31 Desember, 2008

NU dan Ekonomi Kerakyatan

Oleh : Ach. Syaiful A’la*

Terkadang memang ada yang iri melihat pertumbuhan dan perkembangan organisasi bintang sembilan yang begitu pesat. Mungkin perkembangan NU yang sedemikian itu sudah diluar dugaan para pendirinya terdahulu. Bisa kita lihat pada muktamar pertama diadakan, hanya selang delapan bulan saat Nahdlatul Ulama (NU) berdiri, hadir 93 ulama dari Jawa dan Madura. Saat itu hadir juga utusan Palembang dan dua orang dari Kalimantan. Muktamar kedua, setahun kemudian hadir 145 kiai dari 242 pengusaha, petani, buruh dan dihadiri juga Dr Soetomo, sebagai pendiri Budi Utomo. Oleh karena itu perkembangan NU dari muktamar ke muktamar terus bertambah bahkan dari kalangan awan yang simpatik terhadap perjuangan ulama. Otomatis dengan bertambahnya cabang-cabang, maka kegiatan NU pun semakin bertambah dan semakin marak.

Sebagai ormas Islam (religious social organization) di Indonesia. NU dalam perjalannya mengalami perkembangan pesat baik secara struktural (manajemen organisasi) maupun kultural (secara basis massa). Tapi kelihatan sekali, hingga kini perkembangan NU secara struktural lebih dominan. Bahkan NU sudah mempunyai 12 jaringan internasional (global network). Hal yang demikian itu tentunya tidak terlepas dari adanya orang yang berkompeten dalam kepengurusan dan dengan ikhlas mengabdikan dirinya di NU. Manajemen (job deskription) kepengurusan NU secara struktural sudah mulai terlihat sangat jelas. Misalnya dari tugas, fungsi, wewenang dan kebijakan pengurus syuriyah, tanfidhiyah dari tingkatan pengurus pusat (Center Board of Nahdlatul Ulama) hingga tingkatan paling bawah, yakni pengurus ranting.

Misalnya, istilah lembaga Syuriyah. Lembaga ini khusus disediakan untuk para tokoh ulama ad-Din, mereka yang mempunyai ilmu cukup, beramal dan berakhlak mulia sesuai dengan ilmunya. Biasanya lembaga ini hanya diisi oleh ulama yang mempunyai kewibaan, peranan, berpengaruh yang betul-betul waratsatul an biya’, karena ulama adalah pewaris para Nabi.

Sebagai lembaga di NU, syuriyah pun memiliki peran yang unik, yaitu dalam masalah hukum fatwa agama, menetapkan konsepsi, dan garis perjuangan, sejajar dengan tanfidziyyah (pengurus umum), sebagai pengawas, tutwuri handayani, membahas masa-il diniyyah, ishlah dzatil bain, mengariskan pokok-pokok materi dakwa dan tuntunan amaliyah diniyyah (baca : Antologi NU).

Sebelum jauh berbicara tentang NU, kita harus faham terlebih duhulu, apa NU itu? Tulisan ini sebenarnya mengajak kepada pembaca untuk mengingat kembali kepada prsoses berdirinya NU bukan pada pendefinisian NU. Nama Nahdlatul Ulama – biasa disingkat NU – secara definisi adalah kebangkitan ulama atau kebangkitan para cendikiawan muslim. Sebuah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan (jam'iyah diniyah wa ijtima'iyah), yang didirikan para kiai dan ulama pesantren tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab H di Surabaya di motori oleh KH Hasyim Asy'ari, setelah sebelumnya melalui proses panjang mendapat restu Syaikhona Khalil Bangkalan, konon dalam cerita lisan, waktu itu Syaikhona Khalil sebagai pemegang wali kutub (wali sedunia).
Seperti yang diketahui banyak orang pada umumnya, bahwa latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran kaum modernitas Islam atas situasi politik dunia Islam. Berawal dari pemikiran Syeikh Muhammad Abduh di Mesir, sedangkan di Arab terdapat gerakan wahabi yang dipelopori Abdul Wahab, dengan tujuan untuk memurnikan ajaran Islam.

Gerakan ini ingin memacu perkembangan Islam agar dapat menghadapi perubahan zaman, akibat modernisasi dengan berdasarkan pada Al-Qur'an dan Hadits. “Kalau umat Islam ingin maju lagi, harus kembali pada Islam sejati, sebagaimana diperaktekkan di zaman Nabi,” demikian semboyan golongan pembaharuan. Di kalangan ulama salaf pesantren, yang tetap berpegang pada empat madzhab dalam menjalankan syari'ah Islam, membentuk sebuah komite dipimpin KH Wahab Chasbullah.

Komite kemudian mengalihkan perhatian ke kongres yang diprakarsai Ibnu Su'ud, penguasa Hijas yang baru. Gagasan Ibnu Su'ud itu dibicarakan dalam dua kongres umat Islam berturut-turut, di Yogyakarta pada tahun 1925 dan di Bandung pada tahun 1926. Namun, kongres Bandung sebenarnya hanya untuk mengesahkan kesepakatan sebelumnya, tentang orang-orang yang diutus ke kongres khilafah itu, karena nama, KH Abdul Wahab Chasbullah (delegasi pesantren) dicoret, dengan alasan bukan organisasi. Bahkan, titipan dari kiai Wahab untuk mengusulkan kepada pengusaha Arab, agar menghormati tradisi keagamaan dan ajaran bermadzhab, tawasul, ziarah kubur, maulid Nabi, dan lain sebagainya pun ditolak.

Peristiwa itu kemudian menyadarkan para ulama pengasuh pesantren akan pentingnya sebuah organisasi (jam'iyah). Para ulama pesantren sangat tidak bisa menerima kebijakan yang anti madzhab, anti maulid Nabi, anti ziarah makam (yang baru-baru ini juga digugat oleh orang yang mengaku kiai NU. H Mahrus Ali, bahwa syalawat & dzikir syirik). Bahkan santer terdengar berita akan berencana menggusur makan Nabi Muhammad SAW.

Dari peristiwa berdirinya NU tadi, sebenarnya ada tiga penyangga utama proses berdirinya ormas terbesar di Indonesia. Ini pun terkait dengan bagaimana sumbangsih NU terhadap peradaban ke-Indonesia-an. Sehingga dengan tiga pilar berdirinya NU, maka NU tidak bisa dihilangkan dari sejarah Indonesia.
Apa ketiga pilar itu?

Back To Nahdlatut Tujjar (1918)
Kalau kita mau jujur (flash back) bahwa berdirinya organisasi Islam terbesar di Indonesia ini (Nahdlatul Ulama) di latar belakangi oleh tiga pilar penting, yakni Nahdlatul Wathan, Nahdlatut Tujjar dan Taswirul Afkar.
Pembahasan ini difokuskan pada pengkajian tentang Nahdlatut Tujjarnya, karena kedua filar tersebut diatas (Nahdlatul Wathan & Taswirul Afkar) telah banyak berkembang pesat di bumi Nusantara dan tidak perlu diragukan lagi. Ini terbukti bisa kita lihat bagaimana pembelaan NU terhadap Negara. Misalnya bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah dianggap ”final” dan banyaknya, tumbuh, subur, dan berkembangnya pemikiran (para intelektual) dari NU.

Ada dua unsur untuk memahami sejarah internal NU. Dan sejarah berdirinya NU tidak bisa dilepaskan dari dua unsur itu yang sangat mewarnai perjalannya. Pertama, NU pada hakikatnya merupakan pelembagaan tardisi Islam yang sudah ratusan tahun berkembang di bumi Nusantara. Dan tradisi Islam di nusantara merupakan suatu continuum dari sejarah pemikiran Islam dan peradaban sebelumnya di Timur Tengah dan sekitarnya.

Kedua, kelahiran NU tidak bisa dipisahkan dari kelahiran Nahdlatul Wathan yang berdiri pada tahun 1916, Nahdlatut Tujjar tahun 1918, dan Tashwirul Afkar tahun 1924 yang juga didirikan oleh para pendiri NU agar dapat di anggap sebagai mencerminkan budaya/berfikir. Inilah tiga penyangga berdirinya organisasi bintang sembilan di bumi Indonesia. Karena selama ini, NU oleh banyak kalangan hanyalah dipahami sebagai sebuah organisasi yang tidak lebih dari organisasi keagamaan yang reaksiones dan selalu berhadapan dengan kelompok modernisme Islam. Padahal NU memiliki sikap yang lentur untuk menerima terhadap modernisasi. (baca : Abdurrahman Wahid).

Tulisan ini akan mengangkat kembali sesuatu hal penting yang hingga kini telah redup, suram, bahkan hampir dilupakan dari sejarah awal berdirinya Nahdlatul Ulama, kaitannya dengan sumbangsih NU pada Negara dalam bidang pemberdayaan ekonomi umat khususnya warga nahdliyyin sendiri yang hampir terlupakan (tidak diperjuangkan) oleh tokoh-tokoh elit NU sendiri sekarang ini.

Contoh kecil saja, sangat sedikit sekali kita jumpai tulisan atau literatul bahkan wacana yang memperbincang tentang “Peran NU dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat,” yang banyak kita jumpai setiap bacaan tentang NU dan politik, NU dan Muhammadiyah, NU dan Pesantren, NU dan Konflik internal, NU dan kiai, NU dan budaya lokal, NU dan pendidikan, NU dengan Negara atau NU dengan KH Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur (Ayu Sutarto, 2008). Untuk sementara, sampai tulisan ini selesai hanya ada satu atau dua buku yang menjadi acuan (reference) tentang Sekilar Nahdlatut Tujjar. Buku tersebut di tulis oleh anak muda NU yang tergolong dalam Jaringan Komisi Fatwa (Jarkom Fatwa) Surabaya, dan itu adalah merupakan suatu bentuk kepedulian anak muda untuk membukukan yang tidak kalah penting pada waktu itu untuk kondisi sekarang tentang pembelaan tokoh-tokoh pendiri NU pada persoalan ekonomi kerakrayatan.

Apalagi sekarang kiai NU sudah ambil bagian peran lain yakni terjun dalam politik praktis dengan melalui masuk dan bergabung ke dalam partai politik (parpol) tertentu. Sehingga dengan hal tersebut yang dimainkan oleh para kiai, kita harus juga mencabut tulisan Clifford Geertz (peneliti) dalam disertasinya yang menulis bahwa kiai adalah pialang budaya (cultural broker) yang dulunya secara massif sebagai pialang transfer ilmu pengetahuan dan kebudayaan keislaman dari Mekkah ke Indonesia. Kebangkitan para pedagang/saudagar (nahdlatut tujjar) sudah mengalami perubahan makna menjadi bangkit untuk saling menguasai jabatan strategis (empuk) dalam pemerintahan (eksekutif maupun legeslatif).

Seandainya NU sebagai jam'iyah diniyah ijtima'iyah menggerakkan kembali (kembali ke sejarah awal berdirinya) membentuk lembaga otonom yang bisa memikirkan dan melakukan pemberdayaan ekonomi kerakyatan, misalnya menggerakkan kembali Nahdlatut Tujjar khususnya bagi warga nahdliyyin sendiri, walaupun ada sekarang di beberapa pengurus cabang yang mendirikan koperasi dan lain-lain. Maka tanpa terasa NU juga telah membuat suatu perubahan sejarah dalam persoalan ekonomi yang ada di Indonesia secara nasional, atau lingkungan kecilnya adalah warga nahdliyyin. NU merupakan organisasi terbesar di Indonesia. Dan NU memiliki potensi yang sangat kondusif untuk emansipasi kaum bawah yang ekonominya lemah (kaum dhu'afa), NU merupakan organisasi yang mempunyai basis massa yang sangat luas – bahkan sekarang sudah Go Internasional – dan bargaining dengan politik yang kuat dalam pemerintahan. Hal ini terlihat dengan banyaknya orang-orang NU (personality) yang menduduki jabatan penting dalam pemerintahan (Baca : kekuasan).

Saking pentingnya dalam mengatasi persoalan prekonomian yang dihadapi oleh masyarakat, salah satu pendiri NU sendiri, KH Hasyim Asy’ari dalam petuahnya telah memberikan sinyal (peringatan) kepada kader-kader NU : “Wahai pemuda putra bangsa yang cerdik pandai dan para ustadz yang mulia, mengapa kalian tidak mendirikan saja suatu badan usaha ekonomi yang beroperasi, dimana setiap kota terdapat satu badan usaha yang otonom”. (K.H. Hasyim Asy'ari, Deklarasi Handlatut Tujjar 1918).

Ini seharusnya menjadi cambuk awal bagi kita sekarang ini sebagai penerus perjuangan dan perlu dibaca kembali bagi kita sebagai generasi muda NU, dan seharusnya sadar terhadap persoalan ekonomi. Hal ini merupakan hal terpenting dalam kehidupan manusia. Karena Nabi Muhammad SAW juga berpesan kepada kita, umatnya : kadal fakru ayyakuna kufran. Jadi NU kedepan tidak hanya melihat persoalan amaliah berupa ritual warganya seperti tahlilan, yasinan, shalawatan, qunut dan lain-lain. Tapi, NU juga peka terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat semisal kesejahteraan dan perekonomian rakyat.

Angan-angan diatas timbul, ketika penulis membaca sejarah lahirnya NU yang mencuat dengan beberapa latar belakang pemikiran. Pertama, secara historis berdirinya NU adalah sebagai upaya untuk menggerakkan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan para pedagang) yang semasanya telah banyak ambil bagian (peran) untuk mensejahterakan masyarakat dengan pemberdayaan ekonomi lokal yang digagas oleh KH Hasyim Asy’ari dan beberapa kiai pada saat itu. Seperti pendirian koperasi, pemberdayaan masyarakat tani, pertanian tebu, kacang-kacangan, beras, katela, sagu, jagung, kopi, tembakau, teh, cengkeh, dan lain sebagainya.

Kedua, secara sosiologis massa NU sangat gemuk jamaahnya ketimbang ormas Islam lain di Indonesia. Suatu konsekuwensi dari arus industrialisasi bagi massa NU tertransformasi menjadi masyarakat yang kurus dalam ekonomi. Kalau pinjam istilahnya Fawaizul Umum, yang menulis Ekonomika Pemberdayaan Warga Nahdliyyin bahwa jam'iyah (NU) adalah peguyuban orang-orang yang disatukan nasibnya. Massa NU selalu diidentifikasi sebagai kaum kelas menengah kebawah (miskin).
Ketiga, barangsiapa yang membaca atau tahu sejarah tentang berdirinya NU pada tahun 1926 tidak bisa dilepaskan bahwa NU selain bertujuan untuk semata-mata ritual (penghambaan) kepada Allah, namun NU juga merumuskan tujuan berdirinya adalah untuk memperhatikan fakir miskin, yatim piatu, nasib para petani, pedagang dan orang-orang kecil lainnya.

Melihat latar belakang cikal berdirinya NU, dirasa perlu kiranya untuk mengangkat kembali wacana tentang Nahdlatut Tujjar walaupun (hanya) dengan referensi yang sangat terbatas. Bagi penulis sebagai seorang terpelajar dan kader NU (akan) tetap menjadi keharusan untuk mewacanakan Nahdlatut Tujjar yang hingga kini telah banyak terlupakan oleh para pemerhati, peneliti, tokoh, dan kiai-kiai NU sendiri.
Semoga tulisan bermamfaat dan menjadi renungan bersama lebih-lebih bagi tokoh, para elit-elit NU dan warga nahdliyyin secara umum. Semoga!

11 Desember, 2008

Khazanah Nubuwwah dalam Ruang Publik

Judul Buku : Islam Profetik, Substansi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Puplik
Penulis : Masdar Hilmy
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : 240 Halaman
Peresensi : Ach. Syaiful A'la*

Zuhairi Misrawi (2007) dalam karyanya, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme menulis bahwa agama yang paling dicintai Allah adalah ajaran yang lurus-toleran (ahabbu al-dain ila-Allah al-hanifiyyatus al-samha). Dengan beberapa metode dan kajian mendalam – dalam bukunya – tentang pemaknaan pada sebuah ”Teks”, Zuhairi Misrawi pada acara bedah buku tersebut di kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya, menyatakan : walaupun agama lain (selain Islam) dalam ajarannya masih mengedapankan atau mencintai nilai-nilai kedamaian, kerukunan dan toleransi antar sesama, dengan tegas – kiai muda NU itu – menyebutnya sebagai ”muslim”.

Pluralisme dalam Islam bukanlah sesuatu yang baru. Nilai-nilai pluralisme sejak dulu tidak pernah pertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dalam perkembangannya, Islam sangat tidak pantas kalau dianggap agama yang tidak menghendaki kemajemukan alias eksklusif. Cita-cita pluralisme dan toleransi yang diusung oleh Zuhairi Misrawi sebenarnya sebagai upaya untuk mencari titik temu (kalimatun sawa’) guna membangun komitmen bersama diantara berbagai perbedaaan dan keragaman komitmen. Kalaupun hal tersebut (jujur saja) bukanlah hal yang mudah untuk dibangun.

Terkadang kalau kita amati, salah satu bentuk keberagaman yang sering memunculkan konflik memang keberagaman agama itu sendiri. Bahkan dalam berbagai konflik fenominal saat ini banyak yang mengatasnamakan agama, sehingga menjadi sulit untuk penyelesaikannya. Hal ini karena melibatkan agama pada setiap konflik yang pada akhirnya pasti mengikutsertakan pendasaran teologis untuk melegitimasinya. Melakukan kekerasan atas nama Agama. Setiap konflik (agama) akhirnya menjadi sah (legal demi Tuhan) karena seolah-olah ajaran (agama) membenarkannya. Sehingga agama mengalami pereduksian fungsi utamanya karena digunakan untuk yang bersembunyi bagi tindak kekerasan atas nama agama. Kini, dikalangan tubuh Ahlu al-Sunnah Wa al-Jamaah sendiri telah muncul berbagai pemikiran yang biasanya dikategorikan “Islam tradisional”, “Islam liberal”, dan “Islam radikal”.

Buku Islam Profetik; Substansi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik, yang ditulis oleh Masdar Hilmy ini mencoba menghadirkan kembali wacana Islam Nubuwwah (konsep kenabian) yang ditanamkan oleh Nabi Muhammad semasa perjuangannya. Bahkan Nabi Ibrahim, jauh sebelum datangnya Muhammad telah memperkenalkan agama yang lurus dan toleran seperti islam hanif. Tidak ketinggalan pula dalam konteks yang lebih kecil, di Indonesia, Wali Songo telah mampu mengislamkan Bumi Nusantara hingga 90 %, tentunya pola yang mereka pakai adalah dengan manampilkan keteladanan. Keteladanan profetiknya berupa hikmah, kearifan, dan pesan-pesan kedamaian dalam beragama. Mereka tampil keranah publik bukan membawa Islam simbolik seperti yang dipertontonkan Islam garis keras dijalan-jalan sekarang ini, melainkan yang dikedepankan disini adalah aspek nilai ajaran agama (relegious values). Sehingga lebih berbobot jika substantif, bukan simbolnya yang dikedepankan.

Meminjam istilah Kuntowijoyo, yang mengutip pada nash Al-Quran surat Al-Imran : ayat 110 yang berbunyi, “Umat Islam adalah umat terbaik yang pernah diciptakan untuk manusia, yang bertugas melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar (dalam arti keberimanan kepada Tuhan Allah SWT)”. Disini, Kuntowijoyo ingin menampilkan Islam sebagai agama kemanusiaan yang harus direspon secara baik. Islam harus hadir sebagai agama profetik, agama yang mengedepankan humanisasi, emansipasi dan transendensi.

Humanisasi dimaksud adalah sebagai bagian dari doktrin-kontekstual Islam mampu diterapkan dalam ruang lingkup tatanan sosial kemasyarakatan yang nantinya akan bermuara pada pemanusiaan manusia. Karena seringkali dalam masyarakat yang mengaku taat dalam menjalankan perintah agamanya, justru perangai sosial politik dan ekonominya tidak mencerminkan orang yang beragama. Amal sholeh dan keberpihakan kepada kaum miskin kurang mendapat perioritas utama bagi penganut keagamaan.
Semangat Masdar Hilmy kenapa buku ini perlu hadir diruang pembaca tiada lain untuk flash back kesadaran profetik dalam ruang keberagamaan yang didasarkan pada sejumlah fenomena kehidupan yang semakin menjauh dari semangat kenabinan, seperti kekerasan, terorisme, kriminalitas, kemiskinan, kebodohan dan pembodohan, ketidakadilan dan ketertindasan, despotisme dan keangkuhan, hedonisme dan pemberhalaan duniawi dan semacamnya (hlm. 245).

Buku yang baik ketika dilengkapi dengan beberapa literatur dan metode kajian mendalam tentang sebuah fenomena yang terjadi. Buku ini hanya sebuah kumpulan tulisan penulis yang berserakan dan pernah dimuat diberbagai media lokal maupun nasional dan jurnal akademis atas respon dan fenomena sosial keagamaan pada saat itu. Bisa dikatakan isi buku ini antara satu tulisan dengan pembahasan lainnya tidak memiliki mata rantai dan terkesan kurang memiliki koherensi yang tinggi.

Terlepas dari beberapa kelemahan, buku ini hadir untuk berpartisipasi memecahkan dimensi yang berbeda dalam upaya pemecahan realitas agama, yakni pemecahan yang profetik. Disamping itu pula, buku ini akan menjawab keangkuhan sekolompok kaum yang mengaku bahwa dakwa (ajaran) yang mereka lakukan didalam memperjuangkan agama Islam sebagaimana juga yang pernah dilakukan oleh Nabi. Klaim seperti itu muncul karena kurangnya pemahaman dan pembacaan ulang terhadap makna sebuah ”Teks” suci. Dengan demikian, pembacaan terhadap realitas Teks (Al-Qur’an dan Hadis) harus ditakar dari, dan perpeluang pada, nilai-nilai kemanusiaan manusia sebagai obyek sekaligus subyek beragama.