sebenarnya, serta bagaimana Agama menyikapi hal demikian? Untuk mengetahui lebih jauh, buku ini adalah jawabannya. Selamat membaca!



*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya


DATA BUKU:

Judul Buku : Agama Pelacur (Dramaturgi Transendental)

Penulis : Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

Penerbit : LKiS, Yogyakarta

Cetakan : I, Oktober 2010

Tebal : xviii+200 Halaman