30 Maret, 2010

Benarkah Label Kiai Haram?

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Secara epistemologis, perkataan kiai berasal dari bahasa Jawa. Pertama, kiai merupakan sebutan untuk benda-benda terhormat atau benda pusaka, seperti kiai Pleret, kiai Garuda Kencana dan lainnya. Kedua, gelar kiai diberikan kepada salah seorang tokoh atau sebagai public figure di tengah masyarakat. Biasanya disingkat Ki, seperti Ki Ageng, Ki Temenggung, Ki gede, Ki Buyut dan seterusnya. Ketiga, seseorang disebut kiai karena ilmunya (alim), faham ilmu-ilmu keagamaan, mempunyai kharisma di masyarakat, mengajar kitab kuning dan mempunyai pesantren.


Pertanyaannya, bagaimana seorang yang mempunyai ilmu cukup (alim dalam ilmu agama), mengajar kitab kuning, banyak melakukan berubahan dan pemberdayaan di masyarakat, sementara tidak memiliki pondok pesantren apakah tetap disebut sebagai kiai? Dan bagaimana hukumnya?


Pertanyaan inilah yang sedang terjadi saat ini ketika Forum Kiai Pondok Pesantren (FKP) mengadakan pertemuan (bahtsul masail) di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Pertemuan tersebut meyepakati bahwa seseorang yang tidak mempunyai pondok pesantren (building) “haram” hukumnya menggunakan label kiai.

***
Menjadi seorang kiai atau ulama memang tidaklah gampang, karena membutuhkan suatu proses yang cukup panjang. Berbeda dengan seorang yang mau menjadi politisi, akademisi, pegawai dan pejabat Negara lainnya. Hanya bermodal dana dan pencitraan yang bagus, maka akan diraihlah semuanya. Berbeda dengan menjadi kiai, ia harus melampaui tahapan seperti patapan (mengasingkan diri, mencari ilmu pengetahuan agama sebanyak-banyaknya). Tidak cukup itu, tetapi juga harus dibuktikan, apakah ilmu yang didapat benar-benar bermamfaat kepada masyarakat atau tidak (uji kelayakan). Jadi label kiai adalah bentukan (julukan) yang diberikan oleh masyarakat berdasar ilmunya, bukan berdasar pada seberapa besar bangunan pondok pesantrennya.


Ketika memperhatikan hasil pertemuan Forum Kiai Pesantren di Lirboyo, Kediri, tanggal 14 Pebruari 2010, yang memfatwakan “haram” seseorang menggunakan label kiai sementara tidak punyak pondok pesantren (banyak santri) Untuk melehat kesana dibutuhkan pembacaan secara intensif, diperlukan sebuah pijakan dan kerangka pikir (manhaj). Kalau dahulu kita di pesantren dikenalkan dengan maqal (perkataan ulama) “lihat apa yang ia katakan, jangan melihat siapa yang mengatakan” (undzur maa kaala wala tandzur man kaala) adalah tidak berlaku lagi disaat sekarang ini. Lebih baik “lihatlah siapa yang berbicara (dulu), jangan melihat apa yang ia katakana” (undzur man kaala wala tandzur maa kaala).


Artinya, saat ini, melihat realitas hidup dibutuhkan sebuah pola pikir yang kritis. Kenapa harus “siapa” yang diletakkan di depan? Karena berbicara siapa juga berbicara subyek. Ketika ngomong subyek ada kaitannya dengan tempat dan waktu (konteks) yang melatar belakangi lahirnya sebuah pendapat, pernyataan dan fatwa.


Tulisan ini merupakan tanggapan – untuk tidak mengatakan kritik dan perlawanan – terhadap Forum Kiai Pesantren yang mengharamkan seseorang yang tidak mempunyai pondok pesantren berlabel kiai. Karena tidak sedikit pula orang banyak melakukan dakwah di masyarakat, sementara dia terkadang tidak mempunyai pondok pesantren. Walaupun mereka tidak peduli apakah di bilang kiai atau tidak. Karena bermodal ikhlash dalam berjuang, identitas tidaklah penting.


Apa yang penulis tangkap dari fatwa kiai-kiai di Lirboyo, Kediri itu, mempunyai tendensi dan beberapa kepentingan sebagai berikut. Pertama, pada bulan Maret depan, Nahdlatul Ulama (NU) akan mengadakan muktamar yang akan ditempatkan di Sulawesi (kalau tidak ada perubahan). Dengan adanya fatwa tersebut diatas, adalah merupakan bentuk perlawanan dan upaya untuk menjegal salah-satu calon tertentu yang akan memperebutkan ketua umum PBNU.


Kedua, tahun 2010, di Jawa Timur, beberapa daerah (kabupaten) akan mengadakan pemilihan kepala daerah (pilkada). Sementara – mohon maaf – masyarakat Jawa Timur hingga kini masih panatik terhadap kiai. Artinya, rekom (restu) kiai untuk mendukung salah-satu calon tertentu dalam mengais suara tetap menjadi pertimbangan banyak politisi. Fatwa dilakukan – meminjam bahasanya KH. Abdurrahman Wahid – sebagai bentuk perlawanan untuk tidak kalah saing antara kiai kampung (yang tidak punyak pesantren) dan kiai khos (yang mempunyai pesantren besar).


Ketiga, langkah tersebut merupakan pembunuhan karakter dan pemutusan mata rantai kader-kader potensial di lingkungan NU dan pesantren. Sementara harus disadari, bahwa munculnya kiai khos (bukan kiai kaos) adalah lahir dan dibesarkan melalui proses kiai kampung yang hanya melayani dua sampai tiga santri dalam bentuk surau, bukan pesantren besar.


Ditengah hiruk-pikuk persoalan bangsa yang begitu kompleks, mulai dari persoalan keagamaan, sosial, ekonomi, budaya, dan politik, diharapkan fatwa para kiai benar-benar dilakukan untuk kebaikan, tidak mendiskreditkan salah satu pihak tertentu.


*Kader Muda NU Sumenep, Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS).

Kebangkitan (para) Hewan

Oleh: Ach. Syaiful A'la*

Beralihnya kekuasan orde baru pasca jatuhnya presiden Soeharto (1997) dari puncak kekuasaan tertinggi di Indonesia menjadi masa reformasi cukup memberikan angin segar bagi kebebasan individu dan perpolitikan di Indonesia sehingga orang bisa bebas menuntut segala hak serta tidak ada larangan untuk melakukan apa saja, termasuk aksi demo (turun) ke jalanan.


Masa Orde Baru (plash back), kebebasan begitu dibumkan. Jangan sekali-kali orang mencoba melakukan aksi demo, bersuara sedikit saja (berupa kritik) jikalau membuat pemerintah tersinggung, maka harus rela berdiam diri dibalik tembok tebal dan pagar besi atau hilang (diculik). Kebebasan menuntut hak dan pembelaan terhadap hak asasi manusia tidak berlaku saat itu.


Kini, zamannya telah berubah. Masa reformasi – kalau meminjam istilahnya Nurcholis Madjid bagaikan kran air. Jika dibuka, airnya akan berhamburan kesana-sini. Bebas memilih tempat, seenaknya menentukan pilihan, termasuk melakukan aksi demo dengan melakukan protes – sebagai kontrol – terhadap pengambilan kebijakan yang dilakukan pemerintah. Ketika melakukan aksi, para demonstran pun bebas melakukan aksi apa saja. Mulai dari treatrikal, membawa simbol-simbol sampai kepada yang paling terkini yakni maraknya membawa hewan disaat melakukan aksi sebagai simbol ketidakpuasan atas sikap para pengambil kebijakan sehingga pemerintah diibaratkan dengan hewan.


Belakangan ini mungkin kita sudah akrap dengan para demonstran yang menggunakan simbol hewan. Dahulu, hewan tempatnya di kebun binatang, kini berubah mulai (bangkit) turun dijalanan. Dimata kita sudah tak asing lagi dengan nama ayam, tikus, cecak, buaya, terakhir adalah kerbau. Ayam digunakan sebagai simbol disaat demonstran melakukan aski di depan gedung KPK, tikus selalu disimbolkan dengan koruptor, cecak-buaya merupakan istilah perseturuan antara KPK dan Polri, sementara kerbau digunakan sebagai simbol kritikan terhadap 100 kinerja pemerintahan SBY-Boediono.


Josef dan Raja Hutan
Aksi demo dengan menggunakan simbol hewan kalau membaca sejarah bukanlah sesuatu yang baru terjadi saat ini. Dalam sejarah perkembangan manusia, pada masa kehidupan Nabi Ya’quf dan Yusuf telah ada aksi demo dengan membawa si raja hutan (macan). Tetapi macan yang dibawah oleh saudara-saudara Josef ketika menghadap Nabi Ya’quf bukan sebagai simbol, melainkan sebagai terdakwah, bahwa ia (macan) itu yang menikam (makan) Josef hingga tewas. Kemudian dengan mukjizat Allah SWT, macan tersebut bisa bersaksi dan menyatakan tidak bersalah di depan raja Ya’quf.


Cerita diatas memberikan pelajaran kepada kita, bahwa sifat hawaniyah (kehewanan) tetap selalu bersemayam dalam setiap diri seseorang. Aksi yang dilakukan oleh saudara-saudara Josef sebenarnya – secara tidak sengaja mensimbolkan sifat keganasan dalam dirinya. Sehingga mereka berani berbohong, tega menganiaya saudaranya sendiri hanya untuk merebut kekuasaan dan lain sebagainya.


Dalam agama Islam, sejak dini, ketika masih duduk di level pendidikan dasar, kita sudah dikenalkan dengan pelajaran suatu keadaan seseorang setelah ajal kematian menuju alam mahsyar (yaumul al-ba’tsi). Dalam kitab ajaran dijelaskan, barangsiapa yang hidupnya selalu mengambil dan mengkrukuti hak milik orang lain, maka setelah bangkit nanti dari alam kuburnya, mukanya seperti tikus. Bagi siapa semasa hidupnya kelakuannya selalu kolusi dan nepotisme, mukanya akan seperti anjing. Orang yang hidupnya bersikap sombong, merasa dirinya lebih kuat dari yang lain, muka kelak akan seperti macan. Jadi, semuanya merupakan cerminan (tamtsil) tergantung perbuatannya ketika hidup di dunia.


Belajar dari Kesalahan
“Semut di seberang lautan kelihatan, gajah dikelopak mata tidak kelihatan”. Artinya, kita terkadang tidak bisa melihat kesalahan atau potensi yang ada pada dirinya, sehingga membutuhkan bantuan orang lain orang untuk menilainya. Melihat aksi demo yang dilakukan masyarakat sebagai bentuk protes (kontrol) terhadap kinerja 100 hari kepemimpinan SBY-Boediono yang membawa kerbau ke halaman istina tentunya berbeda dengan yang dialami oleh saudara-saudara Josef. Kalau saudara Josef mengakui kesalahannya, SBY-Boediono justru menyesalkan adanya aksi semacam itu.


Dengan kejadian semacam itu (rakyatnya berani menyimbolkan kurbau), hendaknya menjadi cambuk bagi kepemimpinan SBY-Boediono beserta kabinet Indonesia Bersatu Jilid II kedepan untuk introsfeksi diri (muhasabah), dan simbol yang semacam itu dijadikan sebagai cerminan guna membaiki kebijakan-kebijakannya – yang kata banyak orang – cenderung lambat dalam bertindak, didekti suatu golongan dan dipengaruhi oleh kebijakan kebijakan luar yang hanya terkadang berorientasi pada kepentingan kelompok dan status quo. Karena – jujur saja – masyarakat tidak mungkin melakukan suatu tindakan (berani menyamakan dengan kerbau), kalau tidak ada hal yang menyebabkan sesuatu terjadi sebelumnya. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Rakyat bukanlah musuh pemerintah, tapi jadikan rakyat sebagai metra dalam setiap pengambilan keputusan yang berpihak pada kepentingan bersama.


Proses komunikasi sangat penting antara pemerintah dengan rakyatnya. Komunikasi disini diibaratkan sebagai organ dalam tubuh manusia. Tindakan (untuk memperbaiki kinerja) semacam itu merupakan langkah pasti yang paling ditunggu-tunggu rakyat Indonesia disaat Negara dalam berbagai krisis. Kalau demikian yang dilakukan oleh SBY-Boediono, masyarakat akan antipatif, empatik pada pemerintah, sehingga akan terjalin sebuah komunikasi erat antara pemimpin dengan rakyatnya. Walhasil, demokrasi – dari, oleh dan untuk rakyat – bakal terwujud. Kalau tidak taruhannya bukan hanya popularitas SBY-Boediono dan kabinetnya, tetapi proses demokrasi pun di Indonesia akan ditolak oleh masyarakat.


*Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS), Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya.

08 Maret, 2010

Dongeng Yogyakarta tempo dulu

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Yogyakarta. Apa yang terlintas dibenak seseorang ketika mendengar kata Yogyakarta? Sebuah daerah yang telah berperadaban, masyarakatnya beretika, bermoral, sopan, halus dalam berbicara, budaya keraton, mempunyai kesenian dan kebudayaan yang tinggi, bahkan tak salah jika kini ada banyak orang menyebutnya sebagai daerah pendidikan (kota pelajar).


Ya kita pun mengamini dengan gelar tersebut, karena disana memang banyak perguruan tinggi berskala nasional hingga internasional, telah banyak mencetak sarjana, gudangnya ilmu pengetahuan, hampir disetiap kost/kontrakan ada penerbit dan percetakan buku, tempat seminar, diskusi, kajian keilmuan, peneliti, penulis dan lain sebagainya. Yogyakarta – biasa disebut Yogya – adalah tempat nyaman dan aman sebagai tempat pengembangan bakat diri (belajar).


Apa yang saya utarakan diatas, kalau pembaca hanya melihat Yogya pada saat sekarang ini. Bagaimana Yogyakarta masa silam? Terkadang kita lupa atau memang tidak tahu dengan beberapa peristiwa yang telah terjadi disana. Padahal sebuah peristiwa yang telah mendahuluinya akan membentuk suatu kondisi seperti saat sekarang. Misalnya disana ada sebuah peristiwa besar, Agresi Belanda pada tahun 1948-1949 ketika menggoncang kota Yogyakarta.


Buku Ditepi Takdir: Sebuah Novel Sejarah, Perjuangan dan Pendidikan setebal 255 halaman yang ditulis oleh Hj. Samsikin Abu Daldiri ini merupakan bukti sejarah (kisah nyata) dari peristiwa diatas. Isinya banyak mengupas tuntas tentang pengalaman dirinya pada sebuah kejadian yang sangat heroik tentang Agresi Belanda ketika menyerang kota Yogya. Buku ini ditulis dengan gaya kepenulisan bentuk cerita (novel), sehingga kehadirannya diruang pembaca akan menumbuhkan rasa simpati dan empati, seakan kita mengalami sendiri pada sebuah peristiwa seperti yang dirasakan oleh seorang diri Samsikin AD sebagai penulis.


Peristiwa Agresi Belanda di Yogyakarta – termasuk juga di daerah lainnya – merupakan rangkaian detik-detik yang amat mendebarkan dan sekaligus menghantui hidup orang banyak, termasuk penulis buku ini. Hj. Samsikin Abu Daldiri atau biasa disingkat dengan Samsikin AD, adalah seorang perempuan kelahiran desa Srandakan Kabupaten Bantul. Dalam usia tuanya, ia menyempatkan diri untuk menulis kisahnya pada masa silam disaat kota Yogya di goncang penjajah, sehingga menjadi sebuah karya yang menakjubkan dan gemilang di hadapan pembaca.


Dalam kisahnya, Samsikin menceritakan dalam buku ini – bahwa ini benar-benar terjadi yang dialaminya selama hampir tujuh bulan ketika tentara Belanda menduduki kota Yogya. Dia memulai menulis cerita dirinya ketika dalam pengungsian. Disaat tentara Belanda datang untuk menduduki kota Yogya, Samsikin yang masih berumur 13 tahun 4 bulan juga ikut diungsikan demi menjaga keselamatan warga sipil dari kekejaman serangkaian serangan tentara Belanda. Tempat yang dijadikan sebagai pengungsian bukan sebuah gedung atau tembok, tetapi adalah lubang, gelap, dan panas. Selama delapan jam dalam lubang pengungsian itu, ia hanya disuguhkan makan singkong. Sementara tiap orang hanya mendapat dua kerat singkong. Namun walaupun hanya dengan dua kerat singkon, ia pun tetap merasa kenyang (hlm. 37).


Suasana terus semakin menegangkan. Pesawat pengintai tentata Belanda terus mengitari area kota Yogya. Sehingga semua yang ada dalam pengungsian hanya bisa berdoa, memohon kepada Tuhan untuk selalu diberi kekuatan bagi orang-orang yang akan membela, memperjuangkan dan mempertahakan Negara Republik Indonesia dari cengkaraman tangan penjajah. Semua dalam kecemasan, serba ketakutan, hidup sudah tidak bisa menikmati kebebasan, hidup dalam kepenjarahan, hidup dalam sebuah penderitaan, penuh siksaan dan dipekerja paksakan.


Siang, sekitar jam 11.00 hari Jumat legi tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Negara diproklamirkan oleh Ir. Soekarno dan Dr. Muhammad Hatta di Jakarta. Semua orang berteriak “Merdeka… merdeka… kita sudah merdeka…! Hidup Bung Karno… Hidup Bung Hatta!”. Dari berbagai sudut kota di Yogya pun juga terdengar teriakan demkian dari orang banyak “merdeka”. Dihari yang bersejarah itu, semua orang, laki-laki dan perempuan, bapak-bapak dan ibu-ibu kesemuanya dikala berjumpa harus memekikan kata “merdeka” kalau tidak mau dicap sebagai mata-mata tentara Belanda (hlm. 122-123).


Samsikin sebagai bukti sejarah dalam cerita ini kini bisa tersenyum. Penjajah di bumi Indonesia khususnya di Yogyakarta telah tiada, kembali ke negaranya. Berubahlah semuanya. Langit Yogya mulai cerah, berbinar, sinar matahari mulai menembus dinding-dinding tebal untuk menerangi jagat raya, udara yang dingin dan sejuk menusuk badan untuk memberikan harapan besar bagi kehidupan masyarakat Yogyakarta. Sebagai warga Negara, Samsikin kini menikmati betapa bahagianya hidup tanpa penjajah. Bebas memilih pendidikan (sekolah), berpendapat, berekpresi, melakukan kreasi (menciptakan sebuah karya) kesemuanya adalah babakan yang amat menentukan nasib masa depannya.


Hanya saja, karena keterbatasan kemampuan diusia tuanya, masih banyak peristiwa penting di Yogyakarta pada saat kebiadaban tentara Belanda menduduki kota pelajar ini belum tercover dalam buku ini. Tetapi – minimal – buku ini cukup menjadi bacaan bagi angkatan penerus astafet perjuangan untuk negeri tercinta ini. Misalnya pembaca bisa meneladani penulis dikala ia dalam pengungsian, takut kepergok tentara Belanda, rintangan yang dihadapi, mengungsi lagi, hingga semangatnya yang tak pernah padam untuk terus menimba pendidikan.
Selamat membaca!


*Direktur Komunitas Baca Surabaya (KOMBAS)


DATA BUKU: (dimuat di Duta Masyarakat, 7/3/2010)
Judul Buku: Ditepi Takdir; Sebuah Novel Sejarah, Perjuangan dan Pendidikan
Penulis : Samsikin AD
Penerbit: Grafindo, Jakarta
Cetakan: I, 2009
Tebal: 225 Halaman

04 Maret, 2010

DIKENANG TAMPAK KEBESARANNYA*

Oleh: Ach. Syaiful A'la, S.Pd.I*


Ulama besar syekh Muhammad Musthafa Al-Maraghy yang terkenal dengan tafsir Al-qur'an "Al-Maraghy-nya", menulis kesannya tentang kehidupan Nabi Muhammad saw. dalam kata pengantar buku "Life Of Muhammad" karangan Dr. Muhammad Hussein Haikal Pasha, bahwa:

Semenjak manusia berada diatas permukaan bumi ini, ia telah mempunyai ingin mengetahui segala peraturan yang umum dan yang tertentu (yang tidak umum), yang terdapat disekelilingnya. Kemudian tiap kali manusia perhatikan alam ini, nyatalah kepadanya bahwa kebesaran alam ini lebih besar dari pada yang diketahui sebelumnya itu. Karena itu juga semakin tampaklah kepadanya kelemahannya dan semakin kurang pula sifatnya yang luhur.


Adapun Nabi Muhammad, Nabi pemabawa agama Islam, amat serupa benar keadaannya dengan alam yang besar ini. Semakin lama beliau semakin besar dari pada yang sudah-sudah. Bukan besarnya orangnya tetapi besar pribadinya.


Kontinuitas
Didalam diri tiap mansusia, ada banyak sekali pembawaan asli, yang menurut agama disebut sebagai "fitrah". Pembawaan ini dapat tumbuh subur, tetapi juga dapat mati gersang. Tak ubahnya seperti Iman yang merupakan karunia besar bagi manusia. Iman itu bisa berkembang dengan suburnya, manakalah senantiasa ada pemupukan dan pembinaan secara kontinuitas, secara terus menerus, namun Iman itu dapat kering tandus dan gersang, manakalah tidak pernah mendapatkan pemupukan dan perawatan sama sekali.


Umat Islam dituntut oleh al-qur'an, hal ini terdapat dalam surat al-ahzab ayat 21, berbunyi : laqad kaana lakum fi rasulillahi uswatun hasanah ayat ini memerintahkan kepada kita (umatnya) supaya mencintai Nabi Muhammad saw. karena dia adalah contoh teladan bagi manusia. Makin sering tuntunan ini dikenang makin tebal dan mantap sesungguhnya kecintaannya kepada utusan Allah itu. Sebaliknya makin tidak dikenang semakin kering dan tandus kecintaan itu. Itulah sebabnya peringatan maulid Nabi setiap tahun selalu diperingati oleh kaum muslimin diseluruh dunia.


Hakekat kenabian
Kenabian adalah suatu karunia dari Allah yang tidak dicapai dengan usaha. Kenabian memang hanya diberikan kepada orang-orang yang memang dipersiapkan untuk itu oleh Allah, dengan bahan "hikmah dan ilmu". Hanya Allah yang lebih mengetahui siapa-siapa yang berhak menduduki tempat-tempat tersebut. Dan Nabi Muhammad saw. adalah satu diantara yang terakhir mendapatkan kenabian, dan tidak lagi sesudahnya. Ini adalah keyakinan.


Ada dua hal prinsip dasar yang dibawa Nabi Muhammad dalam memimpin umat manusia pada zaman akhir ini. Yakni bidang dasar atau fondamen hidup manusia, yang biasa kita kenal dengan istilah "akidah" dan yang kedua bersifat mengatur dalam pergaulan sesama manusia sebagai makhluk Tuhan, yang biasa disebut dengan "mu'amalah". Dari kedua bidang ini kemudian berkembang sesuai dengan tempat, sehingga meliputi seluruh kehidupan manusia. Sebagaimana disebutkan dalam al-qur'an yang artinya : "Meraka meliputi kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang teguh kepada tali (agama) Allah, dan tali (perjanjian) dengan manusia". QS. Ali-Imran ayat 112.


Tugas Nabi dalam membimbing umatnya untuk bidang pertama, yakni akidah, didasarkan pada petunjuk wakyu, bukan atas pikiran atau pendapat pikiran. Wahyu itu menjelaskan secara detail tentang soal-soal Zat Tuhan dengan kesempurnannya. Ini tidak dilakukan bukan atas pikiran kerena masalah tersebut bukan jangkauan pikiran manusia.


Victor Hugo, seorang filosuf perancis, mengemukakan pendapatnya tentang Nabi Muhammad, dalam majalah "rohani" di Paris maret 1908 antara lain : "Alam mini bergerak atas dua kekauatan yang menggerakkannya. Kedua penggerak kekuatan itu berlainan, juga tidak dapat ditangkap oleh perasaan kita, yaitu roh dan kekuatan alam. Kekuatan alam ini mengikuti suatu peraturan yang sangat teratur secara mathematik. Sedangkan kekuatan roh itu merdeka tidak suatu apapun yang mengikatnya.


Berbagai Tantangan
Pada abad teknologi sekarang ini, diperlukan banyak sekali manusia-manusia teknokrat menurut bidangnya. Umat islam sebagai pewaris Nabi Muhammad saw. dihadapkan berbagai tentangan, untuk memecahkan berbagai problema kehidupan yang semakin komplek. Tangan ini tidak dapat hanya kita hadapi dengan jawaban tradisional, itu sudah ada dalam al-qur'an. Tetapi butuh dibuktikan secara konsepsional dan rasional bahwa memang betul-betul islam "islam itu yaklu wala yukla 'alaih". Untuk ini dibutuhkan pemikir-pemikir muslim yang berkreasi dan berkepribadian.


Agama kita sudah cukup banyak memberikan bahan mentah, yang masih harus diolah hingga enak untuk dianikmati. Pemahaman bahan-bahan pokok itu perlu sekali diperdalam oleh generasi mudah, sehingga warisan tak nilai itu dapat diwujudkan dalam bentuk-bentuk kongkrit, yang tidak perlu lagi mencari dari lain-lain konsep, tetapi bila sekiranya memang kita dapati pada bahan pokok itu. Namum demikian juga agama kita tidak menutup kemungkinan untuk mengangsu dari lain ladang, karena setiap kebaikan dan kebajikan adalah seperti benda hilang bagi kaum muslimin.


Dalam sebuah hadits Nabi disebut yang diriwatkan oleh Bukhari, bahwa dunia adalah mempunyai fungsi sosial, yang hendaknya dipergunakan kepentingan bersama. Dikala cukup hendaklah ingat kepada yang belum cukup. Dikala gembira hendaklah ingat kepada yang menderita. Itulah konsep Nabi Muhammad yang hendaknya menjadi "way of life" umatnya, sehingga menjadi umat yang wasathan, umat yang dapat berdiri tegak, ditengah gelombang arena kehidupan yang serba komplek ini.


*Alumnus IAIN Sunan Ampel, Surabaya
*Refleksi peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, 1431H